Critical review
Prof.
Dr. A. Chaedar. Alwasilah adalah seorang profesor di Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung. Beliau juga merupakan anggota dari Higher Education Board. Pada
wacana kali ini Dr. Chaedar mencoba menyoroti tentang problema perbedaan agama
yang sedang hangat-hangatnya terjadi akhir-akhir ini di Indonesia. Dr. Chaedar
mencoba mengupas masalah sensitif ini dari kacamata yang beliau lihat. Tujuan
dari wacana ini Dr. chaedar mencoba menyadarkan kita bahwa keharmonisan
beragama ini sangat penting untuk keberlangsungan suatu bangsa. Kualitas
pendidikan dan prakteknya menjadi sebuah indikator kualitas suatu bangsa.
Bangsa yang mampu menyusun sistem pendidikannya secara rapi dan sejalan dengan
prakteknya di lapangan mengindikasikan bahwa negara tersebut telah berhasil
dalam menjalankan negaranya. Pendidikan liberal di sebuah negara bertujuan
untuk memperluas wawasan (maha)siswa tidak sekedar pelatihan teknis dan
professional. Dalam konteks interaksi antaragama di sekolah, aktor yang sangat
berperan itu adalah guru itu sendiri agar dapat mengontrol murid-muridnya untuk
dapat berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda agama dan saling
menghargai perbedaan yang ada. Dengan demikian, praktek interaksi sosial yang
baik dapat mendukung terciptanya kerukunan beragama yang mulai dipupuk sejak
usia dini.
Dalam
wacana ini Dr. Chaedar menuliskan bahwa jika kita ingin melihat kualitas suatu
bangsa, kita cukup melihat dari kualitas dan praktek sistem pendidikannya. Kita
tahu bahwa salah satu tujuan dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa dengan keterampilan dasar untuk
mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Keterampilan dasar tersebut
merupakan dasar untuk memerangi tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk
radikalisme lain di Indonesia yang menjadi indikasi dari penyakit sosial karena
kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap kelompok yang berbeda.
Masalah
sosial yang terus terjadi terutama dikalangan pelajar menjadi tantangan besar
bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi penerus
bangsa yang dapat berdemokrasi dengan karakter yang baik seperti yang tercantum
diatur dalam UU Sisdiknas. Dalam hal ini, kerukunan umat
beragama harus dikembangkan
di sekolah pada awal usia sedini mungkin. Berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa anak-anak
usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam
konteks sekolah, itu adalah hubungan ini di mana rekan-rekan menghormati,
membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi
dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (
Rubin , 2009).
Dalam
pendidikan beragama melahirkan tiga pemahan dalam proses pembelajarannya,
yaitu:
· Substansialisme, adalah pemahaman
keagamaan lebih mementingkan -substansi/isi dari pada label atau simbol-simbol
eksplisit. Dalam konteks sosial kemasyarakatan merasa lebih concern (peduli)
pada pengembangan dan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit (tersirat).
la juga sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang inklusivistik,
toleran dan menghormati keragaman.
·
Formalisme/Legalisme adalah pemahaman
keagamaan yang cenderung sangat literal, la lebih menekankan pada sifat
eksklusif (terpisah dari yang lain) yang sebenarnya inheren (melekat) dalam
setiap agama. Ketaatan formal dan hokum agama diekspresikan dalam bentuk sangat
lahiriah semacam simbol/label keagamaan, misalnva muncul dalam bentuk Bank
Islam, Asuransi Islam, Griva Islam dan Iain-lain. Dalam lapangan yang murni
keagamaan bisa mengambil bentuk pengadopsian pakaian ala Arab.
· Spiritualisme adalah pemahaman yang
lebih menekankan pada pengembangan sikap batiniah, melalui keikutsertaan dalam
kelompok spiritual-mistik, tasawuf/tarekat, bahkan kelompok kultus (cult), la
cenderung bersifat non politis, sehingga jarang muncul ke permukaan. la menjadi
headline media massa ketika ia diduga "menyimpang" dari paham
keagamaan yang berlaku. la cepat muncul oleh kenyataan berlangsungnya
perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang menim-bulkan disrupsi (tercabut dari
akarnya), disorientasi (kekacauan arah) atau dislokasi (pergeseran)
psikologis dalam kalangan tertentu masyarakat, dan kemunculannya juga didorong
oleh ketidakpuasan terhadap paham, gerakan atau organisasi keagamaan mapan yang
tidak mengakomodasinya.
Dari tipologi tersebut akan melahirkan model
penciptaan suasana kegamaan di sekolah yang berbeda-beda. Model adalah sesuatu
yang dianggap benar, meski bersifat kondi-sional. Menurut Muhaimin, model penciptaan suasana religious juga sangat
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan beserta
penerapan nilai-nilai yang mendasarinya. Menurut beliau, ada empat model penciptaan
suasana keagamaan, yaitu model struktural, formal mekanik, dan organik.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan
sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang
mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk
mengembangkan wacana sipil positif.
Yayasan
LKiS melakukan kegiatan pendampingan LVE dengan metode kunjungan belajar.
Kunjungan ini bukan sembarang kunjungan sebab tujuannya ke tempat ibadah di
luar agama Islam. Seperti ke klenteng, seminari, pura dan vihara. Selama ini
kita jarang mendapatkan kesempatan untuk memahami pemeluk agama selain Islam.
Seringkali kecurigaan yang bermunculan. Tak kenal maka tak sayang. Kunjungan
belajar memiliki maksud untuk menciptakan ruang dialog tentang nilai-nilai
agama yang universal. Persinggungan antara dua pemeluk agama yang berbeda perlu
dilakukan untuk menghidupkan nilai toleransi dan kasih sayang. Kegiatan ini
melibatkan seluruh civitas akademik sekolah seperti para guru dan siswa.
Berikut adalah salah satu testimoni guru yang mengikuti kegiatan tersebut.
Siswa harus dilatih
untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung,
berdiri diam dan bergiliran di berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana
untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan
topik diskusi. Pada sekolah dasar, guru kelas berfungsi untuk mengawasi
siswa untuk hampir sepanjang hari. Haruskah mereka tahu bagaimana merancang dan
memfasilitasi interaksi teman sebaya dengan benar, mereka akan mengembangkan
wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Pada menyelesaikan
pendidikan formal mereka, siswa memasuki dunia di mana kemampuan untuk menjaga
hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Sebaliknya,
ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik dapat merugikan individu dan dapat
menyebabkan tingkat tertentu konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.
Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik
antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas
(2008), Ambon (2009), Papua (2010) dan Singkawang (2010) adalah
beberapa contoh konflik yang pernah terjadi di Indonesia. Tanpa langkah yang tepat yang diambil, konflik seperti
itu akan terulang kembali.
Selain kasus-kasus konflik diatas, ada juga beberapa
kerukunan-kerukunan beragama yang tertangkap oleh mata kita, yaitu: diantaranya rumah ibadah yang saling
berdampingan, untuk menyebut sedikit diantaranya, di Malang Jawa Timur, masjid
Jami’ kota Malang bersebelahan dengan gereja GPIB. Sementara itu Gurdwara
Perbandhak, rumah ibadah pemeluk agama Sikh, terletak persis di sebelah pura
Hindu Shri Mariamman di Jl. Tengku Umar Medan. Sedangkan masjid Agung
bersebelahan dengan gereja Katolik di kota Banten. Untuk menyebut contoh
terakhir yang menarik, dinding bangunan utama gereja GKJ dan masjid Al-Hikmah
di Joyodiningratan Surakarta Jawa Tengah persis menempel bersebelahan.
Sementara
itu di kabupaten Fakfak, Papua Barat, warga Kampung Urat, bersuka ria bersamaan
dimulainya pembangunan Masjid Shollaturrahim. Pembangunan masjid ini jauh
terkesan dari eksklusif, malah mencerminkan kebersamaan warga desa. Pada
tanggal 6 Juni 2009 warga desa ini berpesta riang usai proses pemancangan tiang
masjid dengan tarian adat. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan kaum remaja turut menari
diiringi musik tifa suling. Di kabupaten Papua Barat, pemerintah juga tidak
canggung berkunjung dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lain berbeda
agama. Wakil Gubernur Papua Barat pada tanggal 11 Juni 2009 melakukan kunjungan
ke masjid dan gereja di hari yang sama. Bukan hanya di tingkat eksekutif,
sebagai bagian dari kegiatan sosial, TNI dari jajaran Korem 171/PVT Sorong
melakukan karya bhakti bersama masyarakat membangun gereja GKI Getsamani di
Kota Sorong. Sampai di sini kita bisa menyaksikan proses kohesi antar umat
beragama masih kuat di tingkat masyarakat. Pemerintah pun tidak jarang aktif
mendorong upaya-upaya kerjasama antar umat beragama di masyarakat.Keadaan
hubungan antar agama yang harmonis dan kerjasama antar umat beragama mungkin
masih menjadi cermin situasi umum di Indonesia.
Meskipun
demikian tidak bisa dipungkiri benturan bahkan kekerasan dalam masalah seputar
rumah ibadah masih terjadi di beberapa tempat. Dari sisi wilayah, daerah-daerah
di Jawa bagian barat (Jawa Barat dan DKI Jakarta) perlu mendapatkan perhatian
khusus karena cukup banyaknya masalah muncul di daerah ini. Sebagian masalah
seputar rumah ibadah menyangkut permasalahan ketidakadaan ijin sebuah rumah
ibadah, penggunakan fasilitas umum untuk tempat ibadah, dan protes dari
lingkungan sekitar terhadap keberadaan rumah ibadah.Pada tahun 2008, Laporan
Tahunan Kehidupan Beragama Di Indonesia CRCS menemukan 12 kasus yang menyangkut
masalah rumah ibadah; pada tahun 2009, angka tersebut meningkat menjadi 19; dan
pada tahun 2010, angka tersebut mengalami peningkatan yang signifikan hingga
lebih dari dua kali lipatnya.Data statistik tersebut menggambarkan betapa
kasus-kasus menyangkut rumah ibadah di Indonesia masih merupakan masalah yang
harus ditangani secara serius oleh berbagai pihak.
Bentuk-bentuk
radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak
percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kasus bunuh diri -pemboman
gereja di Surakarta bulan lalu, misalnya, mungkin (mudah-mudahan tidak)
menyebabkan dendam dan serangan serupa terhadap masjid. Dan ini bisa meningkat
menjadi ketidakharmonisan agama besar.
Dengan
adanya pendidikan dini untuk salimg menghargai perbedaan yang ada. Siswa akan belajar
untuk mengenali kesamaan yang memang dapat menyatukan, tetapi belajar untuk
mengenali dan menerima perbedaan adalah satu hal yang perlu diajarkan sejak
anak masih kecil. Toleransi adalah kunci untuk meningkatkan pemahaman.
Toleransi merupakan penerimaan, keterbukaan dan menghormati berbagai perbedaan.
Lingkungan akan membentuk pandangan seorang anak. Misalnya anak yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang homogen
ada kemungkinan kelak ketika dewasa saat dihadapkan pada lingkungan yang
heterogen cenderung mengalami kesulitan beradaptasi.
Pendidikan kita
saat ini gagal untuk memberikan para siswa dengan kompetensi wacana sipil.
Sebagian besar politisi dan birokrat telah datang ke kekuasaan karena
pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak
memiliki kompetensi tersebut. Contohnya yaitu insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota
parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang
yang disiarkan langsung di seluruh negeri.
Alih-alih mendidik anak-anak sekolah, politisi ini telah memberikan contoh yang sangat tidak pantas untuk
dicontoh dan diteladani. Untuk
mengulang, kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat
cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil.
Idealnya kebijakan
harus ditegakkan dimana sekolah yang dikelola oleh guru dan tenaga yang berbeda
agama, etnis dan dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Kampus ini juga
harus menyediakan tempat ibadah bagi siswa dari semua agama. Siswa akan belajar
bagaimana orang lain melakukan ritual keagamaan. Dan ini akan menjadi bentuk
efektif pendidikan agama dalam lingkungan sekolah multikultural.
Cara tradisional pengajaran agama telah dikritik karena menekankan aspek teologis dan ritual, sementara
mengabaikan aspek-aspek sosial, interaksi yaitu horizontal dan toleransi antar
pengikut agama yang berbeda.
Dalam konteks
Indonesia, pendidikan liberal harus
mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Terlepas
dari karir mereka -politisi, insinyur, petani, atau pengusaha- siswa harus
diberikan pengetahuan yang memadai di daerah-daerah.
Dengan demikian didefinisikan, pendidikan liberal
bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain.
Pada dasarnya, itu penempaan kamil insan, yaitu orang yang ideal yang memenuhi
kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau penunjukan sebagai warga
negara yang demokratis.
Kekuatan dari teks ini adalah Dr. Chaedar mengupas
semua hal-hal yang berhubungan dengan interaksi antar agama. Didalam teks ini
juga dibahas mengenai pendidikan dasar yang menjurus pakda sistem pendidikan
liberal. Hai ini dolihat dari tujuan pendidikan itu sendiri yang bertujuan
menjadikan siswa memiliki kemampuan dan kecenderungan fakta, teori, dan tindakan
melalui perbincangan nasional. Didalam bab 7 bukunya, Dr. Chaedar menuliskan
bahwa pendidikan liberal mencakup pendidikan literasi, yaitu kemampuan membaca
dan menulis, bahkan mengekspresikan sastra [lihat bab 6 Rekayasa Literasi]. Jadi, bagaimana mungkin orang mampu membebaskan
dirinya dari kebodohan jika tidak menguasai keterampilan membaca dan menulis.
Disini disebutkan bahwa mahasiswa harus memiliki kecerdasan, dan untuk mencapai
kecerdasan dia harus membaca buah kecerdasan dari orang hebat terdahulu yang
tertuamg dalam buku-buku adiluhung atau the
great books. Penguasaan bahasa merupakan gerbang utama untuk menjelajahi
pemikiran para filsuf dan ilmuwan besar. Pendidikan liberal mengajari mahasiswa
untuk menjadi pendengar yang baik bagi dialog antara pemikir ulung yang
memiliki pikiran hebat dalam sejarah peradaban manusia.
The
Great Books itu sendiri adalah teks klasik yang
memiliki nilai sejarah dan kebenaran yang tinggi, yang harus tetap dipelajari
dan dijadikan sumber inspirasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini.
Cara yang paling mudah untuk mengajarkan pendididkan liberal adalah dengan
menjadikan buku-buku klasik sebagai bacaan wajib mahasiswa. Ada beberapa
persamaan antara the great books
dengan kitab kuning seperti yang dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen (1995)
sebagai berikut:
Alasan pokok munculnya pesantren ini
adalah untuk menstransmisikan Islam tradisisonal sebagaiman yang terdapat dalam
kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab kitab-kitab
ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning. Jumlah teks klasik yang diterima
pesantren sebagai ortodoks (al-kutub al-mu’tabarah) pada prinsipnya terbatas.
Ilmu yang bersangkutan dianggap sesuatu yang sudah bulat dan tidak dapat
ditambah; hanya bisa diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun terdapat
karya-karya baru, namun kandungannya tidak berubah. Kekakuan tradisi itu
sebenarnya telah banya dikritik, baik oleh peneliti asing maupun oleh kaum
Muslim reformis dan modernis (2995:17).
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa pendididkan
liberal mencakup pendidikan literasi. Hal itu terlihat dari kurikulum yang
mengharuskan mahasiswa membekali kompetensi dalam tiga hal, yaitu sebagai
berikut:
1. Akademik:
menulis, matematika, sains;
2. Aplikasi:
berpikir kritis, belajar berintegrasi dan teraplikasi;
3. Keterampilan
lunak: etika, kerjasama, kebinekaan, dan belajar sepanjang hayat.
Dalam teks ini juga disebutkan beberapa konflik
dengan latar belakang keagamaan yang pernah terjadi di Indonesia. Tetapi dalam
teks ini Dr. Chaedar hanya menyoroti kasus konflik karena keagamaan yang
terjadi di Indonesia saja tidak mencoba untuk membahas kasusnya secara luas.
Sebut saja contohnya seperti kasus pembantaian kaum muslim Rohingya di Myanmar
yang telah berhasil mengambil alih perhatian dunia terhadap kasus yang terjadi
disana. Beberapa kalangan berkata agar tidak menganggap kasus ini kedalam isu
agama tetapi lebih pada isu HAM. Hal ini agar tidak terjadi kebencian yang
lebih antar umat beragama karena terjadinya kasus ini. Tetapi, kasus Rohingya
ini memang tidak bisa begitu saja terlepas dari isu agama karena bahkan para
biksu disana mendukung wacana pengusiran kaum Rohingya ini dari Myanmar. Mereka
pula menyebarkan isu kebencian dalam kotbah-kotbahnya. Maka sudah jelas bahwa
kasus ini memang serius dan harus segera ditangani.
Dikutip dari republika.co.id, U Tin, Presiden
Organisasi Riset Yangoon mengatakan komunitas muslim di Myanmar memiliki
pengalaman hidup berdampingan dengan etnis lain di Myanmar. Namun, ia tidak
menyebut alasannya secara detail terkait pernyataannya itu. Meski masalah
sebenarnya terkait dengan status Rohingya.
Ko Ko Gyi, aktivis yang menghabiskan 18 tahun penjara karena menentang pemerintah militer sebelumnya, menyebut kekerasan yang terjadi terkait dengan status Rohingya. Ia menyebut masyarakat internasional harus menemukan solusi terkait status Rohingya. Sebab, Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. "Ini adalah masalah kedaulatan nasional. Siapa saja yang ingin memiliki kewarganegaraan Myanmar harus belajar bahasa dan budaya Myanmar," kata dia kepada New York Times.
Ko Ko Gyi, aktivis yang menghabiskan 18 tahun penjara karena menentang pemerintah militer sebelumnya, menyebut kekerasan yang terjadi terkait dengan status Rohingya. Ia menyebut masyarakat internasional harus menemukan solusi terkait status Rohingya. Sebab, Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. "Ini adalah masalah kedaulatan nasional. Siapa saja yang ingin memiliki kewarganegaraan Myanmar harus belajar bahasa dan budaya Myanmar," kata dia kepada New York Times.
Status kewarganegaraan Rohingya hingga
kini tidaklah jelas. Menurut
Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar yang diamandemen tahun 1982, etnis
Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. Mereka pun dianggap sebagai imigran
ilegal di tanah airnya sendiri. Seiring status mereka yang tidak
berkewarganegaraan manapun, mereka mulai mengalami beragam kesulitan, seperti
misal kekurangan pangan. Karena desakan ekonomi,
setiap tahun ribuan Rohingya mengungsi dari Myanmar melakukan perjalanan
berbahaya dengan bekal seadanya menuju Thailand dan Malaysia. Mereka
bekerja sebagai buruh ilegal dengan upah minim. Tapi bukan berarti mereka
selamat dari pengejaran imigrasi negara tujuan. Jika tertangkap mereka akan
dikembalikan ke negeri asalnya. Tentu, mereka bakal menghadapi mimpi kembali.
Muslim Myanmar mencapai lima persen dari 53 juta penduduk Myanmar. Kelompok terbesar muslim Myanmar adalah etnis-Bengali, umumnya dikenal sebagai Rohingya. Mereka menetap di provinsi Rakhine. Sisanya adalah muslim keturunan India dan Cina masing-masing menetap di Yangon.
Muslim Myanmar mencapai lima persen dari 53 juta penduduk Myanmar. Kelompok terbesar muslim Myanmar adalah etnis-Bengali, umumnya dikenal sebagai Rohingya. Mereka menetap di provinsi Rakhine. Sisanya adalah muslim keturunan India dan Cina masing-masing menetap di Yangon.
Dilihat dari jumlah korban yang berjatuhan, kasus
ini tentu termasuk kasus pelanggarah HAM berat, selama beberapa kade mereka
teraniaya di negeri yang selama itu ditinggalinya tanpa status kewarganegaraan
yang jelas. Sepertinya Myanmar harus belajar dari Indonesia bagaimana caranya
memupuk keharmonisan antar agama.
Keharmonisan beragama dari segi pendidikan dapat
dilihat dari kurangnya wacana mengenai konsep multikultural yang ditengarai menjadi
penyebab seringnya terjadi tindak kekerasan atas nama SARA. Untuk itu, perlu
kiranya menebar wacana ke tengah masyarakat perihal pentingnya sebuah toleransi
terhadap perbedaan. Sekolah Pelangi Nusantara mencoba menawarkan serta
menelurkan konsep multikultural di tengah masyarakat. Meskipun konsep
pelajaran multikultural ini
menjadi kritik sekaligus solusi terhadap kurikulum yang diterapkan di
sekolah pada umumnya. Romadhona menilai, kurikulum di sekolah tidak menerapkan
konsep multikultural, bahkan guru lebih cenderung mengajarkan pada sebuah
doktrin, termasuk doktrin agama, mengajarkan perbedaan tapi tidak dalam
kerangka kebersamaan. Tidak sedikit guru agama di sekolah menebarkan
sentimen terhadap agama yang lain. Meski saat ini di setiap sekolah diberikan
pelajaran pendidikan kewarganegaraan, namun jika hanya sebagai
doktrin maka tidak akan memiliki makna apa-apa. Untuk itu, diharapkan konsep
dan pelajaran multikultural ini bisa diadopsi dan diterapkan di setiap
sekolah tanpa pengecualian “Saya berharap pemerintah mau mengadopsi kurikulum
seperti ini, paling tidak sekola memiliki pendidikan multikultural mulai
dari TK sampai perguruan tinggi ”, tambah Romadhona.
Selain sistem pembelajaran multikultural yang perlu
menjadi wacana pemerintah selanjutnya. Saya berpendapat bahwa keharmonisan
dalam interaksi sosial adalah salah satu kunci penting. Interaksi sosial
membentuk masyarakat menjadi lebih peka terhadap sesamanya karena dengan
berinteraksi maka akan terjadi timbal balik yang menguntungkan. Meskipun
perbedaan mereka tidak bisa membuat mereka berinteraksi dengan cara yang sama
akan tetapi, dengan saling memahami dan toleransi, mereka dapat hidup rukun
berdampingan.
Sikap
toleransi sangatlah penting pada masing-masing umat beragama maka kerukunan
beragama dapat terwujud. Toleransi dalam kehidupan bergama dapat diartiakan
bahwa pemeluk suatu agama dengan pemeluk agama yang lain akan saling menghargai
dan tidak akan memaksakan orang lain untuk memeluk agama yang mereka anut.
Seperti
halnya kerukunan antar umat beragama disuatu sekolah yang terdapat berbagai
macam pemeluk agama yang berbeda-beda didalamnya, terutama para siswanya yang
harus beradaptasi atau menyesuaikan dirinya terhadap teman-temannya yang
berbeda keyakinan. Hal ini dapat dilihat di SMA Swasta Raksana Yayasan Raksana
Medan. Disini tidak hanya terdapat siswa yang beragama Kristen saja, namun
banyak agama lain seperti Islam, Budha, Hindu. Mereka berbaur untuk mendapatkan
pendidikan formal dari bangku sekolah dan semua ini hendaknya dapat menjauhkan
sikap pertentangan dan tetap mengembangkan sikap saling hormat menghormati
antar umat beragama dan membina kerukunan hidup secara damai dimana tata
kehidupan umat beragama mempunyai sifat dan ciri yang berbeda satu sama lain,
oleh karena itu disanalah pengkal dari pembinaan kerukunan agar dapat diarahkan
menjadi satu dalam hal pengembangan pedidikan.
Sebagai
bangsa Indonesia seharusnya mempunyai kepribadian yang dapat menunjang
kerukunan dalam keputusan menteri agama No.77 Tahun 1978 tentang bantuan luar
negeri kepada lembaga Keagamaan di Indonesia yaitu:
a. Maka kehidupan Beragama perlu dibina dan diarahkan guna memantapkan
kerukunan hidup intern umat beragama, kerukunan hidup antar umat beragama,
serta kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.
b. Bahwa bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia dalam
rangka mengembangkan kehidupan beragama perlu diatur dan diarahkan agar
terhindar pengaruh negative yang dapat menggangu persatuan bangsa,
(Prawiranegara, 1982:144-145).
Dari ungkapan diatas bahwa ciri kepribadian Indonesia
ini dapat disadari sebagai salah satu landasan untuk membina kerukunan, yang
antara lain beruraikan hidup rukun, toleran, suku dan keselarasan.
Tentu kita tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak
akan terjadi jika tidak ada penyebab dari itu semua, termasuk konflik-konflik
yang terjadi. Dibalik kejadian tersebut terselip faktor yang menjadi
penyababnya. Sebuah alasan yang mereka anggap benar sendi tanpa memikirkan
orang lain dan akibatnya. Sebagai negara yang berdemokratis, setiap warga
negara di Indonesia berhak mengeluarkan pendapat dan menganut kepercayaannya
sendiri. Seperti yang tercantum dalam UUD pasal 28 ayat 1 berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Dibawah
ini adalah beberapa faktor, pemicu terjadinya ketidak harmonisan antar umat
beragama:
1. Pendirian Tempat Ibadah. Tempat
ibadah yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan
umat beragama setempat sering menciptakan ketidak-harmonisan umat beragama yang
dapat menimbulkan konflik antar umat beragama. Contohnya berdirinya Gereja di
tengah" penduduk yang mayoritas Islam, dll.
2. Penyiaran Agama. Penyiaran agama,
baik secara lisan, melalui media cetak seperti brosur, pamflet, selebaran dsb,
maupun media elektronika, serta media yang lain dapat menimbulkan kerawanan di
bidang kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih yang ditujukan kepada orang
yang telah memeluk agama lain.
3. Bantuan Luar Negeri. Bantuan dari
Luar negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik yang berupa
bantuan materiil / finansial ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, bila tidak
mengikuti peraturan yang ada, dapat menimbulkan ketidak-harmonisan dalam
kerukunan hidup umat beragama, baik intern umat beragama yang dibantu, maupun
antar umat beragama.
4. Perkawinan beda Agama. Perkawinan
yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, walaupun pada mulanya bersifat
pribadi dan konflik antar keluarga, sering mengganggu keharmonisan dan
mengganggu kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih apabila sampai kepada
akibat hukum dari perkawinan tersebut, atau terhadap harta benda perkawinan,
warisan, dsb.
5. Perayaan Hari Besarkeagamaan.
Penyelenggaraan perayaan Hari Besar Keagamaan yang kurang mempertimbangkan
kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut diselenggarakan dapat
menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
6. Penodaan Agama. Perbuatan yang
bersifat melecehkan atau menodai agama dan keyakinan suatu agama tertentu yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dapat menyebabkan timbulnya
kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
7. Kegiatan Aliran Sempalan. Kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada
keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang dari ajaran agama
yang bersangkutan dapat menimbulkan keresahan terhadap kehidupan beragama,
sehingga dapat pula menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup
beragama.
8. Aspek Non Agama yang mempengaruhi.
Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan hidup umat beragama
antara lain : kepadatan penduduk, kesenjangan sosial ekonomi, pelaksanaan
pendidikan, penyusupan ideologi dan politik berhaluan keras yang berskala
regional maupun internasional, yang masuk ke Indonesia melalui kegiatan
keagamaan.
9. Dan kita tau, Indonesia adalah
negara pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, yaitu sekitar 207,000,105 jiwa
atau 88.20% penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Walau begitu, ini
seharusnya bukan lah penghalang kita untuk saling menjaga kerukunan dan
kehrmonisan umat beragama.
Kesimpulan dari teks tersebut yaitu adanya beberapa alasan
yang menjadi faktor dalam memupuk keharmonisan beragama. Salah satunya
pendididkan dasar yang mengajarkan siswanya untuk berinteraksi dengan sesama
meski ada perbedaan diantara mereka. Tetapi, dapat saling hidup rukun berdampingan
dengan saling memahami dan toleransi karena toleransi adalah kunci utama
didalam kehidupan masyarakat. Masyarakat yang berliterasi tinggi juga dapat
berpikir secara kritis dan dapat memilih masalah yang berhubungan dengan
keagamaan. Pendidikan liberal disini akan memupuk kepekaan seseorang terhadap
apa yang terjadi disekitarnya karena didalam pendidikan liberal diajarkan
banyak hal.
References:
Alwasilah,
A Chaedar (2012). Pokoknya Rekayasa
Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
A.
Chaedar Alwasilah, Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony. The Jakarta Post, Oktober 22, 2011
Sabaruddin
(Dosen Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), Peran Pendidikan
Agama dalam Mewujudkan Interaksi Sosial yang Kondusif antar Siswa Beda Agama (file
pdf), 23 februari 2014.
Dari
http://lkis.or.id/v2/berita-424-toleransi-mengalami-memahami-dan-menghargai-perbedaan.html , 23 februari 2014
Dari http://crcs.ugm.ac.id/pluralism-researches/49/Seri-Database-Bibliografi-tentang-Kehidupan-Beragama-di-Indonesia-Masalah-Seputar-Rumah-Ibadah-di-Indonesia.html , 23 februari 2014.
Dikutip dari
: http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/06/11/m5fz6e-muslim-rohingya-dituduh-penyebab-konflik-myanmar
http://news.detik.com/read/2012/08/07/183432/1985611/10/komunitas-buddha-minta-kasus-rohingya-dijauhkan-dari-unsur-agama , 23 februari 2014.
http://news.detik.com/read/2012/08/07/183432/1985611/10/komunitas-buddha-minta-kasus-rohingya-dijauhkan-dari-unsur-agama , 23 februari 2014.
Nugraha Danu (2012). Dari http://mjeducation.com/sekolah-pelangi-nusantara-pentingnya-menghargai-perbedaan/
, 23 Februari 2014
Dari Universitas Sumatera Utara (Interaksi Sosial), pdf file. 23 februari
2014
Dari http://mynameisedho.blogspot.com/2012/11/perbedaan-agama-tidak-akan-menjadi.html
, 23 februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic