We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 13 Februari 2014

KRISIS PENULIS, SIAPA YANG DISALAHKAN?

Appatizer Essay


 Lagi-lagi bangsa Indonesia dihadapi sebuah masalah, masalah ini bukan seperti masalah politik yang sering kita lihat di media cetak maupun media elektronik, bukan juga masalah militer yang yang sering kali kita dengar dengan suara senjata-senjata perangnya. Tapi ini masalah dalam dunia pendidikan, khususnya di area sastra dan bahasa. Dalam tulisan-tulisan Dr. Chaedar yang berjudul “(Bukan) bangsa penulis, Powerful Writers versus the Helpless Readers dan Learning and Teaching Process: More about readers and writers (CW Watson)”, Indonesia mengalami krisis dalam hal menulis. Ini dilihat dari lulusan-lulusan mahasiswa dan para intelektualnya, yang kurang mampu memproduksi kemampuan penulis (technical writer) yang lebih unggul. Mereka perlu didoktrin lagi dalam hal ini, khususnya dalam Academic writing.
            Dalam bidang Academic writing, mahasiswa tak jauh dengan tulisan-tulisan akademik seperti karya ilmiah, artikel jurnal, maupun buku-buku yang berbau akademik lainnya. Semua tulisan ini membutuhkan adanya observasi atau penelitian dalam membuatnya, menggali lebih dalam lagi informasi yang akan diperdebatkan, menelaah lagi permasalahan yang diperbincangkan. Tapi dalam hal ini, rupanya kemampuan kita dalam menulis berada dibawah garis merah.
             Dr. Chaedar pun telah menjelaskan tentang hal ini, bahwa tulisan kita dalam penulisan karya ilmiah, artikel jurnal maupun buku-buku akademik lainnya masih kalah telak jika dibandingkan dengan negara lain. Bila dibandingkan dengan negara Malaysia total produksi karya ilmiah negara kita masih rendah, hanya sekitar sepertujuh sedangkan Malaysia sepersepuluh. Ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita mengingat populasi penduduk kita lebih unggul dari negara Malaysia, harusnya kita lebih banyak lagi memproduksi ribuan teks dengan pencapaian mahasiswa yang lebih unggul dibandingkan Malaysia. Ini menjadi krisis yang dialami oleh negara kita, kemampuan menulis belum sepenuhnya terjamah oleh mahasiswa dan para intelektualnya.
            Masalah ini disinggung dalam penelitian Krashen (1984) di perguruan tinggi AS menunjukkan bahwa para penulis produktif dewasa adalah mereka yang sewaktu SMA-nya, antara lain, banyak membaca karya sastra, berlangganan koran, atau majalah dan di rumahnya ada perpustakaan. Jadi dalam kasus ini, mengaktifkan penulis yang produktif baik mahasiswa maupun dosennya perlu pembenahan pembelajaran baca-tulis yang benar di tingkat SMA.  Pembenahan ini dilakukan untuk memperbaiki kesadaran mahasiswa ataupun dosennya bahwa menulis tak jauh dari kegiatan membaca, karena membaca adalah jembatan ke arah menulis. Mungkin ini yang menjadi penghambat bagi negara kita dalam memproduksi tulisan-tulisan ilmiah, mereka kurang memahami suatu teks, mereka kurang bergaul dengan buku-buku akademik lainnya. Sehingga mereka tak tahu apa yang akan mereka tulis lagi, sumber pengetahuan pun terbatas, mungkin mereka akan menjadi seorang pensiunan dalam menulis.
            Hal ini dijelaskan pada tulisan Dr. Chaedar dalam “Powerful writers versus the Helpess readers”, bahwa hampir 95 persen mereka menyalahkan diri mereka sendiri dalam kemampuan membaca, mereka tak mampu menginterpretasikan teks-teks yang mereka hadapi. Mereka menyerah dengan teks-teks yang dianggap menyusahkan, sikap ini membawa mereka ke jurang keputusasaan. Alasan ini diperkuat lagi dengan perkataan “I have not reached that level” , mereka meyakini adanya kesusahan dalam menangkap teks yang dikatan si penulis, mereka menganggap bahwa dirinya tak memiliki level yang sepadan dengan penulis. Padahal keahlian membaca ini sangat dibutuhkan,  keahlian ini disebut critical reader.
Critical reader atau membaca secara kritis merupakan keahlian dalam mengkritisi sebuah teks, mereka yang berada di level ini akan mudah memahami suatu teks bacaan. Hal ini dikarenakan bahwa membaca kritis perlu adanya proses berfikir, proses menganalisis dan proses penilaian terhadap teks. Keahlian ini perlu diterapkan sebelum kita memulai menulis, karena proses membaca dengan cara seperti itu akan mempermudah pola pikir kita dalam menulis, membaca lebih menyerap banyak informasi lagi. Jadi critical reader akan membawa kita ke critical writer, keduanya saling berinteraksi. Jika ingin memperkaya khasanah tulisan kita, berarti harus membaca. Jangan jadikan critical reader sebagai pelabuhan terakhir, karena dengan membaca saja tak cukup kita harus mempraktekan teori yang kita baca dengan menulis.
            Menanggapi ketiga tulisan tersebut yang di jelaskan Dr. Chaedar dan C W Watson saya beranggapan setuju, bahwa negara kita ini sedang dilanda krisis. Kita semua berbagi tanggung jawab untuk peningkatan kualitas pemikir kritis di negara (CW Watson). Ini semua adalah hal yang benar, turutama pemikir kritis kita dalam hal menulis. Banyak yang beliau katakan mengenai hal ini, negara kita tak menepis kemungkinan butuh yang namanya informasi/pengetahuan dari sumber lain. Para intelektual kita dari luar negri yang sudah memegang gelar PhD, rupanya tak mengubah kondisi yang kita alami. Mereka terlalu egois dengan buku-buku rekomendasi pilihan mereka dari luar negri, akhirnya mahasiswa kita tersesat di area ini. Mereka tak mampu memahami bahan-bahan ajar yang mereka sarankan, alhasil mereka tak mengerti selama proses belajar mengajar.
            Proses pemahaman mahasiswa kita sangat minim mengenai membaca, karena mereka tak tau apa yang penulis sampaikan. Mereka tak berusaha memahami teks yang mereka hadapi, ini menjadi tolak ukur di negara kita terhadap minat membaca sangatlah kurang. Padahal ini akan mengantarkan kita ke arah kemampuan menulis. Menulis sendiri merupakan hasil praktek dari apa yang kita baca, kemampuan menulis menghasilkan opini-opini, dan tulisan-tulisan akademik lainnya. Ini akan membantu negara kita dalam merilis banyak buku lagi, sehingga kita tak usah berpatokan lagi terhadap buku-buku teks luar negri. Tapi, Para intelektual kita malah berkiblat pada buku-buku luar. Ini seharusnya dikoreksi lagi,  atau mereka hanya akan menjadi “prajurit pembaca”. Mereka tak memanfaatkan gelar PhD dengan memproduksi karangan buku sendiri. Banyak keuntungan yang akan diraih jika kita menulis buku sendiri, salah satunya bisa melestarikan bahasa nasional kita. Ini membuktikan bahwa janji yang diikrarkan oleh pemuda dulu tak sia-sia. Dengan seperti ini, mahasiswa kita lebih muda mengakses ilmu yang disampaikan.
            Masalah kualitas peningkatan pemikir kritis, ini perlu dilihat lagi sejarahnya. Dimana negara kita masih menerapkan sistem belajar dengan mengandalkan teori saja bukan mengacu pada praktek. Ini berbanding terbalik dengan pendidikan di luar negri, khususnya di AS. Mereka melakukannya secara seimbang antara teori dan praktek, sehingga mereka tahu apa yang mereka lakukan setelahnya dengan pembelajaran yang mereka dapat. Jadi dimana akar krisis permasalahan ini?
            Jika dilihat, akar krisis ini terjadi pada kurikulum yang ditetapkan di Indonesia. Dimana telah dijelaskan dalam tulisan CW Watson yang mengatakan bahwa Dr. Chaedar cukup mengatakan benar bahwa anak-anak sekolah di Indonesia tidak dianjurkan untuk menulis, mereka tak perlu untuk tujuan Ujian Nasional, yang hanya mengharuskan mereka centang kotak yang tepat dalam pilihan ganda.  Ini terlihat jelas bahwa sistem kurikulum yang kita jalani belum tepat, mereka telah merancang sistem ini hanya dengan teori saja, bukan untuk praktek. Jadi mereka tak memahami sebenarnya tujuan mereka belajar, dan tujuan mereka menerapkan pengetahuan yang mereka dapat.
            Jadi akhir pemecahan masalah ini, kita bisa melihat kembali apa yang dilakukan oleh negara lain dalam mengolah sistem pendidikan. Jika kita lihat, di negara kita sistem kurikulum yang kita pakai masih berorientasi pada teori dibandingkan orientasi pada praktek. Makanya, susah bagi kita jika ingin benar-benar memperdalam pengetahuan yang kita pelajari. Karena aturan main yang ditetapkan masih belum benar, di Indonesia belum ada aturan menulis teks setelah mereka mereka selesai membaca. Aturan ini seharusnya menuai protes dari para intelektualnya, terutama mereka yang bergelar PhD. Karena mereka tahu aturan main negara luar dalam dunia pendidikan, agar negara kita lebih maju lagi dan melahirkan bibit-bibit pemikir kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic