Appatizer Essay
Lagi-lagi bangsa Indonesia dihadapi sebuah
masalah, masalah ini bukan seperti masalah politik yang sering kita lihat di
media cetak maupun media elektronik, bukan juga masalah militer yang yang
sering kali kita dengar dengan suara senjata-senjata perangnya. Tapi ini
masalah dalam dunia pendidikan, khususnya di area sastra dan bahasa. Dalam
tulisan-tulisan Dr. Chaedar yang berjudul “(Bukan)
bangsa penulis, Powerful Writers versus the Helpless Readers dan Learning and
Teaching Process: More about readers and writers (CW Watson)”, Indonesia
mengalami krisis dalam hal menulis. Ini dilihat dari lulusan-lulusan mahasiswa
dan para intelektualnya, yang kurang mampu memproduksi kemampuan penulis
(technical writer) yang lebih unggul. Mereka perlu didoktrin lagi dalam hal
ini, khususnya dalam Academic writing.
Dalam bidang Academic writing,
mahasiswa tak jauh dengan tulisan-tulisan akademik seperti karya ilmiah,
artikel jurnal, maupun buku-buku yang berbau akademik lainnya. Semua tulisan
ini membutuhkan adanya observasi atau penelitian dalam membuatnya, menggali
lebih dalam lagi informasi yang akan diperdebatkan, menelaah lagi permasalahan
yang diperbincangkan. Tapi dalam hal ini, rupanya kemampuan kita dalam menulis
berada dibawah garis merah.
Dr. Chaedar pun telah menjelaskan tentang hal
ini, bahwa tulisan kita dalam penulisan karya ilmiah, artikel jurnal maupun
buku-buku akademik lainnya masih kalah
telak jika dibandingkan dengan negara lain. Bila dibandingkan dengan negara Malaysia total produksi karya ilmiah
negara kita masih rendah, hanya sekitar sepertujuh sedangkan Malaysia
sepersepuluh. Ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita mengingat populasi
penduduk kita lebih unggul dari negara Malaysia, harusnya kita lebih banyak
lagi memproduksi ribuan teks dengan pencapaian mahasiswa yang lebih unggul
dibandingkan Malaysia. Ini menjadi krisis yang dialami oleh negara kita,
kemampuan menulis belum sepenuhnya terjamah oleh mahasiswa dan para
intelektualnya.
Masalah ini disinggung dalam penelitian Krashen (1984) di perguruan
tinggi AS menunjukkan bahwa para penulis produktif dewasa adalah mereka yang
sewaktu SMA-nya, antara lain, banyak membaca karya sastra, berlangganan koran,
atau majalah dan di rumahnya ada perpustakaan. Jadi dalam kasus ini, mengaktifkan penulis yang produktif baik
mahasiswa maupun dosennya perlu pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar
di tingkat SMA. Pembenahan ini
dilakukan untuk memperbaiki kesadaran mahasiswa ataupun dosennya bahwa menulis
tak jauh dari kegiatan membaca, karena membaca adalah jembatan ke arah menulis.
Mungkin ini yang menjadi penghambat bagi negara kita dalam memproduksi
tulisan-tulisan ilmiah, mereka kurang memahami suatu teks, mereka kurang
bergaul dengan buku-buku akademik lainnya. Sehingga mereka tak tahu apa yang
akan mereka tulis lagi, sumber pengetahuan pun terbatas, mungkin mereka akan
menjadi seorang pensiunan dalam menulis.
Hal ini dijelaskan pada tulisan Dr.
Chaedar dalam “Powerful writers versus the Helpess readers”, bahwa hampir 95 persen mereka menyalahkan diri
mereka sendiri dalam kemampuan membaca, mereka tak mampu
menginterpretasikan teks-teks yang mereka hadapi. Mereka menyerah dengan
teks-teks yang dianggap menyusahkan, sikap ini membawa mereka ke jurang
keputusasaan. Alasan ini diperkuat lagi dengan perkataan “I have not reached that level” , mereka meyakini adanya kesusahan
dalam menangkap teks yang dikatan si penulis, mereka menganggap bahwa dirinya
tak memiliki level yang sepadan dengan penulis. Padahal keahlian membaca ini
sangat dibutuhkan, keahlian ini disebut
critical reader.
Critical
reader atau membaca secara kritis merupakan keahlian dalam mengkritisi sebuah
teks, mereka yang berada di level ini akan mudah memahami suatu teks bacaan.
Hal ini dikarenakan bahwa membaca kritis perlu adanya proses berfikir, proses
menganalisis dan proses penilaian terhadap teks. Keahlian ini perlu diterapkan
sebelum kita memulai menulis, karena proses membaca dengan cara seperti itu
akan mempermudah pola pikir kita dalam menulis, membaca lebih menyerap banyak
informasi lagi. Jadi critical reader
akan membawa kita ke critical writer, keduanya saling berinteraksi. Jika ingin
memperkaya khasanah tulisan kita, berarti harus membaca. Jangan jadikan
critical reader sebagai pelabuhan terakhir, karena dengan membaca saja tak cukup
kita harus mempraktekan teori yang kita baca dengan menulis.
Menanggapi ketiga tulisan tersebut
yang di jelaskan Dr. Chaedar dan C W Watson saya beranggapan setuju, bahwa
negara kita ini sedang dilanda krisis. Kita
semua berbagi tanggung jawab untuk peningkatan kualitas pemikir kritis di
negara (CW Watson). Ini semua adalah hal yang benar, turutama pemikir
kritis kita dalam hal menulis. Banyak yang beliau katakan mengenai hal ini,
negara kita tak menepis kemungkinan butuh yang namanya informasi/pengetahuan
dari sumber lain. Para intelektual kita dari luar negri yang sudah memegang
gelar PhD, rupanya tak mengubah kondisi yang kita alami. Mereka terlalu egois
dengan buku-buku rekomendasi pilihan mereka dari luar negri, akhirnya mahasiswa
kita tersesat di area ini. Mereka tak mampu memahami bahan-bahan ajar yang
mereka sarankan, alhasil mereka tak mengerti selama proses belajar mengajar.
Proses pemahaman mahasiswa kita
sangat minim mengenai membaca, karena mereka tak tau apa yang penulis
sampaikan. Mereka tak berusaha memahami teks yang mereka hadapi, ini menjadi
tolak ukur di negara kita terhadap minat membaca sangatlah kurang. Padahal ini
akan mengantarkan kita ke arah kemampuan menulis. Menulis sendiri merupakan
hasil praktek dari apa yang kita baca, kemampuan menulis menghasilkan
opini-opini, dan tulisan-tulisan akademik lainnya. Ini akan membantu negara
kita dalam merilis banyak buku lagi, sehingga kita tak usah berpatokan lagi
terhadap buku-buku teks luar negri. Tapi, Para intelektual kita malah berkiblat
pada buku-buku luar. Ini seharusnya dikoreksi lagi, atau mereka hanya akan menjadi “prajurit
pembaca”. Mereka tak memanfaatkan gelar PhD dengan memproduksi karangan buku
sendiri. Banyak keuntungan yang akan diraih jika kita menulis buku sendiri, salah
satunya bisa melestarikan bahasa nasional kita. Ini membuktikan bahwa janji
yang diikrarkan oleh pemuda dulu tak sia-sia. Dengan seperti ini, mahasiswa
kita lebih muda mengakses ilmu yang disampaikan.
Masalah kualitas peningkatan pemikir
kritis, ini perlu dilihat lagi sejarahnya. Dimana negara kita masih menerapkan
sistem belajar dengan mengandalkan teori saja bukan mengacu pada praktek. Ini
berbanding terbalik dengan pendidikan di luar negri, khususnya di AS. Mereka
melakukannya secara seimbang antara teori dan praktek, sehingga mereka tahu apa
yang mereka lakukan setelahnya dengan pembelajaran yang mereka dapat. Jadi
dimana akar krisis permasalahan ini?
Jika dilihat, akar krisis ini
terjadi pada kurikulum yang ditetapkan di Indonesia. Dimana telah dijelaskan
dalam tulisan CW Watson yang
mengatakan bahwa Dr. Chaedar cukup
mengatakan benar bahwa anak-anak sekolah di Indonesia tidak dianjurkan untuk
menulis, mereka tak perlu untuk tujuan Ujian Nasional, yang hanya mengharuskan
mereka centang kotak yang tepat dalam pilihan ganda. Ini terlihat jelas bahwa sistem kurikulum yang
kita jalani belum tepat, mereka telah merancang sistem ini hanya dengan teori
saja, bukan untuk praktek. Jadi mereka tak memahami sebenarnya tujuan mereka
belajar, dan tujuan mereka menerapkan pengetahuan yang mereka dapat.
Jadi akhir pemecahan masalah ini,
kita bisa melihat kembali apa yang dilakukan oleh negara lain dalam mengolah
sistem pendidikan. Jika kita lihat, di negara kita sistem kurikulum yang kita
pakai masih berorientasi pada teori dibandingkan orientasi pada praktek.
Makanya, susah bagi kita jika ingin benar-benar memperdalam pengetahuan yang
kita pelajari. Karena aturan main yang ditetapkan masih belum benar, di
Indonesia belum ada aturan menulis teks setelah mereka mereka selesai membaca.
Aturan ini seharusnya menuai protes dari para intelektualnya, terutama mereka
yang bergelar PhD. Karena mereka tahu aturan main negara luar dalam dunia
pendidikan, agar negara kita lebih maju lagi dan melahirkan bibit-bibit pemikir
kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic