Chapter Review
- Pendekatan structural dengan grammar translation metods
Pendekatan ini popular
sampai dengan perang dunia ke-2.
Pendekatan pertama ini meletakan focus pembelajarannya pada penggunaan
bahasa tulis dan penggunaan tata bahasa.
Ini melatih siswa untuk mampu mengidentifikasi jenis kata, unit kata,
frase, klausa, (sintaksis) dan cara menggabungkannya. Ini juga melatih siswa dalam menganalisis
kesalahan berbahasa, sintaksis kalimat,dan wacana. Akan tetapi pendekatan ini tidak begitu
menjamin bahwa siswa mampu menganalisis persoalan social seperti bahasa pejabat
yang munafik, bahasa yang bias gender, dan bahasa iklan yang terkadang sesat
dan menyesatkan.
- Pendekatan audiolingual (dengar - ucap)
Pendekatan ini
difokuskan dalam melatih siswa pada latihan dialog-dialog pendek untuk dikuasai
oleh siswa. Yang dimaksudkan dikemudian
hari siswa akan beranalog pada dialog itu saat berkomunikasi secara
spontan. Akan tetapi pendekatan ini
mengakibatkan penguasaan dalaam bahasa tulis menjadi terabaikan. Karena siswa hanya beranalogi.
- Pendekatan kognitif dan transformative
Pendekatan ini sebagai
implikasi dari teori-teori struktur sintatik.
Pendekatan ini focus mengajarnya terletak pada generating. Maksudnya adalah membangkitkan potensi
berbahasa siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lingkungannya. Disini materi yang diajarkan kepada siswa
yaitu berorientasi kesintaksis.
Pertanyaannya, memangnya berbahasa itu hanya bersintaksis? Bisa jadi,
secara sintaksis benar, tapi secara sosiolinguistik tidak berfungsi.
- Pendekatan communicative competence
Sekitar pada tahun
1980-1990, pendekatan ini menjadi tren pengajaran bahasa. Pengajaran berbahasa ini bertujuan untuk agar
siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa target, mulai dari komunikasi yang
terbatas smapai dengan komunikasi spontan dan alami. Karena dalam komunikasi manusia tidak sekedar
memproduksi ungkapan yang komunikatif, tidak hanya itu komunikasi juga harus
bernalar. Namun pendekatan komunikatif
juga diaggap kurang eksplisit dalam upaya bentuk dan fungsi, sehingga lahir
tata bahasa fungsional.
- Pendekatan literasi atau pendekatan genre based
Pendekatan ini sebagai implikasi
dari studi wacana. Tujuan pembelajaran
adalah menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tututan
konteks komunikasi. Ada bagian yang
menonjol pada bagian ini yaitu pengenalan berbagai genre wacana lisan maupun
tulisan untuk dikuasai oleh siswa.
Pembelajaran dilakukan melalui empat tahapan yaitu : membangun
pengetahuan; menyusun model-model teks; menyusun teks bareng-bareng;
menciptakan teks sendiri.
Dalam definisi lama literasi adalah
kemampuan membaca dan menulis. Istiah
literasi jarang dipakai dalam konteks persekolahan Indonesia. Namun istilah yang sering dipakai adalah
pengajaran bahasa atau pembelajaran bahasa. Pada masa silam membaca dan menulis
dianggap ‘cukup’ sebagai pendidikan dasar untuk membekali manusia dalam
menghadapi zamannya. Dapat difahami jika
literat kadang diartikan sebagai pendidikan.
Literasi selama bertahun-tahun dianggap skedar persoalan psikologis yang
berkaitan dengan mental dan keterampilan baca-tulis, padahal literasi adalah
praktek cultural yang berkaitan dengan persoalan social dan politik. Dalam definisi baru dan juga menunjukan
paradigma baru, kini ada ungkapan literasi computer, literasi visual, literasi
matematika, IPA dan sebagainya. Disini
ada beberapa model literasi yang disingkat menjadi lima verba : memahami,
melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Itulah hakikat berliterasi secara kritis
dalam masyarakat demokratis. Berikut ini
adalah perubahan tentang makna literasi, yang pastinya mengakibatkan perubahan
pengajaran.
·
Sebuah kemampuan individual untuk
membaca, meulis, dan berbicara dalam bahasa inggris dan computer untuk mencapai
tujuan seseorang, dan mengembangkan potensi dan pengetahuan seseorang.
·
Pada abad ke-21, standar kelas dunia
mengajukan permintaan bahwa setiap orang itu berliterasi tinggi, highly
numerate, well-informed, senantiasa mampu belajar, percaya diri, dan mampu
bermain pada bagian mereka sebagai masyarakat demokrasi social.
Literasi tetap berurusan dengan penggunaan
bahasa, dan kini merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimesi
yang saling terkait.
Ø Dimensi
geografis
Literasi seseorang
dapat dikatakan berdimensi local, nasional, regional, atau internasional,
bergantung pada tingkat pendidikan dan social dan vokasionalnya.
Ø Dimensi
bidang
Literasi bangsa tampak
dibidang pendidikan, komunikasi, administrasi, miter, dan sebagainya. Pendidikan yang berkualitas tinggi
menghasilakan literasi yang berkualitas pula.
Ø Dimensi
keterampilan
Literasi seseorang tampak
dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung dan berbicara. Kualitas tulisan bergantung pada ‘gizi’
bacaan yang disantap. ‘gizi’ itu akan
tampak ketika kita berbicara. Dalam
tradisi barat, ketiga keterampilan ini disebut 3-R (Reading. wRiting, dan
aRithmetics).
Ø Dimensi
fungsi
Orang yang literat
karena pendidikannya mampu memecahkan persoalan, tidak sulit untuk mendapatkan
pekerjaan, memiliki potensi untuk tujuan hidupnya, dan gesit mengembangkan
serta memroduksi ilmu pengetahuan.
Ø Dimensi
media (teks, cetak, visual, digital)
Untuk menjadi literat
pada zaman sekarang ini, tidak cukup dengan kemampuan membaca dan menulis, akan
tetapi harus mampu mnguasai ilmu teknologi.
Ø Dimensi
jumlah
Literasi seperti halnya
dalam kemampuan berkomunikasi bersifat relative. Kita mungkin sangat komunikatif dalam bahasa
Indonesia , tapi kurang komunikatif dalam bahasa ibu. Demikian pula dengan literasi.
Ø Dimensi
bangsa
Ada literasi yang singular dan
literasi yang plural. Hal ini beranalogi
kedimensi monolingual, bilingual, dan multilingual.
Sesuai dengan tantangan zaman dan
ilmu pengetahuan, ada 10 gagasan yang menunjukan perubahan paradigm literasi,
yaitu :
·
Ketertiban lembaga-lembaga social
Lembaga-lembaga
menjalankan dengan fasilitas bahasa sehingga muncul bahasa birokat yang
menunjukan kekuasaan birokat terhadap rakyat.
·
Tingkat kefasihan relative
Kefasihan literasi
minimal atau literasi yang diperlukan untuk memainkan pera fungsional dalam
setiap interaksi adalah yang perlu dikuasai.
·
Pengembangan potensi diri dan pengentahuan
Menulis akademik adalah
bagian dari literasi yang mesti dikuasai olehpara calon sarjana. Itulah literasi akademik.
·
Standar dunia
·
Warga masyarakat demokratis
·
Keragaman local
·
Hubungan global
Literasi tingkat ini
bergantung pada dua hal, yaitu penguasaa teknologi informasi dan penguasaan
konsep atau pengetahuan yang tinggi..
·
Kewarganegaraan yang efektif
Mampu mengubah diri,
menggali potensi diri, serta
berkontribusi bagi keluarga,lingkungan, dan Negara.
·
Bahasa inggris ragam dunia
·
Kemampuan berfikir kritis
Pengajaran bahas,
dengan demikian harus mengajarkan keterampilan berfikir kritis. Bahasa termasuk matematika adalah symbol
(baca, tulis, hitung) untuk berkomunikasi dan berliterasi. Manusia adalah makhluk pengguna symbol.
1). Masyarakat
semiotic
Budaya adalah sistem tanda, dan
utnuk menguasai tanda manusia harus menguasai literasi semiotic. Kita adalah praktisi semiotic.
Pendidikan bahsasa berbasis literasi
seyogianya dilaksanakan dengan mengukutitujuh prinsip, sebagai berikut :
1). Literasi
adalah kecakapan hidup (life skills) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
2). Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan. Pendidikan bahasa
sejak dini membiasakan siswa berekspresi baik secara lisan maupun tulis.
3). Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah.
4). Literasi
adalah refleksi dan penguasaan dan apresiasi budaya. Abai terhadap budaya menyebabkan
dekontekstualisasi.
5). Literasi
adalah kegiatan refleksi diri.
6). Literasi
adalah hasil kolaborasi.
7). Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Pendidikan
bahasa sejak dini seyogianya melatih mahasiswa melakukan interpretasi (mencari,
menebak, dan membangun makna) atas berbagai jenis teks dalam wacana tekstual,
visual, digital.
Lapor
Merah Literasi Anak Negeri
Indonesia ikut dalam proyek
penelitian dunia sejak tahun 1999, yang dikenal dengan proyek PIRLS (Proress in
International Reading Literacy Study), PSIA (Program for International Student
Assessment), dan TIMSS (the Third International Mathematics dan Science Study )
untuk mengukur literasi membacaa, matematika dan IPA. Pada sub-bab ini akan membahas temuan-temuan
penting dalam literasi membaca, khususnya prestasi membaca siswa Indonesia yang
dibandingkan dengan siswa dari Negara lainnya, berikut adalah temuannya :
1). Skor
prestasi membaca di Indonesia adalah 407, 417 untuk perempuan dan 398 untuk
laki-laki, ini dibawah rata-rata Negara peserta yakni 500, 510 dan 493. Indonesia kini menempati urutan ke-5 dari
bawah.
2). Negara
yang skor prestasi membacanya diatas rerata 500 ditandai oleh pendapatan kapita
dan HDI. Mayoritas Negara dengan HDI nya
diatas 0.9 mencapai prestasi membaca diatas 500. Indonesia memiliki HDI 0.711 dan GNI/kapita
810 US$.
3). Indonesia
termasuk Negara yang prestasi membaca LP (literary purpose) lebih rendah
daripada IP. Indonesia termausk Negara
yang memiliki indicator lebih dalam retrieving dan straightforward inferencing
process dari pada interpreting,
integrating, dan evaluating process.
4). Di
Indonesia hanya tercatat 22% yang prestasi membacanya masuk kedalam kategori
sangat tinggi, 19% menengah, dan 55% rendah.
Artinya 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400.
5). Siswa
yang tergolong high HER (Home Educational Resources) memiliki lebih dari 100
buku, lebih dari 25 buku anak, memiliki paling sedikit tiga jenis sumber
belajar lainnya, dan salah satu orang tuannya berpendidikan universitas. Sedangkan mereka yang tergolong low HER semua
srba kurung, memiliki 25 buku atau kurang, dan tidak memiliki sumber belajar
yang lainnya lebih dari satu jenis, dan orang tuanya tidak lulus SMA. Tercatat 44% orang tua Indonesia, dan 85%
Skotlandia.
6). Negara
Indonesia masuk kedalam kategori paling bawah, yaitu hanya sekitar 1% dalam
kategori high, 62% dalam kategori medium, dan 37% dalam kategori low.
7). Orang
tua siswa peserta PIRLS yang lulus universitas 25% , lulus SMA 21%, lulus SMP
31%, lulus SD 15%, dan tidak tamat SD%.
Kini Indonesia termasuk yang pendidikan orang tua siswanya paling rendah
yaitu 46%. Skor capaian prestasi membaca
544 didapatkan oleh sekelompok siswa yang orang tuanya lulusan universitas, dan
425 didapatkan oleh orang tuanya tidak tamat SD.
Kita
dapat menarik pelajar dari ketujuh temuan diatas yaitu :
·
Tingkat literasi siswa Indonesia masih
jauh tertinggal oleh siswa Negara lain.
Artinya, pendidikan nasional kita belum berhasil menciptakan warga
Negara literat yang siap bersaing dengan sejawatnya dari Negara lain. Ringkasnya dalam skala internasional,
literasi siswa kita belum kompetitif.
·
Dalam laporan PIRLS tidak ditemukan skor
menulis, sehingga tidak mengetahui antara skor prestasi membaca dan skor
menulis. Namun dapat diprediksi bahwa
prestasi menulis sangat bergantung pada kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca banyak orang sulit
menjadi penulis, namun banyak membaca tidak menjamin orang rajin menulis. Kini lebih banyak ilmuan disbanding penulis.
·
Temuan PIRLS ihwal Indonesia adalah
potret besar literasi Indonesia dalam skala international. Dalam konteks pembelajaran literasi disekolah
misalnya, kita harus melihat pemahaman guru ihwal literasi dan penguasaan
teknik pengajaran siswa. Langkah-langkah
guru professional yang terlihat dalam enam hal : komitmen, komitmen etis, strategi
analistis dan reflektif, efikasi diri, dan keterampilan literasi dan
numerasi. Pada dasarnya membangun
literasi bangsa harus diawali dengan membangun
guru yang professional, guru professional hanya dihasilkan oleh lembaa
pendidikan guru professional juga.
Implementasi
Perbaikan rekayasa literasi
senantiasa menyangkut empat dimensi :
linguistic atau focus teks, kognitif atau focus mind, sosiokultural
atau focus kelompok, dan perkembangan
atau focus pertumbuhan. Pada bagian ini
membahas literasi meliputi keterampilan membaca dan menulis. Pengajaran bahasa yang baik menghasilkan
orang literat yang mampu menggunakan keempat dimensi secara aktif, serempak,
dan terintegrasi. Dimensii literasi
membaca dan menulis, sebagai berikut :
Ø Dimensi
pengetahuan kebangsaan (focus pada teks)
Pengetahuan yang
diperlukan membaca dan menulis yaitu mencakkup : sistem membaca untuk membangun
makna seperti jenis dan struktur teks, morfologi, sintaksis, semantic, dan
ortografi; persamaan dan perbedan bahasa lisan dan tulis; ragam bahasa yang
mencerminkan kelompok, daerah, lembaga, etnis, agama, status social, pekerjaan,
dan sebagainya.
Ø Dimensi
pengetahuan kognitif (focus pada mind)
Membaca dan menulis itu
memerlukan pengetahuan dan keterampilan : aktif, selektif, an konstruktif saat
membaca dan menulis; memanfaatkan pengetahuan yang ada untuk membangun makna;
menggunakan proses mental dan strategi untuk menghasilkan makna. Maknanya, membangn literasi itu adalah
membangun semua keterampilan.
Ø Pngetahuan
perkembangan (focus pada pertumbuhan)
Perlu disadarkan bahwa berliterasi
itu sebuah proses ‘menjadi’ secara
berkelanjutan yakni melalui pendidikan sepanjang hayat.
Ø Kegiatan
literasi
Kualitas literasi berkembang
seiring dengan kematangan diri. Tingkat
pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang literasi itu tidak
sekedar berbatas tulis, tetapi juga terdidik dan mengenal sastra.
Bagaimana literasi diajarkan
bergantung pada paradigma ihwal literasi itu.
Dalam garis besarnya, ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu :
·
Decoding,
menyatakan
bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahasa
dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa.
Rumus dalam paradigm ini adalah : perkembangan = belajar ihwal literasi
- belajar literasi - belajar melalui literasi.
·
Keterampilan, menyatakan
bahwa penguasaan morfem dan kosakata adalah dasar untuk membaca. Siswa belajar membaca secara deduktif. Rumus dalam paradigma ini : perkembangan
literasi = belajar ihwal literasi - belajar literasi - belajar melalui
literasi.
· Bahasa secara utuh. Paradigma ini menolak urutan : belajar ihwal
literasi - belajar literasi - belajar melalui literasi. Paradigma ini mengajuka rumus : perkembangan
literasi adalah belajar melalui literasi - belajar literasi - belajar ihwal
literasi.
Paradigma adalah cara pandang dan
pemaknaan terhadap objek pandang.
Perubahan sudut pandang membawa sejumlah konsekuensi sampai ke metode
dan teknik pengajaran yang kasat mata dan hasilnya dapat diukur. Perubahan paradigma adalah hijrah
intelektual, hijrah bernalar karena tantangan zaman, maka dari itu adanya
rekayasa literasi. Pada intinya,
rekayasa literasi adalah upaya yang disengaja dan sistematis untuk menjadikan
manusia terdidik dan berbudaya lewat penguasaan bahasa secara optimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic