Terdapat hal janggal di
Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan yang tidak konsisten. Memang tidak salah apabila masyarakat berkata
demikian, karena begitulah fakta dan keadaan sebenarnya. Kamus besar Bahasa Indonesia merupakan kitab
bagi seluruh masyarakat yang ingin mempelajari Bahasa Indonesia, terutama
mengatahui arti dari beribu-ribu kata dalam Bahasa Indonesia. Pada kesempatan kali ini marilah kita gunakan
kamus besar Bahasa Indonesia guna mencari arti dari satu kata, yaitu
pendidikan. Berdasarkan kamus besar
Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Sedangkan dunia pendidikan di Indonesia
nyatanya tidak selaras dengan definisi dalam kamus besar tersebut. Hal inilah yang menjadi tanda bahwa inkonsistensi
masih berakar kuat dalam pendidikan di Indonesia. Dengan definisi tersebut pendidikan dapat
dikatakan sebagai wahana yang digunakan masyarakat untuk mendapatkan sebuah
perubahan. Tidak bisa menjadi bisa,
tidak ahli menjadi ahli, dan tidak mengatahui menjadi mengetahui. Namun target pendidikan di Indonesia bukanlah
“Bisa” melainkan “Bagaimana kita lulus test”.
Hal ini tersirat dari adanya ujian nasional dengan beribu-ribu masalah
di dalamnya yang dirasa tidak ada manfaatnya pula. 12 tahun menuntut ilmu hanya untuk 4 hari
test, itu pendidikan kita. Ujian
nasional hanyalah sebuah kerikil kecil yang berperan sebagai contoh dalam esay
ini. Perlu kita ketahui bahwa masih
banyak kejanggalan yang ada di dalam pendidikan Indonesia.
Pohon tinggi dan besar
yang dikenal sebagai pohon beringin hanya berawal dari sebuah biji kecil ketika
memulai hidupnya. Ilustrasi ini pun
selaras dengan proses membangun pendidikan di Indonesia, guna memproduksi
lulusan-lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing maka harus ada langkah yang
dilakukan. Langkah tersebut adalah
membereskan pendidikan dasar di Indonesia yang dimulai dari sekolah dasar sampai
sekolah menengah atas. Mahasiswa sebagai
calon sarjana berawal dari pendidikan dasar.
Tidak heran kualitas lulusan-lulusan perguruan tinggi di Indonesia
sangat sulit bersaing untuk bisa “survive” di masyarakat. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran di
pendidikan dasar salah target, terdapat sesuatu yang salah di sini.
Banyak mahasiswa bahkan
tidak bisa menulis secara komunikatif.
Inipun sama, karena disebabkan oleh pendidikan dasar yang tidak bisa
membuat peserta didik jatuh cinta pada karya tulis. Guna menciptakan generasi yang lebih
cemerlang dan mampu bersaing maka pendidikan dasar di Indonesia harus membuat
peserta didik jatuh cinta pada karya tulis.
Banyak cara yang dapat dilakukan sebenarnya. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan
keindahan sebuah karya tulis lewat puisi, novel, cerita pendek, dan lain-lain kepada
peserta didik. Ketika hati sudah cinta
maka pengaplikasiannya pun akan berjalan lancar. Mahasiswa akan bisa menulis secara
komunikatif. Ketika mahasiswa dapat
menulis, peluang untuk “survive” dalam masyarakat akan lebih besar.
Fakta unik yang
mengkhawatirkan muncul ke permukaan mengenai pendidikan Indonesia. Fakta ini tidak lain dan tidak bukan adalah
sesuatu yang memukul dunia pendidikan Indonesia. Mungkin masyarakat bertanya-tanya fakta
apakah ini. Terdapat satu pertanyaan
lucu untuk semua kalangan masyarakat.
“Apakah pengangguran hanya orang bodoh dan tidak pernah mengenal
pendidikan?” tentu saja tidak. Fakta
berbicara bahwa jumlah pengangguran di Indonesia disumbangkan dari
sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi.
Intellectual jobless, itu mungkin julukan yang tepat. Sekitar 5,04% Intellectual jobless atau
360.000 dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang berkeliaran di
masyarakat. Inilah fakta dan realita
yang ada, sungguh unik namun mengkhawatirkan.
Ini memang problematic, bahkan menurut Organization
for Economic Co-operation Development (OECD), Indonesia akan menjadi negara dengan
jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang. Mungkin “Menulis” merupakan Palu besar guna
meruntuhkan masalah ini.
Dalam dunia sepakbola
teamwork merupakan yang utama. Sebuah
tim akan dapat memenangi laga-laga
ketika mereka tidak bergantung kepada hanya satu atau dua pemain
saja. Begitu pula ketika hendak
memperbaiki pendidikan, teamwork dan strategi sangat dibutuhkan. Peserta didik dan pengajar harus saling berkerjasama
untuk mensukseskan planning ini. Jadi
bukan hanya mahasiswa yang harus berperan untuk memperbaiki pendidikan. Mereka seperti pepohonan yang tidak akan
tumbuh tanpa orang yang menyiramnya.
Dengan kata lain Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor
152/E/T/2012 mengenai arikel jurnal yang akan menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa
S1 tidaklah masuk akal. Artikel jurnal
merupakan kewajiban seorang pengajar baik itu guru atau dosen yang notabene
sudah melewati S1. Janganlah menjadi
dosen atau guru jika tidak bisa menulis karena akan berhadapan dengan artikel
jurnal yang memiliki bahasa tingkat tinggi.
Mungkin jika
mekanismenya seperti penjelasan di bawah ini akan jauh lebih efektif. Peserta didik di pendidikan dasar harus jatuh
cinta dengan karya tulis dan juga dikenalkan dengan skripsi beserta isi-isinya
secara lengkap. Hal ini dikarenakan skripsi
akan tetap mereka hadapi sebagai syarat kelulusan S1 bukan artikel jurnal. Langkah ini juga dilakukan untuk mempermudah
proses di perguruan tinggi dan juga sebagai langkah memperbaiki pendidikan dari
dasarnya. Perguruan tinggi akan menolong
mahasiswa bagaimana menulis skripsi dengan baik dan memperkenalkan artikel
jurnal kepada mereka dan juga tata cara penulisannya agar ketika mereka menjadi
tenaga pengajar, mereka dapat eksis dalam dunia academic writing. Sedangkan untuk mahasiswa jenjang S2 dan S3
akan tetap berhadapan dengan thesis dan disertasi. Perbedaanya adalah mereka dapat ikut serta
dalam penulisan jurnal, tidak seperti jenjang S1 yang masih focus pada skripsi.
Sebenarnya Indonesia sangatlah berpotensi dalam
aspek pendidikan. Hal ini dibuktikan
oleh data dari Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict
and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang menempatkan Indonesia di
urutan 69 dari total 127 negara di dunia.
Itu artinya Indonesia masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Unggul dari Filipina, Komboja, India,
dan laos harusnya menjadi cambuk semangat untuk Indonesia agar dapat menjadi
yang terbaik di Asia atau paling tidak di Asia tenggara. Hal ini dikarenakan Indonesia masih kalah dari
Malaysia, Singapure dan Thailand. Pendidikan
dasar Indonesia selalu menomorduakan menulis.
Tak heran reading oriented adalah julukannya. Sebagaimana penjelasan di atas, peserta didik
akan memiliki peluang lebih besar untuk “Survive” dalam masyarakat apabila bisa
menulis dan bahkan membantu Indonesia melampaui ketiga Negara tersebut. Reading oriented pada pendidikan dasar inilah
yang menjadi sebab mengapa mahasiswa sulit menjadi critical readers dan hanya
bisa menyalahkan diri sendiri ketika teks bacaan tidak dapat dipahami. Mereka akan selalu menyalahkan diri sendiri,
berpikir bahwa penulis dari bacaan terlalu spektakuler, bahkan sulit
berkonsentrasi ketika membaca. Itulah
cara mereka menyalahkan diri mereka sendiri.
Reading-writing oriented akan jauh lebih baik karena dapat menciptakan
mahasiswa sebagai critical readers.
Critical readers akan menuntut penulis menggunakan bahasa yang
komunikatif atau mudah dipahami. Ini
berarti selalu akan ada kritikan yang membangun dari mahasiswa, itu yang
Indonesia inginkan untuk memajukan pendidikannya.
Pada intinya seluruh perangkat pendidikan baik itu
dosen ataupun mahasiswa harus saling bekerja sama. Jauh lebih baik ketika dosen menggunakan buku
yang didesain untuk orang Indonesia bukan buku import yang memang didesain
bukan untuk masyarakat Indonesia. Akan
tetapi ini semua kembali lagi kepada masing-masing individu. Ini hanya saran saja. Adanya buku import tersebut seakan-akan Bahasa
Indonesia tidak pantas dalam proses akademik.
Oleh karena itu jauh lebih baik jika prioritas untuk negeri sendiri
lebih di utamakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic