Pendidikan: Peluru Penembus Perdamaian
Author : Ema Wilianti Dewi
Lahiriah
yang terlalu banyak meminta
Terhadap sajak yang
paling utopis
Bacalah dengan senyuman
yang sabar
Jangan dibenci para
pembunuh
Jangan dibiarkan anak
bayi mati sendiri
Kere-kere jangan
mengemis lagi
Dan terhadap penjahat
yang paling laknat
Pandanglah dari jendela
hati yang bersih
(Rendra, 2007: 2)
(Rendra, 2007: 2)
Lagi,
pendidikan menjadi sorotan yang tak kunjung usai. Berbagai belahan dunia sepertinya
sudah menghabiskan seluruh waktunya untuk memperbaiki pendidikan. Tak hanya
pendidikan intelektual saja yang harus diperbaiki, melainkan pendidikan sosial
juga yang merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia
sebagai makhluk sosial. Dewasa ini
pendidikan sudah menjadi ukuran kualitas suatu bangsa, maka dari itu tiap-tiap
negara berlomba untuk membangun sitem pendidikan yang baik agar kualitas
bangsanya baik pula. Pendidikan bahkan berperan penting pula dalam menentukan
perdamaian dunia.
Pendidikan yang baik harus dimulai
dari pendidikan yang palig dasar. Dalam artikel yang berjudul classroom discourse to foster religious harmony
yang di tulis oleh Prof. Chaedar Al-Wasilah pada tahun 2011 dikatakan bahwa
salah satu dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa keterampilan
dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota
masyarakat, dan warga negara. Masalahnya, tidak mudah untuk memberikan
pendidikan dasar kepada setiap individu yang memiliki perbedaan
masing-masingnya.
Indonesia,
sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukannya ini tercermin dari mulai banyaknya
suku bangsa, budaya, bahasa daerah, agama/kepercayaan yang dianut dan
sebagainya. Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk
(plural society) dan masyarakat multikultural (multikultural society).
Pluralisme
masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural yang
merupakan suatu konsep yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan
pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek
simbolik dan yang dapat dipelajari tentang masyarakat, termasuk kepercayaan,
seni, moralitas, hukum dan adat istiadat. Dalam masyarakat multikultural
konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun
suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan,
dan membanggakan pluralisme masyarakat itu.
Indonesia
sendiri sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu
ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang
disepakati sebagai simbol pemersatu negara ketika berada di bawah kekuasaan
Majapahit, merupakan sebuah simbol pengakuan akan kemajemukan Indonesia dan
menjadi sangat tepat untuk menggambarkan realitas ke-Indonesiaan. Ungkapan itu
sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri
negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan
negara Indonesia yang bersatu.
Memang
tak dapat dipungkiri bahwa kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat menjadi
pemicu utama terjadinya konflik-konflik sosial di luaran sana. Kemajemukan
bangsa ini merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau
konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Bahkan masalah agama lah yang
kasus ketegangannya kerap menjadi berita utama.
Sejenak
menengok kembali kepada sejarah, pemerintah menyadari bahwa kemajemukan yang
ada di Indonesia akan banyak menimbulkan konflik, oleh karena itu pemerintah
telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era
tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat
beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama
dengan pemerintah.
Tujuan
utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah agar
masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan.
Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan
atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran
agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu
akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan
kesatuan bangsa.
Tri
Kerukunan Beragama yang pertama adalah kerukunan intern umat beragama.
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan organisasi masyarakat keagamaan. Walaupun satu aqidah, misalnya Islam-perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap Al-Quran dan AsSunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan organisasi masyarakat keagamaan. Walaupun satu aqidah, misalnya Islam-perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap Al-Quran dan AsSunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.
Konsep
ukhuwwah islamiyah merupakan salah satu sarana agar tidak terjadi ketegangan
intern umat Islam yang meyebabkan peristiwa konflik. Konsep ini mengupayakan
berbagai cara agar tidak saling mengklaim kebenaran. Justru menghindarkan
permusuhan karena perbedaan mazhab dalam Islam. Semuanya untuk menciptakan
kehidupan beragama yang tenteram, rukun, harmonis, dan penuh kebersamaan.
Kedua,
Kerukunan Antar Umat Beragama. Konsep kedua ini mengandung makna kehidupan
beragama yang tentram, harmonis, rukun dan damai antar masyarakat yang berbeda
agama dan keyakinan. Tidak ada sikap saling curiga tetapi selalu menghormati
agama masing-masing.
Berbagai
kebijakan dilakukan oleh pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu umat
beragama lainnya. Semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena
perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana
hidup yang rukun, damai, tentram dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam bingkai negara kesatauan Republik Indonesia yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketiga,
kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Undang Undang Dasar 1945 BAB
IX Pasal 19 Ayat (1) menyiratkan bahwa agama dan syariat agama dihormati dan
didudukkan dalam nilai asasi kehidupan bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk
agama bebas menganut agamnya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu. Bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang religius,
atau tepatnya sebagai bangsa yang beriman kepada tuhan, meski pengamalan
syariat agama dalam kehidupan sehari-hari belum intensif, namun dalam praktek
kehidupan sosial dan kenegaraan sulit dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai dan
nornma keagamaan. Bahkan, dalam rangka dalam rangka suksesnya pembangunan
nasional dalam sektor agama termasuk salah satu modal dasar, yakni modal
rohaniah dan mental.
Hal
yang paling mencolok di negara ini adalah tentang keberagaman agamanya. Berdasar
sejarah, kelompok pendatang
telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan budaya
di dalam negeri dengan pendatang dari India,
Tiongkok,
Portugal,
Arab, dan Belanda.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 87,18% dari 237.641.326
penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam,
6,96% Protestan, 2,9% Katolik,
1,69% Hindu,
0,72% Buddha,
0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya,
dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
Dari banyaknya penduduk di
Indonesia, dengan keragaman agamanyalah timbul masalah baru yaitu konflik antar
agama. Semboyan negara ini sebenarnya sudah jelas mengatakan bahwa walaupun
berbeda tetapi tetap satu, “bhineka tunggal ika”. Seiring dengan perkembangan
zaman yang semakin kesini semakin mengikis nilai-nilai pendidikan moral bangsa
dan membuat anak-anak generasi baru seakan tak tahu apa-apa tentang semboyan
negara ini yang tertulis dan dicengkram erat di kaki garuda. Konflik-konflik
terus terjadi di masa ini, bahkan dimulai dari tingkat paling kecil.
Sudah banyak konflik antar agama
yang terjadi di negeri ini, negeri yang terkenal akan tingkat toleransi yang
tinggi. Pada Tahun 1996, 5 gereja dibakar oleh 10,000 massa di Situbondo karena
adanya konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman, konflik Poso (1998), Sambas
(2008), Ambon (2009), Papua (2010), dan Singkawang (2010). Bahkan mungkin yang
paling parah adalah kerusuhan Ambon pada tahun 1999.
Kerusuhan yang terjadi
hampir di selu-ruh Maluku, termasuk Maluku Utara telah berlangsung setahun
lebih dimulai pada tanggal 19 Januari 1999, bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H,
yaitu saat umat Islam merayakan hari Idul Fitri setelah berhasil menunai-kan
ibadah Puasa sebulan penuh. Kerusuhan yang oleh pihak Kristen ini telah
direncanakan dengan matang untuk mencapai tujuan politik Kristen di Indonesia
di mana diperkirakan Negara Boneka buatan Belanda pada tahun 1950, Republik
Maluku Selatan (RMS) telah digunakan untuk mencapai tujuan politik tersebut
seka-ligus mencapai cita-cita RMS untuk melepaskan Maluku Selatan dari Negara
Kesatuan RI, untuk merdeka dan berdiri sendiri.
Pekerjaan besar ini
dilakukan dengan menghancur-kan ummat Islam yang pada tahun 1950 telah ikut
bersama TNI menggagalkan berdirinya RMS. Bagi mereka, umat Islam adalah
penghalang utama bagi berdirinya RMS karena itu harus dipukul dengan keras,
seba-gai upaya memperkecil jumlahnya hingga mencapai titik minoritas yang tidak
berarti.
Isu separatis ini
muncul kembali karena suasana dalam negeri RI yang sedang dalam proses
reformasi menunjukkan kekacauan hampir di seluruh wilayah Nusantara.
Pemerintahan Soeharto dijatuhkan sedangkan Pemerintahan B.J. Habibie rapuh
karena dinilai tidak legitimated dan tidak sah. Terlepasnya tim-tim dengan sutau proses
yang didukung dunia internasional telah ikut merangsang pihak RMS untuk melepaskan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekarang
bukan saatnya untuk saling menyalahkan, apalagi menyalahkan kinerja pemerintah
dalam mengatasi kesenjangan seperti ini. Masalah sosial ini merupakan tugas
penting kita semua, masyarakat Indonesia. Memang tak dapat dipungkiri bahwa
pemerintah tak bisa tinggal diam dalam menghadapi masalah ini, harus ada
tindakan yang hebat untuk mencegah terjadinya radikalisme yang berkelanjutan.
Para
pelajar yang notabene disekolahkan untuk belajar mengerti tentang apa itu
kebersamaan dan apa itu moral yang baik justru menjadi awal mula berlangsungnya
konflik yang terjadi di negeri ini. Mereka berubah menjadi pencetus konflik
yang mengatasnamakan perbedaan dengan melakukan tawuran antar pelajar dan
bentrokan antar pemuda. Dalam artikel bapak Chaedar yang berjudul “Classroom discourse to foster religious harmony” tertulis
bahwa masalah sosial ini diakibatkan kurangnya kepekaan dan rasa hormat kepada
orang lain. Hal ini juga mencerminkan telah pudarnya pesona bhineka tunggal ika
yang dahulu masih dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat negeri ini.
Segala konflik yang berhubungan dengan kehidupan
sosial dan masalah ketidakharmonisan agama merupakan tantangan terberat bagi
pendidik dalam melakukan yang terbaik demi mencetak generasi penerus bangsa
yang bermanfaat bagi bangsa. Pendidik disini menurut saya bukan semata-mata
pendidik yang ada dalam lembaga pendidikan saja seperti apa yang dikatakan oleh
Prof. Chaedar. Pendidikan dasar dimulai dari lingkungan keluarga, lalu
diteruskan ke jenjang pendidikan yang terdapat dalam lembaga pendidikan.
Sebaiknya orang tua menanamkan pendidikan moral yang baik terlebih dahulu
sebelum melepas anak-anaknya keluar. Hal ini bertujuan supaya tenaga pendidik
akan terkurangi sedikit bebannya.
Memang yang berperan penting untuk membentuk dan
mempersiapkan generasi berikutnya sebagai negara yang demokratis dengan karakter
yang baik adalah seorang tenaga pendidik. Hal ini tercantum pada Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pendidik harus membuat generasi bangsa
menjadi tahu aturan dan bisa menjadi masyarakat yang demokratis.
Menilik
kembali persoalan tentang tidak harmonisnya hubungan beragama di Indonesia
sekarang ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah sedini
mungkin. Bukan hanya masalah keagamaan, tetapi juga masalah multikultural
bangsa ini. Memberikan
setiap siswa sebuah kesempatan untuk berinteraksi sesama rekannya merupakan
cara terbaik saat ini untuk melatih menghargai adanya perbedaan pendapat.
Apalagi bila dalam suatu kelas berkumpul berbagai macam budaya dan agama, pasti
akan menghasilkan sebuah diskusi yang sangat menarik. Dalam pengaturan
multikultural pun siswa berasal dari berbagai etnis, agama dan sosial yang
berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka
masing-masing. Sekolah harus dengan sengaja memprogramkan untuk memfasilitasi
interaksi sesama rekan untuk mengembangkan suatu wacana sipil yang positif.
Berbagai
penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk
berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah itu adalah hubungan
di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap
satu sama lain. Hal ini akan melatih mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan
ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan,
dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan
berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. Konsep interaksi dengan rekan
sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Dari pendapat Rubin pun sudah jelas
bahwa penerapan konsep interaksi di kelas merupakan konsep yang tepat untuk di
terapkan di sekolah-sekolah. Pada sekolah dasar , guru kelas berfungsi untuk
mengawasi siswa untuk hampir sepanjang hari. Disela memrintahkan muridnya untuk
melaksanakan konsep pembelajaran dalam hal ini adalah classroom discourse, guru harus senantiasa membimbing dialog dan
iteraksi para muridnya agar tidak menjerumus kepada hal-hal yang kurang baik.
Classroom
discourse secara tidak langsung merupakan sebuah pelatihan untuk
menghasilkan individu yang diharapkankan nantinya akan bisa menjaga hubungan
baik antar masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang pada hakikatnya
sebagai masyarakat yang multikultural. Bila hal ini tidak dilakukan, hal
terburuk yang sangat di takutkan akan terjadi adalah terjadinya konflik sosial
yang sebelumnya telah disebutkan di awal.
Classroom
discourse juga didukung oleh sebuah laporan penelitian yang dilakukan
Apriliaswati ( 2011) yang menyimpulkan bahwa interaksi dengan teman sebaya
dalam dkelas adalah wacana sipil yang positif di kalangan siswa . Interaksi dengan
rekan dalam studi sosial ,pendidikan Indonesia dan pancasila tidak akan
terganggu jika guru dapat mengelolanya secara efektif. Kelas mungkin akan
menjadi lebih bising dan ramai, tatapi ini bisa menjadi bukti berhasilnya
proses interaksi yang dirancang.
Oleh
karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi dengan sebaya harus
dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas . Siswa harus diberi
kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka untuk hidup sebagai anggota masyarakat
yang fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis. Judul artikel ini
bertuliskan Pendidikan: Peluru Penembus
Perdamaian. Mengingat rentan terjadinya konflik sosial yang terjadi
Indonesia yang terjadi karena adanya pluralisme dalam negeri ini, pendidikanlah
yang ternyata mampu mengatasi permasalahan ini.
Konflik
yang terjadi pada ranah agama ternyata disebabkan oleh para penganut agama di
Indonesia yang sampai saat ini dirasa masih belum mendalam memahami inti dari
ajaran agamanya masing-masing. Hal ini disampaikan oleh guru besar ilmu antropologi
budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Mudjahirin Thohir, dalam
Seminar memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang diselenggarakan Balai
Litbang Agama Semarang, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (1/10/2013). Kesalahan
itu muncul karena disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal sebagai umat
beragama dan kedua adalah faktor eksternal. Sebagai umat beragama, mereka
dituntut untuk menyebarkan kebaikan dan melawan kemungkaran. Namun sayang,
prespektif kebaikan dan kemungkaran itu dirasa sangat subjektif, sehingga
menganggap agamanya benar yang harus dibela dan agama orang lain salah dan
harus dilawan. Hal ini kerap mereka anggap sebagai jihad, tetapi pada
kenyataanya ini merupakan bentuk radikalisme yang nantinya akan merusak
agamanya sendiri.
Sementara
faktor eksternal, berasal dari kondisi di Indonesia yang saat ini carut marut
baik segi hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Faktor eksternal itulah
menurut Mudjahirin yang selalu berada di belakang konflik dan kekerasan umat
beragama di Indonesia. Untuk itulah, sudah saatnya para tokoh agama menyadarkan
para penganut agamanya untuk lebih dewasa dalam memahami agama dalam konteks
Indonesia yang beragam ini. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui penegak
hukumnya harus tegas menindak penganut agama yang selalu melakukan kekerasan
atas nama agama itu.
Carut
marut politik negeri ini mengindikasikan masih gagalnya pendidikan berwacana
sipil di sekolah-sekolah. Kebanyakan politisi negeri ini menduduki kekuasaan
mereka dengan memanfaatkan pendidikan, tetapi sangat disayangkan bahwa
pendidikan mereka yang tinggi tidak menjamin perilaku moral yang tinggi pula.
Potret kelam para politisi akan selalu tercetak dan menjadi gambaran buruk
negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita adalah insiden memalukan pada tahun
2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak
sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri .
Alih-alih
mendidik anak-anak sekolah, politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat
miskin bagaimana berperilaku . Untuk mengulang, kejadian ini menunjukkan bahwa
pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam
wacana sipil. Guru SD sekarang harus berperan aktif dalam memandu anak-anak
sekolah dasar untuk menerapkan wacana sipil. Siswa sekolah dasar memang belum
bisa mengemukakan pendapat mereka dengan mengungkapkan fakta atau sumber-sumber
lain, tetapi mereka sudah bisa membuat sebuah kesepakatan yang didapat dari
permusyawarahan mereka dengan sesama rekan satu kelas.
“Peace cannot be
achieved through violence, it can only be attained through understanding.” Di masa yang
modern seperti ini, kedamaian hidup tidak hanya bisa dapatkan melalui
kekerasan, seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu kita yang harus
berjuang mempertaruhkan nyawa demi kedamaian. Sepertinya bila di masa sekarang
kekerasan masih digunakan untuk memperoleh “kedamaian” sudah bukan menjadi hal
yang baik, bahkan sangat buruk. Apalagi sekarang kekerasan itu mementingkan
satu golongan saja, cohtohnya satu ras atau agama. Bila sekarang masih ada yang
melakukan kekerasan atau “peperangan” yang hanya mementingkat kepentingan satu
golongan saja berarti bereka iti PRIMITIF. Harus disadari lagi, bahwa kita ini
Indonesia. Indonesia yang merupakan negara majemuk dengan segala aspek
perbedaannya. Kita juga harus ingat bahwa di cengkraman kaki garuda masih ada
semboyan bangsa ini “bhineka tunggal
ika”.
Bila
dahulu pahlawan-pahlawan kita mengangkat senjata untuk memperoleh kedamaian,
tetapi sekarang kita tidak perlu melakukan semua itu. Kita tak perlu melakukan
peperangan yang melibatkan kekerasan, karena bagaimanapun kekerasan akan banyak
merugikan. Pendidikan kini telah menjadi peluru panas yang mampu menembus
dinding tebal perdamaian. Pedidikan bahkan mampu menyatukan kembali bangsa
Indonesia yang memiliki keberagaman yang sangat kaya. Konflik-konflik sosialpun
akan mudah teratasi dengan pendidikan, apalagi bila classroom discourse dapat
diterapkan dengan sempurna.
REFERENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499 diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul
15.28 WIB
http://denaizzkakakecil.wordpress.com/2009/11/10/konflik-agama/
diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=956&res=jpz
diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://alchaidar.blogspot.com/2008/09/bab-12-jendral-dibalik-pembantaian-umat.html
diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul 08.17 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic