We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Praktik Melek Literasi

Class Review




Selalu merasa dikejar deadline, itulah yang saya rasakan di setiap minggunya ketika mengingat tugas writing yang belum saya kerjakan. Pikiran ingin menyerah selalu ada tetapi saya selalu ingat bahwa kerja keras yang kita lakukan sekarang tidak akan pernah sia-sia dimasa depan kelak. Dengan secercah harapan yang masih tersisa, saya mulai mengerjakan tugas-tugas writing ini dengan harapan akan mengalami peningkatan dalam menulis tiap minggunya. Diawali dengan menulis sebuah class review yang berisi kilas balik kegiatan belajar mengajar dan penyaluran ilmu pengetahuan atau informasi di kelas.
Mr. Lala mengajarkan kita untuk tidak hanya bisa menulis, tetapi beliau ingin kita tahu caranya menulis dengan baik dan benar. Seorang penulis yang tahu caranya menulis akan tahu pula bagaimana caranya mempresentasikan tulisannya tersebut kepada pada pembaca sehingga tulisannya dapat dimengerti dan diterima dengan baik oleh pembaca setianya. Selain tahu bagaimana cara mempresentasikannya, seorang penulis yang tahu cara menulis juga tahu caranya memproduksinya. Seorang penulis yang tahu dengan baik cara menulis akan terus memproduksi tulisan-tulisan yang berkualitas tanpa harus mengalami kesulitan yang berarti saat proses produksinya. Biasa, hal seperti ini lazim terjadi pada penulis-penulis professional yang jam terbang dan karya-karyanya sudah tidak diragukan lagi. Mereka yang memiliki profesionalisme tinggi dalam menulis akan terus memproduksi tulisan karena mereka tahu cara menulis dan tahu cara memproduksinya untuk terus mempertahankan keeksistensian mereka dalam menghasilkan sebuah karya.
Mr. Lala tentu tidak langsung menginginkan kita untuk menjadi penulis professional karena untuk mencapai tahap tersebut dibutuhkan waktu yang sangat tidak sebentar. Tetapi setidaknya beliau menginginkan kita untuk menjadi mahasiswa-mahasiswa yang bisa menulis. Oleh karena itu, Mr. Lala terus menyuruh kita untuk menulis dan membuat sebuah progress atau peningkatan tiap minggunya. Sebagai mahasiswa yang awalnya awam dalam hal tulis menulis, kita datang ke kelas yang Mr. Lala ajar dengan hanya membawa sebuah obor tanpa cahaya dan dengan tangan terbuka beliau akan menyalakan sepercik api diobor kita. Dengan menyalanya obor tersebut kita diberi jalan untuk bisa melihat kemampuan kita dalam menulis dan berharap kita dapat mengembangkannya lebih dari yang kita bisa sekarang.
Pada minggu yang lalu kami semua diberi pertanyaan “Dalam rekayasa literasi apanya yang direkayasa ?” dan hampir sebagian besar dari kita tidak bisa memberikan jwaban yang tepat yang telah diberikan oleh Mr. Lala. Kemudian, beliau memberitahu kami jawabannya, beliau berkata bahwa yang direkayasa adalah proses pengajaran reading dan writingnya. Dalam kehidupan sehari-hari, literasi sangat erat kaitannya dengan semua hal yang kita lakukan setiap hari. Tanpa kita sadari, banyak kegiatan yang termasuk dalam literasi, seperti: membuat daftar pengeluaran bulanan kita secara rutin. Hal tersebut dapat memberikan kita informasi tentang semua barang yang telah kita beli atau belum kita beli sehingga kita dapat membuat sebuah target dibulan berikutnya. Dengan adanya campur tangan literasi dalam kehidupan sehari-hari kita, secara tidak langsung kita telah ditumbuhkan oleh praktik literasi dan terus berkembang menjadi individu yang lebih baik lagi. Hal tersebut juga telah dikuatkan dengan pernyataan Ken Hyland yang mengatakan bahwa, “Literacy is something we do”. Itu artinya bahwa literasi adalah sesuatu yang kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari, baik yang kita sadari atau yang tidak kita sadari.
Setiap kali belajar writing, kita akan selalu diberi teks. Teks tersebut tidak hanya sebagai bahan bacaan semata atau hanya diberikan kepada kita tanpa melakukan apapun terhadap teks tersebut. Ada tiga hal yang harus kita lakukan ketika kita diberi sebuah teks oleh dosen, yaitu:
1.      Read
Saat diberi sebuah teks, hal yang pertama kali kita lakukan adalah membaca teks tersebut secara seksama. Dengan membaca teks tersebut secara seksama kita dapat mengetahui inti sari dari teks tersebut dengan jelas.
2.      Respon
Setelah membaca teks tersebut dengan seksama dan telah mengerti maksud dari teks tersebut, selanjutnya kita diharapkan untuk bisa memberikan respon terhadap teks tersebut. Kita diharapkan untuk bisa memberikan pendapat kita terhadap teks yang telah kita baca.
3.      Write (re-write)
Setelah kita selesai membaca dan juga mampu memberikan respon terhadap teks tersebut, selanjutnya kita diharapkan dapat menulis kan isi teks tersebut menurut bahasa kita sendiri atau menulis ulang teks tersebut dengan bahasa kita sendiri. Dalam artian kita dapat meresume atau mereview teks tersebut kedalam sebuah tulisan dan memberikan pendapat diakhir tulisan kita.

Ketiga hal tersebut secara otomatis akan kita lakukan ketika diberi teks. Kita sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut sejauh ini. Mesti terkadang memberi respon terlihat begitu sulit karena kita masih belum bisa memberikan pendapat kita secara objektif. Lambat laun waktu pasti akan membawa kita ke fase dimana kita bisa berpikir lebih kritis lagi dan dapat memberikan pendapat kita secara tanpa harus melihat siapa penulis dari teks tersebut.
Teks terdiri dari dua jenis, yaitu literal dan factual. Metode membaca yang digunakan setiap jenis teks tersebut berbeda. Teks liberal, metode membaca yang digunakan yaitu esthetic. Sedangkan teks factual, metide yang digunakan yaitu efferent. Kemahiran kita dalam menggunakan metode membaca untuk sebuah teks dapat memudahkan kita untuk mendalami isi teks tersebut dengan lebih mudah.
Di zaman yang semakin maju ini, kemampuan membaca dan menulis saja tidak cukup bagi seseorang. Dibutuhkan sesuatu yang lebih dari keduanya. Michael Barber berkata bahwa, In the 21st century, world class standards will demand that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of learning constantly, and confident and able to play their part as citizen of a democratic society”. Dari pernyataan Barber diatas sudah jelas bahwa dibutuhkan sesuatu yang lebih dari pada kemampuan membaca dan menulis saja dari setiap individu. Selain kedua kemampuan tersebut, setiap individu diharapkan juga memiliki kemampuan dalam berliterasi, kemampuan berhitung yang tinggi, kemampuan mendapat informasi dan percaya diri sebagai bagian dari warga Negara yang demokratis.
Untuk minggu depan, kita diharuskan untuk membuat critical review sebanyak 2500 kata. Sebelum kami menuliskan apa yang ingin kami tulis, Mr. Lala memberikan kami beberapa pertanyaan yang dijadikan sebagai indikator dan gambaran critical review kami nanti. Beriku ini adalah pertanyaan-pertanyaannya:
  What type of audience is the author targeting her article at?
Sasaran pembaca yang saya targetkan adalah pembaca yang kritis yang nantinya dapat memberikan pendapatnya terhadap tuisan yang telah dibacanya dan dapat menambahkan pendapat yang ada dengan pendapatnya.
   What are the central claims in his/her argument?
Disini yang lebih saya tekankan adalah tentang keharmonisan beragama dan hubungan antar agama.
  What evidence does he/she use to back up the points she is making?
Isu-isu agama yang terjadi yang menimbulkan konflik dikalangan-kalangan tertentu. Salah satu kasus yang saya bahas disini adalah kasus pembantaian kaum Rohingya di Myanmar.
  Does the author make any claims that are not backed up by evidence?
Disini saya tidak terlalu banyak mengeluarkan klaim, saya hanya sedikit menambahkan yang sudah ada.
  Do you think that the evidence is sufficient, for an article in an academic text book?
Iya, fakta-fakta yang disebutkan sudah cukup karena sudah memasuki beberapa aspek penting dalam kehidupan sehari-hari.
  Does the author use any emotive words or statements? (If so, highlight any that you identify)
Sepertinya ada saat membahas mengenai pembantaian kaum Rohingya di Myanmar.



An Appetizer on Academic Writing Elements
Didalam Academic Writing terdapat beberapa elemen sebagai pembuka dari proses pembelajarannya, yaitu:
Cohesion: Gerakan halus atau "aliran" antara kalimat dan paragraf.
Clarity: Makna dari apa yang Anda berniat untuk berkomunikasi dengan sangat jelas.
Logical Order: Mengacu pada urutan logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung bergerak dari umum ke khusus.
Consistency: Konsistensi mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
Unity: Pada sederhananya, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topik yang dibahas dalam paragraf tertentu.
Conciseness: Keringkasan adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu dan tidak perlu pengulangan (redundancy, atau "kayu mati.") Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
Completeness: Sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki keharusan untuk memberikan informasi penting mengenai suatu topik tertentu. Misalnya, dalam definisi cacar air, pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah terutama penyakit anak-anak yang ditandai dengan ruam.
Variety: Variety membantu pembaca dengan menambahkan beberapa "bumbu" untuk teks.
Formality: Akademik menulis adalah formal dalam nada. Ini berarti bahwa kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan. Selain itu, penggunaan kata ganti seperti "I" dan kontraksi dihindari.
Kesembilan elemen tersebut diperlukan dalam Academic Writing. Itu semua agar informasi yang hendak disampaikan dapat ditangkap dengan baik oleh pembacanya.
Setelah sebelumnya disebutkan mengenai pernyataan Ken Hyland mengenai literasi. Seperti dikutip dalam Hyland (2006: 21), Hamilton melihat keaksaraan sebagai kegiatan yang terletak di interaksi antara manusia. Lebih jauh Hyland berpendapat: "melek akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan bahasa, disebut sebagai praktik keaksaraan, berpola oleh lembaga sosial dan hubungan kekuasaan”. Keberhasilan akademis berarti repersenting diri sendiri dengan cara dihargai oleh disiplin Anda, mengadopsi nilai-nilai, keyakinan, dan identitas yang mewujudkan dissourse akademik.
Dari wacana Rekayasa Literasi yang kami baca kemarin, ada beberapa poin-poin krusial, yaitu:
·         Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial politik.
·         Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari.
·         Model literasi ala Freebody and Luke (2003): breaking the codes of texts; participating in the meanings of text; using texts functionally; critically analysing and transforming texts.
·         Prof. Alwasilah meringkas lima ayat di atas menjadi: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
·         Rujukan literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan.
·         Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (cultural studies) dengan dimensinya yang luas.
·         Pendidikan yang berkualitas tinggi PASTI menghasilkan literasi berkualitas tinggi pula, dna juga sebaliknya.
·         Reading, writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
·         Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
·         Masyrakat yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media masa.
·         Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir kritis.
·         Ujung tombak pendidikan literasi adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012).
·         Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.  Penguasaan bahasa adalah pintu masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.
·         Empat dimensi rekayasa literasi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
·         Rekayasa literasi = merekayasa pengajaran membaca dan menulis dalam empat dimensi tersebut.
·         Kern (2003): literacy refers to “general learnedness and familiarity with literature”.
·         Orang literat tidak sekedar berbaca-tulis tapi juga terdidik dan MENGENAL SASTRA.
Dilihat poin-poin krusial “Rekayasa Literasi” diatas dapat kita simpulkan bahwa literasi dalam praktiknya tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis saja. Literasi sebagai modal hidup terdiri dari empat kemampuan yaitu reading, writing, arithmetic, and reasoning. Jadi, kemampuan berhitung dan berpendapat seseorang juga termasuk dalam praktik literasi.
Bangsa yang maju salah satu faktornya dilihat dari keberhasilan bangsa tersebut dalam memajukan tingkat literasi warga negaranya. Sebuah Negara yang warga negaranya mempunyai kebiasaan berliterasi tinggi dapat dikategorikan sebagai negara berkembang atau negara maju tergantung dari tingkat literasi negara tersebut. Untuk menjadi negara seperti itu, Indonesia harus melek literasi dengan mengubah sistem pendidikan menjadi lebih baik. Menggalakan lebih rutin tentang literasi kepada generasi muda penerus bangsa agar siap menjadi negara yang berliterasi dan dapat bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Untuk praktiknya, literasi dapat dilakukan dengan kegiatan sehari-hari yang sering kita kerjakan, taat hukum teratur dalam melakukan sesuatu. Jika hal tersebut dapat terlaksana, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia dapat menjadi negara yang diperhitungkan.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic