We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Pentingnya Membentuk Keharmonisan antar Agama


Critical review

Prof. Dr. A. Chaedar. Alwasilah adalah seorang profesor di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Beliau juga merupakan anggota dari Higher Education Board. Pada wacana kali ini Dr. Chaedar mencoba menyoroti tentang problema perbedaan agama yang sedang hangat-hangatnya terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Dr. Chaedar mencoba mengupas masalah sensitif ini dari kacamata yang beliau lihat. Tujuan dari wacana ini Dr. chaedar mencoba menyadarkan kita bahwa keharmonisan beragama ini sangat penting untuk keberlangsungan suatu bangsa. Kualitas pendidikan dan prakteknya menjadi sebuah indikator kualitas suatu bangsa. Bangsa yang mampu menyusun sistem pendidikannya secara rapi dan sejalan dengan prakteknya di lapangan mengindikasikan bahwa negara tersebut telah berhasil dalam menjalankan negaranya. Pendidikan liberal di sebuah negara bertujuan untuk memperluas wawasan (maha)siswa tidak sekedar pelatihan teknis dan professional. Dalam konteks interaksi antaragama di sekolah, aktor yang sangat berperan itu adalah guru itu sendiri agar dapat mengontrol murid-muridnya untuk dapat berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda agama dan saling menghargai perbedaan yang ada. Dengan demikian, praktek interaksi sosial yang baik dapat mendukung terciptanya kerukunan beragama yang mulai dipupuk sejak usia dini.
Dalam wacana ini Dr. Chaedar menuliskan bahwa jika kita ingin melihat kualitas suatu bangsa, kita cukup melihat dari kualitas dan praktek sistem pendidikannya. Kita tahu bahwa salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar tersebut merupakan dasar untuk memerangi tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk radikalisme lain di Indonesia yang menjadi indikasi dari penyakit sosial karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap kelompok yang berbeda.
Masalah sosial yang terus terjadi terutama dikalangan pelajar menjadi tantangan besar bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang dapat berdemokrasi dengan karakter yang baik seperti yang tercantum diatur dalam UU Sisdiknas. Dalam hal ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia sedini mungkin. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan ini di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin , 2009).
Dalam pendidikan beragama melahirkan tiga pemahan dalam proses pembelajarannya, yaitu:
·      Substansialisme, adalah pemahaman keagamaan lebih mementingkan -substansi/isi dari pada label atau simbol-simbol eksplisit. Dalam konteks sosial kemasyarakatan merasa lebih concern (peduli) pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit (tersirat). la juga sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik, toleran dan menghormati keragaman.
·         Formalisme/Legalisme adalah pemahaman keagamaan yang cenderung sangat literal, la lebih menekankan pada sifat eksklusif (terpisah dari yang lain) yang sebenarnya inheren (melekat) dalam setiap agama. Ketaatan formal dan hokum agama diekspresikan dalam bentuk sangat lahiriah semacam simbol/label keagamaan, misalnva muncul dalam bentuk Bank Islam, Asuransi Islam, Griva Islam dan Iain-lain. Dalam lapangan yang murni keagamaan bisa mengambil bentuk pengadopsian pakaian ala Arab.
·    Spiritualisme adalah pemahaman yang lebih menekankan pada pengembangan sikap batiniah, melalui keikutsertaan dalam kelompok spiritual-mistik, tasawuf/tarekat, bahkan kelompok kultus (cult), la cenderung bersifat non politis, sehingga jarang muncul ke permukaan. la menjadi headline media massa ketika ia diduga "menyimpang" dari paham keagamaan yang berlaku. la cepat muncul oleh kenyataan berlangsungnya perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang menim-bulkan disrupsi (tercabut dari akarnya), disorientasi (kekacauan arah) atau dislokasi (pergeseran) psikologis dalam kalangan tertentu masyarakat, dan kemunculannya juga didorong oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan atau organisasi keagamaan mapan yang tidak mengakomodasinya.
Dari tipologi tersebut akan melahirkan model penciptaan suasana kegamaan di sekolah yang berbeda-beda. Model adalah sesuatu yang dianggap benar, meski bersifat kondi-sional. Menurut Muhaimin, model penciptaan suasana religious juga sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan beserta penerapan nilai-nilai yang mendasarinya. Menurut beliau, ada empat model penciptaan suasana keagamaan, yaitu model struktural, formal mekanik, dan organik.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.
Yayasan LKiS melakukan kegiatan pendampingan LVE dengan metode kunjungan belajar. Kunjungan ini bukan sembarang kunjungan sebab tujuannya ke tempat ibadah di luar agama Islam. Seperti ke klenteng, seminari, pura dan vihara. Selama ini kita jarang mendapatkan kesempatan untuk memahami pemeluk agama selain Islam. Seringkali kecurigaan yang bermunculan. Tak kenal maka tak sayang. Kunjungan belajar memiliki maksud untuk menciptakan ruang dialog tentang nilai-nilai agama yang universal. Persinggungan antara dua pemeluk agama yang berbeda perlu dilakukan untuk menghidupkan nilai toleransi dan kasih sayang. Kegiatan ini melibatkan seluruh civitas akademik sekolah seperti para guru dan siswa.  Berikut adalah salah satu testimoni guru yang mengikuti kegiatan tersebut.
Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung, berdiri diam dan bergiliran di berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir sepanjang hari. Haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Pada menyelesaikan pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya, ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu. Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) adalah beberapa contoh konflik yang pernah terjadi di Indonesia. Tanpa langkah yang tepat yang diambil, konflik seperti itu akan terulang kembali.
Selain kasus-kasus konflik diatas, ada juga beberapa kerukunan-kerukunan beragama yang tertangkap oleh mata kita, yaitu:  diantaranya rumah ibadah yang saling berdampingan, untuk menyebut sedikit diantaranya, di Malang Jawa Timur, masjid Jami’ kota Malang bersebelahan dengan gereja GPIB. Sementara itu Gurdwara Perbandhak, rumah ibadah pemeluk agama Sikh, terletak persis di sebelah pura Hindu Shri Mariamman di Jl. Tengku Umar Medan. Sedangkan masjid Agung bersebelahan dengan gereja Katolik di kota Banten. Untuk menyebut contoh terakhir yang menarik, dinding bangunan utama gereja GKJ dan masjid Al-Hikmah di Joyodiningratan Surakarta Jawa Tengah persis menempel bersebelahan.
Sementara itu di kabupaten Fakfak, Papua Barat, warga Kampung Urat, bersuka ria bersamaan dimulainya pembangunan Masjid Shollaturrahim. Pembangunan masjid ini jauh terkesan dari eksklusif, malah mencerminkan kebersamaan warga desa. Pada tanggal 6 Juni 2009 warga desa ini berpesta riang usai proses pemancangan tiang masjid dengan tarian adat. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan kaum remaja turut menari diiringi musik tifa suling. Di kabupaten Papua Barat, pemerintah juga tidak canggung berkunjung dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lain berbeda agama. Wakil Gubernur Papua Barat pada tanggal 11 Juni 2009 melakukan kunjungan ke masjid dan gereja di hari yang sama. Bukan hanya di tingkat eksekutif, sebagai bagian dari kegiatan sosial, TNI dari jajaran Korem 171/PVT Sorong melakukan karya bhakti bersama masyarakat membangun gereja GKI Getsamani di Kota Sorong. Sampai di sini kita bisa menyaksikan proses kohesi antar umat beragama masih kuat di tingkat masyarakat. Pemerintah pun tidak jarang aktif mendorong upaya-upaya kerjasama antar umat beragama di masyarakat.Keadaan hubungan antar agama yang harmonis dan kerjasama antar umat beragama mungkin masih menjadi cermin situasi umum di Indonesia.
Meskipun demikian tidak bisa dipungkiri benturan bahkan kekerasan dalam masalah seputar rumah ibadah masih terjadi di beberapa tempat. Dari sisi wilayah, daerah-daerah di Jawa bagian barat (Jawa Barat dan DKI Jakarta) perlu mendapatkan perhatian khusus karena cukup banyaknya masalah muncul di daerah ini. Sebagian masalah seputar rumah ibadah menyangkut permasalahan ketidakadaan ijin sebuah rumah ibadah, penggunakan fasilitas umum untuk tempat ibadah, dan protes dari lingkungan sekitar terhadap keberadaan rumah ibadah.Pada tahun 2008, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia CRCS menemukan 12 kasus yang menyangkut masalah rumah ibadah; pada tahun 2009, angka tersebut meningkat menjadi 19; dan pada tahun 2010, angka tersebut mengalami peningkatan yang signifikan hingga lebih dari dua kali lipatnya.Data statistik tersebut menggambarkan betapa kasus-kasus menyangkut rumah ibadah di Indonesia masih merupakan masalah yang harus ditangani secara serius oleh berbagai pihak.
Bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kasus bunuh diri -pemboman gereja di Surakarta bulan lalu, misalnya, mungkin (mudah-mudahan tidak) menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid. Dan ini bisa meningkat menjadi ketidakharmonisan agama besar.
Dengan adanya pendidikan dini untuk salimg menghargai perbedaan yang ada. Siswa akan belajar untuk mengenali kesamaan yang memang dapat menyatukan, tetapi belajar untuk mengenali dan menerima perbedaan adalah satu hal yang perlu diajarkan sejak anak masih kecil. Toleransi adalah kunci untuk meningkatkan pemahaman. Toleransi merupakan penerimaan, keterbukaan dan menghormati berbagai perbedaan. Lingkungan  akan membentuk pandangan seorang anak. Misalnya anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang homogen ada kemungkinan kelak ketika dewasa saat dihadapkan pada lingkungan yang heterogen cenderung mengalami kesulitan beradaptasi.
Pendidikan kita saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil. Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Contohnya yaitu insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri. Alih-alih mendidik anak-anak sekolah, politisi ini telah memberikan contoh yang sangat tidak pantas untuk dicontoh dan diteladani. Untuk mengulang, kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.
Idealnya kebijakan harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Kampus ini juga harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar pengikut agama yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas dari karir mereka -politisi, insinyur, petani, atau pengusaha- siswa harus diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah. Dengan demikian didefinisikan, pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain. Pada dasarnya, itu penempaan kamil insan, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga negara yang demokratis.
Kekuatan dari teks ini adalah Dr. Chaedar mengupas semua hal-hal yang berhubungan dengan interaksi antar agama. Didalam teks ini juga dibahas mengenai pendidikan dasar yang menjurus pakda sistem pendidikan liberal. Hai ini dolihat dari tujuan pendidikan itu sendiri yang bertujuan menjadikan siswa memiliki kemampuan dan kecenderungan fakta, teori, dan tindakan melalui perbincangan nasional. Didalam bab 7 bukunya, Dr. Chaedar menuliskan bahwa pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca dan menulis, bahkan mengekspresikan sastra [lihat bab 6 Rekayasa Literasi]. Jadi, bagaimana mungkin orang mampu membebaskan dirinya dari kebodohan jika tidak menguasai keterampilan membaca dan menulis. Disini disebutkan bahwa mahasiswa harus memiliki kecerdasan, dan untuk mencapai kecerdasan dia harus membaca buah kecerdasan dari orang hebat terdahulu yang tertuamg dalam buku-buku adiluhung atau the great books. Penguasaan bahasa merupakan gerbang utama untuk menjelajahi pemikiran para filsuf dan ilmuwan besar. Pendidikan liberal mengajari mahasiswa untuk menjadi pendengar yang baik bagi dialog antara pemikir ulung yang memiliki pikiran hebat dalam sejarah peradaban manusia.
The Great Books itu sendiri adalah teks klasik yang memiliki nilai sejarah dan kebenaran yang tinggi, yang harus tetap dipelajari dan dijadikan sumber inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini. Cara yang paling mudah untuk mengajarkan pendididkan liberal adalah dengan menjadikan buku-buku klasik sebagai bacaan wajib mahasiswa. Ada beberapa persamaan antara the great books dengan kitab kuning seperti yang dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen (1995) sebagai berikut:
Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk menstransmisikan Islam tradisisonal sebagaiman yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab kitab-kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Jumlah teks klasik yang diterima pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas. Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah. Kekakuan tradisi itu sebenarnya telah banya dikritik, baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum Muslim reformis dan modernis (2995:17).
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa pendididkan liberal mencakup pendidikan literasi. Hal itu terlihat dari kurikulum yang mengharuskan mahasiswa membekali kompetensi dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut:
1.      Akademik: menulis, matematika, sains;
2.      Aplikasi: berpikir kritis, belajar berintegrasi dan teraplikasi;
3.      Keterampilan lunak: etika, kerjasama, kebinekaan, dan belajar sepanjang hayat.
Dalam teks ini juga disebutkan beberapa konflik dengan latar belakang keagamaan yang pernah terjadi di Indonesia. Tetapi dalam teks ini Dr. Chaedar hanya menyoroti kasus konflik karena keagamaan yang terjadi di Indonesia saja tidak mencoba untuk membahas kasusnya secara luas. Sebut saja contohnya seperti kasus pembantaian kaum muslim Rohingya di Myanmar yang telah berhasil mengambil alih perhatian dunia terhadap kasus yang terjadi disana. Beberapa kalangan berkata agar tidak menganggap kasus ini kedalam isu agama tetapi lebih pada isu HAM. Hal ini agar tidak terjadi kebencian yang lebih antar umat beragama karena terjadinya kasus ini. Tetapi, kasus Rohingya ini memang tidak bisa begitu saja terlepas dari isu agama karena bahkan para biksu disana mendukung wacana pengusiran kaum Rohingya ini dari Myanmar. Mereka pula menyebarkan isu kebencian dalam kotbah-kotbahnya. Maka sudah jelas bahwa kasus ini memang serius dan harus segera ditangani.
Dikutip dari republika.co.id, U Tin, Presiden Organisasi Riset Yangoon mengatakan komunitas muslim di Myanmar memiliki pengalaman hidup berdampingan dengan etnis lain di Myanmar. Namun, ia tidak menyebut alasannya secara detail terkait pernyataannya itu. Meski masalah sebenarnya terkait dengan status Rohingya.
Ko Ko Gyi, aktivis yang menghabiskan 18 tahun penjara karena menentang pemerintah militer sebelumnya, menyebut kekerasan yang terjadi terkait dengan status Rohingya. Ia menyebut masyarakat internasional harus menemukan solusi terkait status Rohingya. Sebab, Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. "Ini adalah masalah kedaulatan nasional. Siapa saja yang ingin memiliki kewarganegaraan Myanmar harus belajar bahasa dan budaya Myanmar," kata dia kepada New York Times.
Status kewarganegaraan Rohingya hingga kini tidaklah jelas. Menurut Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar yang diamandemen tahun 1982, etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. Mereka pun dianggap sebagai imigran ilegal di tanah airnya sendiri. Seiring status mereka yang tidak berkewarganegaraan manapun, mereka mulai mengalami beragam kesulitan, seperti misal kekurangan pangan. Karena desakan ekonomi, setiap tahun ribuan Rohingya mengungsi dari Myanmar melakukan perjalanan berbahaya dengan bekal seadanya menuju Thailand dan Malaysia. Mereka bekerja sebagai buruh ilegal dengan upah minim. Tapi bukan berarti mereka selamat dari pengejaran imigrasi negara tujuan. Jika tertangkap mereka akan dikembalikan ke negeri asalnya. Tentu, mereka bakal menghadapi mimpi kembali.
Muslim Myanmar mencapai lima persen dari 53 juta penduduk Myanmar. Kelompok terbesar muslim Myanmar adalah etnis-Bengali, umumnya dikenal sebagai Rohingya. Mereka menetap di provinsi Rakhine. Sisanya adalah muslim keturunan India dan Cina masing-masing menetap di Yangon.
Dilihat dari jumlah korban yang berjatuhan, kasus ini tentu termasuk kasus pelanggarah HAM berat, selama beberapa kade mereka teraniaya di negeri yang selama itu ditinggalinya tanpa status kewarganegaraan yang jelas. Sepertinya Myanmar harus belajar dari Indonesia bagaimana caranya memupuk keharmonisan antar agama.
Keharmonisan beragama dari segi pendidikan dapat dilihat dari kurangnya wacana mengenai konsep multikultural yang ditengarai menjadi penyebab seringnya terjadi tindak kekerasan atas nama SARA. Untuk itu, perlu kiranya menebar wacana ke tengah masyarakat perihal pentingnya sebuah toleransi terhadap perbedaan. Sekolah Pelangi Nusantara mencoba menawarkan serta menelurkan konsep multikultural di tengah masyarakat. Meskipun konsep pelajaran multikultural ini  menjadi kritik sekaligus solusi terhadap kurikulum yang diterapkan di sekolah pada umumnya. Romadhona menilai, kurikulum di sekolah tidak menerapkan konsep multikultural, bahkan guru lebih cenderung mengajarkan pada sebuah doktrin, termasuk doktrin agama, mengajarkan perbedaan tapi tidak dalam kerangka kebersamaan.  Tidak sedikit guru agama di sekolah menebarkan sentimen terhadap agama yang lain. Meski saat ini di setiap sekolah diberikan pelajaran  pendidikan kewarganegaraan,  namun jika hanya sebagai doktrin maka tidak akan memiliki makna apa-apa. Untuk itu, diharapkan konsep dan pelajaran multikultural ini bisa diadopsi dan  diterapkan di setiap sekolah tanpa pengecualian “Saya berharap pemerintah mau mengadopsi kurikulum seperti ini, paling tidak sekola memiliki pendidikan multikultural  mulai dari TK sampai perguruan tinggi ”,  tambah Romadhona.
Selain sistem pembelajaran multikultural yang perlu menjadi wacana pemerintah selanjutnya. Saya berpendapat bahwa keharmonisan dalam interaksi sosial adalah salah satu kunci penting. Interaksi sosial membentuk masyarakat menjadi lebih peka terhadap sesamanya karena dengan berinteraksi maka akan terjadi timbal balik yang menguntungkan. Meskipun perbedaan mereka tidak bisa membuat mereka berinteraksi dengan cara yang sama akan tetapi, dengan saling memahami dan toleransi, mereka dapat hidup rukun berdampingan.
Sikap toleransi sangatlah penting pada masing-masing umat beragama maka kerukunan beragama dapat terwujud. Toleransi dalam kehidupan bergama dapat diartiakan bahwa pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama yang lain akan saling menghargai dan tidak akan memaksakan orang lain untuk memeluk agama yang mereka anut.
Seperti halnya kerukunan antar umat beragama disuatu sekolah yang terdapat berbagai macam pemeluk agama yang berbeda-beda didalamnya, terutama para siswanya yang harus beradaptasi atau menyesuaikan dirinya terhadap teman-temannya yang berbeda keyakinan. Hal ini dapat dilihat di SMA Swasta Raksana Yayasan Raksana Medan. Disini tidak hanya terdapat siswa yang beragama Kristen saja, namun banyak agama lain seperti Islam, Budha, Hindu. Mereka berbaur untuk mendapatkan pendidikan formal dari bangku sekolah dan semua ini hendaknya dapat menjauhkan sikap pertentangan dan tetap mengembangkan sikap saling hormat menghormati antar umat beragama dan membina kerukunan hidup secara damai dimana tata kehidupan umat beragama mempunyai sifat dan ciri yang berbeda satu sama lain, oleh karena itu disanalah pengkal dari pembinaan kerukunan agar dapat diarahkan menjadi satu dalam hal pengembangan pedidikan.
Sebagai bangsa Indonesia seharusnya mempunyai kepribadian yang dapat menunjang kerukunan dalam keputusan menteri agama No.77 Tahun 1978 tentang bantuan luar negeri kepada lembaga Keagamaan di Indonesia yaitu:

a. Maka kehidupan Beragama perlu dibina dan diarahkan guna memantapkan kerukunan hidup intern umat beragama, kerukunan hidup antar umat beragama, serta kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
b. Bahwa bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia dalam rangka mengembangkan kehidupan beragama perlu diatur dan diarahkan agar terhindar pengaruh negative yang dapat menggangu persatuan bangsa, (Prawiranegara, 1982:144-145).
Dari ungkapan diatas bahwa ciri kepribadian Indonesia ini dapat disadari sebagai salah satu landasan untuk membina kerukunan, yang antara lain beruraikan hidup rukun, toleran, suku dan keselarasan.
Tentu kita tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak akan terjadi jika tidak ada penyebab dari itu semua, termasuk konflik-konflik yang terjadi. Dibalik kejadian tersebut terselip faktor yang menjadi penyababnya. Sebuah alasan yang mereka anggap benar sendi tanpa memikirkan orang lain dan akibatnya. Sebagai negara yang berdemokratis, setiap warga negara di Indonesia berhak mengeluarkan pendapat dan menganut kepercayaannya sendiri. Seperti yang tercantum dalam UUD pasal 28 ayat 1 berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Dibawah ini adalah beberapa faktor, pemicu terjadinya ketidak harmonisan antar umat  beragama:
1.      Pendirian Tempat Ibadah. Tempat ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan umat beragama setempat sering menciptakan ketidak-harmonisan umat beragama yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama. Contohnya berdirinya Gereja di tengah" penduduk yang mayoritas Islam, dll.
2.      Penyiaran Agama. Penyiaran agama, baik secara lisan, melalui media cetak seperti brosur, pamflet, selebaran dsb, maupun media elektronika, serta media yang lain dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih yang ditujukan kepada orang yang telah memeluk agama lain.
3.      Bantuan Luar Negeri. Bantuan dari Luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik yang berupa bantuan materiil / finansial ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, bila tidak mengikuti peraturan yang ada, dapat menimbulkan ketidak-harmonisan dalam kerukunan hidup umat beragama, baik intern umat beragama yang dibantu, maupun antar umat beragama.
4.      Perkawinan beda Agama. Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, walaupun pada mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga, sering mengganggu keharmonisan dan mengganggu kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih apabila sampai kepada akibat hukum dari perkawinan tersebut, atau terhadap harta benda perkawinan, warisan, dsb.
5.      Perayaan Hari Besarkeagamaan. Penyelenggaraan perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang mempertimbangkan kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut diselenggarakan dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
6.      Penodaan Agama. Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai agama dan keyakinan suatu agama tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
7.      Kegiatan Aliran Sempalan. Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang dari ajaran agama yang bersangkutan dapat menimbulkan keresahan terhadap kehidupan beragama, sehingga dapat pula menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup beragama.
8.      Aspek Non Agama yang mempengaruhi. Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan hidup umat beragama antara lain : kepadatan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi, pelaksanaan pendidikan, penyusupan ideologi dan politik berhaluan keras yang berskala regional maupun internasional, yang masuk ke Indonesia melalui kegiatan keagamaan.
9.      Dan kita tau, Indonesia adalah negara pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, yaitu sekitar 207,000,105 jiwa atau 88.20% penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Walau begitu, ini seharusnya bukan lah penghalang kita untuk saling menjaga kerukunan dan kehrmonisan umat beragama.
Kesimpulan dari teks tersebut yaitu adanya beberapa alasan yang menjadi faktor dalam memupuk keharmonisan beragama. Salah satunya pendididkan dasar yang mengajarkan siswanya untuk berinteraksi dengan sesama meski ada perbedaan diantara mereka. Tetapi, dapat saling hidup rukun berdampingan dengan saling memahami dan toleransi karena toleransi adalah kunci utama didalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang berliterasi tinggi juga dapat berpikir secara kritis dan dapat memilih masalah yang berhubungan dengan keagamaan. Pendidikan liberal disini akan memupuk kepekaan seseorang terhadap apa yang terjadi disekitarnya karena didalam pendidikan liberal diajarkan banyak hal.








References:
Alwasilah, A Chaedar (2012). Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
A. Chaedar Alwasilah, Classroom Discourse to Foster Religious Harmony. The Jakarta Post, Oktober 22, 2011
Sabaruddin (Dosen Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), Peran Pendidikan Agama dalam Mewujudkan Interaksi Sosial yang Kondusif antar Siswa Beda Agama (file pdf), 23 februari 2014.
Dikutip dari : http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/11/m5fz6e-muslim-rohingya-dituduh-penyebab-konflik-myanmar
http://news.detik.com/read/2012/08/07/183432/1985611/10/komunitas-buddha-minta-kasus-rohingya-dijauhkan-dari-unsur-agama , 23 februari 2014.
Dari Universitas Sumatera Utara (Interaksi Sosial), pdf file. 23 februari 2014






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic