Appetizer
Essay
Setelah saya membaca ketiga artikel tersebut, saya
semakin sadar bahwa betapa pentingnya menulis.
Menulis adalah suatu hal untuk mengepresikan semua pengetahuan ataupun
pengalaman yang ada di benak kita.
Semakin kita mengepresikan semuanya ke dalm tulisan maka semakin tinggi
atau kuat pengetahuan kita. Menulis juga bisa mengasah pikiran kita. Contohnya sebuah pisau yang tidak dipakai dan
jarang diasah, maka pisau tersebut akan mudah tumpul. Begitu juga dengan otak kita, jika tidak
diasah untuk menulis dan membaca dalam kesehariannya, maka akan mudah
tumpul. Sehingga untuk berpikir dan
mencari sebuah ide sangat susah. Namun
membaca juga tidak kala pentingnya, membaca adalah suatu kegiatan yang
diutamakan adalah konsentrasi.
Dalam pembahasan wacana (Bukan) Bangsa Penulis,
Dirjen Pendidikan Tinggi mengatakan bahwa ia merasa jengkel karena mayoritas
sarjana lulusan PT di Indonesia tidak bisa menulis bahkan tidak bisa memahami
sebuah teks. Dirjen merasa sangat kecewa
kepada para mahasiswa PT di Indonesia, penduduk Indonesia secara total masih
rendah jika dibandingkan dengan Malaysia.
Didalam hal penerbitan buku pun Indonesia 1:10 dibandingkan dengan
Malaysia. Rata-rata jumlah terbitan bku
di Indonesia sekarang sekitar 8 ribu judul per tahun, maka dari itu untuk
mengimbangi Malaysia mestinya kita mampu menerbitkan buku 10 kali lipat, yaitu
80 ribu per tahun. Menurut Saya, benar
apa yang dikatakan Dirjen, dengan adanya sebuah komitmen seperti itu, lulusan
sarjana di Indonesia pun akan termotivasi untuk menerbitkan sebuah buku. Jika dalam hal pempublikasian yang sangat
menonjol, maka Indonesia pun akan menjadi negara yang maju, bahkan akan lebih
dihargai oleh negara lain dan diakui bahwa lulusan sarjana PT di Indonesia pun
tidak kalah saing.
Menurut Dirjen, kemampuan menulis
itu adalah literasi tingkat tinggi yakni kemampuan mereproduksi ilmu
pengetahuan. Literasi itu banyak pemahamanya,
etapi literasi disini lebih identik ke penguasaan baca-tulis, atau kemampuan
memecahkan masalah terhadap kegiatan baca-tulis. Jadi, kita bisa memberi kesimpulan, pendapat
bahkan argumen pada sebuah tulisan yang kita baca. Dengan begitu kita bisa mengetahui literasi
pada tulisan tersebut.
Perbedaan
dalam menulis karya tulis antara Indonesia dengan Amerika Serikat
Untuk mendapat gelar sarjana, magister dan
professor, mereka harus menulis skripsi, tesis, dan desertasi itu semua
termasuk dalam genre tulisan akademik (academic writing). Namun, dalam literature keilmuan, jurnal tidak identik dengan skripsi, tesis
dan disertasi. Jurnal berisi 15-20 hal, tidak sebanding dengan skripsi,
tesis dan disertasi. Di Perguruan Tinggi
kita mahasiswa diwajibkan untuk menulis skripsi, tesis, dan disertasi, karena
itulah ajang yang jitu untuk mengasah keterampilan menulis, meneliti, dan
melaporkannya secara akademik. Dengan
demikian mereka telah memiliki keterampilan menulis untuk diterapkan pada
bidang atau profesi masing-masing.
Sedangkan AS mahasiswa mayoritas menulis esai seperti observasi,
ringkasan bab, riviu buku, dan sebagainya.
Tugas-tugas itu selalu dikembalikan dengan komentar kritis dari dosen,
sehingga nalar dan argument tulisan mahasiswa benar-benar terasah. Berarti di AS sudah memiliki komitmen yang
sangat cerdas, sehingga dalam pempublikasian buku pun paling banyak. Dengan
meiliki komitmen yang seperti itu, maka mahasiswanya pun akan bergegas untuk
menulis sebuah esai yang nantinya akan dikoreksi oleh dosen yang kritis. Komentar yang kritis, pastinya komentar
tersebut sangat membangun bagi mahasiswa tersebut untuk mengasah dan menggalih
kemampuannya.
Disisi lain, mayoritas orang
cenderung lebih gemar membaca koran,
majalah, dan surat kabar dibandingkan dengan jurnal. Mereka beralsan bahwa di dalam jurnal
terdapat bahasa yang sangat tinggi dan penggunakan bahasa seperti itu lebih
pantas untuk kalangan atas ataupun berpendidikan. Bagi mereka yang orang awam, pasti mereka
berpendapat seperti itu. Tetapi bagi
kita sebagai seorang mahasiswa, kita berpandangan berbeda. Dengan kita membaca sebuah jurnal, pasti kita
akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas dan lebih dalam lagi. Jika permasalahannya ada pada penggunaa
bahasa yang terlalu tinggi, kita bisa mencari tahu tentang kata tersebut. Dengan begitu pemikiran kita dalam membaca
sebuah tulisan pun akan lebih kritis dan mendalami.
A.Chaedar Alwasilah mengatkan bahwa sesorang yang tidak bisa menulis sebaiknya
jangan baermimipi jadi dosen. Kata-kata
inilah sangat menantang bagi para dosen yang tidak bisa menulis. Bisanya hanya memerintahkan mahasiswa untuk
mengerjakan tugas ataupun dalam pertemuannya hanya untuk persentasi depan kelas
kemudian selesai. Seorang dosen harus
bisa mentrasfer pengetahuannya dengan cara yang mudah dipahami oleh
mahasiswanya. Seorang dosen biasanya
menyuruh mahasiswa untuk menulis sebuah wacana atau artikel. Tetapi sendirinya juga tidak bisa
menulis. Hal yang seperti inilah yang
harus dipertanyakan.
Mayoritas siswa memilih jurusan Bahasa dibandingkan
Matematika. Hampir 95% siswa menyalahkan
diri mereka sendiri karena mereka merasa tidak berdaya karena mereka tidak
berkonsentrasi ketika membaca dan mereka mengakui bahwa mereka tidak memiliki
latar belakang dalam membaca sebuah teks.
Mereka juga sempat berpikir, “apakah penulisnya yang menggunakan bahasa
yang terlalu tinggi?.” Menurut
Saya,mengapa berpikir seperti itu, karena mereka tidak terbiasa membaca dan
memahami sebuah teks. Denagn bahasa yang
tinggi, maka kita pun akan memperoleh pengetahuan dan wawasan yang lebih
luas. Sebagai penulis, mereka menuangkan
sebuah pengetahuan yang lebih luas :ide brilliant” kepada pembaca. Agar pembaca pun mendapatkan pengetahuan dari
hasil yang dibacanya. Tetapi disini
dijelaskan pembaca adalah makhluk tak berdaya dan diibaratkan sebagai sendok
makan. Mengapa diibaratkan
seperti sendok makan?. Disinilah Saya
mulai berpikir bahwa sendok makan tidak aka nada perubahan atau gerakan tanpa
adanya tangan. Begitu pula dengan
pembaca, tanpa adanya seorang penulis, apa yang akan dia baca? Tapi penulis menulis sebuah tulisannya karena
dia membaca terlebih dahulu. Dengan dia
membaca, dia pun akan mendapatkan sebuah pengetahuan untuk menulis. Jadi, pembaca dan penulis sangat keterkaitan
dan berhubungan untuk menghasilkan sebuah makna.
Pembaca adalah pengetahuan
terakumulasi, sedangkan menulis adalah pengetahuan ke dalam kertas. Akibatnya, menulis menjadi suatu keterampilan
yang kurang berkembang dibandingkan dengan keterampilan membaca. Pembaca kritis percaya bahwa penulis dan
pembaca sama-sama bertanggung jawab untuk pembuatan makna. Pembaca yang kritis adlah pembaca yang bisa
mengerti, memahami, dan bisa memebri kesimpulan pada sebuah tulisan. Kemudian pembaca kritis juga bisa menjelaskan
kembali kepada audience tentang apa yang dijelaskan penulis pada tulisan
tersebut.
Buku impor mulai muncul di
Indonesia, mahasiswa pun sering membalas untuk rekomendasi buku impor yang
dirancang oleh non-Indonesia. Maksim
Grice melanggar adanya buku impor tersebut.
Mahasiswa yang berjumlah 2,6 juta dicuci otaknya bahwa bahasa nasional
kita cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan adanya buku impor, maka kita pun akan
mudah dibohongi dalam hal ilmu dan pengetahuan kita. Cara untuk menanggulangi
agar bahasa nasional kita tetap terjaga kemakmurannya, maka kita pun harus
berhenti menerima buku impor. Maksim
Grice mengatakan bahwa dengan banyaknya penerbit di Indonesia (penulis) maka
Indonesia akan memiliki intelektual yang tinggi bahwa telah memproduksi buku
teks (text book) sendiri dan bisa menjadi kebanggaan dalam bahasa nasional
kita.
Dalam pembahasan pembaca dan
penulis, Chaedar Al Wasilah didalam artikelnya berpendapat berani untuk
mengepresikan sebuah pendapat yang berisiko besar dan memprovokasi kemarahan
pembaca Indonesia. Beliau melakukan hal
seperti ini karena untuk meningkatkan kualitas pemikiran kritis di Negara
ini.
Imam
Bagus mengatakan pada konferensi di UPI bahwa siswa tidak mampu untuk
mengidentifikasikan sebuah tema dalam sebuah tulisan. Penulis (siswa) berkata, dalam hal ini adalah
kurangnya kompetensi pada bagian murid dan cara mengajar guru yang berpatok
pada silabus. Silabus hanya akan merugikan
perkembangan pemikiran kritis dan kompetensi bahasa. Menurut Saya, silabus yang ada pada semua
mata pelajaran hanya akan menghambat siswa berpikir kritis karena siswa lebih
cenderung berpikir pada silabus dan pemikirannya pun tidak berkembang. Tetapi setelah Saya pkir kembali, jika
silabus ditiadakan, maka dalam pembelajaran pun tidak mempunyai tujuan yang
hendak dicapai.
Penulis (mahasiswa baru) mengatakan
bahwa ini adalah kejutan bagi beliau karena di dalama departemen bahasa Asing
tujuannya adalh untuk mengajarkan siswa dalam penguasaan bahasa asing sehingga
mereka dapat berbicara, mendengarkan dan
memahami, membaca dan menulis dengan lancar, dan dimana mereka didorong untuk
membaca teks sebanyak mungkin. Dr.
Chaedar mengatakan niat itu hanya untuk mengulang mahasiswa sarjana apa yang
telah mereka pelajari dengan menggunakan buku teks dosen yang dibawanya dari
AS. Hasilnya adalah bahwa siswa tidak
bisa berbahasa Inggris dengan lancer dan benar, apalagi menulis teks bahasa
Inggris dengan baik. Ini semua karena
mereka tidak diberi dorongan ataupun suatu langkah kea rah yang lebih
maju. Jika mereka diberi langkah-langkah
untuk menuju sukses dalam memahami sebuah teks bahasa Inggris, maka merka pun
akan berhasil untuk mencapainya. Bukan
hanya sekedar member teks bahasa Inggris.
Kurikulum yang Berbeda
Indonesia memiliki kurikulum yang berbeda dengan
AS. Di setiap ujian sekolah, Indonesia
menggunakan system Pilihan Ganda (pilgan), sedangkan di AS disetiap ujian
sekolah semua pertanyaannya menggunakan esai.
Jadi, siswa bisa lebih berpikiri kritis untuk menuangkan semua ide dan
pengetahuannya di soal tersebut.
Sedangkan di Indonesia siswa bisa menyelesaikan soal pilgan tersebut
dengan mudah. Untuk mengejakannya pun
siswa bisa menggunakan firasat, siswa juga dengan mudahnya menyontek ke teman
sebelahnya. Kurikulum yang seperti
inilah yang harus dirubah agar Indonesia menjadi Negara yang maju dan bisa
menciptakan orang-orang hebat.
Orang-orang hebat yang dimaksud adalah orang yang mempunyai pemikiran
kritis. Jika dalam ujian sekolah
Indonesia menggunakan system esai, maka siswa dalam mengisinya pun tidak
asal-asalan. Mereka akan lebih mengasah
otaknya dan berpikir yang lebih luas dalam mengerjakan soal tersebut.
Jadi, literasi di Indonesia akan maju jika kurikulum
di Indonesia diubah. Dalam hal ujian
sekolah Indonesia harus menggunakan soal esai agar siswa pun bisa berpikir dan
mengasah ilmu pengetahuannya. Indonesia
harus menghasilkan mahasiswa yang bisa membuat karya tulis. Dengan begitu, Indonesia pun akan diakui oleh
Negara lain bahwa Indonesia bisa menerbitkan buku dan mengalahkan pesaing
(Negara lain). Mahasiswa bahasa juga
harus bisa memahami sebuah teks dan lancar berbicara bahasa Inggris. Orang Indonesia harus bisa menerbitkan
penulis dan pembaca kritis. Dosen pun
harus bisa menulis karya tulis dan menjadi pembaca kritis. Penulis dan pembaca yang bisa menghasilkan
makna, karena makna adalah factor terpenting dalam sebuah kegiatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic