We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Sabtu, 15 Februari 2014

Relita Rendahnya Nilai Buaya Baca Tulis Di Negeri Ini

Appetizer essay 
Mungkin judul diatas merupakan kalimat yang pas untuk mengkaji, menganalisa atau mengkritisi sebuah sumber bacaan yang terdapat didalam buku “ Pokoknya Rekayasa Literasi “ yang ditulis oleh para penulis-penulis hebat baik oleh bapa A Chaedar Alwasilah maupun oleh C.W Watsun.
Dalam penulisan appetizer essay kali ini, saya mencoba mengupas tiga wacana yang ada didalam buku tersebut antara lain yang berjudul ( Bukan ) Bangsa Penulis yang ditulis oleh pa A Chaedar Alwasilah, pikiran rakyat 28 februari 2012, yang kedua berjudul Powerfull Writers Versus The Helpless Readers oleh pa A Chaedar Alwasisah di Jakarta pos 14 Januari 2012 dan yang terakhir yang berjudul Learning and Teaching Process : More About Readers and Writers.
Dari ketiga wacana tersebut terlihat sangat jelas bahwa masih rendhnya kultur budaya literasi dinegeri kita ini, sehingga mampu menggugah hati dan perasaan kita, dan saya pun merasa sangat tersindir bahkkan malu kalau melihat realita yang ada.
Berdasarkan sumber bacaan atau tulisan artikel yang ada pada pikiran rakyat yang terbit pada tanggal 28 Januari 2012 yang ditulis oleh pa A Caedar Alwasilah, atau lebih tepatnya lagi yang terdapat pada buku Pokoknya Rekayasa Literasi dalam bab 6 yang berjudul “ (Bukan) Bangsa Penulis “ diwacana 6.2.  Disitu terdapat sebuah polemik atau permasalahan yang terdapat dilingkungan perguruan tinggi (PT). Yang mampu memicu pro dan kontra dilingkungan kampus tentang sebuah karya ilmiah.  Namun pada dasarnya polemik yamg terjadi dilingkungan kampus itu sebenarnya sejalan dengan sudut pandang dan peran masing-masing.  Sampai pada akhirnya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta ( APTISI ) terang-terangan memboikot aturan tersebut.
Dalam permasalahan ini ada pihak yang sangat merasa kecewa, marah bahkan kesal melihat realita yang ada, yaitu dirjen perguruan tinggi, kenapa demikian ? karena dirjen perguruan tinggi adalah orang yang pertama bertanggung jawab mengawali publikasi ilmiah dikalangan perguruan tinggi (PT). Karena berdasarkan realita yang ada, mayoritas lulusan perguruan tinggi diindonesia tidak bisa menulis, bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis.
Melihat permasalahan ini saya pun sepaham dan sependapat dengan pendapa pa A Chaedar Alwasilah, kenapa ? karena saya pun pernah melihat dan mengetahui secara langsung realita tersebut dilingkungan sekitar permukiman saya.
Pembuktian realita kasus itu pernah dituturkan lansung oleh seorang teman saya yang bekerja disebuah jasa percetakan atau pengetikan diwilayah sekitar Cirebon.  Disitulah tempat teman saya bekerja sebagai teknisi jasa pengetikan, disitupu teman saya menyaksikan langsung bahkan teman saya pula yang mengerjakan jasa pengetikannya.  Teman saya pun bercerita panjang lebar tentang project tersebut bahwasanya dia merasa senang dan sedik bercambur menjadi satu, kenapa ? karena disatu sisi dia merasa senang mendapatkan project pengetikan yang sangat banyak dari pelanggannya tersebut, namun disati sisi lain dia merasa sangat miris hatinya melihat realita yang ada, karena dia telah melakukan atau menggerjakan sesuatu yang salah dan tidak mendidik, khususnya bagi para mahasiswa maupun dosen.  Karena faktanya karya ilmiah dilingkungan perguruan tinggi itu diibaratkan sebuah barang dagangan yang bebas diperjual belikan dan ternyata karya ilmiah itu dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk proses jual beli.  Pada akhirnya kenyataan yang terjadi banyak lulusan sarjana yang tidak memiliki skill akademik, dikhususkan dalam hal menulis.
Melihat realita yang ada membuat miris hati kita semua, karena ternyata nilai mutu kualitas pendidikan kita masih sangat buruk dimata negara-nagara tetangga maupun dimata dunia.  Dari situla kenapa karya ilmiah diperguruan tinggi itu memicu pro dan kontra, kerena menimbulkan sisi positif dan negatif.
Skipsi, tesis dan disertasi semuanya itu termasuk kedalam genre tulisan kademik atau yang dinamakan ( Academic Writing ). Dengan menulis skripsi berarti mahasiswa belajar menulis akademik, dengan tesis mahasiswa belajar meneliti dan dengan disertasi mahasiswa bisa membangun teori dan rumus baru, itu semua sisi positif yang dihasilkan jika mahasiswanya mampu melaksanakan dengan baik, yang bertujuan untuk melaporkan hasil telaahan, pengamatan dan eksperimen.  Namun kenyataanya tidak seperti yang kita bayangkan sehingga muncul polemik yang kontra.
Untuk merespon artikel pa A Chaedar yang berjudul Powerfull Writers Versus Helpless Readers, saya mengambil garis besar dari paragraf awal yang isinya bahwa sebelum menjadi seorang penulis yang handal dan hebat itu, yang harus kita lakukan adalah kita harus menyukai aktifitas membaca.  Jadi intinya, seorang pembaca yang belum bisa apa-apa itu harus disuapin oleh seorang penulis yang hebat.
Kita harus melakukan pengamatan bahwa pendidikan bahasa kita itu telah gagal membangu pembaca yang kritis, karena kebanyakan lulusan mahasiswa di Indonesia telah belajar bahasa lokal dan bahasa asing khususnya bahasa inggris.
Pembaca yang kritis mengembangka sebuah kesadaran dalam bentuk konten dan maknanya.  Terdapat dua bentuk yang menunjukan simbol ilmu bahasa yang dilakukan oleh seorang penulis yaitu konten dan konteks.
1.      Konten (menunjukan kepada arti atau bahan-bahan yang didiskusikan).
2.      Konteks (menunjukan kepada sosoal psikologi dan lingkungan sosial).
Selain itu juga terdapat tiga cara untuk membangkitkan suatu negara melalui kultur budaya dalam ilmu bahasa atau literasi antara lain :
1.       Pendekatan hubungan membaca dan menulis dengan cara mempercayai bahwa banyak membaca adalah kekuatan sebuah tulisan.  Ilmi pengetahuan itu melalui membaca, sedangkan menulis meletakan pengetahuan diatas kertas.
2.      Pendekatan bahasa kita telah menghasilkan orientasi membaca daripada menulis.
3.      Terlepas dari keahlian masing-masing, ketika merka harus menulis mereka itu cenderung mengambil pepatah-pepatah dengan mudah, tetapi mereka kurang peka terhadap ranah psikologi.
Sangat menarik sekali ketika wacana tersebut jika kita kaji lagi lebih dalam, karena didalamnya terdapat permasalahan yang harus kita pecahkan bersama demi kemajuan mutu kualitas pendidikan di negeri kita tercinta ini terutama dalam ilmu bahasa serta budaya.  Budaya yang dimaksud adalah budaya baca tulis, karena sutu bahasa akan maju dan berkembang pesat jika para penerus bangsanya mampu berkarya, salah satunya adalah dalam hal menulis, contohnya di negara Amerika Serikat, karena disana budaya menulis sangat berkembang pesat dan banyak penulis-penulis yang karyanya patut diperhitungkan dimata dunia.

Dapat disimpulkan bahwasanya nilai budaya membaca dan menulis dinegeri kita ini dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, Jepang bahkan Amerika.  Untuk itu, untuk mewujudakn negara yang maju, kita sebagai generasi penerus harus melestarikan budaya membaca dan menulis demi menciptakan sebuah karya yang dihargai dan dinilai oleh negara lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic