Diperguruan tinggi Indonesia identik
dengan karya ilmiah, seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Semua itu termasuk (Academic writing) yang
mempunyai perannya masing-masing, yaitu jika mahasiswa belajar menulis akademik
disebut dengan (skripsi), dan jika mahasiswa belajar untuk meneliti yaitu
disebut dengan (tesis), kemudian yang terakhir yaitu disertasi mahasiswa
membangun teori atau rumus baru. Membuat
karya ilmiah tersebut tidaklah mudah, jangankan mahasiswa, para dosennya pun
mayoritas tidak bisa menulis. Sehingga
dari sekian universitas yang ada di Indonesia, tak satu pun yang menembus 300
besar universitas terbaik diseluruh dunia.
Untuk hal ini Pemerintah Republik Indonesia melalui direktorat jendral
pendidikan tinggi (DIKTI), kementrian pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan
edaran No. 152/E/T/2012 yang mengatur bahwa syarat mendapatkan GELAR DOKTOR di
Indonesia adalah mempublikasikan karya ilmiah di JII (JURNAL ILMIAH
INTERNASIONAL).
Jika kita bandingkan dengan Negara
tetangga, contohnya: Negara Malaysia.
Malaysia sangatlah rendah populasinya tetapi SDM (SUMBER DAYA MANUSIA)
nya sangatlah berkompeten. Itu semua
berbanding terbalik dengan Indonesia yang populasinya sangat melonjak, tetapi
hanya beberapa orang saja yang bisa menulis, sehingga apabila orang Indonesia
bisa menulis, itu adalah orang yang LUAR BIASA.
Karena menulis itu sangatlah sulit, dikarenakan cara pembelajaran di
Indonesia berbeda dengan di Amerika.
Kita lihat Negara Amerika! Di Amerika sejak di bangku SMA (SEKOLAH
MENENGAH ATAS) nya pun sudah diajarkan bagaimana menulis, sehingga mereka tidak
kewalahan dengan membuat karya ilmiah, dan ketika di perguruan tinggi pun tidak
diwajibkan untuk membuat TESIS, apalagi SKRIPSI. Dan hanya di Indonesia yang mewajibkan untuk
membuat karya ilmiah tersebut. Tujuannya
yaitu agar mahasiswa rajin menulis dan hasil tulisannya itu bisa di dokumentasikan.
IMAM BUKHORI saja suka menulis.
Beliau menulis malah bukan karena tuntutan dari Akademik, tetapi karena
pendekatan dengan guru-guru nya (kiyai).
Lalu beliau menulis dengan membuat karyanya sendiri. Jangan salah, Imam Bukhori itu mempunyai
banyak guru (kiyai), malah sampai ribuan.
Dari ribuan guru (kiyai) tersebut, beliau termotivasi. Sehingga ide-idenya dituangkan dalam bentuk
tulisan, kemudian jadilah sebuah karya tulis dan dibukukan.
Jika kalian tahu,
sebenarnya cara belajar kita itu hampir semuanya meniru dari ORANG-ORANG ZIONIS
(YAHUDI). Contoh kecilnya yaitu OSPEK
(Diperguruan Tinggi), dan jika di SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah
Menengah Atas) dinamakan dengan MOS (MASA ORIENTASI SISWA). Tetapi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon
dinamakan dengan TA’ARUF. Semua itu
awalnya dari orang-orang ZIONIS (YAHUDI).
Saya sangat setuju
dengan Indonesia yang mewajibkan untuk membuat karya ilmiah, karena Indonesia
butuh perubahan dari generasi ke generasi.
Jangan karena dosennya tidak bisa menulis, lalu mahasiswanya pun
ikut-ikutan tidak bisa menulis dan malas untuk menulis. Indonesia membutuhkan generasi yang lebih
bermutu dan kompeten, agar Negara kita bisa setaraf dengan Negara-negara tetangga. Kita tidak usah iri dengan Negara Amerika
yang tidak mewajibkan adanya skripsi maupun tesis, karena sudah jelas dari cara
belajarnya pun memang sudah berbeda dengan di Indonesia. Karena mereka (Amerika) sudah mengenal karya
ilmiah sejak di SMA (Sekolah Menengah Atas), sehingga karya ilmiah sudah
menjadi MAKANAN POKOK bagi Negara Amerika.
Sedangkan di Indonesia, mengenal karya ilmiah pun baru di perguruan
tinggi. Nah, yang harus kita pikirkan
adalah bagaimana Indonesia menghasilkan mahasiswa yang bisa MENULIS KRITIS.
Menurut WACANA
ke-2, seorang pembaca kritis itu lebih baik daripada penulis, karena menurutnya
pembaca yang kritis itu sudah pasti menulisnya pun sudah ahli. Tetapi menurut saya, seorang pembaca kritis,
belum tentu bisa menulis, apalagi penulis yang handal sekali pun. Saya pikir untuk seorang pembaca seperti anak
SD (sekolah dasar), SMP (sekolah menengah pertama), dan SMA (sekolah menengah
atas), mereka pun bisa membaca dan anak TK (taman kanak-kanak) pun sekarang
banyak yang sudah bisa membaca dan bisa mengkritisi tulisan tersebut.
Contohnya: Ketika anak TK (taman
kanak-kanak) membaca, mereka pernah mengatakan “ Kok ini dibacanya gini? Apa sih ini?
Kok ada angka satu yang berdiri dikasih titik (TANDA SERU).
Menurut saya itu
sudah termasuk pembaca kritis. Selain
itu, jika dibandingkan dengan menulis, jangankan anak TK (taman kanak-kanak),
SD (sekolah dasar), SMP (sekolah menengah pertama), SMA (sekolah menengah
atas), mahasiswa nya pun banyak yang tidak bisa menulis, maksudnya menulis
dengan kata-kata atau merangkai kata.
Kata apa yang seharusnya dipakai dan kata apa yang seharusnya tidak
digunakan. Itu sudah jelas sangat sulit
dan bahkan jarang ada yang bisa. Untuk
menulis yang benar saja harus membutuhkan ide-ide yang sangat brilliant, karena
menulis itu dimulai dari nol. Sedangkan
pembaca kritis itu karena wacananya sudah ada, lalu dibaca, kemudian direspon.
Sebenarnya menulis
itu tidak hanya dengan menggunakan jurnal umum tetapi bisa dengan majalah,
Koran, artikel, itu peminat pembacanya banyak, malah sampai mencapai 20 juta
pembaca. Seorang pembaca hanya menyerap
apa yang dia baca dan apa yang dia lihat pada saat itu. Karena bagi saya, pembaca kritis itu tidak
hanya membaca tulisan saja tetapi SITUASI, KEJADIAN, FENOMENA juga bisa
dibaca. Nah, disitulah TEMPAT PEMBACA
KRITIS.
Menurut saya, itu
sangat berbeda dengan seorang pembaca kritis.
Saya lebih condong kepada seorang penulis kritis, karena seorang penulis
kritis lebih banyak berimajinasi, berfikir luas, dan merangkai kata untuk
dituangkan kedalam bentuk tulisan, yang bertujuan untuk dibaca oleh jutaan
pembaca.
Tetapi kenapa
mahasiswa lebih banyak yang mengambil jurusan (bahasa) dibandingkan dengan
matematika?
Jawabannya: “
Mungkin karena menurutnya, matematika sangat ditakuti oleh semua mahasiswa,
karena mereka kesulitan dalam menghitung dan menghafal banyak rumus. Sehingga mereka beranggapan bahwa bahasa
lebih mudah untuk dipelajari.
Ketika mahasiswa
mengambil jurusan bahasa dan mendapatkan kesulitan dalam membaca, mereka malah
menyalahkan bahwa bahasa yang ada pada wacana, bahasanya sangat tinggi,
sehingga mereka tidak mengerti dengan teks tersebut. Padahal kalau menurut saya, mahasiswa yang
tidak mengerti dan tidak memahami sebuah wacana tersebut, yang menurutnya
menggunakan bahasa yang sangat tinggi itu dikarenakan mahasiswa tersebut
pengetahuannya kurang, tidak fokus ketika membaca sebuah teks tersebut, kurang
banyak membaca buku, dan bisa jadi karena kurang bergaul juga, maksudnya dengan
kita pandai bergaul dan selalu bertemu dengan orang-orang yang baru, itu bisa
mempengaruhi pola pikir kita dan cara berbicara kita, otomatis pengetahuan pun
akan bertambah. Karena setiap orang yang
kita temui, pola pikirnya pasti berbeda-beda dan cara berbicaranya pun berbeda.
Bahwa mahasiswa
yang baru masuk ke perguruan tinggi saja berpendapat bahwa mereka sangat sulit
untuk memahami sebuah teks atau tulisan sebagai pembaca kritis. Selain itu saya kurang setuju dengan pak
Chaedar yang mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia tidak diwajibkan menulis,
tetapi hanya menunggu UN (Ujian Nasional) untuk mencentang jawaban dari
pertanyaan tersebut. Kesimpulan yang
saya ambil dari pernyataan beliau berarti Indonesia tidak memiliki siswa yang
berkualitas donk….yang hanya menunggu UN (Ujian Nasional) lalu
mencentangnya. Tak sedikit siswa yang
hanya menghitung KANCING untung mencentang jawaban UN (Ujian Nasional), dan ada
juga yang hanya asal tebak saja untuk mencentangnya. Otomatis semua siswa berfikir bahwa untuk UN
(Ujian Nasional) mereka tidak harus belajar , karena jawaban sudah ada, dan
mereka hanya tinggal memilihnya saja.
Itulah yang ada dipikiran semua siswa saat ini. Menurut saya itu sangatlah tidak mendidik,
karena siswa jaman sekarang tidak mau ambil pusing, sehingga ketika diberi
makanan seperti itu, siswa langsung melahapnya dengan instan.
KESIMPULANNYA:
Jadi, seorang
penulis yang kritis akan menuangkan hasil pemikirannya atau opininya melalui
tulisan dengan bentuk karya-karya yang bernilai edukasi. Kemudian hasil karya tersebut akan memberikan
manfaat bagi siapa yang membacanya dan yang mendengarkan pembacanya. Sedangkan pembaca kritis, opininya hanya akan
tertuang saat berbicara saja, setelah itu tidak ada karya lagi atau tidak
memberikan manfaat kepada orang sesudahnya (Tidak lebih banyak dari manfaat
yang karya tulisnya ada). Jadi, hanya
muncul saat berbicara dan hanya memberikan manfaat bagi yang hadir dan yang
mendengarkannya saja.
Karya tulis
tersebut dapat pula memberikan pemikiran baru, ide-ide baru, inspirasi atau
juga bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembaca dimana pun dan
kapan pun, selama hasil tulisannya masih ada.
Adapun yang
menyatakan kelemahannya yaitu tidak dapat memberikan manfaat bagi TUNA NETRA,
karena mereka (TUNA NETRA) tidak bisa melihat tulisan tersebut, tetapi hal itu
bisa diatasi dengan dibacakan opini tersebut.
Sehingga seorang TUNA NETRA sekali pun bisa mengambil manfaatnya.
Karya-karya dari
seorang penulis yang kritis tidak akan hilang, bahkan akan memiliki nilai
HISTORIS, karena karya-karya yang ada, akan menjadi DOKUMENTASI untuk
kedepannya. Sehingga dari waktu ke waktu
akan semakin banyak karya yang ditulis, yang mengiringi suatu Negara dan
perjalanan hidup.
Ditinjau dari segi
kualitas opini yang disampaikan, tentu seorang penulis yang kritis yang akan
LEBIH UNGGUL. Karena opini yang
disampaikan sebagai apresiasi langsung dari kondisi realnya. Lain halnya dengan opini yang disampaikan
dari seorang pembaca yang hanya mengetahui melalui teks yang dibacanya, bukan
dari kondisi realnya.
Seorang penulis
yang kritis akan lebih DIHARGAI, karena menghasilkan karya yang memiliki NILAI
SENI, bahkan NILAI JUAL, berbeda dengan seorang pembaca kritis yang tidak
memiliki KARYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic