Pada tanggal 11 February 2014, writing empat
season two pun di mulai semakin panas.
Tidak berbeda dengan cuaca pada saat itu, yang sangat panas dan tidak
ada komersial break. PAndangan mata
menjadi kabur, fikiran pun menjadi tidak fokus.
Seperti biasa, pak Lala mengawali pembelajarannya dengan mengkroscek
daftar hadir yang telah di persiapkan pada kertas yang sebelumnya. Jika, yang di panggil namanya say “Yes”
sebagai tanda kehadiran. Keadaan seburuk
apa pun, kami harus bisa menetralisirnya.
Beliau
pun membuka alat perang yaitu berupa laptop, yang sudah terpasang di
infokus. Power point beliau kali ini
yaitu mengenai jati diri, tetapi di slide nya bertuliskan “ knowing who really
you are”. Sebelum ke power point, beliau
sedikit membahas tentang appetizer pertemuan sebelumnya. Pendapat beliau mengenai tiga teks tersebut
yaitu bagus, bahkan sangat luar biasa.
Beliau
menginstruksikan untuk membuat dua buah lingkaran, lalu beliau akan berkeliling
dengan memberikan tiga buah pertanyaan dan mengkroscek log book kami. Saya adalah orang yang ke sekian, namun saya
berdebar – debar dan mempersiapkan argumen terlebih dahulu. Tiga pertanyaan beliau mengenai teks tersebut
yaitu :
1) Apa
yang salah dengan pendidikan yang ada di Indonesia?
2) Apa
penyebab tertinggalnya Indonesia di bidang pendidikan?
3) Literasi?
Jawaban
yang telah saya rancang yaitu sebagai berikut:
Kurangnya
kualitas dalam menulis di negara Indonesia, oleh karena itu harus lebih di perketat
lagi dalam hal menulis. Bangsa Indonesia,
sangat jauh berbeda dengan bangsa Malaysia.
Alasannya, Bangsa Malaysia sudah berhasil mencetak juranlis dari
kalangan mahasiswa. Jurnal yang telah di
terbitkannya pun sangat banyak. Beda
halnya dengan bangsa Indonesia, yang belum mencetak pribadi mahasiswa sebagai
jurnalis. Padahal, bangsa Indonesia
telah mengenyam jenjang pendidikan selama 12 tahun di tambah dengan perguruan
tinggi selama empat tahun. Mahasiswanya
bangsa Indonesia yaitu terlalu manut kepada guru, tidak berani dalam hal
mengungkapkan pendapat, tidak mau berusaha dalam hal pendidikan. Guru, hanya
memberikan tugas pada Lks saja dengan format penilaian yang
asal-asalan”subjektif’.
Sekitar
2,6 juta mahasiswa telah di cuci otaknya dengan pernyataan bahwa Bahasa Indonesia
tidak layak untuk di gunakan dalam bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Seharusnya, sebagai mahasiswa itu harus lebih
cermat dalam hal mencerna kabar teersebut.
Literasi, yaitu pemahaman mengenai teks bacaan. Motif ini, mengikuti eksplorasi yang pertama
cara memahami EAP. Metode yang di
gunakan adalah menggambarkan akademik teks dan konteks. Penduduk di Indonesia jarang sekali yang
membaca jurnal, yang mereka baca yaiitu hanya koran dan majalah. Penyebabnya, mereka itu kurang berkonsentrasi
di saat membaca teks.
Itulah
jawaban yang telah saya rancang, namun keinginan dan kenyataan terkadang tak
selalu berjalan dengan mulus. Setelah
selesai berkeliling seperti demikian, lalu beliau pun mendekati laptopnya dan
menerangkan isi dari slidenya. Hal
pertama yang beliau sampaikan dari slide power point yaitu, mengenai siapa diri
kami yang sesungguhnya. Karakteristik dari
diri kami yaitu:
ü Hanya
seorang mahasiswa yang mendaftar di Universitas sebagai mahasiswa di kelasnya
itu sebagai penulis tanpa tujuan?
ü Hanya
seorang mahasiswa yang menyelesaikan
tugasnya dengan asal-asalan?
ü Hanya
sebagai mahasiswa yang mengikuti aturan agar mendapatkan nilai yang tepat
sasaran?
ü Hanya
sebagai mahsiswa yang menulis tanpa jiwa?
ü Hanya
sebagai mahasiswa yang bertujuan untuk menyelesaikan seluruh kontrak kerjanya
saja?
Entahlah,
semua jawaban itu ada dalam diri kami masing-masing.
Ke dua, mengenai diri kami dalam
perspektif beliau yaitu kami adalah seorang penulis yang memiliki
multilanguage. Fungsinya, yaitu sebagai
pembaca kritis. Baik itu di dalam Bahasa
Indonesia, maupun dalam Bahasa Inggris.
Semua langkah yang demikian akan mengubah jati diri mahasiswa bahasa
menjadi mahasiswa menulis. Kedepannya
itu, kami akan mengubah dunia.
Ke tiga, mengenai menulis. Dalam hal ini, Hyland berpendapat bahwa
menulis adalah praktek yang di dasarkan pada harapan. Ha itu berupa, peluang pembaca menafsirkan
maksud penulis meningkat jika penulis mengambil kesulitan untuk mengantisipasi
apa yang pembaca harapkan yang di dasarkan pada teks – teks sebelumnya yang
telah di baca dari jenis bacaan yang sama.
Ke empat, mengenai keseimbangan diantara
ke duanya. Dalam hal ini, Hoey(2001)
berpendapat bahwa ibaratnya para pembaca dan penulis itu untuk penari yang
menari dengan langkahnya masing-masing. Rakitan
dari teks dengan semua antisipasi yang akan terjadi, di lakukan dengan membuat
koneksi ke teks yang sebelumnya itu adalah cita rasa hasil dari teks yang telah
di curahkan. Beliau pun memiliki
pendapat yang sama dengan saya, bahwa membaca dan menulis itu adalah suatu hal
yang berkesinambungan satu sama lainnya saling melengkapi.
Ke lima, mengenai pendapat dari
Lehtonen (2004;74). Di dalamnya membahas
Bahasa Saussure, yaitu suatu sistem yang di definisikan sendiri maknanya. Barthes, melihat peran orang-orang yang
berlatih aktivitas linguistik sebagai pusat pembentukan makna. Barthes juga, mengungkapkan mengenai seorang
penulis yang biasa-biasa saja. Tetapi,
beliau juga berpendapat bahwa seorang penulis itu harus mempunyai roh dalam
tulisannya. Telah di jelaskan dalam
class review yang sebelumnya, yaitu semua penulis akan mati, hanya karyanya
saja yang masih hidup kekal abadi. Maka,
tulislah atau buat lah suatu karya yang dapat membahagiakanmu di akhirat
kelak.(Ali Bin Abi Thalib).
Terakhir, yaitu mengenai kelanjutan
argumen dari Lehtonen. Menurut pendapat dari Lehtonen, yaitu suatu teks itu
saling berhubungan satu sama lain dan keduanya tidak dapat di pisahkan. Dalam kegiatan membaca itu terdapat memilih
apa yang harus di baca, mengorganisir dan menghubungkan keduanya itu
bersama-sama, serta membawa pengetahuan pembaca sendiri ke teks.
Pa Lala, memberikan isntruksi apa
yang harus di lakukan untuk minggu depan yaitu membuat class review bagian
kedua dan membuat chapter review yang pertama.
Jumlah halaman dari class review harus bertambah banyak yang isinya itu
harus lebih berbobot. Isinya, harus
formal, critical, meiliki struktur fokus, dan systematicity. Secara keseluruhan, bahasa di dalamnya harus
rigid/kaku. Harus lebih profesional
dalam membuat cita rasa suatu makanan, sama halnya dengan writing
academic. Harus mencairkan ide, agar
lebih mantap lagi. Kami tidak boleh
merasa puas apa yang telah di raih dan harus selalu bertanya pada yang lainya
dan kami juga tidak boleh memiliki perasaan egois yaitu tidakmau membantu
kepada yang lainnya yang belum faham mengenai materi tersebut. Itu adalah, ciri
dari “you will not take something for granded.”
Jago di dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia,
itulah kami hasil didikan dari beliau.
Namun, untuk mencapai hal demikian saya rasa tidak mudah. Jangan merasa lelah di pertemuan kedua ini,
karena ini belum ada apa-apanya. Pintar
itu adalah jago debate, menulis puisi itulah yang dibutuhkan dalam English
Department.
Luar biasanya Malaysia dan Singapore
itu bukan karena kepadatan penduduk tetapi mereka itu mempunyai pemahaman
literasi yang tinggi. Ciri-ciri yang
mempunyai pemahaman litersi yang tinggi, yaitu tidak akan membuang sampah
sembarangan, tidak menerobos lampu merah dan tidak akan melakukan korupsi.
Semua itulah yang akan membuat bangsanya aman, seharusnya negara Indonesia itu
yang mayoritasnya islam harus memiliki hal demikian karena telah tercantum
dalam al-qur’an. Sedangkan yang terjadi
di Indonesia yaitu memiliki pendapatan yang rendah, diperkirakan tahun 2015
SDA’nya banyak, tenaga kerjanya hanya lulusan SD daya saing rendah level kerja
yang rendah. Sedangkan Negara Korea
Utara itu telah mampu menciptakan nuklir, untuk melindungi negaranya dari
serangan musuh. Hal yang demikian dan
lompatan ekonomi itu terletak di literasi.
Contoh yang lainya yang memiliki
literasi yang tinggi, yaitu ada di Amerika.
saat menyambut kedatangan Mr. Lala semua mahasiswa menyambutnya dengan
baik, dengan cara mengambil kursi dengan
aman dan nyaman. Melakukan hal yang demikian, hanya dalam waktu lima
menit. Dengan waktu segitu saja sudah
rapih, dan tidak mengeluarkan suara ribut sedikit pun. Membudayakan dalam hal mengantri, ikhlas
dalam hal di periksa sewaktu di bandara saat ada pemeriksaan yang lama. Jika, mereka mempunyai literasi tingkat
tinggi maka dari hal yang sepele pun mereka akan terasa nyaman dan aman dalam
hal melakukannya.
Guru bahasa itu sangat di butuhkan dalam jumlah
yang banyak, karena semakin banyak bahasa maka akan semakin pintar dan bahkan
akan menembus gerbang portal yang di tuju.
Sekarang itu adalah academic writing, harus mempunyai critical thinking.
Didalam menulis harus mempunyai tiga cara, yaitu a way of knowing something, representing
something dan reproducing something.
Maka akan membentuk molekul seperti:
TEKS
ADA TIGA YAITU :
·
KNOWING : Dimulai Dari Raasa ingin Tahu
·
REPRESENTING:
Mencoba Nya Lalu Mempresentasikannya
·
REPRODUCING:
Lalu Mengolahnya
Ketiga hal tersebut, dapat di describe kan
melalui kegiatan yang ada di kelas.
Seperti halnya academic writing 4, yang awalnya muncul dari rasa
penasaran(ke ingin tahuan), lalu dia mempresentasikan nya ketika di beri
pertanyaan, sebelum di presentasikan di kelas, dia harus memproduksi sebuah
kata- kata di dalam log booknya.
Karena,
yang akan bertahan lama di otak yaitu experience. Pengalaman, dalam menulis itulah yang akan
berpengaruh dalam hidup. Dimulai dari
knowing, apa yang ingin Anda ketahui untuk pertama kalinya maka Anda akan terus
beruha untuk mencari tentang hal itu.
Lalu, kemudian Anda akan mencoba untuk merepresentasikannya dan kemudian
memproduksinya. Jadi, kami harus mencari
sumber yang lainnya. Posisi seorang
reader itu tidak hanya saat sedang membaca saja, melainkan lebih kompleks dari
seorang reader daripada seorang writer dan cheff. Karena, cheff itu tugasnya hanya di dapur
saja ketika diasedang memproduksi sebuah makanan. Ketika, dia keluar dari dapur maka dia bukan
cheff lagi namanya.
Satu
kunci dari isu yang beredar yaitu melingkupi cara kita untuk memahami dan
mempraktekkan dari EAP, adalah kespesifikkan atau perbedaan-perbedaan yang di
sebut akademik Inggris untuk tujuan umum(EGAP) dan akademik Inggris untuk
tujuan spesifik. Mengikuti pendekatan
EGAP, guru mencoba melakukan sesuatu untuk mengisolasi keterampilan bentuk bahasa, aktivitas
pemikiran dan belajar menjadi lazim untuk disiplin secara keseluruhan.
Menurut
Dudley-Evans dan St John (1998:4), di mohon untuk instansi mengikuti aktivitas
diantaranyauntuk mendengarkan dosen, berpartisipasi dalam supervisi, seminar
dan tutorial. Membaca buku bacaan,
artikel dan bahan bacaan yang lainnya.
Writing essay, latihan menjawab disetasi dan laporan. Oleh karena itu, yang spesifik menggantikan
guru EAP untuk mengambil pendirian dalam pandangan bahasa dan belajar untuk
latihan seperti kursus. Tenaga kita
untuk bertanya “apakah keterampilan di sana?, apakah ciri – ciri dari bahasa
dapat di alihkan menjadi perbedaan disiplin atau apakah kita harus fokus dalam
teks keterampilan dan apakah yang menjadi ciri-ciri kebutuhan dalam belajar
pada disiplin yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic