Selalu
merasa dikejar deadline, itulah yang saya
rasakan di setiap minggunya ketika mengingat tugas writing yang belum saya
kerjakan. Pikiran ingin menyerah selalu ada tetapi saya selalu ingat bahwa
kerja keras yang kita lakukan sekarang tidak akan pernah sia-sia dimasa depan
kelak. Dengan secercah harapan yang masih tersisa, saya mulai mengerjakan
tugas-tugas writing ini dengan harapan akan mengalami peningkatan dalam menulis
tiap minggunya. Diawali dengan menulis sebuah class review yang berisi kilas balik kegiatan belajar mengajar dan
penyaluran ilmu pengetahuan atau informasi di kelas.
Mr.
Lala mengajarkan kita untuk tidak hanya bisa menulis, tetapi beliau ingin kita
tahu caranya menulis dengan baik dan benar. Seorang penulis yang tahu caranya
menulis akan tahu pula bagaimana caranya mempresentasikan tulisannya tersebut
kepada pada pembaca sehingga tulisannya dapat dimengerti dan diterima dengan
baik oleh pembaca setianya. Selain tahu bagaimana cara mempresentasikannya,
seorang penulis yang tahu cara menulis juga tahu caranya memproduksinya.
Seorang penulis yang tahu dengan baik cara menulis akan terus memproduksi
tulisan-tulisan yang berkualitas tanpa harus mengalami kesulitan yang berarti
saat proses produksinya. Biasa, hal seperti ini lazim terjadi pada
penulis-penulis professional yang jam terbang dan karya-karyanya sudah tidak
diragukan lagi. Mereka yang memiliki profesionalisme tinggi dalam menulis akan
terus memproduksi tulisan karena mereka tahu cara menulis dan tahu cara
memproduksinya untuk terus mempertahankan keeksistensian mereka dalam
menghasilkan sebuah karya.
Mr.
Lala tentu tidak langsung menginginkan kita untuk menjadi penulis professional
karena untuk mencapai tahap tersebut dibutuhkan waktu yang sangat tidak
sebentar. Tetapi setidaknya beliau menginginkan kita untuk menjadi
mahasiswa-mahasiswa yang bisa menulis. Oleh karena itu, Mr. Lala terus menyuruh
kita untuk menulis dan membuat sebuah progress atau peningkatan tiap minggunya.
Sebagai mahasiswa yang awalnya awam dalam hal tulis menulis, kita datang ke
kelas yang Mr. Lala ajar dengan hanya membawa sebuah obor tanpa cahaya dan dengan
tangan terbuka beliau akan menyalakan sepercik api diobor kita. Dengan
menyalanya obor tersebut kita diberi jalan untuk bisa melihat kemampuan kita
dalam menulis dan berharap kita dapat mengembangkannya lebih dari yang kita
bisa sekarang.
Pada
minggu yang lalu kami semua diberi pertanyaan “Dalam rekayasa literasi apanya yang direkayasa ?” dan hampir
sebagian besar dari kita tidak bisa memberikan jwaban yang tepat yang telah
diberikan oleh Mr. Lala. Kemudian, beliau memberitahu kami jawabannya, beliau
berkata bahwa yang direkayasa adalah proses pengajaran reading dan writingnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, literasi sangat erat kaitannya dengan semua hal
yang kita lakukan setiap hari. Tanpa kita sadari, banyak kegiatan yang termasuk
dalam literasi, seperti: membuat daftar pengeluaran bulanan kita secara rutin.
Hal tersebut dapat memberikan kita informasi tentang semua barang yang telah
kita beli atau belum kita beli sehingga kita dapat membuat sebuah target
dibulan berikutnya. Dengan adanya campur
tangan literasi dalam kehidupan sehari-hari kita, secara tidak langsung kita
telah ditumbuhkan oleh praktik literasi dan terus berkembang menjadi individu
yang lebih baik lagi. Hal tersebut juga telah dikuatkan dengan pernyataan Ken Hyland yang mengatakan bahwa, “Literacy is something we do”. Itu artinya bahwa literasi
adalah sesuatu yang kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari, baik yang kita
sadari atau yang tidak kita sadari.
Setiap
kali belajar writing, kita akan selalu diberi teks. Teks tersebut tidak hanya
sebagai bahan bacaan semata atau hanya diberikan kepada kita tanpa melakukan
apapun terhadap teks tersebut. Ada tiga hal yang harus kita lakukan ketika kita
diberi sebuah teks oleh dosen, yaitu:
1. Read
Saat diberi sebuah
teks, hal yang pertama kali kita lakukan adalah membaca teks tersebut secara seksama.
Dengan membaca teks tersebut secara seksama kita dapat mengetahui inti sari
dari teks tersebut dengan jelas.
2. Respon
Setelah membaca teks
tersebut dengan seksama dan telah mengerti maksud dari teks tersebut,
selanjutnya kita diharapkan untuk bisa memberikan respon terhadap teks
tersebut. Kita diharapkan untuk bisa memberikan pendapat kita terhadap teks
yang telah kita baca.
3. Write
(re-write)
Setelah kita selesai
membaca dan juga mampu memberikan respon terhadap teks tersebut, selanjutnya
kita diharapkan dapat menulis kan isi teks tersebut menurut bahasa kita sendiri
atau menulis ulang teks tersebut dengan bahasa kita sendiri. Dalam artian kita
dapat meresume atau mereview teks tersebut kedalam sebuah tulisan dan
memberikan pendapat diakhir tulisan kita.
Ketiga
hal tersebut secara otomatis akan kita lakukan ketika diberi teks. Kita sudah
terbiasa dengan hal-hal tersebut sejauh ini. Mesti terkadang memberi respon
terlihat begitu sulit karena kita masih belum bisa memberikan pendapat kita
secara objektif. Lambat laun waktu pasti akan membawa kita ke fase dimana kita
bisa berpikir lebih kritis lagi dan dapat memberikan pendapat kita secara tanpa
harus melihat siapa penulis dari teks tersebut.
Teks
terdiri dari dua jenis, yaitu literal
dan factual. Metode membaca yang
digunakan setiap jenis teks tersebut berbeda. Teks liberal, metode membaca yang
digunakan yaitu esthetic. Sedangkan teks factual, metide yang digunakan yaitu
efferent. Kemahiran kita dalam menggunakan metode membaca untuk sebuah teks
dapat memudahkan kita untuk mendalami isi teks tersebut dengan lebih mudah.
Di
zaman yang semakin maju ini, kemampuan membaca dan menulis saja tidak cukup
bagi seseorang. Dibutuhkan sesuatu yang lebih dari keduanya. Michael Barber berkata bahwa, “In the 21st century, world class standards will demand
that everyone is highly literate, highly numerate, well informed, capable of
learning constantly, and confident and able to play their part as citizen of a
democratic society”. Dari pernyataan Barber diatas sudah jelas bahwa dibutuhkan sesuatu yang
lebih dari pada kemampuan membaca dan menulis saja dari setiap individu. Selain
kedua kemampuan tersebut, setiap individu diharapkan juga memiliki kemampuan dalam
berliterasi, kemampuan berhitung yang tinggi, kemampuan mendapat informasi dan
percaya diri sebagai bagian dari warga Negara yang demokratis.
Untuk minggu depan, kita diharuskan untuk membuat critical review sebanyak 2500 kata. Sebelum kami menuliskan apa yang ingin
kami tulis, Mr. Lala memberikan kami beberapa pertanyaan yang dijadikan sebagai
indikator dan gambaran critical review kami nanti. Beriku ini adalah
pertanyaan-pertanyaannya:
What type of audience is the author targeting her
article at?
Sasaran pembaca yang saya targetkan adalah pembaca
yang kritis yang nantinya dapat memberikan pendapatnya terhadap tuisan yang
telah dibacanya dan dapat menambahkan pendapat yang ada dengan pendapatnya.
What are the
central claims in his/her argument?
Disini yang lebih saya tekankan adalah tentang
keharmonisan beragama dan hubungan antar agama.
What evidence does he/she use to back up the points she is making?
Isu-isu agama yang terjadi yang menimbulkan konflik
dikalangan-kalangan tertentu. Salah satu kasus yang saya bahas disini adalah
kasus pembantaian kaum Rohingya di Myanmar.
Does the author make any claims that are not backed
up by evidence?
Disini saya tidak terlalu banyak mengeluarkan klaim,
saya hanya sedikit menambahkan yang sudah ada.
Do you think that the evidence is sufficient, for an
article in an academic text book?
Iya, fakta-fakta yang disebutkan sudah cukup karena
sudah memasuki beberapa aspek penting dalam kehidupan sehari-hari.
Does the author use any emotive words or statements?
(If so, highlight any that you identify)
Sepertinya ada saat membahas mengenai pembantaian
kaum Rohingya di Myanmar.
An Appetizer on Academic Writing Elements
Didalam
Academic Writing terdapat beberapa elemen sebagai pembuka dari proses
pembelajarannya, yaitu:
Cohesion:
Gerakan halus
atau "aliran" antara
kalimat dan paragraf.
Clarity:
Makna dari apa yang Anda berniat untuk berkomunikasi dengan
sangat
jelas.
Logical
Order: Mengacu pada urutan logis dari informasi. Dalam penulisan akademik, penulis cenderung
bergerak dari umum ke khusus.
Consistency:
Konsistensi mengacu pada keseragaman
gaya penulisan.
Unity:
Pada sederhananya, kesatuan mengacu
pada pengecualian informasi yang
tidak secara langsung berhubungan dengan
topik yang dibahas dalam paragraf tertentu.
Conciseness:
Keringkasan adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu
dan tidak perlu pengulangan
(redundancy, atau "kayu mati.") Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
Completeness:
Sementara informasi berulang-ulang atau tidak perlu harus dihilangkan, penulis memiliki keharusan
untuk memberikan
informasi penting
mengenai suatu topik tertentu. Misalnya,
dalam definisi cacar air, pembaca akan mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah terutama penyakit anak-anak yang
ditandai dengan ruam.
Variety:
Variety membantu pembaca
dengan menambahkan beberapa "bumbu"
untuk teks.
Formality:
Akademik menulis adalah formal
dalam nada. Ini berarti bahwa
kosakata canggih dan struktur tata bahasa yang digunakan. Selain itu, penggunaan kata
ganti seperti "I"
dan kontraksi dihindari.
Kesembilan
elemen tersebut diperlukan dalam Academic Writing. Itu semua agar informasi
yang hendak disampaikan dapat ditangkap dengan baik oleh pembacanya.
Setelah
sebelumnya disebutkan mengenai pernyataan Ken Hyland mengenai literasi. Seperti dikutip dalam Hyland (2006: 21),
Hamilton melihat keaksaraan sebagai kegiatan yang terletak di interaksi antara manusia.
Lebih jauh Hyland berpendapat: "melek
akademik menekankan bahwa cara kita
menggunakan bahasa, disebut
sebagai praktik keaksaraan,
berpola oleh lembaga
sosial dan hubungan kekuasaan”.
Keberhasilan
akademis berarti
repersenting diri sendiri dengan cara dihargai oleh disiplin
Anda, mengadopsi nilai-nilai,
keyakinan, dan identitas yang mewujudkan dissourse akademik.
Dari
wacana Rekayasa Literasi yang kami baca kemarin, ada beberapa poin-poin
krusial, yaitu:
·
Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial
politik.
·
Definisi
baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan” sehingga
tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari.
·
Model
literasi ala Freebody and Luke (2003): breaking the codes of
texts; participating in the meanings of text; using texts functionally;
critically analysing and transforming texts.
·
Prof. Alwasilah meringkas lima ayat di atas
menjadi: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi.
·
Rujukan
literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan.
·
Studi
literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya (cultural
studies) dengan dimensinya yang luas.
·
Pendidikan
yang berkualitas tinggi PASTI
menghasilkan literasi berkualitas tinggi pula, dna juga sebaliknya.
·
Reading,
writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup
·
Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi.
·
Masyrakat
yang tidak literat tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan
lewat media masa.
·
Pengajaran
bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir kritis.
·
Ujung
tombak pendidikan literasi adalah GURU
dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi analitis dan
reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan keterampilan literasi
dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah 2012).
·
Rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk
menjadikan manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara
optimal. Penguasaan bahasa adalah pintu
masuk menuju ke pendidikan dan pembudayaan.
·
Empat
dimensi rekayasa literasi: linguistik,
kognitif, sosiokultural, dan perkembangan.
·
Rekayasa literasi = merekayasa pengajaran membaca dan
menulis dalam empat dimensi tersebut.
·
Kern
(2003): literacy refers to “general learnedness
and familiarity with literature”.
·
Orang
literat tidak sekedar berbaca-tulis tapi juga terdidik dan MENGENAL SASTRA.
Dilihat
poin-poin krusial “Rekayasa Literasi” diatas dapat kita simpulkan bahwa
literasi dalam praktiknya tidak hanya mencakup kemampuan membaca dan menulis
saja. Literasi sebagai modal hidup terdiri dari empat kemampuan yaitu reading, writing, arithmetic, and reasoning.
Jadi, kemampuan berhitung dan berpendapat seseorang
juga termasuk dalam praktik literasi.
Bangsa yang maju salah satu faktornya dilihat dari
keberhasilan bangsa tersebut dalam memajukan tingkat literasi warga negaranya.
Sebuah Negara yang warga negaranya mempunyai kebiasaan berliterasi tinggi dapat
dikategorikan sebagai negara berkembang atau negara maju tergantung dari
tingkat literasi negara tersebut. Untuk menjadi negara seperti itu, Indonesia
harus melek literasi dengan mengubah sistem pendidikan menjadi lebih baik.
Menggalakan lebih rutin tentang literasi kepada generasi muda penerus bangsa
agar siap menjadi negara yang berliterasi dan dapat bersaing dengan
negara-negara maju lainnya. Untuk praktiknya, literasi dapat dilakukan dengan
kegiatan sehari-hari yang sering kita kerjakan, taat hukum teratur dalam
melakukan sesuatu. Jika hal tersebut dapat terlaksana, bukan hal yang tidak
mungkin Indonesia dapat menjadi negara yang diperhitungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic