Menulis
adalah sesuatu yang sukar bagi para peserta didik di Indonesia. Padahal menulis adalah sesuatu yang penting
bagi para siswa untuk mengembangkan bakat, keterampilan, membantu daya ingat,
membuat peserta didik lebih berpikir kritis.
Namun, sayangnya di Indonesia sendiri sistem menulis belum menjadi
kebiasaan para peserta didik untuk mengasah kemampuannya. Bahkan, para dosenpun mayoritas tidak bisa
menulis. Ini sangat mengkhawatirkan
sekali bagi para bangsa muda di Indonesia khususnya bagi para siswa yang sedang
belajar di bangku sekolah ataupun perkuliahan.
Lebih mengkhawatirkannya lagi, para guru tidak mengenalkan siswanya
untuk menulis. Seharusnya di tingkat SMP
dan SMA siswa harus sudah dikenalkan menulis agar mereka dapat berpikir kritis
dan mengasah otaknya untuk berpikir dan terus berpikir. Sehingga kemampuan menulis dan daya pikir
siswa terus berkembang.
Seperti
tulisan “(Bukan) Bangsa Penulis” yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, Pikiran Rakyat, 28 Februari 2012),
tulisan tersebut menguak tulisan tentang bangsa Indonesia yang mana bangas Indonesia
bukan bangsa penulis. Tulisan A.Chaedar
Alwashilah ini mencakup tentang mayoritas sarjana lulusan PT di Indonesia tidak
bisa menulis dan bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Hal tersebut sangat memprihatikan
sekali. Para mahasiswa seharusnya lebih
mahir dalam kemampuan menulisnya. Sepertinya
ada sedikit kesalahan dalam proses pembelajaran ketika para siswa duduk di
bangku SMA. Seperti yang dikatakan oleh
A. Chaedar Alwashilah dalam tulisannya, bahwa penelitian Krashen (1984) di
perguruan tinggi AS menunjukan bahwa para penulis produktif dewasa adalah
mereka yang sewaktu di SMA-nya, antara lain, banyak membaca karya sastra,
berlangganan koran atau majalah, dan di rumahnya ada perpustakaan. Jadi untuk
memproduksi mahasiswa dan dosen yang produktif menulis, perlu pembenahan
pembelajaran baca-tulis yang benar di tingkat SMA. Jadi, dapat saya simpulkan, bahwa siswa harus
dibiasakan untuk membaca ketika di tingkat SMA.
Setelah para siswa menyukai yang namanaya membaca tentunya pengetahuan
mereka akan lebih luas lagi dan ketika mereka mulai menulis, sedikit demi
sedikit mereka akan mampu berpikir kritis karena telah dibekali oleh buku
bacaan yang telah mereka baca. Sepertinya
guru-guru yang mengajar di tingkat SMA harus melatih siswa mereka agar gemar
membaca dan menulis, sehingga para siswa tidak akan kaget dan keteteran ketika
mereka masuk perguruan tinggi.
Para
guru harus mampu membuat siswanya gemar membaca dan menulis, karena hal itu
adalah modal utama para siswa agar mereka menjadi siswa yang dapat berpikir
dengan kritis dan membangun dirinya sendiri menjadi siswa yang berpotensi
tinggi. Setelah siswa masuk perguruan
tinggi, mereka akan terbiasa dengan menulis.
Sehingga akan memudahkan mereka dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah yang
berbau bacaan dan tulisan. Selain itu,
mereka juga akan lebih mudah dalam menulis skripsi mereka, karena mereka telah
dibekali oleh pembelajaran membaca dan menulis di tingkat SMA. Maka dari itu
guru SMA harus mampu membuat siswanya menjadi sosok yang menggemari membaca dan
menulis.
Dalam
perguruan tinggi, untuk membuat mahasiswa lebih mahir lagi dalam hal menulis,
tentunya dosen harus memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam hal menulis
sehingga dosen tersebut akan mampu membawa mahasiswanya mahir menulis. Dosen yang mahir dalam menulis akan menciptakan
mahasiswa yang mahir pula. Tergantung
para dosen membimbing siswanya dalam proses pembelajaran menulis di perguruan
tinggi.
Tidak
jauh berbeda dari tulisan A.Chaedar Alwashilah yang berjudul “(Bukan) Bangsa
Penulis”, dalam bukunya yang berjudul “Powerful Writers versus the Helpless
Readers” juga masih membahas tentang menulis yaitu keterkaitan antara penulis
dan pembaca. Hal yang menarik dari
tulisan A. Chaedar Alwashilah ini adalah “saya akan berhipotesis bahwa
pendidikan bahasa kita telah gagal untuk mengembangkan pembaca kritis”. Dari
pernyataan A. Chaedar Alwashilah tersebut, sepertinya Indonesia sangat
tertinggal jauh perkembangan sistem pendidikan bahasanya. Selain mahasiswa perguruan tinggi yang kurang
menguasai dalam hal menulis, ternyata mahasiswa kita juga belum mampu menjadi
pembaca kritis. Dengan demikian,
mahasiswa Indonesia belum mampu membaca teks tulisan penulis-penulis yang tingkat
tulisannya tinggi. Mereka cenderung
kurang memahaminya karena penguasaan membaca mereka sangat minim, sehingga
menimbulkan masyarakat Indonesia khusunya para mahasiswa cenderung terlalu
lemah untuk dapat mengerti apalagi memahami apa yang penulis maksud dalam
tulisannya. Hal ini bisa terjadi karena
mahasiswa kurang sekali membiasakan budaya membaca dalam dirinya. Seperti pepatah membaca adalah gudangnya
ilmu. Dengan membaca pengetahuan kita
akan berkembang dan bertambah. Maka dari tu mahasiswa harus membiasakan membaca
dan menulis. Sehingga lama kelamana kita
akan mampu untuk menjadi pembaca kritis.
Maka dari itu, budayakanlah membaca dan menulis dalam diri kita sejak
dini mungkin, agar kita terbiasa untuk berpikir kritis dan menjadi penulis
karena pembaca kritis akan menghasilkan penulis yang kritis juga.
Mahasiswa
Indonesia, yang saat ini lebih dari 2,6 juta jumlahnya, dicuci otaknya bahwa
bahasa nasional kita tidak cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ini terjadi karena
mahasiswa kurang kritis dalam memilih buku yang baik untuk mereka. Selain itu, yang mendapatkan gelar PhD di
luar negeri malah menggunakan buku impor untuk mahasiswanya dalam proses
mengajar di kelas. Padahal hal itu
kurang baik untuk mahasiswa, karena buku impor tersebut mencuci otak mahasiswa
Indonesia. Padahal, buku ilmu
pengetahuan buatan asli Indonesia jauh lebih baik untuk membimbing mahasiswa
dalam proses pembelajaran di kelas.
Tidak
jauh berbeda dari tulisan A. Chaedar Alwasilah, C W Watson pun membenarkan dan
mendukung tulisan dari A. Chaedar Alwasilah.
Bahwasannya, belajar dan proses mengajar di Indonesia masih rendah
tingkat membaca dan menulisnya. Terlebih
lagi, siswa menghadapi kesulitan dalam
membaca teks akademis, baik tertulis awalnya dalam bahasa Indonesia atau
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau disajikan kepada mereka dalam
bahasa Inggris, pasti tak terbantahkan. Hal ini sangat memprihatinkan sekali,
karena masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa cenderung belum memahami
bahasa mereka sendiri yaitu bahasa Indonesia.
Sebelum kita berajak pada pembelajaran prodi bahasa Inggris, siswa harus
mampu dan mengerti terlebih dahulu teks-teks yang berbahasa Indonesia. Apabila teks bahasa Indonesia saja kita tidak
mampu memahaminya bagaimana dengan teks yang berbahasa Inggris? Tentunya, dosen
harus mampu membimbing siswanya untuk lebih mengenal dan memahami teks bahasa
Indonesia. Kata-kata yang terlalu tinggi
yang terdapat pada teks bahasa Indonesia terkadang sulit untuk dipahami oleh
mahasiswa apalagi yang terdapat pada teks bahasa Inggris. Oleh karena itu, dosen harus mampu membimbing
mahasiswanya untuk lebih mengenal teks bahasa Indonesia ketimbang bahasa
Inggris. Dengan demikian, perlahan-lahan
mahasiswa akan mampu memahami tulisan teks bahasa Indonesia dan mulai berpikir
kritis dalam membaca. Memang hal ini
tidak mudah, akan tetapi kebiasaan, usaha dan kerja keras akan membuat mahasiswa
menjadi bersemangat untuk membaca dan menulis sehingga kemampuan menulis
mahasiswa dapat ditingkatkan sesuai dengan kapasitas mahasiswa yang seharusnya.
Dari
ketiga wacana yang berjudul (Bukan) Bangsa Penulis, Powerful Writers versus the
Helpless Readers, dan Learning and Teaching proses, dapat disimpulkan bahwa
ketiga wacana tersebut masih keterkaitan
erat satu sama lain. Wacana pertama, membahas
tentang menulis, yaitu banyaknya sarjana lulusan perguruan tinggi yang tidak
bisa menulis dan bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis. Wacana kedua, membahas tentang mahasiswa yang
telah gagal menjadi pembaca kritis. Pada
wacana ketiga, yang sangat memprihatinkan sekali bahwa mahasiswa tidak memahami
teks yang berbahasa Indonesia. Hal
tersebut dikarenakan mahasiswa tidak dibiasakan membaca dan menulis pada
tingkat SMA oleh guru-guru mereka sehingga berdampak besar ketika mereka kuliah
di perguruan tinggi. Padahal, dengan
pembekalan membaca dan menulis di tingkat SMA, mahasiswa tidak akan begitu
kaget dan akan sedikit memudahkan mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas
perkuliahan khususnya yang berbau membaca dan menulis. Selain itu, akan menghasilkan pembaca yang
kritis. Pembaca kritis akan menghasikan
penulis yang kritis. Dengan pembekalan
ilmu pengetahuan dan membaca buku khususnya membaca teks-teks yang berbahasa
Indonesia, siswa akan mampu menjadi pembaca kritis, karena banyaknya pengalaman
membaca yang diperoleh dari buku. Dengan
begitu, mahasiswa akan mampu menjadi penulis yang kritis juga, karena
pengetahuan yang kita peroleh dari bacaan sangat berpengaruh besar terhadap apa
yang kita tulis. Maka dari itu, pembaca
yang kritis akan menghasilkan penulis yang kritis pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic