Burung bernyanyi bahkan saat aku tak
ingin mendengarkan nyanyiannya. Angin berhembus meskipun aku tak ingin
merasakannya. matahari tetap bersinar meskipun aku tak ingin menyapanya. Tetapi
itu semua yang ternyata kita butuhkan meskipun terkadang tak kita inginkan.
Seperti inilah hidup.
Terkadang apa yang kita inginkan tak sesuai dengan apa yang kita butuhan. Allah
memang maha mengetahui. Bahkan ‘asupan gizi’ bagi otak kita sekalipun. Untuk
urusan yang satu ini bahkan saya rasa saya benar-benar tak menginginkannya.
Apalagi kalau bukan setumpuk tugas yang diberikan pada awal pertemuan di
semester baru ini.
Apalah mau dikata. Kita
tidak akan pernah merasakan manisnya hidup jika kita merasakan pahit dan getirnya
hidup ini. Terutama pahit dan getirnya ketika harus mengalami ‘sleepless’
setelah menjalani ‘sleeping beauty’.
Pertemuan pertama di
semester empat ini pada matakuliah writing berssama Mr. Lala Bumela, M.Pd
‘lagi’ membangunkan kita dari tidur panjang dan akan terus bangun seepanjang
semester bersama tugas.
Pertemuan pertama kali
ini membahas mengenai syllabus serta mengenai writing for academic purpose.
Banyak yang beliau sampaikan pada pertemuan pada tanggal 4 februari 2014 ini.
Beberapa yang beliau sampaikan ialah
}
Learning how to write in a
second language is one of the most challenging aspects of second language
learning (Hyland 2003)
}
Even for those who speak
English as a first language, the ability to write effectively is something that
requires extensive and specialised instruction (Hyland 2003; Hyland 2004)
Dari dua pernyataan
diatas dapat kita ketahui bahwa menulis bukanlah kegiatan yang sederhana.
Menulis adalah kegiatan yang complicated sekaligus menantang apalagi dalam
bahasa kedua (l2). Jangankan bahasa kedua. Menulis dalam bahasa pertama
terkadang ada saja yang tak bercita rasa. Salah seorang guru saya pernah
berkata. Tulisan yang baik ialah tulisan yang mampu membawa pembacanya hanyut
bersamanya. Berimajinasi. Membayangkan. Serta mengerti.
Saya gemar membaca buku. Banyak buku
yang sudah saya baca dan kebanyakan dari buku itu ialah fiksi atau bahkan
pengalaman pribadi penulis yang ditulis dalam bentuk novel. Beberapa buku saya
temukan kurang bercita rasa. Saya tidak bisa hanyut di dalamnya dan bahkan saya
tak ingin melanjutkan untuk membacanya. Buku yang saya baca hampir semuanya
berbahasa pertama lalu bagaimana mereka bisa menulis dalam bahasa kedua dengan
benar jika menulis dalam bahasa pertama saja kurang bercita rasa. Seperti
yang dikatakan oleh mr. Lala melaui
simple remindernya bahawa Your first language (L1) is the foundation for your
second language (L2)
Dari sini dapat diketahui
bahwa menulis dalam bahasa pertama memang sulit apalagi dalam bahasa kedua. Bahasa
yang biasanya dipelajari pada jenjang pendidikan formal ataupun non formal.
Contohnya bahasa inggris. Fakta yang beredar saat ini ialah pelajar di
Indonesia menganggap bahwa bahasa inggris adalah termasuk pelajaran tersulit
selain matematika. Bayangkan saja. Pemikiran seperti ini sudah tertanam pada pelajar
di Indonesia.
Dari presepsi-presepsi
seperti inilah muncul bahwa seseorang yang mampu berbicara bahasa inggris
dengan baik berarti dia mampu menulis dalam baha inggris (bahasa kedua mereka).
Menurut Mr. Lala ini adalah presepsi yang kurang tepat.
Seseorang yang mampu berbicara bahasa
ingris dapat menulis. Tentu saja dia dapat menulis. Dia bisa merangkai kata
dengan mudah dan tidak ada kekhawtairan mengenai vocabulary atau masalah
grammar karena dia bisa. Akan tetapi apa yang dia tulis itu sudahkah bercitarasa
dan berbobot. Maka perlu kita tinjau ulang mengenai seseorang yang bisa berbicara bahasa inggris dengan
fasih dia bisa menulis.
Untuk mendapatkan
tulisan yang baik kita harus sering berlatih. Karena orang hebat mempunyai jam terbang yang tinggi.
Seperti halnya pemain hebat seperti Lionel Messi sebagai bintang dunia
mempunyai jam terbang yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan proses dan hasil.
Seseorang yang terus berlatih maka dia akan mencapai hasil yang maksimal karena
dalam proses tersebut dia mengalami kegagalan dan dia belajar dari kegagalan
tersebut dan tidak akan jatuh pada lubang kesalahan yang sama.
Kembali lagi dengan tulis
menulis. Di atas sudah saya jelaskan bahwa tulisan yang baik ialah tulisan yang
mampu membawa pembacanya hanyut didalamnya. maka dapat dipastikan bahwa sebuah tulisan tidak akan bisa lari
dari pembaca. Tulisan atau text saling berkaitan dengan context dan reader seperi yang
telah mr. lala jelaskan sebelumnya.
Kita ambil sebuah contoh
dalam dunia perkuliahan. Seorang mahasiswa menulis skripsi dalam konteks dunia
pendidikan atau akademik. Kemudian teks yang dia hasilkan ialah skripsi.
Sementara pembacanya yaitu dosen. Apabila ketiga unsure tersebut saling
berkaitan dan dipahami oleh penulis maka bukan tidak mungkin skripsi yang ia
hasilkan berkualitas dengan catatn dia bisa memahami ketiga unsur tersebut.
Seperti halnya
problematika yang ditayangkan di televise. Menulis juga berevolusi. Itulah sebabnya
mengapa sekarang orang sosial lebih berpotensi menjadi seorang penulis. Padahal
dulu menulis lebih banyak dilakukan oleh orang teknik. Lalu kemana saja pelajar
ilmu sosial yang ada di Indonesia.
Contohnya saja pelajar
program ilmu social sekolah menengah atas. Entah mengapa mereka selalu
dipandang sebelah mata. Padahal sebenarnya merekalah yang lebih berpotensi
menjadi seorang penulis dengan mengamati keadaan sosial di lingkungannya dengan
bekal ilmu yang mereka peroleh dari pelajaran sosial seperti halnya sosiologi,
geografi, bahkan ekonomi.
Sampai sekarang pelajar
program ilmu sosial masih dipandang sebelah mata. entah kenapa alasannya.
Apakah karena mata pelajaran pada program ini terbilang mudah atau karena
kebanyak dari mereka bertingkah laku lebih ‘berani’. Entahlah masalah ini belum
saya ketahui jawabannya ataukah mungkin ini yang disebut labeling serta
dampaknya.
Padahal jka
pelajar-pelajar program tersebut dibekali dengan ketrampilan menulis dan
diberikan jam terbang yang tinggi untuk menulis serta mencetak prestasi dengan
berbekal itu semua, bukan tidak mungkin justru program ini menjadi program
unggulan.
Saya rasa sudah terlalu
banyak yang saya tulis pada class review pertama ini. Hingga sampailah pada
kesimpulan dari seluruh class review ini. Bahasa pertama merupakan pondasi bagi
bahasa kedua. Dalam aspek pembelajaran bahasa kedua, menulis adalah aspek yang
paling sulit diantara aspek yang lainnya. Maka hal diatas lantas memunculkan
presepsi bahwa seseorang yang bisa berbicara dalam bahasa kedua sudah pasti dapat
menulis dalam bahasa kedua. Memang semua orang bisa menulis. Namun tidak semua
orang dapat menulis dengan baik. Karena penulis yang baik mempunyai jam terbang
yang tinggi serta pengetahui dan memahami ketiga unsur yang saling terkait
yaitu context, text serta reader.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic