Mengawali
semester ini tentu saja harus ada makanan pembukanya. J
Saya sebut
menulis itu adalah oksigennya ilmu, dimana ketika oksigennya berhenti maka
ilmunyapun akan mati (hilang).
Belajar dari
beberapa artikel tentang menulis-membaca, saya sangat menyadari bahwa banyak
sekali pro dan kontra tentang permasalahan penulisan karya ilmiah di kalangan
mahasiswa di lingkungan kampus sejalan dengan sudut pandang dan peran masing-masing. Dalam
perkembangan informasi yang demikian pesatnya sekarang ini, menulis bisa
dibilang salah satu profesi yang sangat menjanjikan. Untuk menggelorakan budaya
menulis anak bangsa, ada beberapa hal penting menurut (kompasiana.politik) bagi
seorang penulis yaitu, kemampuan teknis, mau tidak mau seorang penulis mesti
terus menerus melatih kemampuan menulis. Ini bukan untuk mencapai satu gaya
akhir yang final yang permanen, melainkan untuk makin mengefektifkan
penyampaian pesan yang dipesankan.
Opini untuk
ketiga teks ini “(Bukan) Bangsa Penulis, Powerfull Writers Versus the Helpless
Readers, and Learning and Teaching Process: More About Readers and Writers”
memiliki banyak sekali banyak sekali kesamaan, terutama yang terpenting adalah
mengenai “benang merah” yang telah penulis tuangkan kedalam tiap-tiap teksnya.
Teks yang
pertama “(Bukan) Bangsa Penulis” adalah pengharusan membumikan kembali budaya
menulis, terutama dilingkungan kampus. Memang sepertinya bangsa ini masih kalah
telak dengan negeri tetangga (Malaysia), apalagi disini lebih di singgung bahwa
bangsa ini kalah pamor dengan Malaysia, mengenai penulisan karya ilmiah.
Tentunya ini bukanlah sekedar tugas setiap kalangan yang ada di lingkungan
kampus saja tapi setiap orang, tapi dalam wacana yang satu ini adalah tugas
setiap kalangan yang ada di lingkungan kampus yang harus memulai membumikan
budaya menulis.
Menurut saya
bangsa ini tidak lagi membutuhkan lagi “soal” dengan menjawab dengan memakai
pilihan ganda, hanya menjawab dengan memilih dan terkadang tidak berdasarkan
pada kemampuan pengetahuan diri sendiri. Bisakah kita yakini bagaimana menulis
juga bisa dijadikan sebagai kegiatan mental dalam menciptakan ide dan gagasan
yang mempunyai nilai dan manfaat.
Seperti yang
kita ketahui bahwa di Negara ini setiap perguruan tinggi mengharuskan mahasiswa
menulis skripsi, thesis, dan disertasi, itulah salah satunya jalan agar
keterampilan menulis akademik bisa terus berkembang pada diri mereka, walaupun
hanya dalam lingkup profesi dan bidangnya masing-masing.
Untuk
perbandingan, semua perguruan tinggi di Amerika Serikat memaksa mahasiswanya
untuk banyak menulis essay seperti laporan observasi, ringkasan bab, review
buku, dan sebagainya. Makannya tidak ada keharusan mahasiswanya untuk membuat
skripsi, thesis, dan disertasi di akhir masa perkuliahan. Nah, di IAIN Syekh
Nurjati Cirebon-pun tepatnya pada prodi Bahasa Inggris kini sudah diterapkan
system seperti itu, tidak lain dan tidak bukan semuanya hanya untuk mengasah
nalar dan argument tulisan mahasiswanya. Tetapi tetap saja berbeda karena
system pembuatan skripsi, thesis, dan disertasi masih akan diterapkan.
Untuk teks yang
kedua yaitu “Powerfull Writer versus the Helpless Reader” saya dapat menarik
sebuah benang merah bahwa masalah bangsa penulis bukan hanya berada pada si
penulis tetapi juga berada pada si pembaca.
Mungkin kita
pernah merasakan atau mendengar hal ini, bahwa ketika kita disodorkan dengan
sebuah teks kadang kita berkata pada orang disebelah kita atau orang yang
memberikan teks tersebut, atau bahkan kepada diri kita sendiri : “Ya ampun, kok
bahasanya berat banget ya? Saya gak ngerti, kayaknya ini bukan level kita deh!!!”. Nah
phenomena ini mungkin sudah lumrah terjadi di kalangan kita, ini yang di sebut
juga penulis yang kuat versus pembaca yang tidak berdaya. Inilah tugas seorang
penulis, bahwa menurut saya untuk menjadi seorang penulis kita harus lebih
memberikan kesempatan bagi para readers untuk lebih memahami tulisan kita,
serta sebagai seorang penulis kita harus memahami background-nya sang readers,
agar tulisan kita tidak salah sasaran.
Jadi, kita
sebagai mahasiswa harus lebih bekerja keras lagiuntuk bisa mengorientasikan
tulisan kita, tentunya dengan berdasarkan kepada ilmu pengetahuan dan lebih
mebidik sasaran bahwa siapa yang akan membaca tulisan kita tersebut? Tapi harus
kita ingat bahwa academic writing akan mempunyai jaraaak jauh dengan
penulisnya.
Agar hasil
tulisan kita maksimal, maka kebiasaan membaca pun harus lebih ditingkatkan
kembali. Pendekatan koneksi membaca-menulis percaya bahwa tingkat membaca kita
menentukan kekuatan tulisan kita. Pengetahuan terakumulasi melalui membaca,
sementara menulis adalah menempatkan pengetahuan ke dalam kertas.
Dalam teks
ketiga “Learning and Teaching Process : More about readers and writers”, dari
wacana ini kita akan lebih banyak belajar tentang proses belajar mengajar dan
lebih lanjut tentang pembaca dan penulis.
Sebagai
mahasiswa perlu adanya pemikiran kritis dari kita, yaitu kritis dalam pemikiran
untuk meningkatkan kualitas menulis di Negara Indonesia ini. Perlu kita ketahui
bahwa yang paling sering kita temukan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam
menghadapi bacaan text academic, baik tulisan awalnya dalam bahasa Indonesia
atau hasil terjemaahan dari bahasa Inggris, ini sangat-sangatlah lumrah.
Teks ini juga
mempunyai hubungan langsung dengan teks yang sebelumnya yang berjudul
“Powerfull Readers versus Helpless Writers”, agar hal ini tidak terjadi lagi,
saya setuju bahwa menulis memaksa penulis untuk merefleksikan pilihan kata,
kontruksi kalimat, urutan dimana mereka diletakkan bersama-sama, hubungan
antara antara satu dengan yang lainnya, unsur-unsur dari sepotong teks
tertulis.
Jadi
kesimpulannya adalah ketiga teks diatas memilik kesamaan “benang merah” yaitu
mengenai menulis dan membaca. Siapa bilang menulis itu mudah? Selain untuk
memuaskan diri sendiri, menjadi penulis juga harus tetap memikirkan si pembaca,
jangan sampai apa yang disampaikan teks kedua terjadi yaitu “si penulis yang
kuat dan si pembaca yang tidak berdaya”, untuk mengatasi hal ini, maka semuanya
harus serba diseimbangkan, yaitu dengan cara lebih banyak lagi membaca, lebih
banyak belajar bagaimana cara
pemilihan kata serta mencoba merefleksikan pilihan kata dan yang tidak kalah
penting adalah terus melatih kemampuan menulis, karena menulis akan berkembang
dengan PRAKTEK, agar supaya menjadi potongan teks tertulis dengan segudang ilmu
di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic