Appetizer Essay
Bahasa
merupakan merupakan sarana yang digunakan untuk dapat berkomunikasi antara
individu dengan individu lainnya. Keterampilan Berbahasa ini terdiri dari empat
macam yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan menulis. Namun diantara empat
keterampilan berbahasa tersebut terdapat satu keterampilan berbahasa yang
penggunaannya teramat penting bagi dunia pendidikan yaitu menulis. Menulis
merupakan cara yang digunakan untuk mengabadikan ilmu pengetahuan yang
jumlahnya tak terhingga. Ilmu pengetahuan yang dari waktu ke waktu akan terus
berkembang, akan terus menebar manfaat, dan akan terus dibutuhkan bagi banyak
orang untuk menambah wawasan.
Mengingat akan pentingnya manfaat
menulis ini namun sangat disayangkan di negara kita ini tak banyak orang yang
memiliki keahlian keterampilan berbahasa yang satu ini. Hal ini dapat kita
ketahui lewat dari wacana yang berjudul “(Bukan) Bangsa Penulis” yang ditulis
oleh Bapak Chaedar Alwasilah. Dalam wacana tersebut dituliskan bahwa mayoritas
sarjana lulusan perguruan tinggi kita tidak bisa menulis begitupun juga dengan
para dosennya. Hal itu sangat tidak diharapkan oleh sebab itu Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat yang ditujukan kepada rektor, ketua,
direktur perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia bahwa
mahasiswa S-1, S-2, dan S3 diwajibkan membuat karya ilmiah sebagai syarat agar
dapat menempuh gelar kelulusannya.
Surat keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi tersebut tentunya menuai banyak pro dan kontra meskipun
demikian keputusan tersebut tak bisa diganggu gugat dikarenakan negara kita
masih jauh tertinggal oleh negara tetangga Malaysia dan juga negara lainnya
dalam hal memproduksi ilmu pengetahuan berupa karya ilmiah. Kita tidak boleh
tinggal diam melihat keterpurukan negeri kita sendiri. Negara kita ini sudah
banyak tertinggal dalam berbagai macam bidang, jangan sampai dalam bidang
pendidikanpun kita masih ikut-ikutan mengalami hal yang sama. Akan jadi apa
bangsa ini di kemudian hari kelak? Mari kita sebagai generasi muda jangan hanya
bisa menyalahkan pemerintah. Nasi telah menjadi bubur, saling menyalahkan
siapun tak ada gunanya, yang terpenting saat ini yakni kita mesti saling bahu-membahu
untuk memikirkan bersama solusi-solusi terbaik untuk dapat mengejar segala
ketertinggalan negara kita dalam berbagai bidang ini.
Kali ini fokus saya sebagai penulis
hanya ingin membantu Indonesia khususnya hanya dalam bidang pendidikan saja. Kembali
ke pokok bahasan sebelumnya yaitu akan pentingnnya manfaat menulis dengan
mengacu pada berbagai opini-opini cemerlang yang dimiliki oleh Bapak Chaedar
Alwasilah. Menulis merupakan cara yang digunakan untuk dapat memproduksi ilmu
pengetahuan. Namun untuk bisa melakukannya bukanlah suatu perkara yang mudah. Seperti
yang Bapak Chaedar katakan bahwa kemampuan untuk dapat menulis membutuhkan
literasi tingkat tinggi. Tak banyak orang dapat menguasai kemampuan literasi
tingkat tinggi ini. Maka dari itu Dirjen Pendidikan tinggi mewajibkan para
mahasiswa untuk menulis skripsi, tesis, dan disertasi agar mereka bisa terbiasa
belajar menulis akademik (academic
writing). Dengan adanya kebijakan tersebut akhirnya para mahasiswapun bisa
sambil belajar untuk meneliti, membangun teori atau rumus baru. Semuanya pada
dasarnya dilakukan supaya dalam penelitian yang mereka kerjakan di dalam tugas
akhirnya dapat menghasilkan sudut
pandang baru dalam bentuk kesimpulan, rumus, atau teori dalam rangka untuk
memperkaya khazanah pengetahuan dan juga dapat melaporkan hasil telaahan,
pengamatan, atau eksperimen.
Sesudah kita mengetahui kegunaan
menulis selanjutnya mari kita membahas bagaimana caranya menumbuhkan, memelihara
serta mengembangkan keterampilan menulis yang produktif sehingga kita dapat dengan
cepat mengejar ketertingggalan kita. Media pencerdas bangsa ini bukan hanya
jurnal. Artikel opini di koran manfaatnya jauh lebih besar karena bisa dibaca
oleh berbagai kalangan. Pada intinya media pencerdas bangsa ini bukan hanya sekedar
lewat bacaan yang bersifat academic writing, bentuk buku tekspun bisa juga digunakan
sebagai alternatif.
Penelitian
Krashen di perguruan tinggi (AS) menunjukan bahwa para penulis produktif dewasa
adalah mereka yang sewaktu SMA-nya, antara lain, banyak membaca karya sastra,
berlangganaan koran atau majalah, dan dirumahnya ada perpustakaan. Jadi pada
dasarnya untuk dapat memproduksi mahasiswa dan dosen yang produktif menulis,
perlu pembenahan pembelajarn baca-tulis yang benar di tingkat SMA. Menurut saya
akan jauh lebih baik apabila segala kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya menumbuhkan
minat baca-tulis itu jika dibiasakan sejak dini, karena semakin cepat proses
yang dilakukan maka hasilnyapun juga tak lama akan segera berbuah. Kalau bisa
sejak dini dilakukan, mengapa mesti menunggu SMA dulu. Banyak orang mengatakan
lebih cepat akan lebih baik. Cara berikutnya untuk dapat menyiapkan ilmuan dan
peneliti yang produktif menulis harus ‘dipaksa’ jatuh cinta pada karya sastra.
Sayapun setuju dengan cara itu, cukup ampuh dampaknya, contohnya terjadi pada saya saat ini. Saat ini saya sedang
dipaksa oleh dosen saya agar jatuh cinta pada menulis, maka dari itu dosen saya
memberikan saya berbagai macam tugas yang banyak sekali tentang menulis. Suka
atau tidak suka ini sifatnya paksaan, jadi mau tidak mau harus dilakukan, tapi
tak masalah ini juga merupakan latihan-latihan permulaan bagi saya untuk dapat
menghadapi tugas akhir saya nanti. Pemaksaan memang, jika demi kebaikan
lanjutkan saja. Anak muda zaman sekarang ini kebanyakan memang seperti itu,
untuk dapat mengawali awal yang baik mesti diawali pemaksaaan terlebih dahulu.
Maklum ini merupakan pengalaman saya yang masih malas membaca buku kalau tidak
ada tugas haha.
Solusi untuk mengatasi tumbuhnya keterampilan
menulis ini tidak berhenti sampai pada cara-cara seperti yang telah disebutkan
dia atas disebabkan bermunculan hambatan-hambatan lainnya sehingga tidak bisa hanya
menggunakan solusi-solusi tersebut Berikut ini pembahasan hambatan dan solusi
selanjutnya.
Permasalahan pertama yang menghambat
minat menulis yakni para dosen yang mendapatkan gelar PhD masih kurang
menghargai buku-buku dari negaranya sendiri. Buktinya kebanyakan dari mereka
lebih memilih merekomendasikan buku-buku dari luar negeri untuk layak dijadikan
sebagai bahan bacaan ketimbang buku-buku dari dalam negeri. Hal ini sangat
memilukan memang. Seolah-olah bahasa nasional kita sendiri sudah tidak bisa
mengambil bagian sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi di negaranya
sendiri. Angan-angan bisa bersaing karya-karya ilmiah dengan negara lainnya
sepertinya hanya akan menjadi bunga tidur jika terus-menerus demikian adanya. Jika
hal itu dibiarkan terus berlanjut bisa jadi karya-karya ilmiah milik bangsa
kita sendiri sepertinya akan berangsur punah disebabkan seluruh pembaca hanya akan
tertarik membaca buku-buku dari luar negeri. Fenomena demikian cukup ironis,
tapi ini memang Indonesia. Sudah semestinya semua anak bangsa lebih
mengutamakan bangga dengan karyanya sendiri terlebih dahulu. Kalau bukan kita
sendiri yang membanggakannya lantas siapa lagi? Karya anak bangsapun jika terus
diperbaiki, dikembangkan dan didukung tentunya akan bisa bersaing dengan negara
lainnya.
Permasalahan kedua adalah mengenai
kurikulum. Kurikulum yang digunakan di Indonesia contohnya di universitas IKIP
Bandung, Dapat kita ketahui IKIP masih mempertahankan kurikulum yang sudah
semestinya tidak digunakan lagi, seperti para dosen yang masih hanya mengajarkan
apa yang telah mereka pelajari, hanya menerangkan teori dan ilmu pengetahuan
yang mereka miliki, namun dalam hal mempraktikan teori dan pengetahuan itu sendiri
tak pernah, sehingga para mahasiswa tidak memiliki keahlian sama sekali.
Kurikulum di Indonesia ini sangat bertolak belakang dengan kurikulum di luar
negeri, contohnya kurikulum yang digunakan di British University System.
Universitas British System ini lebih mengajari para mahasiswanya agar dapat memiliki
keahlian dari profesi yang mereka tempuh. Misalnya mahasiswa yang mengambil
program bahasa asing. Mereka akan diajari tentang bagaimana caranya agar mahir dalam
berbicara, mendengarkan, mengerti, membaca, dan menulis dengan lancar. Pada
intinya mereka akan lebih cenderung dilatih pada mengaplikasikan teori
ketimbang hanya mempelajari teori.
Merujuk
pada kesimpulan, Indonesia mesti banyak berbenah. Tak perlu larut oleh
kesalahan-kesalahan sebelumnya. Perbaikan dalam berbagai bidang mesti dilakukan
gencar-gencaran khususnya dalam bidang pendidikan, karena pendidikan merupakan sumber
datangnya ilmu pengetahuan. Dengan modal awal memiliki ilmu pengetahuan yang
tak terhingga tentunya apapun hambatan yang menghambat kemajuan bangsa ini akan segera dapat terselesaikan. Jangan pernah takut untuk bersaing, Indonesia bisa.
Perbaikan dari Indonesia, oleh Indonesia, dan untuk Indonesia. Indonesia negeriku
tercinta semoga akan lebih berkilau di kemudian hari kelak. Tetap semangat
untuk Indonesia yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic