3rd
Class Review
Waktu tak terasa bergulir begitu cepat. Entah mengapa bagi saya waktu itu bagaikan
sebuah misteri, karena jika dinanti terasa lambat namun jika dihiraukan akan terasa
begitu cepat. Seperti halnya kita yang selalu
menanti-nanti akan terciptanya suatu bangsa yang memiliki kemampuan dan
kesadaran literasi tingkat tinggi. Tidak
mudah untuk mencapai semua itu, karena perlu adanya proses dan perjalanan yang
begitu panjang. Oleh karenanya, dalam proses tersebut akan
selalu ada rintangan yang harus dihadapi oleh kita semua termasuk pasang
surutnya kesadaran atau kemampuan literasi dikalangan bangsa kita.
Minggu ini merupakan minggu ketiga dimana kami harus mempersiapan endurance
(daya tahan tubuh) kami untuk menghadapi tantangan yang diberikan oleh dosen
kami pada mata kuliah “Writing 4”. Tantangan
tersebut tidak hanya akan menguras
tenaga kami, tapi juga otak dan pikiran kami.
Walaupun begitu, kami hanya berharap semoga dengan adanya tugas-tugas
tersebut dapat memberi motivasi kepada kami untuk melahirkan karya tulis yang
lebih baik lagi kedepannya.
Sedikit mengulas kembali tulisan yang berjudul “Rekayasa Literasi”
karangan Prof. A. Chaedar Alwasilah. Dalam
bukunya, beliau mengatakan bahwa literasi merupakan praktik kultural yang
berhubungan dengan persoalan sosial politik.
Namun, seiring berkembangnya zaman yang semakin hari semakin pesat,
definisi baru mengenai literasi pun lebih bervariasi bahkan mengalami rekayasa
literasi. Yang dimaksud rekayasa
literasi disini bukan hanya sekedar kemampuan baca-tulisnya saja, melainkan
cara pengajarannya dalam membaca dan menulis.
Jika biasanya siswa mempelajari writing dengan cara guru
memberikan teks kemudian siswa membacanya, lalu merespon dan menulis ulang
bacaan tersebut ke dalam sebuah tulisan.
Maka lain halnya dengan sekarang, yang harus diperhatikan yaitu
bagaimana cara kita mendekati teks tersebut.
Dengan kata lain, rekaya literasi berarti merekayasa cara pengajaran reading
dan writing yang mana terdiri dari empat dimensi yaitu linguistik (focus
text), kognitif (focus mind), perkembangan (focus growth),
dan sosiokultural (focus group).
Melalui tulisan ini, penulis juga berpendapat bahwa secara garis
besar, tulisan ini masih membahas seputar permasalahan minat maupun kesadaran
literasi di kalangan masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa. Dengan adanya rekayasa literasi yang semakin
hari semakin berevolusi, hal ini mungkin bisa menjadi salah satu upaya untuk
menjadikan manusia agar lebih berbudaya dan berpendidikan melalui penguasaan literasi
atau bahasa secara optimal.
Menurut Michael Barbe, di abad ke-21 standar kelas dunia selalu
mengharapkan akan tingginya literasi dari setiap bangsa. Di abad ini nantinya manusia akan dituntut
untuk memiliki literasi yang tinggi. Artinya,
mereka tidak hanya dituntut untuk bisa membaca dan menulis, tetapi juga
dituntut untuk bisa berpikir secara kritis serta dapat memahami symbol, angka,
tanda, atau pun gambar dan yang paling penting yaitu dapat menonjolkan rasa
percaya diri masyarakat terhadap sosial demokratis.
Perlu diingat kembali bahwasanya, literasi itu merupakan suatu
kolaborasi atau kesatuan yang terdiri dari beberapa hal yang saling mendukung
satu sama lain terutama dalam membaca dan menulis. Literasi
juga tidak akan pernah lepas dari kehidupan kita sebagai makhluk sosial yang
tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dengan
literasi, kita dapat mengenal yang namanya peduli terhadap sesama, saling
menghargai dan menghormati satu sama lain, serta bertoleransi, sehingga dari
budaya inilah akan terlahir suatu peradaban yang akan terus berkembang seiring
berkembangnya zaman.
Kata Einsten, “Imagination is more important than knowledge.” (Alwasilah
: 2012). Imajinasi itu lebih penting
jika dibandingkan dengan pengetahuan. Maksudnya,
seseorang yang tidak memiliki imajinasi, ia tidak akan bisa mengembangkan
pengetahuannya, karena pengetahuan itu pada awalnya lahir dari suatu imajinasi. Begitu pula halnya seseorang yang sedang
menulis, jika ia tidak berimajinasi terlebih dahulu, maka ia akan sulit untuk
mengembangkan serta mengungkapkan ide-ide yang ada di dalam otaknya ke dalam
tulisan yang ia buat. Jadi, pada
dasarnya literasi (baca-tulis) itu dapat dikembangan dengan cara apa saja.
Hyland dalam bukunya berpendapat bahwa menulis adalah sebuah
praktek yang didasari oleh ekspetasi (keinginan). Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa
literasi itu juga merupakan segala sesuatu yang kita lakukan, karena
berliterasi itu tidak hanya sekedar membaca dan menulis saja, tetapi juga bisa
melalui apa saja, baik itu melalui belajar mendengar, membaca walaupun sedikit
demi sedikit atau pun menulis apa saja yang ingin kita tulis. Dan yang perlu
kita ketahui bahwasanya dengan membaca dan menulis bisa membuat diri kita
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Dari semua pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa literasi itu
bukan hanya sekedar membaca dan menulis, melainkan segala sesuatu yang kita
lakukan. Selain itu dalam rekayasa
literasi, hal yang harus direkayasa ialah cara atau strategi pengajaran reading
maupun writingnya. Dalam hal ini,
rekayasa literasi harus terdiri dari empat dimensi yaitu linguistik (focus
text), kognitif (focus mind), perkembangan (focus growth),
dan sosiokultural (focus group). Oleh
karena itu untuk menghadapi pasang surutnya minat literasi bangsa kita, harus
berawal dari dalam diri kita sendiri agar bisa berusaha untuk menjadi bangsa
yang lebih baik lagi ke depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic