CHAPTER
REVIEW
Dalam chapter review kali ini akan menyajikan
penjelasan mengenai “literasi” dari artikel A.
Chaedar Alwasilah yang berjudul “Rekayasa Literasi”. Berikut merupakan
cara pendekatan dan metode yang biasanya digunakan dalam pengajaran bahasa
asing:
1. Pendekatan
struktural dengan grammar translation methods. Dengan metode tersebut siswa
dilatih dalam penulisan dan penyusunan tata bahasa yang benar.
2. Pendekatan
audiolingual atau dengar ucap. Pendekatan tersebut siswa dilatih dalam hal
pendengaran seperti contohnya sebuah percakapan. Keuntungan siswa dengan
penggunaan pendekatan ini yaitu siswa mampu berkomunikasi seperti yang
dicontohkan dalam sebuah dialog tersebut. Namun, kelemahan dengan menggunakan
metode ini ialah terabaikannya latihan atau praktek untuk menulis.
3. Pendekatan
kognitif dan transformatif.
4. Pendekatan
communicative competence.
5. Pendekatan
literasi.
Dari kelima pendekatan diatas, yang akan dibahas lebih
jauh lagi yaitu tentang “literasi”, karena literasi sangatlah berpengaruh
terhadap permasalahan bangsa ini, contohnya KKN karena hal tersebut merupakan
kegagalan dari sistem pendidikan Indonesia yang menyebabkan cara kerja yang
payah. Kegagalan pendidikan di Indonesia
disinyalir karena gagalnya bangsa ini dalam mengembangkan budaya literasi.
Literasi adalah pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam
menerapkan kemampuan membacanya untuk belajar lebih lanjut, dan
bukan hanya keterampilan
teknis dalam tingkat
belajar membaca namun juga dalam
hal keterampilan menulis. Laporan UNESCO
tahun 2006 tentang literasi dunia, menyatakan bahwa literasi adalah hak dasar
manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan. Seandainya, dengan
terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan
teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya negara
kita sendiri. Dengan kata lain, literasi menjadi titik utama untuk mengusahakan
meningkatnya kualitas hidup manusia, salah satunya dalam hal pendidikan. Pada
masa lampau membaca dan menulis dianggap cukup hanya sebatas untuk pendidikan
dasar pada saat usia dini saja untuk menghadapi kemajuan zaman. Namun dengan
berkembangnya zaman sekarang literasi bukan hanya satu macam saja (yakni,
membaca dan menulis), namun sekarang terdapat ungkapan – ungkapan literasi,
seperti:
1. Literasi komputer yaitu kemampuan untuk membuat dan memanipulasi
dokumen dan data dengan menggunakan perangkat computer.
2. Literasi visual, yaitu kemampuan seseorang dalam hal memahami dan
mengekspresikan sebuah gambar.
Selain diatas ungkapan
literasi lainnya pun masih banyak seperti literasi matematika, literasi IPA,
literasi informasi, literasi media, literasi digital, literasi jaringan,
literasi perpustakaan, dan masih banyak ungkapan literasi lainnya lagi. Dilihat
dari ungkapan literasi diatas, dapat diketahui bahwa sekarang makna dari
literasi itu sendiri semakin meluas. Namun, apakah budaya literasi di Indonesia
sendiri sudah mulai meningkat?
Tingkat literasi membaca, matematika, dan sains siswa di seluruh
dunia dapat diketahui dari tiga
studi internasional yang
dipercaya sebagai instrumen
untuk menguji kompetensi
global, yaitu PIRLS, PISA, dan
TIMSS.
PIRLS (Progress in International
Reading Literacy Study) adalah studi literasi membaca yang dirancang untuk
mengetahui kemampuan anak
sekolah dasar dalam
memahami bermacam ragam bacaan.
Penilaiannya difokuskan pada
dua tujuan membaca
yang sering dilakukan anak-anak, baik membaca di sekolah
maupun di rumah, yaitu membaca cerita/karya sastra dan membaca untuk memperoleh
dan menggunakan informasi.
PISA (Programme for
International Student Assessment)
adalah studi literasi
yang bertujuan untuk meneliti
secara berkala tentang kemampuan siswa usia 15 tahun (kelas III SMP dan Kelas I SMA)
dalam membaca (reading
literacy), matematika (mathematics literacy), dan
sains (scientific literacy).
TIMSS (Trends in International
Mathematics and Science
Study) adalah studi
internasional untuk kelas IV
dan VIII dalam
bidang Matematika dan
Sains. TIMMS dilaksanakan
untuk mengetahui tingkat pencapaian siswa berbagai negara di dunia
sekaligus memperoleh informasi yang bermanfaat tentang konteks pendidikan
Matematika dan Sains.
Salah satu temuan yang
dituliskan dalam artikel karya A. Chaedar Alwasilah yaitu skor prestasi membaca
di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa) angka tersebut merupakan nilai yang
berada dibawah rata – rata negara peserta lainnya yaitu 500,510 dan 493. Hasil survey literasi dunia PISA
terakhir tahun 2009 menempatkan Indonesia di urutan ke-62 dari 72 negara,
tertinggal jauh dari Thailand (53) dan Malaysia (55).Dapat dilihat bahwa negara
kita tertinggal terlampau jauh oleh negara tetangga.
Menurut Tati D Wardi menuliskan pada
tempo.co, untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia di bidang literasi ini, yang
paling mendesak untuk dilakukan adalah merevisi paradigma usang literasi dan
menggantinya dengan paradigma yang lebih merefleksikan kebutuhan berliterasi di
era ketika siswa dikelilingi teks, informasi, dan gambar dari berbagai penjuru.
Upaya strategis yang bisa kita lakukan untuk menumbuhkan daya literasi
Indonesia secara menyeluruh dan berkesinambungan adalah dengan memulainya dari
pendidikan di sekolah.
Dengan terjadinya ketertinggalan
Indonesia, bangsa Indonesia harus bisa merubah strategi pendidik dalam mendidik
anak didiknya(murid/siswa). Guru harus bisa merubah caranya mengajar dalam
proses membantu muridnya untuk membaca dan menulis. Seorang guru tersebut
tidaklah sama seperti guru bahasa lainnya yang hanya menstransfer
pengetahuannya kepada murid – muridnya, namun melainkan melatih kemampuan baca
– tulisnya. Selain itu kita juga bisa
mengupayakan untuk memperkenalkan buku pada anak – anak kecil, lingkungan yang
mendukungpun tak kalah penting, lingkungan yang literate pun harus bisa memberi
sugesti bagi yang lain untuk membudayakan budaya baca – tulis ini, bukan budaya
lisan. Dapat dilihat bahwa permasalahannya, guru tidak dapat mempersiapkan
muridnya untuk menjadi seseorang yang literate terhadap informasi jika mereka
sendiri tidak mengerti bagaimana
menemukan dan menggunakan informasi.
Mirisnya, pada zaman sekarang ini
budaya baca – tulis semakin tenggelam tergantikan oleh budaya lisan, khususnya
televisi. Budaya lisan pada masa kini sudah dapat menyita perhatian dunia, dan
masyarakat lebih mudah terpikat oleh budaya lisan “media televisi” dibandingkan
dengan baca “Koran”, “majalah”, atau buku. Agar dapat memahami realitas media,
seseorang harusnya memiliki sebuah keterampilan yang baru yaitu literasi media.
Dengan literasi media kita diharapkan mampu untuk mengakses, menganalisis,
mengevaluasi berbagai informasi yang diterimanya. Dengan begitu maka akan
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki kemampuan sehingga dapat membuat
keputusan sendiri dalam memilih media.
Dapat disimpulkan, bahwa masyarakat
sekarang lebih menyukai informasi “yang dibacakan” sehingga penonton hanya
sebagai “pembaca yang pasif” yang dengan santainya mengunyah semua pendapat
atau opini yang dikemukakan oleh penyiar televise. Budaya lisan tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan budaya baca – tulis tidak terlalu dibutuhkan karena
sumber informasi yang disampaikan kepada para audience lebih bersifat audio - visual.
Adapun 11 gagasan kunci ihwal
literasi untuk menunjukkan perubahan yang lebih baik:
1.
Ketertiban lembaga
– lembaga sosial
2.
Tingkat kefasihan
relatif
3.
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
4.
Standar dunia
5.
Warga masyarakat
demokratis
6.
Keragaman local
7.
Hubungan global
8.
Kewarganegaraan
yang efektif
9.
Bahasa Inggris
ragam dunia
10. Kemampuan berpikir kritis
11. Masyarakat semoitik
Dituliskan juga dalam
artikel karya A. Chaedar Alwasilah,
bahwa terdapat 3 paradigma dalam pembelajaran literasi:
1.
Paradigma
#1: decoding. Pembelajaran ini dimulai dari yang sangat awal, yaitu mengenal
huruf, baru kemudian menghubungkan huruf – huruf tersebut sehingga terbentuk
sebuah kata. Sehingga dengan begitu anak mampu mengerti anatara tulisan(kata)
beserta maknanya.
2.
Paradigma
#2: skills (keterampilan). Siswa dilatih untuk membaca dan mengenali sebuah
kosakata baru dari teks yang dibacanya, dengan begitu siswa diharapakn bisa
mengembangkan kemampuan literasinya secara mandiri.
3.
Paradigma
#3:whole language (bahasa secara utuh). Sedangkan pada paradigma yang ketiga
ini bertolak belakang dengan dua paradigm sebelumnya. Paradigma ini, lebih
setuju jika pembelajaran langsung dimulai dari pembelajaran makna katanya.
Pembahasan mengenai
paradigma diatas bahwa pengajaran bahasa asing terkesan rumit. Kini terjadi
perubahan paradigma pengajaran literasi, sebagai berikut:
1.
Paradigma
#1: mengubah cara pandang dan pemaknaanya dalam pengajaran terhadap siswa.
2.
Perubahan
teknik mengajar guru
3.
Pengembangan
literasi sejak dini.
Korelasi antara literasi dan peran
guru inilah yang akan menjadi salah satu improvisasi yang selaras, karena
keduanya saling bergantung satu dengan yang lainnya.
KESIMPULAN
Literasi adalah pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam
menerapkan kemampuan membacanya untuk belajar lebih lanjut, dan
bukan hanya keterampilan
teknis dalam tingkat
belajar membaca namun juga dalam
hal keterampilan menulis. Laporan UNESCO
tahun 2006 tentang literasi dunia, menyatakan bahwa literasi adalah hak dasar
manusia sebagai bagian esensial dari hak pendidikan. Seandainya, dengan
terpenuhinya hak literasi memungkinkan kita mengakses sains, pengetahuan
teknologi, dan aturan hukum, serta mampu memanfaatkan kekayaan budaya negara
kita sendiri. Dengan kata lain, literasi menjadi titik utama untuk mengusahakan
meningkatnya kualitas hidup manusia, salah satunya dalam hal pendidikan.
Tingkat literasi membaca,
matematika, dan sains siswa di seluruh dunia dapat diketahui dari tiga studi internasional
yang dipercaya sebagai
instrumen untuk menguji
kompetensi global, yaitu PIRLS, PISA, dan TIMSS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic