Appetizer
essay
Mungkin
judul diatas merupakan kalimat yang pas untuk mengkaji, menganalisa atau
mengkritisi sebuah sumber bacaan yang terdapat didalam buku “ Pokoknya Rekayasa
Literasi “ yang ditulis oleh para penulis-penulis hebat baik oleh bapa A
Chaedar Alwasilah maupun oleh C.W Watsun.
Dalam
penulisan appetizer essay kali ini, saya mencoba mengupas tiga wacana yang ada
didalam buku tersebut antara lain yang berjudul ( Bukan ) Bangsa Penulis yang
ditulis oleh pa A Chaedar Alwasilah, pikiran rakyat 28 februari 2012, yang
kedua berjudul Powerfull Writers Versus The Helpless Readers oleh pa A Chaedar
Alwasisah di Jakarta pos 14 Januari 2012 dan yang terakhir yang berjudul
Learning and Teaching Process : More About Readers and Writers.
Dari
ketiga wacana tersebut terlihat sangat jelas bahwa masih rendhnya kultur budaya
literasi dinegeri kita ini, sehingga mampu menggugah hati dan perasaan kita,
dan saya pun merasa sangat tersindir bahkkan malu kalau melihat realita yang
ada.
Berdasarkan
sumber bacaan atau tulisan artikel yang ada pada pikiran rakyat yang terbit
pada tanggal 28 Januari 2012 yang ditulis oleh pa A Caedar Alwasilah, atau
lebih tepatnya lagi yang terdapat pada buku Pokoknya Rekayasa Literasi dalam
bab 6 yang berjudul “ (Bukan) Bangsa Penulis “ diwacana 6.2. Disitu terdapat sebuah polemik atau
permasalahan yang terdapat dilingkungan perguruan tinggi (PT). Yang mampu
memicu pro dan kontra dilingkungan kampus tentang sebuah karya ilmiah. Namun pada dasarnya polemik yamg terjadi
dilingkungan kampus itu sebenarnya sejalan dengan sudut pandang dan peran
masing-masing. Sampai pada akhirnya
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta ( APTISI ) terang-terangan memboikot aturan
tersebut.
Dalam
permasalahan ini ada pihak yang sangat merasa kecewa, marah bahkan kesal
melihat realita yang ada, yaitu dirjen perguruan tinggi, kenapa demikian ?
karena dirjen perguruan tinggi adalah orang yang pertama bertanggung jawab
mengawali publikasi ilmiah dikalangan perguruan tinggi (PT). Karena berdasarkan
realita yang ada, mayoritas lulusan perguruan tinggi diindonesia tidak bisa
menulis, bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis.
Melihat
permasalahan ini saya pun sepaham dan sependapat dengan pendapa pa A Chaedar
Alwasilah, kenapa ? karena saya pun pernah melihat dan mengetahui secara
langsung realita tersebut dilingkungan sekitar permukiman saya.
Pembuktian
realita kasus itu pernah dituturkan lansung oleh seorang teman saya yang
bekerja disebuah jasa percetakan atau pengetikan diwilayah sekitar
Cirebon. Disitulah tempat teman saya
bekerja sebagai teknisi jasa pengetikan, disitupu teman saya menyaksikan
langsung bahkan teman saya pula yang mengerjakan jasa pengetikannya. Teman saya pun bercerita panjang lebar
tentang project tersebut bahwasanya dia merasa senang dan sedik bercambur
menjadi satu, kenapa ? karena disatu sisi dia merasa senang mendapatkan project
pengetikan yang sangat banyak dari pelanggannya tersebut, namun disati sisi
lain dia merasa sangat miris hatinya melihat realita yang ada, karena dia telah
melakukan atau menggerjakan sesuatu yang salah dan tidak mendidik, khususnya
bagi para mahasiswa maupun dosen. Karena
faktanya karya ilmiah dilingkungan perguruan tinggi itu diibaratkan sebuah
barang dagangan yang bebas diperjual belikan dan ternyata karya ilmiah itu
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk proses jual beli. Pada akhirnya kenyataan yang terjadi banyak
lulusan sarjana yang tidak memiliki skill akademik, dikhususkan dalam hal menulis.
Melihat
realita yang ada membuat miris hati kita semua, karena ternyata nilai mutu
kualitas pendidikan kita masih sangat buruk dimata negara-nagara tetangga
maupun dimata dunia. Dari situla kenapa
karya ilmiah diperguruan tinggi itu memicu pro dan kontra, kerena menimbulkan
sisi positif dan negatif.
Skipsi,
tesis dan disertasi semuanya itu termasuk kedalam genre tulisan kademik atau
yang dinamakan ( Academic Writing ). Dengan menulis skripsi berarti mahasiswa
belajar menulis akademik, dengan tesis mahasiswa belajar meneliti dan dengan
disertasi mahasiswa bisa membangun teori dan rumus baru, itu semua sisi positif
yang dihasilkan jika mahasiswanya mampu melaksanakan dengan baik, yang
bertujuan untuk melaporkan hasil telaahan, pengamatan dan eksperimen. Namun kenyataanya tidak seperti yang kita
bayangkan sehingga muncul polemik yang kontra.
Untuk
merespon artikel pa A Chaedar yang berjudul Powerfull Writers Versus Helpless
Readers, saya mengambil garis besar dari paragraf awal yang isinya bahwa
sebelum menjadi seorang penulis yang handal dan hebat itu, yang harus kita
lakukan adalah kita harus menyukai aktifitas membaca. Jadi intinya, seorang pembaca yang belum bisa
apa-apa itu harus disuapin oleh seorang penulis yang hebat.
Kita
harus melakukan pengamatan bahwa pendidikan bahasa kita itu telah gagal
membangu pembaca yang kritis, karena kebanyakan lulusan mahasiswa di Indonesia
telah belajar bahasa lokal dan bahasa asing khususnya bahasa inggris.
Pembaca
yang kritis mengembangka sebuah kesadaran dalam bentuk konten dan
maknanya. Terdapat dua bentuk yang
menunjukan simbol ilmu bahasa yang dilakukan oleh seorang penulis yaitu konten
dan konteks.
1. Konten
(menunjukan kepada arti atau bahan-bahan yang didiskusikan).
2. Konteks
(menunjukan kepada sosoal psikologi dan lingkungan sosial).
Selain
itu juga terdapat tiga cara untuk membangkitkan suatu negara melalui kultur
budaya dalam ilmu bahasa atau literasi antara lain :
1. Pendekatan hubungan membaca dan menulis dengan
cara mempercayai bahwa banyak membaca adalah kekuatan sebuah tulisan. Ilmi pengetahuan itu melalui membaca,
sedangkan menulis meletakan pengetahuan diatas kertas.
2. Pendekatan
bahasa kita telah menghasilkan orientasi membaca daripada menulis.
3. Terlepas
dari keahlian masing-masing, ketika merka harus menulis mereka itu cenderung
mengambil pepatah-pepatah dengan mudah, tetapi mereka kurang peka terhadap
ranah psikologi.
Sangat
menarik sekali ketika wacana tersebut jika kita kaji lagi lebih dalam, karena
didalamnya terdapat permasalahan yang harus kita pecahkan bersama demi kemajuan
mutu kualitas pendidikan di negeri kita tercinta ini terutama dalam ilmu bahasa
serta budaya. Budaya yang dimaksud
adalah budaya baca tulis, karena sutu bahasa akan maju dan berkembang pesat
jika para penerus bangsanya mampu berkarya, salah satunya adalah dalam hal
menulis, contohnya di negara Amerika Serikat, karena disana budaya menulis
sangat berkembang pesat dan banyak penulis-penulis yang karyanya patut
diperhitungkan dimata dunia.
Dapat
disimpulkan bahwasanya nilai budaya membaca dan menulis dinegeri kita ini
dibandingkan negara-negara lain seperti Malaysia, Vietnam, Singapura, Jepang
bahkan Amerika. Untuk itu, untuk
mewujudakn negara yang maju, kita sebagai generasi penerus harus melestarikan
budaya membaca dan menulis demi menciptakan sebuah karya yang dihargai dan
dinilai oleh negara lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic