Critical
Review
(Classroom Discourse to Foster Religious Harmony)
Kerukunan
beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perjalanan panjang sejarah bangsa
Indonesia dengan Ideologi Pancasila menjadi pemersatu kemajemukan suku, budaya
dan agama di naungan suatu tatanan demokratis. Tujuan utama dari kerukunan
beragama yakni keharmonisan dalam berkomunikasi antara penganut agama. Orang-orang
yang berada di lingkungan kita memiliki berbagai jenis agama yang mereka
yakini. Begitu pula di lembaga pendidikan tempat para siswa menuntut ilmu, tak
jarang dari mereka memiliki teman yang berbeda keyakinan agama.
Pasal
13 Ayat (3)
Huruf
e
Yang dimaksud dengan "multikultural" adalah pandangan seseorang tentang ragam
kehidupan di dunia ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang
penerimaan terhadap realitas keragaman yang ada dalam masyarakat menyangkut
nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang dianut.
Yang dimaksud dengan "kemajemukan" adalah pandangan seseorang tentang
keragaman agama yang hidup di dalam masyarakat.
Dalam
sebuah pengalaman yang pernah saya rasakan dalam kehidupan saya pribadi, pada
saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar pada saat itu saya tinggal di sebuah
perumahan yang 99 % mayoritas penduduknya beragama Islam. Seiring bertambah nya
waktu beberapa orang dari suku batak berdatangan dan mendiami perumahan yang
saya tempati. Melihat kebudayaan mereka berbeda dengan kebudayaan masyarakat
disitu pada umumnya banyak orang-orang di perumahan yang tidak mau bergaul
dengan suku batak tersebut terutama mereka yang beragama kristiani. Kemudian yang
terjadi di sekolah pada saat suku batak tersebut belajar dalam sekolah umum, dalam pengamatan saya pada saat itu
banyak siswa yang mengejek, mengacuhkan, sehingga keadaan suku batak tersebut menjadi
terkucil pada saat itu, lain hal nya dengan suku batak yang beragama Islam
sedikit demi sedikit mereka dapat menerima kedatangan penduduk baru dari suku
batak. Kasus tersebut sangat didukung oleh
berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih
untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah, itu
adalah hubungan dimana mereka saling menghormati rekan, membantu, berbagi, dan
umumnya sopan terhadap satu sama lain . Konsep interaksi dengan rekan sebaya
adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin , 2009).
Sekarang
ini situasi perumahan menjadi 40% penduduknya bersuku batak, dan penduduk sudah
bisa saling bertenggang rasa. Banyak suku batak yang berdatangan keperumahan
itu karena satu alasan yaitu mereka tidak diterima di perumahan lainnya selain
di perumahan yang saya tempati itu pun mereka mengeluarkan uang tambahan untuk
bisa tinggal disana, entah apa alasan mereka mengucilkan suku batak tersebut. Itu
masih menjadi sebuah tanda tanya besar di benak saya pada saat ini dan mengapa
dulu orang-orang suku batak tidak diterima tinggal di suatu perumahan. Gambarannya
semboyan dari Bhineka Tunggal Ika belum dapat mereka terapkan.
Hal
ini bertentangan dengan UUD 1945 dalam pasal 28E yang berbunyi:
1) Setiap orang berhak memeluk agama dan
beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan
menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya.
3) Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Dalam
wacana yang ditulis oleh A. Chaedar
Alwasilah, kerukunan umat beragama
harus dikembangkan di sekolah pada awal usia mungkin. Benar sekali jika
pihak sekolah melalaikan tugasnya bisa saja terjadi masalah sosial seperti yang
saya tuturkan di atas. Pengembangan kerukunan umat beragama tidak terlepas dari
peran seorang guru. Guru harus mampu membimbing siswanya dan menciptakan sebuah
komunikasi sosial satu sama lain tanpa membedakan suku maupun agama. Seperti yang
dikatakan oleh Prof. Chaedar : “Siswa harus dilatih untuk mendengarkan
secara aktif dengan mempertahankan kontak mata langsung , berdiri diam dan
bergiliran berbicara. Mereka juga harus diajarkan bagaimana untuk menyumbangkan
ide-ide yang relevan dengan topik diskusi”. Metode diskusi di kelas dapat
menjalin komunikasi yang lancar antar sesama sehingga kerukunan umat beragama
dapat terwujud di mulai dari tingkat
pendidikan dasar. Karena, setelah mereka selesai dari pendidikan dasar para
siswa akan melanjutkan kehidupan mereka selanjutnya dan Jangan sampai semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi
isapan jempol saja yang tak bisa terurai dalam kehidupan bangsa yang majemuk
ini. Mendidik dan menanamkan nilai Bhineka Tunggal Ika sejak dini
sangatlah penting. Jika tidak, apa jadinya negara ini? Mungkin kelak akan
terjadi perang antar suku atau antar agama yang lebih dahsyat dari yang pernah
terjadi saat ini. Bukti kejadian tersebut sangat banyak, seperti konflik
antaretnis dan agama besar yang terjadi di daerah Sambas ( 2008 ) , Ambon (
2009 ) , Papua ( 2010 ) dan Singkawang ( 2010 ). Tanpa langkah yang tepat untuk
diambil, konflik seperti itu akan terulang kembali.
Anak
didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada
di sekitarnya. Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi-religius. Harapannya
sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan berinteraksi
tanpa kenal batas agama. Jadi, arah pendidikan agama di sekolah ke depan perlu
dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek ritual (aspek vertikal),
maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek vertical maupun
horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan, anak didik di
samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga
memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi
masyarakat yang plural.
Prof. Chaedar juga berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini telah gagal mendidik para siswanya dengan
kompetensi wacana sipil . Sebagian besar politisi dan birokrat datang ke
Parlement karena pendidikan yang mereka telah diperoleh. Sayangnya, banyak dari
mereka tidak memiliki kompetensi tersebut. Masih segar dalam ingatan kita
insiden memalukan pada tahun 2010 , ketika anggota parlemen saling bertukar
kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di
seluruh negeri. Alih-alih mendidik anak-anak sekolah , politisi ini telah
menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku. Kejadian ini
menunjukkan dengan jelas bahwa pendidikan politik belum cukup untuk
mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil . Ketika politisi dan birokrat
gagal untuk mendidik masyarakat , sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan
untuk berfungsi secara maksimal .
Hal tersebut sangat berbanding lurus dengan hasil riset
studi Aprilliaswati yang
diperoleh dari penelitian yang dilakukan di sebuah sekolah dasar di Pontianak ,
kota di mana bentrokan antaretnis telah terjadi cukup sering. Penelitian
tersebut mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak
hanya penalaran ilmiah , tetapi juga wacana sipil positif. Penalaran ilmiah
sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi
wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab . Studi
ini membuktikan bahwa sekolah harus berfungsi sebagai laboratorium untuk
latihan masyarakat sipil.
Masih
mengenai wacana kelas untuk memupuk kerukunan beragama oleh A. Chaedar
Alwasilah mengenai bentuk-bentuk radikalisme telah mengganggu kohesi sosial dan
dapat menghasilkan saling tidak percaya di antara kelompok-kelompok sosial
dalam masyarakat . Kasus bunuh diri - pemboman gereja di Surakarta misalnya. Masyarakat
kita sebenarnya sudah semakin dewasa dalam menanggapi isu atau provokasi.
Mereka tidak lagi mudah diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi
maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali
masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah
bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik.Sehingga, tidak
perlu menyimpan dendam. Ini merupakan ujian bagi agama dan penganutnya. Inilah
tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk
mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama
sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba
antarpenganut agama.
Para
pemimpin masing-masing agama semakin sadar dalam melihat hubungan antar-agama. Para
pemimpin agama seringkali mengadakan pertemuan, untuk menjalin hubungan yang
lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi
bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki
oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar sehingga
tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jamaatnya.
Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya
bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama.
Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah
kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan keberagamaan serta kualitas mereka
dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Setidaknya
kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi
dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan daripada
sebagai lawan. Maka akan terwujud kerukunan antar umat beragama yang hidup
harmonis dan saling menghormati satu sama lain. Kerukunan antar umat beragama
itu dapat diterapkan pada saat dibangunnya tempat ibadah oleh pemerintah, agama
yang lain tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari
harinya, serta memberikan waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang
sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Itulah cerminan dari semboyan Bhineka
Tunggal Ika yang harus benar-benar di junjung tinggi oleh semua pemeluk agama
agar dapat menghormati satu sama lain. Hormatilah selalu orang lain tanpa
memandang Agama apa yang mereka anut.
Di negara Indonesia yang mengakui kebebasan beragama sering
terjadi konflik yang mengatas namakan agama tertentu sehingga sering dianggap
bahwa agama merupakn suatu dari suatu konflik. Jika kita mengkaji lebih
dalam mengenai masalah toleransi beragama dan jika semua masyarakat juga
mengakui bahwa semua agama tidak ada yang buruk pasti akan tercipta ketentraman
dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat dengan keberagaman agama. Namun
pada kenyataannya, jangankan toleransi antar umat beragama, kerukunan inter
umat beragama pun masih sulit untuk dikendalikan. Dalam keyakinan yang sama pun
masih sering dijumpai konflik mengenai perbedaan tuntunan ataupun dalam
menentukan suatu mazab.
Filsuf
Amerika pendidikan , Emerson ( 1837 )
menunjukkan pentingnya pendidikan liberal.
Menurut Prof. Chaedar, “Pendidikan
Liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan provinsi terhadap
orang lain”.
Akan tetapi ada pertentangan dari pendapat lain menurut Mohammad Najib (2013) yang mengemukakan
bahwa “Liberalisme dan privatisasi
pendidikan akan menjauhkan cita-cita bangsa dan akan melumpuhkan kemampuan
masyarakat sehingga akan mengembalikan Indonesia sebagai bangsa kuli dan bangsa
yang terjajah.” Tidak semua pendapat mengenai pendidikan liberal itu
salah. Kita ambil dari segi positif nya seperti yang dikemukakan oleh Pak Chaedar dalam
bukunya yang berjudul “Pokoknya Rekayasa Literasi”, menjelaskan
manfaat pendidikan liberal agar nantinya tidak ada lagi bentrokan antar etnis,
budaya, dan agama di negeri ini.
Menurut William
O'neil, pakar pendidikan dari University
of Southern California dalam Ideologi Pendidikan (2001) bahwa pendidikan
kalau boleh diibaratkan seperti seorang musafir yang sedang berada pada
persimpangan jalan - jalan mana yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan adalah
pilihan. Begitu juga dengan pendidikan, memilih jalan itu merupakan hal yang
amat penting dan menentukan keberhasilan
Dalam
konteks Indonesia , pendidikan liberal harus mencakup pengetahuan etnis , agama
dan minoritas bahasa dan budaya. Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal
adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan
politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan
Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus
dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan
dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita (Mansour Fakih, 2002).
Tujuan liberalisme pendidikan adalah
mengangkat perilaku individu yang efektif. Sedangkan tujuan liberalisme
pendidikan bagi sekolah adalah menyediakan informasi dan keterampilan yang
diperlukan oleh siwa supaya bisa belajar sendiri secara efektif. Selain itu,
siswa juga diajarkan tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah praktis
melalui penerapan tata cata pemecahan masalah secara perseorangan maupun
kelompok berdasarkan metode ilmiah yang rasional. Pendekatan liberal inilah
yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan dalam berbagai macam
pelatihan. Pada paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada
bagaimana membuat anak didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing
di tengah sistem yang berlaku pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat
masalah yang berkembang dalam masyarakat karena sistem sosial masyarakat
tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia dalam menghadapi sistem. Sehingga
ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat memberikan pengetahuan dan keterampilan
yang berguna sebanyak-banyaknya kepada anak didik, pengetahuan bersifat
doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan intelektual yang
dimiliki oleh anak didik. Menariknya ideologi pendidikan inilah yang sekarang sedang
berkembang ditengah-tengah masyarakat global.
“Jika Anda ingin
mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya melihat kualitas dan praktek sistem
pendidikan . Hampir semua negara maju menyadari link ini dan dengan demikian
membentuk sistem pendidikan yang baik”. (Prof. Chaedar)
Kelahiran Undang-undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pada dasarnya merupakan salah satu wujud reformasi
bangsa dalam bidang pendidikan sebagai respons terhadap berbagai tuntutan dan
tantangan yang berkembang baik global, nasional, maupun lokal. Dalam konsideran
UU tersebut dinyatakan: “bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.”
Moch. Surya (2004) menyatakan bahwa Undang-undang nomor 20
tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan
pendidikan nasional. Paradigma tersebut, antara lain :
1. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilandasi dengan prinsip-prinsip
berikut ini :
a) Secara demokratis
dengan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keagamaan,
dan budaya bangsa.
b) Sebagai satu
kesatuan yang sistemik dengan system terbuka dan multi makna.
c) Sebagai proses
pembudayaan dan pemberdayaan yang berlangsung sepanjang
hayat.
d) Sebagai proses
keteladanan membangun kemauan dan kreativitas dalam proses
pembelajaran.
e) Mengembangkan budaya
belajar (baca, tulis, dan hitung) bagi segenap warga
masyarakat.
f) memberdayakan masyarakat melalui
partisipasi dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
2. Demokratisasi dan desentralisasi sebagai semangat yang melandasi
penyelenggaraan pendidikan nasional dengan lebih menekankan peran serta
masyarakat dan pemerintah daerah dalam keseluruhan aktivitas penyelenggaraan
pendidikan.
3. Peran serta masyarakat sebagai konsekuensi demokratisasi pendidikan
nasional maka masyarakat memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
4. Tantangan global, hal ini berimplikasi bahwa pendidikan nasional harus
beradaptasi dengan perkembangan global yang menuntut sumber daya manusia yang
lebih berkualitas dalam menghadapi persaingan global di segala bidang.
5. Kesetaraan dan keseimbangan, bahwa Undang-undang Sisdiknas yang baru
mengandung paradigma dengan menerapkan konsep kesetaraan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah memeiliki kesetaraan dengan
satuan pendidikan yang dislenggarakan oleh masyarakat (swasta). Sedangkan yang
dimaksud keseimbangan ialah keseimbangan yang utuh antara unsur-unsur
kepribadian yang meliputi aspek intelektual, spiritual, emosional, fisik, sosial,
moral, dan kultural.
Kesimpulan:
keanekaragaman
budaya merupakan aset dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. "multikultural" adalah
pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman yang
ada dalam masyarakat menyangkut nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik
yang dianut. Sedangkan, "kemajemukan"
adalah pandangan seseorang tentang keragaman agama yang hidup di dalam
masyarakat. Arah pendidikan agama di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau
selama ini lebih menekankan pada aspek ritual (aspek vertikal), maka harus
diperbaharui dengan menekankan baik aspek vertical maupun horizontal.
Para
pemimpin agama seringkali mengadakan pertemuan, untuk menjalin hubungan yang
lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi
bangsa kita dewasa ini. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang harus benar-benar di
junjung tinggi oleh semua pemeluk agama agar dapat menghormati satu sama lain. Hormatilah
selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut.
Filsuf
Amerika pendidikan , Emerson ( 1837 )
menunjukkan pentingnya pendidikan liberal. Pendidikan liberal harus mencakup
pengetahuan etnis , agama dan minoritas bahasa dan budaya. Ciri utama
pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan
pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan.
“Jika Anda ingin
mengetahui kualitas suatu bangsa , hanya melihat kualitas dan praktek sistem
pendidikan . Hampir semua negara maju menyadari link ini dan dengan demikian
membentuk sistem pendidikan yang baik”. (Prof. Chaedar).
Moch. Surya (2004) menyatakan bahwa Undang-undang nomor 20
tahun 2003 mengandung sejumlah paradigma baru yang menjadi landasan perwujudan
pendidikan nasional.
Referensi:
www.m-edukasi.web.id
Media Pendidikan Indonesia
Realita
Hubungan Antaragama, Yogyakarta : Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
HTTP://THEFUTUREEDUCATIONLEADER.BLOGSPOT.COM
HTTP://THEFUTUREEDUCATIONLEADER.BLOGSPOT.COM
Yogyakarta; Adicita Karya Nugraha. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic