We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 13 Februari 2014

Realita Pendidikan

Terdapat hal janggal di Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan yang tidak konsisten.  Memang tidak salah apabila masyarakat berkata demikian, karena begitulah fakta dan keadaan sebenarnya.  Kamus besar Bahasa Indonesia merupakan kitab bagi seluruh masyarakat yang ingin mempelajari Bahasa Indonesia, terutama mengatahui arti dari beribu-ribu kata dalam Bahasa Indonesia.  Pada kesempatan kali ini marilah kita gunakan kamus besar Bahasa Indonesia guna mencari arti dari satu kata, yaitu pendidikan.  Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.  Sedangkan dunia pendidikan di Indonesia nyatanya tidak selaras dengan definisi dalam kamus besar tersebut.  Hal inilah yang menjadi tanda bahwa inkonsistensi masih berakar kuat dalam pendidikan di Indonesia.  Dengan definisi tersebut pendidikan dapat dikatakan sebagai wahana yang digunakan masyarakat untuk mendapatkan sebuah perubahan.  Tidak bisa menjadi bisa, tidak ahli menjadi ahli, dan tidak mengatahui menjadi mengetahui.  Namun target pendidikan di Indonesia bukanlah “Bisa” melainkan “Bagaimana kita lulus test”.  Hal ini tersirat dari adanya ujian nasional dengan beribu-ribu masalah di dalamnya yang dirasa tidak ada manfaatnya pula.  12 tahun menuntut ilmu hanya untuk 4 hari test, itu pendidikan kita.  Ujian nasional hanyalah sebuah kerikil kecil yang berperan sebagai contoh dalam esay ini.  Perlu kita ketahui bahwa masih banyak kejanggalan yang ada di dalam pendidikan Indonesia.
Pohon tinggi dan besar yang dikenal sebagai pohon beringin hanya berawal dari sebuah biji kecil ketika memulai hidupnya.  Ilustrasi ini pun selaras dengan proses membangun pendidikan di Indonesia, guna memproduksi lulusan-lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing maka harus ada langkah yang dilakukan.  Langkah tersebut adalah membereskan pendidikan dasar di Indonesia yang dimulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.  Mahasiswa sebagai calon sarjana berawal dari pendidikan dasar.  Tidak heran kualitas lulusan-lulusan perguruan tinggi di Indonesia sangat sulit bersaing untuk bisa “survive” di masyarakat.  Hal ini dikarenakan proses pembelajaran di pendidikan dasar salah target, terdapat sesuatu yang salah di sini. 
Banyak mahasiswa bahkan tidak bisa menulis secara komunikatif.  Inipun sama, karena disebabkan oleh pendidikan dasar yang tidak bisa membuat peserta didik jatuh cinta pada karya tulis.  Guna menciptakan generasi yang lebih cemerlang dan mampu bersaing maka pendidikan dasar di Indonesia harus membuat peserta didik jatuh cinta pada karya tulis.  Banyak cara yang dapat dilakukan sebenarnya.  Salah satunya adalah dengan memperkenalkan keindahan sebuah karya tulis lewat puisi, novel, cerita pendek, dan lain-lain kepada peserta didik.  Ketika hati sudah cinta maka pengaplikasiannya pun akan berjalan lancar.  Mahasiswa akan bisa menulis secara komunikatif.  Ketika mahasiswa dapat menulis, peluang untuk “survive” dalam masyarakat akan lebih besar.
Fakta unik yang mengkhawatirkan muncul ke permukaan mengenai pendidikan Indonesia.  Fakta ini tidak lain dan tidak bukan adalah sesuatu yang memukul dunia pendidikan Indonesia.  Mungkin masyarakat bertanya-tanya fakta apakah ini.  Terdapat satu pertanyaan lucu untuk semua kalangan masyarakat.  “Apakah pengangguran hanya orang bodoh dan tidak pernah mengenal pendidikan?” tentu saja tidak.  Fakta berbicara bahwa jumlah pengangguran di Indonesia disumbangkan dari sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi.  Intellectual jobless, itu mungkin julukan yang tepat.  Sekitar 5,04% Intellectual jobless atau 360.000 dari total pengangguran yang mencapai 7,17 juta orang berkeliaran di masyarakat.   Inilah fakta dan realita yang ada, sungguh unik namun mengkhawatirkan.  Ini memang problematic, bahkan menurut Organization for Economic Co-operation Development (OECD), Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang.  Mungkin “Menulis” merupakan Palu besar guna meruntuhkan masalah ini.
Dalam dunia sepakbola teamwork merupakan yang utama.  Sebuah tim akan dapat memenangi laga-laga  ketika mereka tidak bergantung kepada hanya satu atau dua pemain saja.  Begitu pula ketika hendak memperbaiki pendidikan, teamwork dan strategi sangat dibutuhkan.  Peserta didik dan pengajar harus saling berkerjasama untuk mensukseskan planning ini.  Jadi bukan hanya mahasiswa yang harus berperan untuk memperbaiki pendidikan.  Mereka seperti pepohonan yang tidak akan tumbuh tanpa orang yang menyiramnya.  Dengan kata lain Surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 mengenai arikel jurnal yang akan menjadi syarat kelulusan bagi mahasiswa S1 tidaklah masuk akal.  Artikel jurnal merupakan kewajiban seorang pengajar baik itu guru atau dosen yang notabene sudah melewati S1.  Janganlah menjadi dosen atau guru jika tidak bisa menulis karena akan berhadapan dengan artikel jurnal yang memiliki bahasa tingkat tinggi.
Mungkin jika mekanismenya seperti penjelasan di bawah ini akan jauh lebih efektif.  Peserta didik di pendidikan dasar harus jatuh cinta dengan karya tulis dan juga dikenalkan dengan skripsi beserta isi-isinya secara lengkap.  Hal ini dikarenakan skripsi akan tetap mereka hadapi sebagai syarat kelulusan S1 bukan artikel jurnal.  Langkah ini juga dilakukan untuk mempermudah proses di perguruan tinggi dan juga sebagai langkah memperbaiki pendidikan dari dasarnya.  Perguruan tinggi akan menolong mahasiswa bagaimana menulis skripsi dengan baik dan memperkenalkan artikel jurnal kepada mereka dan juga tata cara penulisannya agar ketika mereka menjadi tenaga pengajar, mereka dapat eksis dalam dunia academic writing.  Sedangkan untuk mahasiswa jenjang S2 dan S3 akan tetap berhadapan dengan thesis dan disertasi.  Perbedaanya adalah mereka dapat ikut serta dalam penulisan jurnal, tidak seperti jenjang S1 yang masih focus pada skripsi.
Sebenarnya Indonesia sangatlah berpotensi dalam aspek pendidikan.  Hal ini dibuktikan oleh data dari Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang menempatkan Indonesia di urutan 69 dari total 127 negara di dunia.  Itu artinya Indonesia masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109).
Unggul dari Filipina, Komboja, India, dan laos harusnya menjadi cambuk semangat untuk Indonesia agar dapat menjadi yang terbaik di Asia atau paling tidak di Asia tenggara.  Hal ini dikarenakan Indonesia masih kalah dari Malaysia, Singapure dan Thailand.  Pendidikan dasar Indonesia selalu menomorduakan menulis.  Tak heran reading oriented adalah julukannya.  Sebagaimana penjelasan di atas, peserta didik akan memiliki peluang lebih besar untuk “Survive” dalam masyarakat apabila bisa menulis dan bahkan membantu Indonesia melampaui ketiga Negara tersebut.  Reading oriented pada pendidikan dasar inilah yang menjadi sebab mengapa mahasiswa sulit menjadi critical readers dan hanya bisa menyalahkan diri sendiri ketika teks bacaan tidak dapat dipahami.  Mereka akan selalu menyalahkan diri sendiri, berpikir bahwa penulis dari bacaan terlalu spektakuler, bahkan sulit berkonsentrasi ketika membaca.  Itulah cara mereka menyalahkan diri mereka sendiri.  Reading-writing oriented akan jauh lebih baik karena dapat menciptakan mahasiswa sebagai critical readers.  Critical readers akan menuntut penulis menggunakan bahasa yang komunikatif atau mudah dipahami.  Ini berarti selalu akan ada kritikan yang membangun dari mahasiswa, itu yang Indonesia inginkan untuk memajukan pendidikannya.
Pada intinya seluruh perangkat pendidikan baik itu dosen ataupun mahasiswa harus saling bekerja sama.  Jauh lebih baik ketika dosen menggunakan buku yang didesain untuk orang Indonesia bukan buku import yang memang didesain bukan untuk masyarakat Indonesia.  Akan tetapi ini semua kembali lagi kepada masing-masing individu.  Ini hanya saran saja.  Adanya buku import tersebut seakan-akan Bahasa Indonesia tidak pantas dalam proses akademik.  Oleh karena itu jauh lebih baik jika prioritas untuk negeri sendiri lebih di utamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic