Appetizer
Esay
Menulis, semua orang mengenalapa itu
menulis. Apalagi kita seorang mahasiswa
yang pastinya tidak asing lagi dengan menulis.
Kita harus pandai dalam keterampilan menulis, supaya kita bisa lebih
unggul dengan Negara yang lain. Seperti
dalam sebuah wacana yang telah saya baca.
Wacana tersebut di maksudkan untuk Negara Indonesia, karena ada seorang
dirjen pendidikan tinggi ia adalah orang pertama yang paling bertanggung jawab
mengawal publikasi ilmiah dikalangan perguruan tinggi. Ia merasa “jengkel” karena mayoritas lulusan
sarjana perguruan tinggi Indonesia tidak bisa menulis. Bahkan para dosennya pun mayoritas tidak bisa
menulis.
Pada saat sekarang ini jumlah karya
ilmiah dari perguruan tinggi Indonesia secara total masih rendah dibandingkan
dengan Malaysia,hanya sekitar sepertujuh sedangkan untuk populasi Malaysia
sepersepuluh populasi Indonesia.
Direktur jendral pendidikan tinggi mengimbau kepada para sarjana untuk
mampu menulis artikel jurnal. Setelah
mereka membaca berbagai macam inforasi dan melakukan penelitian harus mampu
mengajukan sudut pandang baru dalam bentuk kesimpulan, rumus, tau teori untuk
memperkaya khazanah pengtahuan.
Sedangkan menurut A.Chaedar
Alwasilah, selama ini untuk kelulusan S1, S2, dan S3, mahasiswa harus menulis
skripsi, tesis, dan disertasi disertai dengan kekhasan bidang
masing-masing. Tradisi penelitian dan
pelaporan ilmu adalah tidak boleh
dipaksa terapkan, karena pemaksaan adalah arogansi akademik dan pelecehan
terhadap epistemology keilmuan. Jadi apa
bedanya semuanya melaporkan hasil telaahan, pengamatan, atau eksperimen.
Dalam literature keilmuan, jurnal
tidak identik dengan skripsi, tesi, dan disertasi. Jurnal dikelola oleh tim yang ahli dalam
idang keilmuan tertentu. Membuat jurnal
tidak boleh dipaksakan, apabila ini terjadi maka akan terjadi fenomena “asal
terbit jurnal-jurnalan”. Selama ini
perguruan tinggi kita mewajibkan menulis skripsi, tesis, dan disertasi, karena
itulah ajang yang jitu untuk mengasah keterampilan menulis, meneliti, dan
melaporkannya seara akademik. Agar kita
bisa menyamai Malaysia maka dosen kita yang bergelar S2 atau S3 ‘setiap tahun’
harus menerbitkan artikel jurnal atau buku teks. Karena mewajibkan menulis jurnal untuk S1 dan
S2 rasanya tidak tepat, sebab akan mnyebabkan penumpukan mahasiswa. Yang realistis adalah mewajibkan para dosen
setiap tahun menulis artikel jurnal.
Akan tetapi kita tidak hanya harus
pandai dalam menulis, dalam membaca pun kita harus pandai. Kita harus jadi seorang pembaca yang
comprehend yang bisa memahami teks dan pembaca yang kritis. Kita tidak boleh menjadi pembang lemah tidak
berdaya. Seperti dalam wacanaca yang
kedua.
Dalam survey informal, hampir 95%
mahasiswa menyalahkan diri mereka sendiri mereka mngatakan bahwa mereka tidak
memiliki latar belakang membaca menulis.
Keahlian menulis masih sangat tinggi, angka tersebut masih diluar
kapasitas mereka sebagai pelajar baru, retorika itu terlalu rumit atau mereka
tidak bisa berkonsentrasi ketika membaca.
Pembaca kritis mengembangkan kesadaran tentang bentu, isi, dan
konteks. Bentuk ini mengacu pada
symbol-simbol linguistic yang di pekerjakan oleh penulis. Isi mengacu pada makna atau substansi yang
dibahas, dan konteks mengacu pada lingkungan social dan psikologis ketika
tulisannya di produksi.
A.Chaedar Alwasilah berhipotesis
bahwa pendidikan bahasa kita telah gagaluntuk mengembangkan pembaca
kritis. Sebagian besar lulusan perguruan
tinggi di Indonesia telah belajar bahsa local, bahasa Indonesia, dan bahasa
asing, terutama bahasa inggris ditambah empat tahun kuliah. Ketika pembaca mengatakan “saya belum
mencapai tingkat itu” atau “ retorikanya terlalu tinggi bagi saya” mereka
mengevaluasi diri mereka seolah-olah mereka tidak memiliki pengetahuan atau
kapasitas untuk berinteraksi dengan penulis.
Demikian pula ketika respon siswa “aku tidak bisa berkonsentrasi ketika
membaca”, mereka menyalahkan diri mereka sendiri seolah-olah semua masalah dalam
membaca adalah akibat dari kurangnya konsentrasi. Hal ini dapat disebabkan sebagai berikut:
Pertama, pendekatan koneksi
membaca-menulis percaya bahwa tingkat membaca kita menentukan kekuatan tulisan
kita. Pengetahuan terakumulasi ketika
membaca, sementara menulis menempatkan pengetahuan kedalam kertas. Praktek yang umum adalah menunda menulis
setelah membaca, akibatnya menulis kurang berkembang disbanding membaca. Kedua, mahasiswa harus berfikir untuk
mengembangkan kesadaran kritis bahasa, yaitu sensitivitas ideology daya
penggunaan bahasa yang didasari.
Kini intelektual banyak yang
merekomendasikan buku impor, yang design untuk non Indonesia. Ada bahaya lain untuk menggunakan teks impor,
mahasiswa kita 2,6 juta orang di cuci otaknya bahwa bahasa nasional kita tidak
cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara tidak sadar intelektual menunjukan
perlawanan diam terhadap janji pemuda, yang mengakui bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional kita. Sudah saatnya kaum
intelektual kita untuk bangga dengan bahasa nasional kita dengan menulis buku pelajaran
di Indonesia.
Sedangkan untuk wacana selanjutnya
yaitu penulis menuliskan bahwa siswa menghadapi kesulitan dalam membaca teks
akademis, baik tertulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Hasil tes analisis oleh mahasiswa Indonesia
menunjukan bulti mengejutkan siswa tidak mampu mengidentifikasi tema utama
potongan prosa Indonesia langsung dalam pemeriksaan piihan ganda. Ini disebabkan silabus dan sistem dari guru
mengajar. Sedikit demi sedikit guru-guru
dan petugas bahasa inggris diangkat ke IKIP, secara bertahap bekerja dengan
rekan-rekan di Indonesia untuk mengubah kurikulum. Misalnya memperkenalkan kurus dalam
terjemaha, sehingga kita bisa memeriksa siswa apakah benar memahami apa yang
mereka baca, juga kemampuan mereka dalam menulis. Terlalu banyak penekanan pada basa basi
lingustik formal, penguasaan kata, dan tidak cukup pada kompetensi bahasa
terutama dalam membaca dan menulis.
Prasyarat untuk belajar bahasa asing itu tergantung dari pemahaman kita
tentang bahasa kita sendiri.
Dari ketiga wacana diatas semuanya
saling berkaitan dari mulai menulis, membaca, dan kurikulum atau proses belajar
mengajar. Mengenai tentang menulis saya
setuju tentang argumennya A.Chaedar, bahwa tidak seharusnya S1 dan S2 harus
membuat artikel jurnal. Karena melalui pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi
itu sudah sangat bagus untuk mengasah keterampilan menulis kita, bahkan dengan
adanya tugas kesehariannya menulis seperti class review, book review, dan
sebagainya, itu juga sangat membantu kita.
Bagaimanapun juga itu sudah bisa di sebut akademik writing. Dengan begitu kita juga bisa mengimbangi
Negara tetangga.
Memang benar Indonesia bisa
dikatakan telah gagal menciptakan pembaca kritis, karena masih banyak siswa
yang terkadang disaat membaca mereka tidak mengerti isi teks bacaan tersebut. Tapi bisa jadi ada berbagai kemungkinan,
mungkin saja teks memang sulit dimengerti dan tidak tepat untuk pembaca, atau
memang factor pembacanya yang kurang aktif, itu bisa saja terjadi. Saya juga setuju tentang kebiasaan umum kita yang
selalu menunda menulis setelah kita membaca.
Akibatnya menulispun kurang berkembang.
Pada dasarnya membaca dan menulis
adalah dua keterampilan yang tidak bisa di pisahkan. Karena adanya pembaca karena adanya penulis,
begitupun dengan penulis itu karena adanya pembaca. Kita seorang mahasiswa khususnya bangsa
Indonesia harus mampu menguasainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic