Class
review 3
Mentari di ufuk barat kian menampakan sinarnya.
Burung-burung berkicauan untuk menyambut
indahnya pagi. Tapi, sepertinya pagi ini akan terlelap dalam awan mendung yang datang silih berganti. Suara petirnya seakan menusuk sampai ke tepi-tepi
jantungku. Lewat hembusan angin yang terus
menyapa, tanganku memulai untuk menari
di atas kertas bersama tinta unguku. Meskipun tetesan
hujan akan jatuh ke hamparan rumput hijau, namun ide-ideku akan terus mengalir di atas hamparan kertas.
Kali
ini aku tidak akan menggambarkan malam untuk mengarungi lautan academic
writing. Pada pertemuan kali ini aku akan mengarunginya academic writing bersama mentari di ufuk barat. Sudah tiga
pertemuan dalam melewati academic writing, aku mulai menemukan tantangan yang
luar biasa untuk ke pertemuan empat. Aku pasti bisa melewatinya !!!. 19
Februari 2014 merupakan pertemuan ke tiga dengan Writing 4. Pertemuan ke tiga membahas habis tentang rekayasa literasi dan praktek literasi. Bagaimana pandangan Lehtonen dalam mengerangkan tentang
text serta dari sumber-sumber yang lain. Pengenalan tentang critical review.
Berulang
kali sepertinya ku katakan sebelum
membahas ke materi pokok, sebaiknya iklan terlebih dahulu. Sudah satu bulan
mengarungi lautan academic writing,
dalam sebulan itu kita harus mempunyai endurance.
Endurance dalam hal ini adalah bagaimana fisik atau keadaan kita? Apakah daya
tahan dalam tubuh kita siap untuk mengarungi lautan academic writing lagi? Yang
konon katanya akan lebih kompleks dalam pembahasannya. Dalam satu bulan ini
kita dilatih untuk mempertahankan antibody kita, supaya fisik kita kuat untuk
mengarungi lautan. Kalau antibody atau daya tahan tubuh kita lemah bisa
berdampak pada semua hal, karena nikmat yang paling sempurna adalah kesehatan.
Berbicara mengenai bahasa. Bahasa bagaikan hembusan nafas untuk kehidupan manusia. Lewat bahasa manusia dapat mengapresiasikan semua hal, salah satunya adalah berkomunikasi. Dalam hal berkomunikasi di kehidupan sehari-hari, apakah kita menggunakan satu atau dua bahasa atau mungkin lebih dari dua? Jika kita menggunakan lebih dari dua bahasa untuk berkomunikasi sehari-hari maka kita disebut multilingual,namun apabila kita menggunakan dua bahasa saja maka kita disebut bilingual, dan apabila kita menggunakan satu bahasa saja untuk berkomunikasi sehari-hari maka kita disebut monolingual. Begitu pula dengan menulis.
Menulis
juga seperti berkomuikasi. Dalam menulis tidak hanya terpaku terhadap satu
bahasa saja, melainkan kita dapat mengapresiasikan lewat bahasa lain. Seperti
yang dikatakan oleh Mr lala “In my very own perspective you are A
MULTILINGUAL WRITER, who writes effectively in L1 and L2 effectively;who serves
as a critical reader both in L1 and L2; who transforms yourself from a student
of language into a student of writing; who can make informed choices in life;
who can change the world”. Seorang penulis yang baik bukan hanya terpaku
dengan bahasa yang menurutnya sukai saja, namun ia juga harus mampu mengubah ke
bahasa yang lainnya, seperti A. Chaedar
Alwasilah. Bukan hanya menulis dan bebicara saja, tetapi literasi juga terlibat. Literasi itu harus diaktualisasikan dengan
bahasa lain. Contohnya dual transmission
yang harus mendesain secara hati-hati.
Mari kita mulai ke pembahasan inti mengenai rekayasa literasi. Dalam buku “Rekayasa
Literasi” yang ditulis oleh A. Chaedar
Alwasilah,
yang direkayasa literasi di Indonesia adalah proses belajar bahasanya. Bahasa dalam hal ini yaitu belajar writing dan reading. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan
di Indonesia adalah kemampuan membaca dan menulis. Seperti layaknya rekayasa genetic dalam ilmu pengetahuan
alam atau kedokteran. Yang direkayasa adalah genetiknya. Patutunya kita memikirkan mengapa literasi di Negara
Indonesia melemah dan terus teringgal dengan Negara-negara lain? Jawaban yang
mungkin tepat yaitu karena proses
pengajarannya. Menurut A. Chaedar Alwasilah bahwa “Membangun literasi bangsa harus diawali dengan membangun
guru yang professional, dan guru yang professional hanya dihasilkan oleh
lembaga pendidikan guru yang professional juga”. Berarti yang
pertama dibenahi adalah lembaga
pendidikan.
Sebuah lembaga pendidikan layaknya manusia yang
hakikatnya sebagai makhluk social. Lembaga pendidikan juga memerlukan orang lain
untuk dapat terus berkembang. Membutuhkan sarana pendidikan, pendidik, peserta
didik, dan kurikulum yang harus ada disetiap sekolah. Namun pada kenyataannya
dalam pembelajaran membaca dan menulis di Indonesia, para guru sangat
mengandalkan kurikulum nasional dan buku paket untuk materi ajar dan metodologi
mengajarnya.
Apakah untuk mengembangkan kemampuan membaca dan menulis
peserta didiknya hanya cukup memberikan
materi dalam buku LKS (lembar kerja sisiwa) dan buku paket? Kemampuan membaca
dan menulis itu tidak akan berkembang jika tidak dibarengi dengan praktek. Praktek
menulis itu bisa berupa menulis apa yang
telah telah diajarkan dikelas(review). Seseorang bisa menulis karena
memiliki kemampuan membaca yang tinggi. Proses dan hasil pembelajaran bahasa di
sekolah sering dijadikan rujukan dalam upaya mengukur literasi.
Negara yang mampu mengembangkan literasi yang tinggi, berarti
Negara tersebut kemampuan membaca, menulis, memecahkan masalah, tingkat
kebersihan, mengembangkan potensinya sudah tinggi. Bukan hanya itu saja,
pengajaran bahasa yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan
keempat dimensi ini secara serempak, aktif dan terintegrasi. Dia menggunakan
bahasa secara efektif dan efesien.
Pada gambar di atas mengenai dimensi membaca
dan menulis, pada bagian kognitif , kemampuan membaca dan menulis butuh
pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan yang ada itu untuk membangun makna.
Selanjutnya mengenai perkembangan. Menjadi literat itu adalah proses yang
terjadi secara berangsung-angsur. Dalam pertumbuhan juga membutuhkan
pengetahuan untuk mengembangkan literasi. Peranan sosioculture juga ikut
terlibat di dalamnya. Kita bukan hanya mampu membaca dan menulis secara
individual saja. Namun mampu berinteraksi dalam kemampuan membaca dan menulis
dalam kelompok,, lembaga, masyarakat, dan sekolah supaya dapat berinteraksi
dengan yang lain dalam membangun literasi.
Pembahasan selanjutnya mengenai meaning yang
terdapat dalam buku “The Culture Analysis of Text”. Menurut Lehtonen “Text itu
sebagai semiotic”. Mengapa text bisa disebut semiotic? Padahal kita tahu bahwa
semiotic adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Teks bisa dilihat dari dua
sudut yaitu fisik dan semiotic. Teks yang pasti makhluk fisik, tetapi disisi
lain juga bisa sebagai semiotic. Sebaliknya, teks dapat menjadi makhluk
semiotic hanya ketika mereka memiliki beberapa bentuk fisik.
Teks sebagai makhluk semiotic. Teks bisa
berbentuk tulisan, pidato, gambar, music atau bisa disebut simbol. Yang terpenting ketika menggambarkan suatu
symbol di dalam teks harus benar-benar jelas. Supaya makna yang dihantarkan itu
jelas kepada pembaca. Dalam bentuknya teks ditandai dengan tiga ciri, yaitu :
1.
Fisik dan material
Dengan adanya keberadaan fisik teks itu akan selalu memiliki basis
material, karena sifat fisik dan material itu merupakan sesuatu yang harus ada
dalam teks.
2.
Formal
tanda-tanda yang diposisikan dalam hubungan temporal dan lokal
tertentu dengan tanda-tanda lain, di mana mereka membentuk unit terorganisir yang berbeda pada tingkat
hirarki yang berbeda, seperti huruf, kata , kalimat atau seluruh teks.
3.
Memiliki makna semantic
Dalam makna semantic membahas tentang mereka mengacu pada sesuatu di luar dirinya , apakah
memiliki ruang lingkup alam atau budaya , atau apakah non - tekstual atau
tekstual fenomena?
Pembahasan yang terakhir mengenai pengenalan critical review. Critical review adalah summary dan evaluasi
ide-ide dan informasi dalam sebuah artikel atau text. Teks mengungkapkan sudut
pandang sang penulis di dalam objek yang sudah dketahui. Dalam membuat critical
review harus berfikir untuk mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan materi
laporan yang disajikan. Dalam critical review mengenal yang namanya evaluasi. Evaluasi ini dapat melibatkan
untuk menganalisis isi dan konsep teks, memisahkannya menjadi komponen utama
dan kemudian memahami pendapat itu saling berhubungan dan mempengaruhi satu
sama lain.
Dalam critical review juga memliki structure
yaitu introduction, summary, main body (critique), conclusion and references.
Introduction memulai dengan kalimat pembuka tentang penyataan sang penulis, dan
perlu diperhatiakan untuk judul itu harus memberikan penjelasan terhadap topic
yang akan dibahas. Pada akhir introduction memberikan pernyataan singkat untuk
teks yang akan dievaluasi. Summary ini maksudnya memberikan kesimpulan poin
utama dari artikel dan beberapa contoh. Penjelasan singkat tentang tujuan
penulis dan organisasi teks juga dapat ditambahkan. Bagian dari critical review
harus tidak lebih dari sepertiga atau keseluruhan.
Main body (ritique) ini membahas dan
mngevaluasi kekuatan dan kelemahan fitur penting dari teks. Diskusi harus
didasarkan pada criteria tertentu dan termasuk smber-sumber lain ntuk
memdukungnya(dengan referensi). Yang terakhir adalah conclusion itu membahas
kembali pendapat keseluruhan teks, juga dapat mencakup rekomendasi dan beberapa
penjelasan lebih lanjut tentang penilaian untuk menunjukan bahwa itu adil dan
wajar.
Pada main body mengevaluasinkekuatan dan
kelemahan fitur penting dari teks. Mr Lala memberikan pertanyaan yang harus
dijawab setelah membuat critical review, yaitu:
1. What type of audience is the author targeting her
article at?
Answer : The author targeting at the
third paragraph.
2. What are the central claims in his/her
argument?
Answer : My argument central claims
issue the student to harmony religion.
3. What evidence does he/she use to back
up the point she is making?
Answer : Tawuran, bentrokan antar umat
beragama and terorisme.
4. Does the author make any claims that
are not backed up by evidence?
Anwer : yes, he does.
5. Do you think that the evidence is
sufficient, for an article in academic text book?
Answer : yes, I think my academic text
book the evidence is sufficient.
6. Does the author use any emotive word
or statement?
Answer : yes, such as (apa yang salah
dengan pendidikan di Indonesia, etc)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa rekayasa
literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia
terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal. Dalaam rekaya
literasi yang direkayasa adalah proses
belajar writing and reading. Negara yang mampu mengembangkan literasi yang
tinggi berarti Negara tersebut kemampuan membaca,
menulis, tingkat kebersihan, mengembangkan potensi dirinya sudah tinggi. Bukan hanya itu saja,
pengajaran bahasa yang baik menghasilkan orang literat yang mampu menggunakan
keempat dimensi (linguistic, kognitif, perkembangan dan sosiokultural) ini
secara serempak, aktif dan terintegrasi serta menggunakn secara efektif dan
efesien. Beralih ke critical review, critical review adalah summary dan
evaluasi ide-ide dan informasi dalam sebuah article atau teks. Critical review
mempunyai empat structure, yaitu introduction, summary, main body(critique) dan
conclusion.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic