S
|
etelah
saya membaca wacana (Bukan) Bangsa Penulis, mengutip pernyataan Dirjen
Pendidikan Tinggi bahwasanya pada sekarang ini jumlah karya ilmiah dari
perguruan tinggi indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan
malaysia. Oleh karenanya Dirjen
pendidikan tinggi menghimbau agar setiap mahasiswa di Perguruan Tinggi harus
mampu menulis artikel jurnal, dengan cara tersebut maka literasi tingkat tinggi
atau kemampuan memproduksi ilmu pengetahuan akan semakin tinggi.
Mahasiswa
memang seharusnya mampu memproduksi suatu karya tulis. Walaupun hanya dengan membuat artikel, karena
mahasiswa itu identik dengan literasi.
Bagaimana tidak, mahasiswa akan meraih S1, S2, dan S3, sudah pasti
membuat karya ilmiah yang berujung pada literasi dan literasi. Dengan mengarah pada skripsi, tesis dan
desertasi kita akan memperdalam akademic writing.
Sisi
positif mahasiswa diwajibkan menulis skripsi, tesis, dan desertasi yakni untuk
mengasah keterampilan menulis, meneliti, dan melaporkan secara akademik. Dengan demikian mereka telah memiliki
keterampilan menulis untuk diterapkan pada bidang dan profesi masing-masing.
Saya
setuju dengan pernyataan tersebut, karena setiap orang memiliki profesi lain
yang berbeda namun tetap saja literasi sangat dibutuhkan dalam profesi
apapun. Sepintar dan sehebatnya orang,
jika tidak bisa membuat suatu karya literasi minimal untuk dirinya sendiri maka
tidak akan disebut hebat. Karena orang
yang hebat adalah orang yang mampu berkarya dalam sebuah tulisan dan mampu
menginspirasi orang lain (pembaca) seperti buku karya BJ Habibie. Buku tersebut salah satu contoh manfaat
literasi, yakni mampu menciptakan karya tulis yang menjadi inspirasi.
Kembali
pada jurnal, sebenarnya hanya sebagai ajang mengekspor kemampuan para
profesional dosen ataupun peneliti agar ilmu mereka tetap terupdate. Penulis juga mengatakan bahwa akan lebih
realistis bahwa mahasiswa prodi sastra dan budaya untuk kelulusannya diwajibkan
menulis cerita pendek atau novel daripada menulis artikel jurnal dan dipakai
jatuh cinta pada karya sastra.
Penulis
mengutarakan bahwa realistisnya adalah mewajibkan para dosen setiap tahun
menulis artikel jurnal atau buku teks.
Jadi yang tidak bisa menulis sebaiknya jangan bermimpi menjadi
dosen. Pernyataan tersebut memang cukup
membuat takjub, tapi memang seharusnya seperti itu. Dosen juga harus bisa membuat suatu karya
tulis . Jadi tidak hanya bisa
mengarahkan mahasiswa untuk bimbingan skripsi saja, tetapi seharusnya mampu
menyamai Malaysia dalam penerbitan artikel jurnal maupun karya tulis lainnya.
Sementara
pada wacana Powerful Writers Versus The Helpless Readers, terdapat permasalahan
yakni kebanyakan dari mahasiswa tidak memahami isi dari teks yang dibaca. Kasus tersebut menjadikan mahasiswa tidak
menjadi seorang mahasiswa yang kritis, inilah kelemahannya. Jawaban mereka umumnya dikarenakan kurangnya
konsentrasi ketika membaca. Faktor
tersebut bukanlah alasan yang tepat, karena mahasiswa itu kritis jadi harus
mencintai kegiatan membaca dan menulis.
Mengapa ? Karena dengan membaca
akan menentukan kualitas tulisan, mana mungkin mahasiswa bahasa tidak
membiasakan dan menyukai baca-tulis.
Lalu bagaimana dengan lulusannya nanti ?
Selain itu mahasiswa harus berorientasi pada tehnik membaca dan harus
mengembangkan kesadaran kritis bahasa.
Dengan ini, jadilah pembaca dan penulis intelektual.
Pada
wacana Learning and Teaching Process more About Readers and Writers, Chaedar
Alwasilah lebih berani mengekspresikan pendapat yang bisa memprovokasi
kemarahan pembaca. Beliau mengutarakan
bahwa kita harus berbagi tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pemikiran
kritis di negara ini, karena siswa menghadapi kesulitan dalam membaca teks
akademis, baik tertulis dalam bahasa indonesia maupun bahasa inggris.
Sebagai
contohnya adalah analisis hasil tes yang diambil oleh mahasiswa dan di sajikan
oleh Dr. Iman Bagus, yakni siswa tidak mampu mengidentifikasi tema utama pada
potongan wacana atau prosa indonesia.
Kasus ini memang miris dan pada kenyataannya memang benar masih banyak
terjadi di Indonesia. Mengidentifikasi
tema bahasa indonesia saja mereka kesulitan, apalagi dalam bahasa inggris. Maka dari itu budayakanlah membaca dan
menulis walaupun sedikit. Itu adalah
solusi utama untuk memperkecil kasus tersebut.
Disamping
itu guru juga terlalu memaksakan untuk mengikuti spesifikasi kurikulum yang
sangat rinci sehingga belum tentu semua siswa mampu untuk menyeimbangkannya. Akibatnya siswapun enggan untuk membaca dan
menulis.
Ketiga
wacana tersebut memiliki kekuatan isi yakni mengkritisi para dosen maupun
mahasiswa untuk lebih peka terhadap kondisi yang dialami oleh para siswa maupun
mahasiswa prodi bahasa yang tidak bisa memahami dan mengkritik suatu
wacana. Kondisi tersebut diharapkan
menggugah para mahasiswa maupun dosen untuk lebih membudayakan literasi dan
bisa menyetarakan dengan negara lain yang memiliki literasi tingkat tinggi.
Jadi
dari wacana karya A Chaedar Alwasilah diatas, dapat disimpulkan bahwa di negara
kita ini sangat sulit sekali untuk membudayakan literasi. Disamping karena faktor kurangnya keinginan
mereka untuk menciptakan karya tulis sangat minim, mereka juga kurang kritis dalam
menanggapi suatu permasalahan. Padahal
dengan ini justru mereka akan bisa merubah image indonesia menjadi negara yang
mampu menyamai negara lain dalam literasi.
Sayangnya mahasiswa bahsa saja enggan untuk melakukannya apalagi
mahasiswa prodi nonbahasa. Lalu
bagaimana jadinya kalau seperti ini.
Mungkin butuh waktu
berpuluh-puluh tahun untuk bisa menjadi negara yang memiliki kemampuan
literasi tinggi dan kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic