Appetizer
Menurut A. Chaedar Alwasilah dalam koran Pikiran Rakyat yang terbit pada
tanggal 28 Feb 2012 dalam artikel tersebut Beliau menuliskan judul “Bukan Bangsa
Penulis”. Pak Chaedar berpendapat
demikian berdasarkan beberapa fakta seperti: jumlah karya ilmiah dari perguruan
tinggi Indonesia masih rendah, banyaknya jumlah tulisan yang harus di tulis
oleh seorang mahasiswa, dan berdasarkan penelitian Krashen(1984) pada perguruan
tinggi AS.
Pertama berdasarkan pada tulisan
yang ditulis oleh Pak Chaedar dan menurut Dirjen pada saat sekarang ini jumlah
karya ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah jika
dibandingkan dengan Malaysia, yakni hanya sepertujuhnya. Fakta ini berdasarkan perbandingan jumlah
buku yang diterbitkan dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang
melebihi 200 juta.
Yang kedua, bagi seseorang yang
terbiasa dengan menulis mungkin 100 halaman bukanlah masalah namun, bagaimana
dengan orang yang baru belajar menulis.
Dalam artikel tersebut Pak Chaedar menyajikan jalan tengah agar
mahasiswa di negara kita rajin menulis.
Jalan tengah tersebut beliau ambil dari sistem pendidikan yang ada di
Amerika Serikat. Sistem pendidikan di
Amerika Serikat memksa mahasiswanya untuk banyak menulis esai seperti: laporan
observasi, ringkasan bab, reviu buku dan lain sebagainya.
Yang ketiga, berdasarkan penelitian
Krashen (1984) di perguruan tinggi di AS menunjukan bahwa para penulis
produktif dewasa adalah mereka yang sewaktu di SMA-nya, antara lain banyak
membaca karya sastra, berlangganan koran atau majalah, dan di rumahnya ada
perpustakaan. Bagi sebag
Sementara para mahasiswa di negara kita,
jangankan untuk membeli buku baru, disediakan buku yang gratis juga terkadang
jarang dibaca kecuali ada tugas. Bukan hanya masalah mahasiswa kita yang
kurang suka membaca tapi, juga masalah tersedianya buku yang menjadi penunjang
belajar kita. An orang membeli buku
membeli bukanlah masalah, namun bagaimana dengan penduduk menengah kebawah yang
berpenghasilan rendah? Jangankan untuk membeli buku atau koran, untuk makan
sehari-hari saja kadang tidakmencukupi.
Mungkin kita bisa saja berkata, “mengapa tidak pergi ke perpustakaan?”
namun kembali lagi pada kenyataan yang ada, apakah perpustakaan yang ada sudah
benar-benar memenuhi kebuthan siswa akan pengetahuan?
Jika boleh jujur, pada kenyataannya
semua sarjana yang lulus dari pergurruan tinggi, tentu mereka telah melalui
proses menulis makalah. Yang jadi
pertanyaannya adalah kemanakah makalah mereka? Apakah telah diterbitkan atau
hanya disimpan dilemari sebahgai pajangan atau hiasan kantor? Seperti yang ada
dikantor jurusan di lantai pertama.
Berdasarkan pendapat di atas,
mungkin tidak banyak buku yang terbit dalam setiap tahunnya, namun bukan
berarti mahasiswa di negara kita malas, karena pada kenyataannya mereka juga
menulis hanya saja tidak diterbitkan atau mungkin memang diterbitkan, namun
hanya digunakan di area lokal (lingkungan kampus) atau dengan kata lain tidak
diterbitkan ssecara nasional.
HARUSKAH
PEMBACA LEBIH PINTAR DARI PENULIS?
Sering kali saat kita membaca sebuah teks, tapi kita tidak dapat memahami
apa isi dari teks yang kita baca tersebut.
Pernahkah kita semua memikirkan hal tersebut? Menurut pendapat saya
tentang hal tersebut, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal tersebut. Beberapa diantaranya adalah, tergantung pada
jenis teks yang dibaca, kondisi dan situasi, bahasa yang digunakan terlalu
membingungkan si pembaca.
Pertama adalah, tergantung pada teks
yang dibaca. Ketika kita membaca sebuah
tulisan atau teks yang kita senangi tentu hal tersebut akan membuat kita lebih
mudah untuh memahami, dibandingkan dengan jika kita membaca sebuah teks yang
tidak kita sukai. Sebagai contohnya,
banyak anak-anak akan lebih menyukai membaca buku dongeng dibandingkan dengan
buku pelajaran.
Penyebab yang kedua seseorang tidak
dapat memahami sebuah tulisan adalah, kondisi dan situasi. Seseorang yang dalam keadaan sakit tentu dia
tidak dapat fokus atau konsentrasi saat membaca. Begitu juga dengan situasi yang ada diskitar
kita saat kita membaca. Sebagai
contohnya, saat kita membaca sebuah buku namun keadaan disekitar kita sangat
bising, tentu kita tidak dapat berkonsntrasi.
Yang ketiga adalah, bahasa yang digunakan terlalu membingungkan pembaca. Seorang penulis tetap saja dia adalah seorang
manusia dan tidak ada manusia yang semprna.
Terkadang sang penulis menuliskan sebuah tulisan yang sangat sempurna,
namun justru itulah yang membuat pembaca tidak dapat memahami tulisannya. Contohnya adalah karya sastra baik berupa
puisi atau bentuk tulisan lainnya, tidak semua orang dapat memahami karya
sastra karena bahasanya yang terlalu tinggi sehingga membuat orang lain tidak
dapat memahami tulisan tersbut.
Jika dibandingkan siapa yang lebih pintar antara pembaca dan penulis,
semuanya bergantung pada siapa si penulis dan siapa si pembaca. Siapakah si penulis? Jika dia adalah seorang
penulis handal yang sudah berpengalaman dan sudah terbiasa dalam menulis tentu
penulislah yang lebih pentar. Bagaimana
kalau menanyakan siapa si pembaca? Jika dia adalah seorang yang memang
benar-benar menguasai semua tentang ilmu tulis-menulis maka tidak usah
diragukan lagi bahwa pembacalah yang lebih pintar. Contoh pembaca yang lebih pintar dari penulis
adalah dosen penguji kita, yang dia bukanlah sembarang orang.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa ketidakpahaman seseorang akan sebuah
tulisan tidak sepenuhnya kesalahan
pembaca. Intinya, tidak semua pembaca
lebih bodoh dari penulis, dan ingatlah di atas langit masih ada langit.
KESALAHAN
SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Menanggapi aritkel yang ditulis oleh C. W. Watson yang publikasikan oleh
The Jakarta Post edisi 14 Januari.
Beliau juga mengomentari artikel dari A. Chaedar Alwasilah yang berjudul
“Powerful writers versus helpless readers”.
Menurut tulisan tersebut ada beberapa kesalahan dalam sistem belajar
yang diterapkan di Indonesia. Sementara
setelah saya baca tulisan tersebut terdapat beberrapa fakta mengenai kesalahan
dari sistem pendidikan yang ada di negara kita, antara lain: negara kita
terlalu mengutamakan nilai akhir daripada nilai proses yang dijalani,
menggunakan sistem pilihan ganda, dan ketergantungan terhadap sistem kurikulum.
Pada artikel “Powerful writers versus helpless readers” Pak Chaedar
mengungkapkan untuk menghapus sistem yang ada di negara kita. Sebagai seorang ahli dalam dunia
pendidikan Pak Chaedar boleh saja
berpendapat demikian dengan alasan kurang efektif. Namun, seharusnya Pak Chaedar juga memberikan
jalan keluar atau solusi pengganti dari sistem yang ada dinegara kita ini,
seperti misalnya sebagai syarat kelulusan, siswa diharuskan menulis makalah
atau menuliskan seluruh pengalaman mereka selama proses pelajar yang tentu saja
sesuai dengan jurusan mereka masing-masing.
Selain soal UN, persoalan yang lainnya adalah setiap ujian selalu saja
ada pilihan ganda. Kelemahan dari sistem
ini adalah siswa sering menganggap remeh pilihan ganda, karena bagi anak yang
tidak bisapun hanya tinggal memilih salah satu jawaban yang telah disediakan. Berbeda jika siswa dihadapkan pada soal esai,
yang tentunya akan membuat siswa merasa pusing dan memaksa mereka membaca untuk
buku pelajaran mereka. Sebenarnya tidak
masalah jika menggunakan soal pilihan ganda, asalkan pilihan ganda tersebut
harus sebuah pertanyaan yang berkualitas.
Kelemahan lainnya dari sistem pembelajaran yang ada di negara kita adalah
terlalu bergantung pada pusat. Seperti
yang kita tahu sistem pembelajaran di negara kita adalah berdasarkan kurikulum
yang berlaku pada saat itu, sementara yang membuat sistem kurikulum adalah dari
pemerintah pusat. Sekolah-sekolah hanya
tinggal mengikuti apa yang menjadi keputusan pusat. Berbeda dengan sistem pendidikan di
negara-negara modern, di mana setiap sekolah mempunyai peraturan masing-masing
tidak terikat dengan pusat. Pada
hakikatnya yang paling mengerti tentang segala hal yang ada di sekolah adalah
orang-orang yang ada di lingkungan sekolah tersebut, bukan pemerintah pusat.
Sebaliknya, jika sistem UAS dihilangkan dan diganti dengan sistem lain
yang dianggap lebih baik tentu akan terjadi sebuah dilema pada pemerintah
pusat. Di satu sisi pemerintah ingin
sistem pendidikan di negara ini lebih baik, namun di sisi lain apakah para
siswa di negara kita akan mampu untuk melaluinya? Dipaksa? Jika kita lihat
fenomena yang terjadi sekarang ini, di mana sebelum para siswa melakukan UN sering
kali mereka melakukan ritual-ritual yang kurang masuk akal, bahkan ada yang
lebih tragis dimana siswa yang tidak lulus melakukan bunuh diri.
Setiap orang boleh saja berpendapat tentang harus seperti apakah sistem
pemndidikan di negara ini, namun pada kenyataannya kita juga harus memikirkan
solusi yang tepat sebagai pengganti sistem belajar kita yang ada sekarang. Selain memikirkan solusi juga harus dipikirkan
bagaimana menangani siswa yang tidak lulus UN.
Caranya mungkin bisa dengan memberikan ajaran agama tentang hukum bunuh
diri, atau bisa juga dengan memberikan sugesti kepada mereka bahwa tidak lulus
bukan berarti akhir dari dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic