CHAPTER
REVIEW
Setelah
membaca buku yang ditulis oleh A.Chaedar Alwasilah pada Bab 6 yang berjudul
“Rekayasa Literasi”, disini dijelaskan bahwa periodisasi penggunaan metode dan
pendekatan (approach) dikelompokkan oleh para ahli bahasa, khususnya terhadap
pengajaran bahasa asing ke dalam lima kelompok besar, yaitu sebagai berikut :
1.
Pendekatan Struktural
dengan Grammar Translation Methods
Pada
pendekatan ini, fokus pembelajarannya diletakkan pada penggunaan bahasa tulis
dan penguasaan tata bahasa. Hal ini
melatih siswa dalam menganalisis kesalahan berbahasa atau error analysis,
sintaksis kalimat, dan wacana. Akan
tetapi, pendekatan ini tidak menjamin siswa mampu menganalisis persoalan
sosial.
2.
Pendekatan
Audiolingual atau Dengar-Ucap
Pada
pendekatan ini, fokusnya diletakkan pada latihan dialog-dialog pendek untuk
dikuasai oleh siswa. Hal ini dimaksudkan
agar di kemudian hari siswa akan beranalogi pada dialog-dialog itu saat
berkomunikasi secara spontan. Namun,
pendekatan ini kurang memberi ruang terhadap variasi ujaran untuk berbagai
fungsi dan penguasaan bahasa tulis terabaikan.
3.
Pendekatan
Kognitif dan Transformatif
Pendekatan ini sebagai implikasi dari teori-teori
Syntactic Structure (Chomsky, 1957).
Fokus pengajarannya diletakkan pada pembangkitan (generating) potensi
berbahasa siswa. Hal ini harus sesuai
dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya, serta materi yang diajarkan kepada
siswa berorientasi ke sintaksis. Hal ini
menimbulkan sebuah pertanyaan, “memangnya berbahasa itu hanya
bersintaksis?”. Bisa jadi, secara
sintaksis benar, tetapi secara sosiolinguistik tidak fungsional.
4.
Pendekatan
Communicative Competence
Pada
pendekatan ini terdapat tokoh-tokohnya yaitu Hymes (1976) dan Widdowson
(1978). Pada tahun 1980-1990, pendekatan
ini menjadi tren pengajaran bahasa.
Tujuan dari pengajaran bahasa adalah menjadikan siswa mampu
berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi terbatas sampai dengan
komunikasi spontan dan alami. Dalm
komunikasi manusia tidak hanya sekadar memproduksi ungkapan yang komunikatif. Tidak hanya itu, komunikasi pun harus
bernalar. Pendekatan komunikatif juga
dianggap kurang eksplisit dalam upaya menjelaskan bentuk dan fungsi, sehingga
lahir tata bahasa fungsional atau Systemic
Fuctional Grammar (SFG) yang dikembangkan oleh Halliday (1985), Martin
(2000), dan lain-lain.
5.
Pendekatan
Literasi atau Pendekatan Genre-based
Pendekatan
ini sebagai implikasi dari studi wacana.
Tujuan pembelajaran adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana
yang sesuai dengan tuntutan konteks komunikasi (Kurikulum 2004). Dalam pendekatan ini aspek yang sangat
menonjol adalah pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun tulisan untuk
dikuasai oleh siswa. Pembelajaran dilakukan melalui empat tahapan, yaitu :
a.
Membangun
pengetahuan ;
b.
Menyusun model-model
teks ;
c.
Menyusun teks
bareng-bareng ; dan
d.
Menciptakan
sendiri teks.
Berbicara mengenai
literasi, tentunya terdapat berbagai definisi.
Dalam definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis (7th
Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005 : 898). Dalam konteks persekolahan Indonesia, istilah
literasi jarang dipakai. Istilah yang
sering dipakai adalah pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa (Setiadi:
2010). Pada masa silam membaca dan
menulis di Indonesia dianggap cukup sebagai pendidikan dasar untuk membekali
kemampuan manusia menghadapi tantangan zamannya. Namun, pendidikan dasar tidak cukup
mengandalkan kemampuan membaca dan menulis.
Permasalahan literasi selama bertahun-tahun dianggap sekadar persoalan
psikologis, yang berkaitan dengan kemampuan mental dan keterampilan
baca-tulis. Padahal literasi adalah
praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karena itu, para pakar pendidikan dunia
berpaling ke definisi baru yang menunjukkan paradigma baru dalam upaya memaknai
literasi dan pembelajarannya. Sekarang
ini ada ungkapan literasi komputer, literasi IPA, dan sebagainya. Oleh karena tantangan zaman yang seperti itu,
Freebody and Luke menawarkan model literasi sebagai berikut : (1) memahami kode
dalam teks, (2) terlibat dalam memaknai teks, (3) menggunakan teks secara
fungsional, dan (4) melakukan analisis dan mentransformasi teks secara
kritis. Keempat peran literasi ini dapat
diringkas ke dalam lima verba, yaitu memahami, melibati, menggunakan,
menganalisis, dan mentransformasi teks.
Itulah hakikat berliterasi secara kritis dalam masyarakat
demokratis.
Berikut ini adalah
definisi literasi yaitu kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, dan
berbicara dalam bahasa Inggris dan menghitung serta menyelesaikan masalah pada
tingkatan keahlian kebutuhan yang berfungsi pada pekerjaan di masyarakat, untuk
mencapai tujuan seseorang, dan untuk mengembangkan potensi dan pengetahuan
seseorang. (The National Literacy Act di Amerika Serikat, 1991). Pada definisi tersebut ada perubahan makna
literasi, yang sudah pasti mengakibatkan perubaan pengajaran. Maka dari itu, makna dan rujukan literasi
terus berevolusi dan sekarang maknanya semakin meluas dan kompleks. Namun, literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa, dan sekarang merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh
dimensi yang saling terkait, diantaranya:
1).
Dimensi
geografis (lokal, nasional, regional, dan Internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi lokal,
nasional, regional, atau Internasional, hal itu bergantung pada tingkat
pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya.
2).
Dimensi bidang
(pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan sebagainya)
Literasi bangsa tampak di berbagai bidang, misalnya
dalam pendidikan yang berkualitas tinggi, tentunya akan menghasilkan literasi
yang berkualitas tinggi pula.
3).
Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Dalam hal ini, literasi seseorang akan tampak dalam
kegiatan membaa, menulis, menghitung, dan berbicara. Untuk menjadi sarjana yang baik, orang tidak
cukup dengan mengandalkan literasi, tetapi ia juga harus memiliki keterampilan
menghitung (numerisasi). Dalam tradisi
Barat, ketiga keterampilan ini disebut dengan 3R, yaitu reading, writing, dan arithmetic.
4).
Dimensi fungsi
(memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan
pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
Bagi orang yang literat karena pendidikannya,
tentunya tidak akan sulit menghadapi berbagai persoalan yang ada dalam dimensi
fungsi ini.
5).
Dimensi media
(teks, cetak, visual, digital)
Pada zaman sekarang, untuk menjadi literat orang
tidak cukup hanya mengandalkan literasi teks alfabetis, melainkan juga harus
mengandalkan literasi teks cetak, visual, dan digital. Sehingga berkembanglah literasi visual,
literasi digital, dan literasi virtual.
6).
Dimensi jumlah
(satu, dua, beberapa)
Dalam hal ini jumlah dapat merujuk pada banyak hal,
seperti bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, da
sebagainya.
7).
Dimensi bahasa
(etnis, lokal, nasioanl, regional, Internasional)
Literacy
yang singular dan literacies yang plural beranalogi ke dimensi monolingual,
bilingual, dan multilingual. Apabila
kita orang Sunda dan mahasiswa jurusan bahasa Inggris, berarti kita adalah
orang multilingual dalam bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris. Artinya, berarti kita multiliterat.
Sesuai
dengan tantangan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, terdapat
10 gagasan fungsi perihal literasi yang menunjukkan perubahan paradigma
literasi, antara lain :
·
Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
Lembaga-lembaga
sosial yang ada di masyarakat, seperti RT, RW, kelurahan sampai dengan DPR dan
presiden, menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa, sehingga muncul bahasa
birokrat atau bahasa politik yang menunjukkan kekuasaan birokrat terhadap
rakyat.
·
Tingkat
kefasihan relative
Kefasihan berbahasa
dan literasi yang berbeda diperlukan dalamsetiap interaksi. Yang perlu dikuasai adalah kefasihan
(literasi) minmal atau literasi yang diperlukan untuk memainkan peran
fungsional dalam setiap interaksi.
·
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
Literasi
membekali orang kemampuan mengembangkan segala potensi dirinya. Pada tahap tinggi literasi membekali
mahasiswa untuk mampu memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan, yaitu
dengna cara menulis akademik. Hal itulah
literasi akademik.
·
Standar dunia
Pada
sekarang ini persaingan global dalam merujuk mutu dikembangkan ke tingkat
Internasional. Dengan begitu kulitas
pendidikan (tingkat literasi) suatu bangsa mudah dibandingkan dengan bangsa
lainnya. Hal itu dilakukan dengan
menggunakan hasil-hasil evaluasi melalui PIRLS, PISA, dan TIMSS.
·
Warga masyarakat
demokratis
Pendidikan
seharusnya menghasilkan manusia literat, yaitu manusia yang memiliki literasi
memadai sebagai warga negara yang demokratis.
Media adalah salah satu pilar demokrasi.
Dengan kata lain, pendidikan literasi harus mendukung terciptanya
demokratisasi bangsa.
·
Keragaman lokal
Manusia
literat sadar mengenai keragaman bahasa dan budaya lokal atau cerlang budaya
(Ayatrohaedi: 1986).
·
Hubungan global
Literasi
tingkat dunia bergantung pada dua hal, yaitu penguasaan teknologi informasi dan
penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
·
Kewarganegaraan
yang efektif
Literasi
membekali manusia untuk mampu menjadi warga Negara yang efektif. Warga Negara yang efektif mengetahui hak dan
kewajibannya.
·
Bahasa Inggris
ragam dunia
Sekarang
ini bahasa Inggris dipelajari oleh seluruh bangsa di dunia dengna
keanekaragaman budayanya. Maka dari itu,
bahasa Inggris mereka kental dengan kelokalan sehingga muncul berbagai ragam
bahasa Inggris.
·
Kemampuan
berpikir kritis
Literasi
bukan sekadar mampu membaca dan menulis, melainkan jga menggunakan bahasa itu
secara fasih, efektif, dan kritis.
Dengan demikian, pengajaran bahasa harus bisa mengajarkan keterampilan
untuk berpikir kritis.
·
Masyarakat semiotik
Semiotik
adalah ilmu tentang tanda, termasuk persoalan ikon, tipologi tanda, kode,
struktur, dan komunikasi. Kita semua
adalah praktisi semiotik yang setiap harinya membaca dan bernegosiasi perihal
dunia simbol dan mengonstruksi diri kita sendiri secara semiotik.
Setelah
mengkaji tujuh ranah literasi dan 10 frase kunci literasi, pendidikan bahasa
berbasis literasi seharusnya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip
sebagai berikut :
1. Literasi adalah
kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota
masyarakat.
2. Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan.
3.
Literasi adalah
kemampuan memecahkan masalah.
4.
Literasi adalah
refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
5.
Literasi adalah
kegiatan refleksi (diri).
6.
Literasiadalah
hasil kolaborasi.
7.
Literasi adalah
kegiatan melakuakan interpretasi.
Rapor Merah Literasi Anak Negeri
Sejak
1999 Indonesia ikut dalam proyek penelitian dunia yang dikenal dengan PIRLS,
PISA, dan TIMSS. Berikut ini adalah
temuannya :
1).
Skor prestasi
membaca di Indonesia adalah 407 untuk semua siswa, 417 untuk [erempuan dan 398
untuk laki-laki. Indonesia menempati
urutan kelima dari bawah, yaitu sedikit lebih tinggi daripada Qatar (356),
Kuwait (333), dn Afrika Utara (304).
2).
Dipengaruhi oleh
pendapatan kapita dan indeks pembangunan manusia (HDI). Mayoritas Negara dengan HDI-nya diatas 0,9
mencapai prestasi membaca diatas 500.
Sedangkan Indonesia memiliki HDI 0,711 dan GNI/kapita 810 US $.
3).
Ditemukannya tiga
kategori Negara berdasarkan perbandingan skor membaca lieracy purposes (LP) dan
informational purposes (IP). Indonesia
termasuk ke dalam membaca LP lebih rendah daripada IP.
4).
Di Indonesia
hanya tercatat 2% siswa yang prestasi membacanya masuk ke dalam kategori sangat
tinggi, 19% kategori menengah, dan 55% kategori rendah.
5).
Tercatat 44 %
orang tua Indonesia dibandingkan dengan Skotlandia 85%, terlibat dalam early home literacy
activities, yaitu membaca buku, bercerita, menyanyi, bermain huruf, bermain
kata, dan membaca nyaring. Literasi dapt
juga diukur dengan index of home educational resources (HER), seperti jumlah
buku, sumber belajar, dan sebagainya.
6).
Sekitar 13%
siswa berada dalam kategori high HER, 77% kategori medium, dan 10% kategori low
HER. Indonesia masuk ke dalam kategori
posisi paling bawah, yaitu hanya sekitar 1% dalam kategori high, 62% dalam
kategori medium, dan 37% dalam kategori low.
7).
Dipengaruhi oleh
pendidikan orang tua. Kelompok siswa
yang orang tuanya lulusan universitas, rerata skor capaian prestasi membacanya
yaitu 544. Sedangkan kelompok siswa yang
orang tuanya tidak tamat SD, rerata skor yang didapatkan yaitu 425, termasuk
didalamnya Indonesia.
Dari ketujuh temuan tersebut, kita dapat menarik beberapa
pelajaran, antara lain :
§ Tingkat literasi siswa Indonesia masih jauh
tertinggal oleh siswa Negara-negara lain.
Hal ini berarti pendidikan nasional kita belum berhasil menghasilkan
warga Negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari Negara lain.
§ Prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan
membaca. Tanpa kegiatan membaca banyak,
orang sulit menjadi penulis. Namun,
banyak membaca tidak menjamin orang rajin menulis. Kebanyakan lebih banyak ilmuwan daripada
penulis.
§ Pembelajaran literasi disekolah memberikan pengaruh
yang besar terhadap literasi para siswanya.
Dalam hal ini, penguasaan tentang literasi dan pedagogi pengajaran
literasi mesti dikuasai oleh guru.
Dengan kata lain, membangun literasi bangsa harus diawali dengan
membangun guru yang profesional, dan guru yang profesional hanya dihasilkan
oleh lembaga pendidikan guru yang profesional juga.
Implementasi
Dari
perbincangan diatas jelas bahwa orang literat adalah orang yang terdidik dan
berbudaya. Rekayasa literasi adalah
upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan
berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Perbaikan rekayasa literasi senantiasa
menyangkut empat dimensi, yaitu (1) linguistik atau fokus teks, (2) kognitif
atau fokus minda, (3) sosiokultural atau fokus kelompok, dan (4) perkembangan
atau fokus pertumbuhan.
Keempat dimensi tersebut dimaknai
sebagai berikut :
Ø Dimensi pengetahuan kebahasaan (fokus pada teks)
Untuk
mengajarkan literasi harus dibekali dengan pengetahuan yang salah satunya yaitu
sistem bahasa untuk membangun makna seperti jenis dan struktur teks, sintaksis,
dan sebagainya.
Ø Dimensi pengetahuan kognitif (fokus pada minda)
Untuk
membangun literasi itu memerlukan pengetahuan dan keterampilan, yang salah
satunya yaitu aktif, selektif, dan konstruktif saat membaca dan menulis.
Ø Dimensi pengetahuan perkembangan (fokus pada
pertumbuhan)
Berliterasi
itu sebuah proses menjadi secara
berkelanjutan, yaitu melalui pendidikan sepanjang hayat.
Ø Dimensi pengetahuan sosiokultural (fokus pada
kelompok)
Mengajarkan
literasi itu mengajarkan sejumlah kepekaan tekstual dan kultural lintas
kelompok dan lembaga.
Bagaimana
literasi itu diajarkan bergantung pada paradigma perihal literasi tersebut. Ada tiga paradigma pembelajaran literasi,
yaitu :
o Decoding. Dalam
hal ini, siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu tentang
literasi, yaitu bagaimana memaknai kode bahasa.
Oleh karena itu, disebut decoding.
Rumus yang berlaku dalam paradigma
ini: Perkembangan literasi = belajar ihwal literasi à belajar literasi à belajar melalui literasi.
o Keterampilan. Dalam
hal ini, siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam
pengetahuan tentang literasi, yaitu cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti
morfem dan kosakata. Rumus yang berlaku
dalam paradigma ini: Perkembangan literasi =
belajar ihwal literasi à
belajar literasi à
belajar melalui literasi.
o Belajar secara
utuh. Dalam hal ini, siswa mengumpulkan data,
membuat hipotesis, menguji hipotesis, dan mengubah hipotesis
terus-menerus. Dengan sendirinya, siswa
menemukan keteraturan bahasa. Rumus yang
diajukan dalam paradigma ini: Perkembangan literasi adalah belajar melalui
literasi à
belajar literasi à
belajar ihwal literasi.
Dari pembahasan tersebut selalu ada
perdebatan antara pendukung paradigma ihwal (dimensi) literasi dan metode
mengajar literasi mengenai wacana pengajaran bahasa asing. Perubahan paradigma membawa sejumlah
konsekuensi sampai ke metode dan teknik pengajaran yang hasilnya dapat
diukur. Di Negara ini, kesalahan dalam
sistem pendidikan dan pengajaran literasi bisa jadi dikarenakan metode dan
teknik pengajaran literasi yang selama ini kurang mencerdaskan. Dalam hal ini, tidak sepenuhnya menyalahkan
guru bahasa, karena didalam pendidikan literasi memiliki dimensi sosial
politik. Oleh karena itu, para pengambil
kebijakan harus melakukan perubahan paradigma pengajaran literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic