We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Selasa, 25 Februari 2014

Damai itu Indah, Perbedaan itu Anugerah

Critical Review
(Classroom Discourse to Foster Religious Harmony)


Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia dengan Ideologi Pancasila menjadi pemersatu kemajemukan suku, budaya dan agama di naungan suatu tatanan demokratis. Tujuan utama dari kerukunan beragama yakni keharmonisan dalam berkomunikasi antara penganut agama. Orang-orang yang berada di lingkungan kita memiliki berbagai jenis agama yang mereka yakini. Begitu pula di lembaga pendidikan tempat para siswa menuntut ilmu, tak jarang dari mereka memiliki teman yang berbeda keyakinan agama.
Pasal 13 Ayat (3)
Huruf e
Yang dimaksud dengan "multikultural" adalah pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman yang ada dalam masyarakat menyangkut nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang dianut.
Yang dimaksud dengan "kemajemukan" adalah pandangan seseorang tentang keragaman agama yang hidup di dalam masyarakat.

Dalam sebuah pengalaman yang pernah saya rasakan dalam kehidupan saya pribadi, pada saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar pada saat itu saya tinggal di sebuah perumahan yang 99 % mayoritas penduduknya beragama Islam. Seiring bertambah nya waktu beberapa orang dari suku batak berdatangan dan mendiami perumahan yang saya tempati. Melihat kebudayaan mereka berbeda dengan kebudayaan masyarakat disitu pada umumnya banyak orang-orang di perumahan yang tidak mau bergaul dengan suku batak tersebut terutama mereka yang beragama kristiani. Kemudian yang terjadi di sekolah pada saat suku batak tersebut belajar dalam sekolah  umum, dalam pengamatan saya pada saat itu banyak siswa yang mengejek, mengacuhkan, sehingga keadaan suku batak tersebut menjadi terkucil pada saat itu, lain hal nya dengan suku batak yang beragama Islam sedikit demi sedikit mereka dapat menerima kedatangan penduduk baru dari suku batak. Kasus tersebut sangat didukung oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana mereka saling menghormati rekan, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain . Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin , 2009).
            Sekarang ini situasi perumahan menjadi 40% penduduknya bersuku batak, dan penduduk sudah bisa saling bertenggang rasa. Banyak suku batak yang berdatangan keperumahan itu karena satu alasan yaitu mereka tidak diterima di perumahan lainnya selain di perumahan yang saya tempati itu pun mereka mengeluarkan uang tambahan untuk bisa tinggal disana, entah apa alasan mereka mengucilkan suku batak tersebut. Itu masih menjadi sebuah tanda tanya besar di benak saya pada saat ini dan mengapa dulu orang-orang suku batak tidak diterima tinggal di suatu perumahan. Gambarannya semboyan dari Bhineka Tunggal Ika belum dapat mereka terapkan.
Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 dalam pasal 28E yang berbunyi:
1)      Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2)      Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
3)      Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Dalam wacana yang ditulis oleh A. Chaedar Alwasilah, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Benar sekali jika pihak sekolah melalaikan tugasnya bisa saja terjadi masalah sosial seperti yang saya tuturkan di atas. Pengembangan kerukunan umat beragama tidak terlepas dari peran seorang guru. Guru harus mampu membimbing siswanya dan menciptakan sebuah komunikasi sosial satu sama lain tanpa membedakan suku maupun agama. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Chaedar : “Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung , berdiri diam dan bergiliran berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi”. Metode diskusi di kelas dapat menjalin komunikasi yang lancar antar sesama sehingga kerukunan umat beragama dapat terwujud di mulai dari  tingkat pendidikan dasar. Karena, setelah mereka selesai dari pendidikan dasar para siswa akan melanjutkan kehidupan mereka selanjutnya dan Jangan sampai semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi isapan jempol saja yang tak bisa terurai dalam kehidupan bangsa yang majemuk ini. Mendidik dan menanamkan nilai Bhineka Tunggal Ika sejak dini sangatlah penting. Jika tidak, apa jadinya negara ini? Mungkin kelak akan terjadi perang antar suku atau antar agama yang lebih dahsyat dari yang pernah terjadi saat ini. Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon ( 2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ). Tanpa langkah yang tepat untuk diambil, konflik seperti itu akan terulang kembali.
Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya. Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi-religius. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan berinteraksi tanpa kenal batas agama. Jadi, arah pendidikan agama di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek ritual (aspek vertikal), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek vertical maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan, anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
Prof. Chaedar juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini telah gagal mendidik para siswanya dengan kompetensi wacana sipil . Sebagian besar politisi dan birokrat datang ke Parlement karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Masih segar dalam ingatan kita insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri. Alih-alih mendidik anak-anak sekolah , politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Kejadian ini menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan politik belum cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil . Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat , sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan untuk berfungsi secara maksimal .
Hal tersebut sangat berbanding lurus dengan hasil riset studi Aprilliaswati  yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di sebuah sekolah dasar di Pontianak , kota di mana bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering. Penelitian tersebut mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab . Studi ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk latihan masyarakat sipil.
Masih mengenai wacana kelas untuk memupuk kerukunan beragama oleh A. Chaedar Alwasilah mengenai bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman gereja di Surakarta misalnya. Masyarakat kita sebenarnya sudah semakin dewasa dalam menanggapi isu atau provokasi. Mereka tidak lagi mudah diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik.Sehingga, tidak perlu menyimpan dendam. Ini merupakan ujian bagi agama dan penganutnya. Inilah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Para pemimpin masing-masing agama semakin sadar dalam melihat hubungan antar-agama. Para pemimpin agama seringkali mengadakan pertemuan, untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jamaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan daripada sebagai lawan. Maka akan terwujud kerukunan antar umat beragama yang hidup harmonis dan saling menghormati satu sama lain. Kerukunan antar umat beragama itu dapat diterapkan pada saat dibangunnya tempat ibadah oleh pemerintah, agama yang lain tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari harinya, serta memberikan waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Itulah cerminan dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang harus benar-benar di junjung tinggi oleh semua pemeluk agama agar dapat menghormati satu sama lain. Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut.
Di negara Indonesia yang mengakui kebebasan beragama sering terjadi konflik yang mengatas namakan agama tertentu sehingga sering dianggap bahwa agama merupakn suatu  dari suatu konflik. Jika kita mengkaji lebih dalam mengenai masalah toleransi beragama dan jika semua masyarakat juga mengakui bahwa semua agama tidak ada yang buruk pasti akan tercipta ketentraman dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat dengan keberagaman  agama. Namun pada kenyataannya, jangankan toleransi antar umat beragama, kerukunan inter umat beragama pun masih sulit untuk dikendalikan. Dalam keyakinan yang sama pun masih sering dijumpai konflik mengenai perbedaan tuntunan ataupun dalam menentukan suatu mazab.
Filsuf Amerika pendidikan , Emerson ( 1837 ) menunjukkan pentingnya pendidikan liberal.
Menurut Prof. Chaedar, “Pendidikan Liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap orang lain”.
Akan tetapi ada pertentangan dari pendapat lain menurut Mohammad Najib (2013) yang mengemukakan bahwa “Liberalisme dan privatisasi pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa yang terjajah.” Tidak semua pendapat mengenai pendidikan liberal itu salah. Kita ambil dari segi positif nya  seperti yang dikemukakan oleh Pak Chaedar dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”, menjelaskan manfaat pendidikan liberal agar nantinya tidak ada lagi bentrokan antar etnis, budaya, dan agama di negeri ini.
Menurut William O'neil, pakar pendidikan dari University of Southern California dalam Ideologi Pendidikan (2001) bahwa pendidikan kalau boleh diibaratkan seperti seorang musafir yang sedang berada pada persimpangan jalan - jalan mana yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan adalah pilihan. Begitu juga dengan pendidikan, memilih jalan itu merupakan hal yang amat penting dan menentukan keberhasilan
Dalam konteks Indonesia , pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya. Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita (Mansour Fakih, 2002).
Tujuan liberalisme pendidikan adalah mengangkat perilaku individu yang efektif. Sedangkan tujuan liberalisme pendidikan bagi sekolah adalah menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan oleh siwa supaya bisa belajar sendiri secara efektif. Selain itu, siswa juga diajarkan tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah praktis melalui penerapan tata cata pemecahan masalah secara perseorangan maupun kelompok berdasarkan metode ilmiah yang rasional. Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan dalam berbagai macam pelatihan. Pada paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana membuat anak didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di tengah sistem yang berlaku pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat masalah yang berkembang dalam masyarakat karena sistem sosial masyarakat tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia dalam menghadapi sistem. Sehingga ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada anak didik, pengetahuan bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh anak didik. Menariknya ideologi pendidikan inilah yang sekarang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat global.
“Jika Anda ingin mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan . Hampir semua negara maju menyadari link ini dan dengan demikian membentuk sistem pendidikan yang baik”. (Prof. Chaedar)
Kelahiran Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respons terhadap berbagai tuntutan dan tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran UU tersebut dinyatakan: “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. 
Moch. Surya (2004) menyatakan bahwa Undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional. Paradigma tersebut, antara lain :
1. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilandasi dengan prinsip-prinsip berikut ini : 
a) Secara demokratis dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keagamaan,
    dan budaya bangsa.
b) Sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multi makna.
c) Sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang
    hayat. 
d) Sebagai proses keteladanan membangun kemauan dan kreativitas dalam proses
    pembelajaran.
e) Mengembangkan budaya belajar (baca, tulis, dan hitung) bagi segenap warga
    masyarakat.
f) memberdayakan masyarakat melalui partisipasi dan pengendalian mutu layanan
    pendidikan.
2. Demokratisasi dan desentralisasi sebagai semangat yang melandasi penyelenggaraan pendidikan nasional dengan lebih menekankan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah dalam keseluruhan aktivitas penyelenggaraan pendidikan.
3. Peran serta masyarakat sebagai konsekuensi demokratisasi pendidikan nasional maka masyarakat memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
4. Tantangan global, hal ini berimplikasi bahwa pendidikan nasional harus beradaptasi dengan perkembangan global yang menuntut sumber daya manusia yang lebih berkualitas dalam menghadapi persaingan global di segala bidang.
5. Kesetaraan dan keseimbangan, bahwa Undang-undang Sisdiknas yang baru mengandung paradigma dengan menerapkan konsep kesetaraan dalam penyelenggaraan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah memeiliki kesetaraan dengan satuan pendidikan yang dislenggarakan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan yang dimaksud keseimbangan ialah keseimbangan yang utuh antara unsur-unsur kepribadian yang meliputi aspek intelektual, spiritual, emosional, fisik, sosial, moral, dan kultural.


Kesimpulan:
keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. "multikultural" adalah pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman yang ada dalam masyarakat menyangkut nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang dianut. Sedangkan, "kemajemukan" adalah pandangan seseorang tentang keragaman agama yang hidup di dalam masyarakat. Arah pendidikan agama di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek ritual (aspek vertikal), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek vertical maupun horizontal.
Para pemimpin agama seringkali mengadakan pertemuan, untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang harus benar-benar di junjung tinggi oleh semua pemeluk agama agar dapat menghormati satu sama lain. Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut.
Filsuf Amerika pendidikan , Emerson ( 1837 ) menunjukkan pentingnya pendidikan liberal. Pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya. Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan.

“Jika Anda ingin mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya melihat kualitas dan praktek sistem pendidikan . Hampir semua negara maju menyadari link ini dan dengan demikian membentuk sistem pendidikan yang baik”. (Prof. Chaedar).

Moch. Surya (2004) menyatakan bahwa Undang-undang nomor 20 tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan pendidikan nasional.





Referensi:
www.m-edukasi.web.id Media Pendidikan Indonesia
Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta : Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
HTTP://THEFUTUREEDUCATIONLEADER.BLOGSPOT.COM
Yogyakarta; Adicita Karya Nugraha. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic