Appetizer Essay
Membaca dan menulis merupakan dua hal yang saling berkaitan satu
sama lain. Dengan membaca, seseorang
akan terbuka wawasannya. Jika membaca
adalah proses membuka jendela dunia, melihat wawasan yang ada dan menjadikannya
sebaga khazanah pribadi, maka menulis adalah wadah atau proses dimana kita
menyajikan kembali khazanah tersebut kepada masyarakat luas. Masyarakat yang kuat dalam tradisi membaca
akan memiliki kekuatan pula dalam tradisi menulis. Itulah sebabnya mengapa jumlah karya ilmiah
penelitian atau buku yang dihasilkan suatu bangsa berbanding lurus dengan
kemajuan budaya baca pada bangsa tersebut.
Oleh karena itu membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang sulit
dipisahkan.
Setelah saya
membaca wacana yang berjudul “(Bukan) Bangsa Penulis”
karangan bapak Chaedar, ada banyak
sekali informasi yang saya dapatkan dari wacana tersebut. Dalam wacananya beliau memaparkan tentang
permasalahan akan minimnya kemampuan menulis di kalangan mahasiswa perguruan
tinggi Indonesia baik itu Negeri maupun Swasta.
Hal ini sangat disayangkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi
selaku orang pertama yang paling bertanggung jawab mengawal publikasi ilmiah di
kalangan perguruan tinggi. Beliau
mengutarakan kekecewaannya, karena mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi
di Indonesia ini masih banyak yang tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa
menulis. Menurut beliau, secara total
jumlah karya ilmiah yang dihasilkan dari perguruan tinggi di seluruh Indonesia
pada saat ini masih rendah. Mungkin jika
dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia hanya sepertujuhnya saja.
Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi juga menghimbau kepada para sarjana untuk memiliki kemampuan
menulis artikel jurnal, karena kemampuan menulis artikel jurnal ini merupakan
literasi tingkat tinggi, yakni kemampuan mereproduksi ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, artikel jurnal dijadikan
sebagai ajang silaturahmi intelektual dan profesional bagi para dosen atau
peneliti, yang bertujuan agar ilmunya tetap terbarukan dan tidak ketinggalan
zaman. Artikel jurnal juga merupakan
bukti kepakaran dan spesialisasi keilmuan penulisnya, karena seringkali sangat
teknis, abstrak, dan hanya dimengerti oleh sesama pakar yang jumlahnya relatif
terbatas. Oleh karenanya, jumlah artikel
jurnal lebih sedikit dibandingan dengan buku teks, majalah, atau surat kabar.
Selama ini
perguruan tinggi di Indonesia mewajibkan mahasiswanya untuk menulis skripsi,
tesis, dan disertasi, karena itulah tempat atau ajang yang paling tepat untuk mengasah
kemampuan dan keterampilan mereka dalam menulis, meneliti, serta melaporkannya
secara akademik. Lain halnya dengan
perguruan tinggi yang ada di Amerika Serikat, semua perkuliahan yang ada disana
merekomendasikan atau bahkan mengharuskan mahasiswanya untuk banyak menulis
esai seperti reviu buku, laporan observasi, ringkasan bab, dan sebagainya. Tugas-tugas itu dapat mengasah nalar dan
argumen tulisan mereka, karena tugas-tugas tersebut selalu dikembalikan dengan
komentar kritis dari dosennya. Jadi, tidak
ada keharusan menulis skripsi, tesis, apa lagi artikel jurnal bagi mereka.
Pada intinya dalam
wacana ini pak Chaedar berpendapat bahwa untuk memproduksi atau menciptakan
generasi mahasiswa dan dosen yang produktif menulis, maka perlu adanya
pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar di tingkat SMA. Oleh karena itu, untuk menyiapkan ilmuan dan
peneliti yang produktif menulis, para siswanya harus “dipaksa” jatuh cinta pada
karya sastra.
Lain halnya dengan
wacana yang berjudul “Powerful Writer versus the Helpless Reader”.
Wacana ini berisikan permasalahan-permasalahan tentang minimnya kesadaran
literasi dikalangan mahasiswa serta tanggapan sampel survey mengenai indikasi
dari profil keaksaraan lulusan universitas dan cerminan bagaimana pendidikan
bahasa terjadi di Negara ini.
Dalam wacana ini,
penulis mengutarakan pendapatnya bahwa pendidikan bahasa kita telah gagal
mengembangkan pembaca yang kritis, padahal mayoritas lulusan perguruan tinggi
di Indonesia telah mempelajari bahasa lokal, bahasa Indonesia, dan bahasa asing
khususnya bahasa Inggris dari mulai SD hingga lulus kuliah.
Seorang pembaca
yang kritis itu mampu mengembangkan kesadaran dari bentuk, isi, dan konteks
yang dibacanya. Pembaca kritis juga
percaya bahwa penulis dan pembaca keduanya sama-sama bertanggung jawab dalam
pembuatan makna. Ciri-ciri pembaca yang
kritis itu diantaranya sering bertanya tentang hal yang belum ia pahami, bisa
memilah-milih informasi yang ia dapatkan maksudnya ketika ia mendapatkan suatu
informasi, ia tidak langsung percaya begitu saja dengan informasi tersebut. Kalau misalnya ada pertanyaan : “Bila anda
tidak mengerti teks yang anda baca, apa alasannya?” seorang pembaca kritis akan menjawab bahwa
penulis tidak cukup kompeten (cakap) untuk menyampaikan ide-idenya untuk
menghibur para pembacanya.
Setelah penulis
melakukan survei di sebuah sekolah pasca sarjana di Bandung, beliau mengajukan
pertanyaan kepada 40 mahasiswa matematika dan 60 mahasiswa bahasa : “Jika anda
tidak memahami teks yang and abaca, apa alasannya?” dari pertanyaan tersebut
hampir 95 persen siswanya menyalahkan diri mereka sendiri. Dengan alasan mereka tidak memiliki latar
belakang membaca yang baik, keahlian yang dimiliki penulis sangat tinggi, angka
tersebut masih di luar kapasitas mereka sebagai pelajar baru, retorika yang terlalu
rumit, atau mereka tidak bisa berkonsentrasi ketika membaca dan lain-lain. Respon tersebut menunjukkan banyak hal, dan
yang paling penting memberikan dampak atau sikap yang fatal terhadap teks yang
diciptakan oleh penulis powerful, karena pembaca yang seperti itu bisa
dikatakan sebagai pembaca yang pasif atau tak berdaya.
Beralih ke wacana
selanjutnya yang berjudul “Learning and Teaching Process : More about
Readers and Writers”. Wacana ini
menjelaskan bahwa proses belajar dan mengajar itu lebih dari sekedar pembaca
dan penulis.
Menurut penulis,
jika ia posisinya sebagai orang Non-Indonesia (Warga Negara Asing) ia akan
berani untuk mengekspresikan pendapatnya yang beresiko memprovokasi kemarahan
pembaca Indonesia. Penulis hanya bisa
menarik kesimpulan bahwa kita semua berbagi tanggung jawab untuk meningkatkan
kualitas pemikiran kritis di Negara.
Dari pengalaman penulis dan Dr. Chaedar ketika proses belajar mengajar,
para siswa mengalami kesulitan dalam membaca teks akademis, baik tulisan asli
berbahasa Indonesia, tulisan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau
juga tulisan berbahasa Inggris. Selain
itu, analisis hasil tes yang diambil dari mahasiswa Indonesia, yang disajikan
oleh Dr. Imam Bagus dalam sebuah makalah baru-baru ini yang diberikan pada
sebuah konferensi di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung) pada 2
Februari, menunjukkan bukti mengejutkan bahwa siswa tidak mampu
mengidentifikasi tema utama dari potongan prosa Indonesia dalam soal pilihan
ganda.
Dari permasalahan
di atas timbul satu pertanyaan, “sebenarnya apa yang menjadi alasan untuk
ketidak mampuan ini?” Menurut beliau,
Dr. Imam, hal ini dikarenakan kurangnya kompetensi yang dimiliki oleh guru
ketika menginstruksikan muridnya. Selain
itu, alasan lain yang paling mendasar yaitu mengenai silabus dan pemeriksaan
sistem kurikulum yang ada didalmnya.
Secara garis besar
wacana ini menjelaskan bahwa dalam proses belajar mengajar tidak hanya sekedar
ada pembaca dan penulis yang berperan penting dalam proses ini, akan tetapi ada
faktor lain juga yang memiliki peranan penting dalam proses ini diataranya
yaitu silabus, pemeriksaan sistem kurikulum, yang semuanya bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca dan menulis.
Jadi, kesimpulan
dari ketiga wacana di atas yaitu ketiga-tiganya menceritakan tentang minimnya
kemampuan dan kesadaran literasi di kalangan mahasiswa perguruan tinggi di
Indonesia, permasalahan-permasalah apa saja yang terjadi ketika proses belajar
dan mengajar, serta faktor penyebab yang membuat siswa kesulitan dalam membaca
dan menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic