CLASS REVIEW 3
Aku tak sendiri. Mata ini mulai ku
buka lagi, badan, hati dan pikiran ini haruslah kuat. Semangat ini harus tetap berkobar,
jangan sampai api semangat itu redup. Jangan ada kata menyerah. Perjuangan dan
perang ini baru saja di mulai. Aku tidak boleh kalah, aku harus jadi
pemenangnya. Orang tuaku. Merekalah alasanku untuk tetap bertahan. Indahnya
masa depanku, itulah hal ingin aku capai. Menulis. Disinilah aku memulainya.
Make up class writing. Rabu pagi
tanggal 19 Februari 2014 pukul 09.10 WIB ruang 41 gedung PBI adalah pertemuan
make up class saya dan teman-teman PBI-C belajar mata kuliah Writing and
Composition 4. Pertemuan minggu ini merupakan pertemuan ketiga kami bersama
dosen Mr. Lala Bumela, M.Pd. Sebelum memasuki pembahasan Mr. Lala Bumela, M.Pd
mengatakan bahwa pada minggu-minggu selanjutnya kami harus benar-benar
mempersiapkan diri kami untuk menghadi rintangan dan tantangan dalam mata
kuliah Writing and Composition 4 ini. “Endurance “ atau kekuatan fisik,
pikiran, dan fokus kami dalam mata kuliah Writing ini harus bisa dipertahankan,
siapa yang mempunyai endurance yang tinggi, maka dialah yang akan mampu
bertahan dan siapa yang mempunyai endurance yang lemah maka dialah yang akan
tertinggal. Keep spirit. Do not give up.
Selain endurance, teknik pun
merupakan salah satu hal penting dalam mata kuliah Writing and Composition 4
ini. Kami harus memahami bagaimana teknik-teknik untuk membuat tulisan
tersebut. Dalam penulisan karya tulis, teknik merupakan salah satu faktor yang
bisa membuat karya tulis tersebut menjadi sebuah karya tulis yang bagus.
Menulis bukanlah satu hal yang
kuno. Pada zaman sekarang menulis merupakan hal yang masih sering dilakukan
oleh para siswa disekolah. Mr. Lala Bumela, M.Pd menceritakan bahwa menulis
masih menjadi salah satu pilihan sebagai sistem ujian di salah satu universitas
di India. Dengan sistem ujian menulis essay, mahasiswa di salah satu
universitas di India tersebut membuat essay dengan jumlah tidak sedikit,
mahasiswa di India tersebut dituntut untuk menulis essay yang terdiri dari
beberapa halaman dan dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Di India
menulis merupakan salah satu sistem ujian essay yang masih dipakai. Hal
tersebut membuktikan bahwa menulis bukanlah sesuatu yang diharuskan dalam pelajaran
Writing saja, namun menulis merupakan hal yang seharusnya menjadi hal yang umum
bagi mahasiswa.
Karya A. Chaedar Alwasilah
merupakan salah satu karya terbaik penulis Indonesia. Karya-karya A. Chaedar
Alwasilah merupakan sebuah karya tulis yang akui dan dipakai sebagai bahan
pengajaran oleh universitas-universitas di luar negeri. Karya A. Chaedar
Alwasilah adalah suatu tulisan yang cukup detail dan berisi. Dalam tulisannya,
Chaedar menuliskan tentang pendapat-pendapatnya yang cukup kuat, sehingga hal
tersebut membuat pembaca sulit untuk menyanggah dan tidak mengiyakan tulisannya
tersebut. IAIN Cirebon merupakan salah satu universitas yang mahasiswanya
membaca tulisan A. Chaedar Alwasilah. Mr. Lala Bumela berharap IAIN Cirebon
mampu menjadi “central of excellence”, karena mahasiswa IAIN-lah yang dilatih
untuk bisa dan mampu untuk menulis. Dimana orang-orang akan memandang bahwa
IAIN Cirebon adalah salah satu universitas yang mana mahasiswanya akan terus
diasah dan dilatih sebagai mahasiswa yang mempunyai kemampuan menulis yang
handal. Tentunya hal tersebut merupakan harapan kami dan semua mahasiswa IAIN
Cirebon.
Posisi mahasiswa bahasa Inggris
adalah sebagai multilingual writer. Dalam hal ini, mahasiswa diharapkan mampu
untuk mendesain tulisannya menjadi tulisan yang memiliki dual function.
Mahasiswa harus mampu untuk menulis dalam bahasa L1 dan L2, bahkan L3. Hal
tersebut merupakan salah satu point yang dijelaskan A. Chaedar Alwasilah dalam
tulisannya, jika seorang mahasiswa bahasa Inggris mempunyai kemampuan menulis
yang tinggi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, tapi apakah dia mampu
menulis dalam bahasa lain (bahasa Sunda, Jawa, atau bahkan bahasa asing
lainnya)? Jika seorang mahasiswa mahir dalam menulis dalam tiga bahasa, hal
tersebut merupakan salah satu hal yang luar biasa.
Mr. Lala Bumela, M.Pd menerangkan bahwa
lecturer is just someone that give a fire, tetapi yang mempunyai torch adalah
mahasiswanya. Yang dapat menentukan api itu besar atau kecil adalah bagaimana
mahasiswa merubah api itu sendiri. Ini berarti bahwa mahasiswalah yang dapat
menentukan apakah dia bisa menjadi seorang yang sukses dalam belajarnya, atau
hanya bisa menjadi seorang mahasiswa yang biasa-biasa saja dalam belajar.
Dalam pertemuan ketiga minggu ini,
Mr. Lala Bumela, M.Pd mengulas sedikit tentang rekayasa literasi. Rekayasa
literasi merupakan salah satu upaya yang disengaja dan sistematis untuk
menciptakan manusia-manusia terdidik dan berbudaya melalui penguasaan bahasa. Empat
dimensi rekayasa literasi: linguistik, kognitif, sosiokultural, dan
perkembangan. Mr. Lala Bumela, M.Pd menjelaskan bahwa hal yang harus direkayasa
disini adalah pengajaran guru atau dosen dalam hal membaca (reading) dan
menulis (writing) dalam empat dimensi tersebut. Kern (2003): literacy refers to “general learnedness and
familiarity with literature”. Orang literat tidak sekedar berbaca-tulis tapi juga
terdidik dan mengenal sastra.
Ada
tiga point penting yang harus diperhatikan oleh guru maupun siswa, yaitu:
1. Read
Sebelum mahasiswa mempunyai
kemampuan dalam hal menulis, tentunya membaca adalah hal pertama yang harus
dilakukan oleh mahasiswa tersebut. Oleh karena itu, mahasiswa diwajibkan untuk
dapat memahami teks yang dia baca. Pemahamannya tentang sebuah teks, akan
mengantarkan dia untuk menjadi seorang penulis, karena pembaca yang kritis akan
mengolah pikirannya untuk menciptakan
suatu ilmu pengetahuan yang baru dan mampu menghasilkan sebuah karya tulis.
2. Respond
Setelah membaca, merespon sebuah
teks merupakan hal kedua yang harus dilakukan mahasiswa sebelum akhirnya
menulis. Merespon teks merupakan kegiatan yang akan melatih pikiran dan
menunjukan pengetahuan tentang sebuah teks yang telah dia baca. Seorang pembaca
akan mampu untuk menjadi seorang penulis, jika dia melakukan proses yang benar.
3. Write
(re-write)
Setelah membaca dan merespon teks,
mahasiswa tentunya akan menuliskan tentang pemahaman dan analisisnya tentang
sebuah teks. Seperti dalam tulisan A. Chaedar Alwasilah bahwa “pengetahuan
terakumulasi melalui membaca, sementara menulis adalah menempatkan pengetahuan
ke dalm kertas.”
Cara memahami, merespon,
memproduksi, dan menulis merupakan pendekatan dalam membaca (reading) dan
menulis (writing). Mr. Lala Bumela menerangkan bahwa sebuah teks harus didekati
dengan cara yang berbeda, dengan melakukan pendekatan teks yang sesuai maka
kita akan lebih mudah untuk memahami isi tentang teks tersebut. Contohnya
pendekatan estentik dan efferent digunakan untuk mendekati teks yang berbeda.
Ada tiga sifat teks, antara lain:
1) Verbal,
merupakan penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh guru atau dosen.
2) Written,
merupakan karya-karya tulis yang dihasilkan oleh seorang penulis.
3) Visual,
merupakan sebuah gambar atau lambing yang memiliki makna.
Dikutip dari
A. Chaedar Alwasilah (2012) mengatakan bahwa “pada abad ke-21, standar kelas dunia akan menuntut bahwa setiap orang sangat melek huruf, sangat
berhitung, baik informasi, mampu belajar terus-menerus, dan percaya diri dan mampu
memainkan peran mereka sebagai warga masyarakat yang demokratis."
Hal tersebut berarti, kita sebagai warga masyarakat harus bisa menjadi warga
yang mempunyai literasi yang tinggi. Jika kita tidak bisa mengikuti kemajuan
zaman, kita akan menjadi masyarakat yang ketinggalan zaman. Kemampuan
baca-tulis di Indonesia masih sangat minim, hal ini merupakan PR bagi setiap
warga Indonesia untuk menciptakan generasi Indonesia yang mempunyai literasi
tinggi. (Michael Barber). Ada beberapa element yang harus
diperhatikan oleh penulis dalam menulis academic writing, antara lain:
a) Kohesi :
gerakan halus atau "aliran" antara kalimat dan paragraf.
b)
Kejelasan : makna dari apa yang Anda berniat untuk berkomunikasi sangat jelas;
c)
Urutan
logis : mengacu pada urutan logis
dari informasi. Dalam penulisan
akademik, penulis cenderung bergerak dari umum ke khusus.
d)
Konsistensi : Konsistensi
mengacu pada keseragaman gaya penulisan.
e) Unity :
Pada sederhana, kesatuan mengacu pada pengecualian informasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan topik yang dibahas dalam paragraf tertentu.
f)
Keringkasan : keringkasan
adalah ekonomi dalam penggunaan kata-kata. Tulisan yang bagus dengan cepat sampai ke titik dan menghilangkan kata yang tidak perlu
dan tidak perlu pengulangan
(redundancy, atau "kayu mati.") Pengecualian dari informasi yang tidak perlu mempromosikan persatuan dan kesatuan.
g) Kelengkapan : Sementara
informasi berulang-ulang atau tidak
perlu harus dihilangkan, penulis
memiliki untuk memberikan informasi
penting mengenai suatu topik tertentu.
Misalnya, dalam definisi cacar air, pembaca akan
mengharapkan untuk mengetahui bahwa itu adalah terutama penyakit anak anak
yang ditandai dengan ruam.
h)
Ragam :
Variety membantu pembaca
dengan menambahkan beberapa "bumbu"
untuk teks.
i) Formalitas : Akademik menulis adalah formal dalam nada. Ini berarti
bahwa kosakata canggih dan
struktur tata bahasa yang digunakan.
Selain itu, penggunaan kata ganti seperti "I"
dan kontraksi dihindari.
Sebelum
menulis academic writing ada beberapa poin yang harus dievaluasi secara kritis oleh
penulis, yaitu:
1)
Apa jenis audiens yang ditargetkan penulis dalam
artikelnya?
2)
Apa sentral klaim/argument penulis?
3)
Bukti apa yang gunakan penulis untuk memperkuat
pendapatnya?
4)
Apakah penulis membuat klaim yang tidak didukung oleh
bukti-bukti?
5)
Apakah penulis berpikir bahwa bukti-bukti yang dia
siapkan cukup, untuk sebuah artikel dalam sebuah buku teks akademik?
6) Apakah penulis menggunakan kata-kata emotif atau
pernyataan? (Jika demikian, garis bawahi apapun yang diidentifikasi oleh
penulis)
Ken Hyland (2006) menyebutkan bahwa literasi adalah
sesuatu yang kita lakukan. Seperti yang dikatakan oleh Mr.
Lala Bumela, sebuah negara yang memiliki literasi tinggi, mereka tidak akan
merokok, dan membuang sampah pada tempatnya. Mereka akan mematuhi semua
perintah dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara tersebut. Hamilton
(1998), seperti dikutip dalam Hyland (2006: 21), melihat keaksaraan sebagai
kegiatan yang terletak di interaksi antara manusia. Hyland furhter argues: “academic literacy emphasizes that the ways in we
use language, referred to as literacy practices, are patterned by social
institution and power relationships. Hyland furhter berpendapat: "literasi
akademik menekankan bahwa cara kita menggunakan bahasa, disebut sebagai praktik
keaksaraan, berpola oleh lembaga sosial dan kekuatan hubungan. Keberhasilan
akademis berarti menunjukan kepada diri sendiri bahwa nilai tinggi dihasilkan
dari discipline, adopting the values, beliefs, and
identities which academic dissourse embody.
Rekayasa literasi merupakan sebuah cara untuk
menciptakan sebuah bangsa yang mempunyai literasi tinggi. Hal yang harus
diperhatikan dalam sebuah "rekayasa literasi" bahwa literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial
politik. Definisi baru literasi terus menjamur sesuai dengan tuntutan “zaman edan”
sehingga tuntutan mengenai perubahan pengajaran pun tidak bisa dihindari. Para guru
atau dosen beserta siswanya harus bisa seiring dan mampu untuk menciptakan
generasi-generasi literasi. Jika kita tidak bisa mengejar gaya literasi sesuai
zaman, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang jauh tertinggal dari
bangsa-bangsa lain. Model literasi ala Freebody dan Luke (2003): memecahkan
kode teks, berpartisipasi dalam makna teks, menggunakan teks fungsional, kritis
menganalisis dan mengubah teks. Prof
Alwasilah meringkas lima point yang disampaikan oleh Freebody dan Luke menjadi:
memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi. Lima point
tersebut menandakan bahwa kita sebagai generasi literasi harus bisa mengenal dan
memahami teks dengan baik.
Rujukan
literasi terus berevolusi, sedangkan rujukan linguistik relatif konstan. Ini berarti
kita harus bisa menyeimbangkan antara
literasi dan linguistic. Jika kedua hal tersebut bisa seimbang, maka
literasi yang diharapkan bisa benar-benar terwujud dengan baik, karena literasi
dan linguistic merupakan dua hal yang saling berhubungan antara satu ama lain. Studi literasi tumpang tindih (overlapping) dengan objek studi budaya
(cultural studies) dengan dimensinya yang luas.
Pendidikan yang
berkualitas tinggi PASTI menghasilkan literasi berkualitas tinggi pula, dan juga sebaliknya. Pendidikan merupakan akses yang dapat menciptakan
generasi-generasi literasi, karena di dunai pendidikanlah para generasi bangsa
akan terus diasah agar bisa menjadi manusia-manusia literat, peran guru atau
dosen merupakan faktor penting dalam perwujudan generasi-generasi yang literat.
Guru dan dosen harus mempunyai kualitas tinggi dan kemampuan literasi yang
handal. Reading,
writing, arithmetic, and reasoning = modal hidup. Keempat
point tersebut merupakan point penting yang dimiliki masyarakat literat.
Orang
multiliterat mampu berinteraksi dalam berbagai situasi. hal ini
dikarenakan orang yang literat cenderung kritis dan cepat tanggap dalam melihat
sebuah persoalan. Masyrakat yang tidak literat
tidak mampu memahami bagaimana hegemoni itu diwacanakan lewat media masa. Masyarakat
yang tidak literat cenderung tidak mau tahu, dan kurang pengetahuan tentang
suatu hal sehingga mereka tidak cepat tanggap dan kurang kritis. Pengajaran bahasa harus mengajarkan keterampilan berpikir kritis, karena
pelajaran bahasalah pintu masuk literasi dalam dunia pendidikan. Tentunya siswa harus dilatih dan terus diasah
sejak dini, dengan begitu cara berpikir siswa akan dilatih untuk mampu berpikir
bagaimana memecahkan suatu persoalan.
Ujung tombak pendidikan literasi
adalah GURU dengan fitur: komitmen profesional, komitmen etis, strategi
analitis dan reflektif, efikasi diri, pengetahuan bidang studi, dan
keterampilan literasi dan numerasi (Cole dan Chan 1994 dikutip dari Alwasilah
2012). Guru sebagai pencetak generasi bangsa, merupakan seseorang yang harus
melakukan perubahan tersebut. Kemampuan
menulis seseorang, sangat bergantung kepada guru yang mengajarnya.
Dari pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa literasi sangat penting bagi sebuah bangsa. Jika literasi
suatu bangsa itu tinggi maka bangsa tersebut akan menjadi sebuah bangsa yang
maju, namun sebaliknya jika literasi suatu bangsa masihg sangat rendah maka
bangsa tersebut akan menjadi sebuah bangsa yang tertinggal dari bangsa-bangsa
lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic