We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 13 Februari 2014

Dimanakah Kemampuanmu???


Diperguruan tinggi Indonesia identik dengan karya ilmiah, seperti skripsi, tesis, dan disertasi.  Semua itu termasuk (Academic writing) yang mempunyai perannya masing-masing, yaitu jika mahasiswa belajar menulis akademik disebut dengan (skripsi), dan jika mahasiswa belajar untuk meneliti yaitu disebut dengan (tesis), kemudian yang terakhir yaitu disertasi mahasiswa membangun teori atau rumus baru.  Membuat karya ilmiah tersebut tidaklah mudah, jangankan mahasiswa, para dosennya pun mayoritas tidak bisa menulis.  Sehingga dari sekian universitas yang ada di Indonesia, tak satu pun yang menembus 300 besar universitas terbaik diseluruh dunia.  Untuk hal ini Pemerintah Republik Indonesia melalui direktorat jendral pendidikan tinggi (DIKTI), kementrian pendidikan dan kebudayaan mengeluarkan edaran No. 152/E/T/2012 yang mengatur bahwa syarat mendapatkan GELAR DOKTOR di Indonesia adalah mempublikasikan karya ilmiah di JII (JURNAL ILMIAH INTERNASIONAL).
Jika kita bandingkan dengan Negara tetangga, contohnya: Negara Malaysia.  Malaysia sangatlah rendah populasinya tetapi SDM (SUMBER DAYA MANUSIA) nya sangatlah berkompeten.  Itu semua berbanding terbalik dengan Indonesia yang populasinya sangat melonjak, tetapi hanya beberapa orang saja yang bisa menulis, sehingga apabila orang Indonesia bisa menulis, itu adalah orang yang LUAR BIASA.  Karena menulis itu sangatlah sulit, dikarenakan cara pembelajaran di Indonesia berbeda dengan di Amerika.
Kita lihat Negara Amerika!  Di Amerika sejak di bangku SMA (SEKOLAH MENENGAH ATAS) nya pun sudah diajarkan bagaimana menulis, sehingga mereka tidak kewalahan dengan membuat karya ilmiah, dan ketika di perguruan tinggi pun tidak diwajibkan untuk membuat TESIS, apalagi SKRIPSI.  Dan hanya di Indonesia yang mewajibkan untuk membuat karya ilmiah tersebut.  Tujuannya yaitu agar mahasiswa rajin menulis dan hasil tulisannya itu bisa di dokumentasikan.    
            IMAM BUKHORI saja suka menulis.  Beliau menulis malah bukan karena tuntutan dari Akademik, tetapi karena pendekatan dengan guru-guru nya (kiyai).  Lalu beliau menulis dengan membuat karyanya sendiri.  Jangan salah, Imam Bukhori itu mempunyai banyak guru (kiyai), malah sampai ribuan.  Dari ribuan guru (kiyai) tersebut, beliau termotivasi.  Sehingga ide-idenya dituangkan dalam bentuk tulisan, kemudian jadilah sebuah karya tulis dan dibukukan.
            Jika kalian tahu, sebenarnya cara belajar kita itu hampir semuanya meniru dari ORANG-ORANG ZIONIS (YAHUDI).  Contoh kecilnya yaitu OSPEK (Diperguruan Tinggi), dan jika di SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) dinamakan dengan MOS (MASA ORIENTASI SISWA).  Tetapi di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dinamakan dengan TA’ARUF.  Semua itu awalnya dari orang-orang ZIONIS (YAHUDI).
            Saya sangat setuju dengan Indonesia yang mewajibkan untuk membuat karya ilmiah, karena Indonesia butuh perubahan dari generasi ke generasi.  Jangan karena dosennya tidak bisa menulis, lalu mahasiswanya pun ikut-ikutan tidak bisa menulis dan malas untuk menulis.  Indonesia membutuhkan generasi yang lebih bermutu dan kompeten, agar Negara kita bisa setaraf dengan Negara-negara tetangga.  Kita tidak usah iri dengan Negara Amerika yang tidak mewajibkan adanya skripsi maupun tesis, karena sudah jelas dari cara belajarnya pun memang sudah berbeda dengan di Indonesia.  Karena mereka (Amerika) sudah mengenal karya ilmiah sejak di SMA (Sekolah Menengah Atas), sehingga karya ilmiah sudah menjadi MAKANAN POKOK bagi Negara Amerika.  Sedangkan di Indonesia, mengenal karya ilmiah pun baru di perguruan tinggi.  Nah, yang harus kita pikirkan adalah bagaimana Indonesia menghasilkan mahasiswa yang bisa MENULIS KRITIS.
            Menurut WACANA ke-2, seorang pembaca kritis itu lebih baik daripada penulis, karena menurutnya pembaca yang kritis itu sudah pasti menulisnya pun sudah ahli.  Tetapi menurut saya, seorang pembaca kritis, belum tentu bisa menulis, apalagi penulis yang handal sekali pun.  Saya pikir untuk seorang pembaca seperti anak SD (sekolah dasar), SMP (sekolah menengah pertama), dan SMA (sekolah menengah atas), mereka pun bisa membaca dan anak TK (taman kanak-kanak) pun sekarang banyak yang sudah bisa membaca dan bisa mengkritisi tulisan tersebut.
Contohnya: Ketika anak TK (taman kanak-kanak) membaca, mereka pernah mengatakan        “ Kok ini dibacanya gini? Apa sih ini? Kok ada angka satu yang berdiri dikasih titik (TANDA SERU).
            Menurut saya itu sudah termasuk pembaca kritis.  Selain itu, jika dibandingkan dengan menulis, jangankan anak TK (taman kanak-kanak), SD (sekolah dasar), SMP (sekolah menengah pertama), SMA (sekolah menengah atas), mahasiswa nya pun banyak yang tidak bisa menulis, maksudnya menulis dengan kata-kata atau merangkai kata.  Kata apa yang seharusnya dipakai dan kata apa yang seharusnya tidak digunakan.  Itu sudah jelas sangat sulit dan bahkan jarang ada yang bisa.  Untuk menulis yang benar saja harus membutuhkan ide-ide yang sangat brilliant, karena menulis itu dimulai dari nol.  Sedangkan pembaca kritis itu karena wacananya sudah ada, lalu dibaca, kemudian direspon.
            Sebenarnya menulis itu tidak hanya dengan menggunakan jurnal umum tetapi bisa dengan majalah, Koran, artikel, itu peminat pembacanya banyak, malah sampai mencapai 20 juta pembaca.  Seorang pembaca hanya menyerap apa yang dia baca dan apa yang dia lihat pada saat itu.  Karena bagi saya, pembaca kritis itu tidak hanya membaca tulisan saja tetapi SITUASI, KEJADIAN, FENOMENA juga bisa dibaca.  Nah, disitulah TEMPAT PEMBACA KRITIS.
            Menurut saya, itu sangat berbeda dengan seorang pembaca kritis.  Saya lebih condong kepada seorang penulis kritis, karena seorang penulis kritis lebih banyak berimajinasi, berfikir luas, dan merangkai kata untuk dituangkan kedalam bentuk tulisan, yang bertujuan untuk dibaca oleh jutaan pembaca.
            Tetapi kenapa mahasiswa lebih banyak yang mengambil jurusan (bahasa) dibandingkan dengan matematika?
            Jawabannya: “ Mungkin karena menurutnya, matematika sangat ditakuti oleh semua mahasiswa, karena mereka kesulitan dalam menghitung dan menghafal banyak rumus.  Sehingga mereka beranggapan bahwa bahasa lebih mudah untuk dipelajari.
            Ketika mahasiswa mengambil jurusan bahasa dan mendapatkan kesulitan dalam membaca, mereka malah menyalahkan bahwa bahasa yang ada pada wacana, bahasanya sangat tinggi, sehingga mereka tidak mengerti dengan teks tersebut.  Padahal kalau menurut saya, mahasiswa yang tidak mengerti dan tidak memahami sebuah wacana tersebut, yang menurutnya menggunakan bahasa yang sangat tinggi itu dikarenakan mahasiswa tersebut pengetahuannya kurang, tidak fokus ketika membaca sebuah teks tersebut, kurang banyak membaca buku, dan bisa jadi karena kurang bergaul juga, maksudnya dengan kita pandai bergaul dan selalu bertemu dengan orang-orang yang baru, itu bisa mempengaruhi pola pikir kita dan cara berbicara kita, otomatis pengetahuan pun akan bertambah.  Karena setiap orang yang kita temui, pola pikirnya pasti berbeda-beda dan cara berbicaranya pun berbeda.
            Bahwa mahasiswa yang baru masuk ke perguruan tinggi saja berpendapat bahwa mereka sangat sulit untuk memahami sebuah teks atau tulisan sebagai pembaca kritis.  Selain itu saya kurang setuju dengan pak Chaedar yang mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia tidak diwajibkan menulis, tetapi hanya menunggu UN (Ujian Nasional) untuk mencentang jawaban dari pertanyaan tersebut.  Kesimpulan yang saya ambil dari pernyataan beliau berarti Indonesia tidak memiliki siswa yang berkualitas donk….yang hanya menunggu UN (Ujian Nasional) lalu mencentangnya.  Tak sedikit siswa yang hanya menghitung KANCING untung mencentang jawaban UN (Ujian Nasional), dan ada juga yang hanya asal tebak saja untuk mencentangnya.  Otomatis semua siswa berfikir bahwa untuk UN (Ujian Nasional) mereka tidak harus belajar , karena jawaban sudah ada, dan mereka hanya tinggal memilihnya saja.  Itulah yang ada dipikiran semua siswa saat ini.  Menurut saya itu sangatlah tidak mendidik, karena siswa jaman sekarang tidak mau ambil pusing, sehingga ketika diberi makanan seperti itu, siswa langsung melahapnya dengan instan.

KESIMPULANNYA:
            Jadi, seorang penulis yang kritis akan menuangkan hasil pemikirannya atau opininya melalui tulisan dengan bentuk karya-karya yang bernilai edukasi.  Kemudian hasil karya tersebut akan memberikan manfaat bagi siapa yang membacanya dan yang mendengarkan pembacanya.  Sedangkan pembaca kritis, opininya hanya akan tertuang saat berbicara saja, setelah itu tidak ada karya lagi atau tidak memberikan manfaat kepada orang sesudahnya (Tidak lebih banyak dari manfaat yang karya tulisnya ada).  Jadi, hanya muncul saat berbicara dan hanya memberikan manfaat bagi yang hadir dan yang mendengarkannya saja.
            Karya tulis tersebut dapat pula memberikan pemikiran baru, ide-ide baru, inspirasi atau juga bisa dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembaca dimana pun dan kapan pun, selama hasil tulisannya masih ada.
            Adapun yang menyatakan kelemahannya yaitu tidak dapat memberikan manfaat bagi TUNA NETRA, karena mereka (TUNA NETRA) tidak bisa melihat tulisan tersebut, tetapi hal itu bisa diatasi dengan dibacakan opini tersebut.  Sehingga seorang TUNA NETRA sekali pun bisa mengambil manfaatnya.
            Karya-karya dari seorang penulis yang kritis tidak akan hilang, bahkan akan memiliki nilai HISTORIS, karena karya-karya yang ada, akan menjadi DOKUMENTASI untuk kedepannya.  Sehingga dari waktu ke waktu akan semakin banyak karya yang ditulis, yang mengiringi suatu Negara dan perjalanan hidup.
            Ditinjau dari segi kualitas opini yang disampaikan, tentu seorang penulis yang kritis yang akan LEBIH UNGGUL.  Karena opini yang disampaikan sebagai apresiasi langsung dari kondisi realnya.  Lain halnya dengan opini yang disampaikan dari seorang pembaca yang hanya mengetahui melalui teks yang dibacanya, bukan dari kondisi realnya.
            Seorang penulis yang kritis akan lebih DIHARGAI, karena menghasilkan karya yang memiliki NILAI SENI, bahkan NILAI JUAL, berbeda dengan seorang pembaca kritis yang tidak memiliki KARYA. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic