We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

CRITICAL REVIEW



Pendidikan: Peluru Penembus Perdamaian 
Author : Ema Wilianti Dewi
                                 
 Lahiriah yang terlalu banyak meminta
Terhadap sajak yang paling utopis
Bacalah dengan senyuman yang sabar
Jangan dibenci para pembunuh
Jangan dibiarkan anak bayi mati sendiri
Kere-kere jangan mengemis lagi
Dan terhadap penjahat yang paling laknat
Pandanglah dari jendela hati yang bersih
(Rendra, 2007: 2)

 
          Lagi, pendidikan menjadi sorotan yang tak kunjung usai. Berbagai belahan dunia sepertinya sudah menghabiskan seluruh waktunya untuk memperbaiki pendidikan. Tak hanya pendidikan intelektual saja yang harus diperbaiki, melainkan pendidikan sosial juga yang merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup manusia sebagai makhluk sosial.  Dewasa ini pendidikan sudah menjadi ukuran kualitas suatu bangsa, maka dari itu tiap-tiap negara berlomba untuk membangun sitem pendidikan yang baik agar kualitas bangsanya baik pula. Pendidikan bahkan berperan penting pula dalam menentukan perdamaian dunia.
            Pendidikan yang baik harus dimulai dari pendidikan yang palig dasar. Dalam artikel yang berjudul classroom discourse to foster religious harmony yang di tulis oleh Prof. Chaedar Al-Wasilah pada tahun 2011 dikatakan bahwa salah satu dari pendidikan dasar adalah untuk memberikan siswa keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat, dan warga negara. Masalahnya, tidak mudah untuk memberikan pendidikan dasar kepada setiap individu yang memiliki perbedaan masing-masingnya.
Indonesia, sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukannya ini tercermin dari mulai banyaknya suku bangsa, budaya, bahasa daerah, agama/kepercayaan yang dianut dan sebagainya. Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk (plural society) dan masyarakat multikultural (multikultural society).
Pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri utama dari masyarakat multikultural yang merupakan suatu konsep yang menunjuk kepada suatu masyarakat yang mengedepankan pluralisme budaya. Budaya adalah istilah yang menunjuk kepada semua aspek simbolik dan yang dapat dipelajari tentang masyarakat, termasuk kepercayaan, seni, moralitas, hukum dan adat istiadat. Dalam masyarakat multikultural konsepnya ialah bahwa di atas pluralisme masyarakat itu hendaknya dibangun suatu rasa kebangsaan bersama tetapi dengan tetap menghargai, mengedepankan, dan membanggakan pluralisme masyarakat itu.
Indonesia sendiri sejak permulaan sejarahnya telah bercorak majemuk. Oleh karena itu ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang disepakati sebagai simbol pemersatu negara ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit, merupakan sebuah simbol pengakuan akan kemajemukan Indonesia dan menjadi sangat tepat untuk menggambarkan realitas ke-Indonesiaan. Ungkapan itu sendiri mengisyaratkan suatu kemauan yang kuat, baik di kalangan para pendiri negara, pemimpin maupun di kalangan rakyat, untuk mencapai suatu bangsa dan negara Indonesia yang bersatu.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa kemajemukan bangsa Indonesia ini dapat menjadi pemicu utama terjadinya konflik-konflik sosial di luaran sana. Kemajemukan bangsa ini merupakan masalah yang rawan dan sering memicu ketegangan atau konflik antar kelompok termasuk masalah agama. Bahkan masalah agama lah yang kasus ketegangannya kerap menjadi berita utama.
Sejenak menengok kembali kepada sejarah, pemerintah menyadari bahwa kemajemukan yang ada di Indonesia akan banyak menimbulkan konflik, oleh karena itu pemerintah telah mencanangkan konsep Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada era tahun 1970-an. Tri Kerukunan Umat Beragama tersebut ialah kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Tujuan utama dicanangkannya Tri Kerukunan Umat Beragama di Indonesia adalah agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekalipun banyak perbedaan. Konsep ini dirumuskan dengan teliti dan bijak agar tidak terjadi pengekangan atau pengurangan hak-hak manusia dalam menjalankan kewajiban dari ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Pada gilirannya, dengan terciptanya tri kerukunan itu akan lebih memantapkan stabilitas nasional dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
Tri Kerukunan Beragama yang pertama adalah kerukunan intern umat beragama.
Perbedaan pandangan dalam satu agama bisa melahirkan konflik di dalam tubuh suatu agama itu sendiri. Perbedaan mazhab adalah salah satu perbedaan yang nampak nyata. Kemudian lahir pula perbedaan organisasi masyarakat keagamaan. Walaupun satu aqidah, misalnya Islam-perbedaan sumber penafsiran, penghayatan, kajian, pendekatan terhadap Al-Quran dan AsSunnah terbukti mampu mendisharmoniskan intern umat beragama.
Konsep ukhuwwah islamiyah merupakan salah satu sarana agar tidak terjadi ketegangan intern umat Islam yang meyebabkan peristiwa konflik. Konsep ini mengupayakan berbagai cara agar tidak saling mengklaim kebenaran. Justru menghindarkan permusuhan karena perbedaan mazhab dalam Islam. Semuanya untuk menciptakan kehidupan beragama yang tenteram, rukun, harmonis, dan penuh kebersamaan.
Kedua, Kerukunan Antar Umat Beragama. Konsep kedua ini mengandung makna kehidupan beragama yang tentram, harmonis, rukun dan damai antar masyarakat yang berbeda agama dan keyakinan. Tidak ada sikap saling curiga tetapi selalu menghormati agama masing-masing.
Berbagai kebijakan dilakukan oleh pemerintah agar tidak terjadi saling mengganggu umat beragama lainnya. Semaksimal mungkin menghindari kecenderungan konflik karena perbedaan agama. Semua lapisan masyarakat bersama-sama menciptakan suasana hidup yang rukun, damai, tentram dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam bingkai negara kesatauan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Ketiga, kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Undang Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 19 Ayat (1) menyiratkan bahwa agama dan syariat agama dihormati dan didudukkan dalam nilai asasi kehidupan bangsa dan negara. Dan setiap pemeluk agama bebas menganut agamnya dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Bangsa Indonesia sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa yang religius, atau tepatnya sebagai bangsa yang beriman kepada tuhan, meski pengamalan syariat agama dalam kehidupan sehari-hari belum intensif, namun dalam praktek kehidupan sosial dan kenegaraan sulit dipisahkan dari pengaruh nilai-nilai dan nornma keagamaan. Bahkan, dalam rangka dalam rangka suksesnya pembangunan nasional dalam sektor agama termasuk salah satu modal dasar, yakni modal rohaniah dan mental.
Hal yang paling mencolok di negara ini adalah tentang keberagaman agamanya. Berdasar sejarah, kelompok pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan budaya di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010, sebanyak 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 6,96% Protestan, 2,9% Katolik, 1,69% Hindu, 0,72% Buddha, 0,05% Kong Hu Cu, 0,13% agama lainnya, dan 0,38% tidak terjawab atau tidak ditanyakan.
            Dari banyaknya penduduk di Indonesia, dengan keragaman agamanyalah timbul masalah baru yaitu konflik antar agama. Semboyan negara ini sebenarnya sudah jelas mengatakan bahwa walaupun berbeda tetapi tetap satu, “bhineka tunggal ika”. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin kesini semakin mengikis nilai-nilai pendidikan moral bangsa dan membuat anak-anak generasi baru seakan tak tahu apa-apa tentang semboyan negara ini yang tertulis dan dicengkram erat di kaki garuda. Konflik-konflik terus terjadi di masa ini, bahkan dimulai dari tingkat paling kecil.
 
            Sudah banyak konflik antar agama yang terjadi di negeri ini, negeri yang terkenal akan tingkat toleransi yang tinggi. Pada Tahun 1996, 5 gereja dibakar oleh 10,000 massa di Situbondo karena adanya konflik yang disebabkan oleh kesalahpahaman, konflik Poso (1998), Sambas (2008), Ambon (2009), Papua (2010), dan Singkawang (2010). Bahkan mungkin yang paling parah adalah kerusuhan Ambon pada tahun 1999.  
Kerusuhan yang terjadi hampir di selu-ruh Maluku, termasuk Maluku Utara telah berlangsung setahun lebih dimulai pada tanggal 19 Januari 1999, bertepatan dengan 1 Syawal 1419 H, yaitu saat umat Islam merayakan hari Idul Fitri setelah berhasil menunai-kan ibadah Puasa sebulan penuh. Kerusuhan yang oleh pihak Kristen ini telah direncanakan dengan matang untuk mencapai tujuan politik Kristen di Indonesia di mana diperkirakan Negara Boneka buatan Belanda pada tahun 1950, Republik Maluku Selatan (RMS) telah digunakan untuk mencapai tujuan politik tersebut seka-ligus mencapai cita-cita RMS untuk melepaskan Maluku Selatan dari Negara Kesatuan RI, untuk merdeka dan berdiri sendiri.
Pekerjaan besar ini dilakukan dengan menghancur-kan ummat Islam yang pada tahun 1950 telah ikut bersama TNI menggagalkan berdirinya RMS. Bagi mereka, umat Islam adalah penghalang utama bagi berdirinya RMS karena itu harus dipukul dengan keras, seba-gai upaya memperkecil jumlahnya hingga mencapai titik minoritas yang tidak berarti. 
Isu separatis ini muncul kembali karena suasana dalam negeri RI yang sedang dalam proses reformasi menunjukkan kekacauan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Pemerintahan Soeharto dijatuhkan sedangkan Pemerintahan B.J. Habibie rapuh karena dinilai tidak legitimated dan tidak sah. Terlepasnya tim-tim dengan sutau proses yang didukung dunia internasional telah ikut merangsang pihak RMS untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Sekarang bukan saatnya untuk saling menyalahkan, apalagi menyalahkan kinerja pemerintah dalam mengatasi kesenjangan seperti ini. Masalah sosial ini merupakan tugas penting kita semua, masyarakat Indonesia. Memang tak dapat dipungkiri bahwa pemerintah tak bisa tinggal diam dalam menghadapi masalah ini, harus ada tindakan yang hebat untuk mencegah terjadinya radikalisme yang berkelanjutan.
Para pelajar yang notabene disekolahkan untuk belajar mengerti tentang apa itu kebersamaan dan apa itu moral yang baik justru menjadi awal mula berlangsungnya konflik yang terjadi di negeri ini. Mereka berubah menjadi pencetus konflik yang mengatasnamakan perbedaan dengan melakukan tawuran antar pelajar dan bentrokan antar pemuda. Dalam artikel bapak Chaedar yang berjudul “Classroom discourse to foster religious harmony” tertulis bahwa masalah sosial ini diakibatkan kurangnya kepekaan dan rasa hormat kepada orang lain. Hal ini juga mencerminkan telah pudarnya pesona bhineka tunggal ika yang dahulu masih dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat negeri ini.
Segala konflik yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan masalah ketidakharmonisan agama merupakan tantangan terberat bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik demi mencetak generasi penerus bangsa yang bermanfaat bagi bangsa. Pendidik disini menurut saya bukan semata-mata pendidik yang ada dalam lembaga pendidikan saja seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Chaedar. Pendidikan dasar dimulai dari lingkungan keluarga, lalu diteruskan ke jenjang pendidikan yang terdapat dalam lembaga pendidikan. Sebaiknya orang tua menanamkan pendidikan moral yang baik terlebih dahulu sebelum melepas anak-anaknya keluar. Hal ini bertujuan supaya tenaga pendidik akan terkurangi sedikit bebannya.
Memang yang berperan penting untuk membentuk dan mempersiapkan generasi berikutnya sebagai negara yang demokratis dengan karakter yang baik adalah seorang tenaga pendidik. Hal ini tercantum pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidik harus membuat generasi bangsa menjadi tahu aturan dan bisa menjadi masyarakat yang demokratis.
Menilik kembali persoalan tentang tidak harmonisnya hubungan beragama di Indonesia sekarang ini, kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah sedini mungkin. Bukan hanya masalah keagamaan, tetapi juga masalah multikultural bangsa ini. Memberikan setiap siswa sebuah kesempatan untuk berinteraksi sesama rekannya merupakan cara terbaik saat ini untuk melatih menghargai adanya perbedaan pendapat. Apalagi bila dalam suatu kelas berkumpul berbagai macam budaya dan agama, pasti akan menghasilkan sebuah diskusi yang sangat menarik. Dalam pengaturan multikultural pun siswa berasal dari berbagai etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka masing-masing. Sekolah harus dengan sengaja memprogramkan untuk memfasilitasi interaksi sesama rekan untuk mengembangkan suatu wacana sipil yang positif.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka . Dalam konteks sekolah itu adalah hubungan di mana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain. Hal ini akan melatih mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat. Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
            Dari pendapat Rubin pun sudah jelas bahwa penerapan konsep interaksi di kelas merupakan konsep yang tepat untuk di terapkan di sekolah-sekolah. Pada sekolah dasar , guru kelas berfungsi untuk mengawasi siswa untuk hampir sepanjang hari. Disela memrintahkan muridnya untuk melaksanakan konsep pembelajaran dalam hal ini adalah classroom discourse, guru harus senantiasa membimbing dialog dan iteraksi para muridnya agar tidak menjerumus kepada hal-hal yang kurang baik.
            Classroom discourse secara tidak langsung merupakan sebuah pelatihan untuk menghasilkan individu yang diharapkankan nantinya akan bisa menjaga hubungan baik antar masyarakat, apalagi masyarakat Indonesia yang pada hakikatnya sebagai masyarakat yang multikultural. Bila hal ini tidak dilakukan, hal terburuk yang sangat di takutkan akan terjadi adalah terjadinya konflik sosial yang sebelumnya telah disebutkan di awal.
Classroom discourse juga didukung oleh sebuah laporan penelitian yang dilakukan Apriliaswati ( 2011) yang menyimpulkan bahwa interaksi dengan teman sebaya dalam dkelas adalah wacana sipil yang positif di kalangan siswa . Interaksi dengan rekan dalam studi sosial ,pendidikan Indonesia dan pancasila tidak akan terganggu jika guru dapat mengelolanya secara efektif. Kelas mungkin akan menjadi lebih bising dan ramai, tatapi ini bisa menjadi bukti berhasilnya proses interaksi yang dirancang.
Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi dengan sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas . Siswa harus diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka untuk hidup sebagai anggota masyarakat yang fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis. Judul artikel ini bertuliskan Pendidikan: Peluru Penembus Perdamaian. Mengingat rentan terjadinya konflik sosial yang terjadi Indonesia yang terjadi karena adanya pluralisme dalam negeri ini, pendidikanlah yang ternyata mampu mengatasi permasalahan ini.
Konflik yang terjadi pada ranah agama ternyata disebabkan oleh para penganut agama di Indonesia yang sampai saat ini dirasa masih belum mendalam memahami inti dari ajaran agamanya masing-masing. Hal ini disampaikan oleh guru besar ilmu antropologi budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Mudjahirin Thohir, dalam Seminar memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang diselenggarakan Balai Litbang Agama Semarang, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (1/10/2013). Kesalahan itu muncul karena disebabkan dua faktor. Pertama, faktor internal sebagai umat beragama dan kedua adalah faktor eksternal. Sebagai umat beragama, mereka dituntut untuk menyebarkan kebaikan dan melawan kemungkaran. Namun sayang, prespektif kebaikan dan kemungkaran itu dirasa sangat subjektif, sehingga menganggap agamanya benar yang harus dibela dan agama orang lain salah dan harus dilawan. Hal ini kerap mereka anggap sebagai jihad, tetapi pada kenyataanya ini merupakan bentuk radikalisme yang nantinya akan merusak agamanya sendiri.
Sementara faktor eksternal, berasal dari kondisi di Indonesia yang saat ini carut marut baik segi hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Faktor eksternal itulah menurut Mudjahirin yang selalu berada di belakang konflik dan kekerasan umat beragama di Indonesia. Untuk itulah, sudah saatnya para tokoh agama menyadarkan para penganut agamanya untuk lebih dewasa dalam memahami agama dalam konteks Indonesia yang beragam ini. Selain itu, pemerintah Indonesia melalui penegak hukumnya harus tegas menindak penganut agama yang selalu melakukan kekerasan atas nama agama itu.
Carut marut politik negeri ini mengindikasikan masih gagalnya pendidikan berwacana sipil di sekolah-sekolah. Kebanyakan politisi negeri ini menduduki kekuasaan mereka dengan memanfaatkan pendidikan, tetapi sangat disayangkan bahwa pendidikan mereka yang tinggi tidak menjamin perilaku moral yang tinggi pula. Potret kelam para politisi akan selalu tercetak dan menjadi gambaran buruk negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita adalah insiden memalukan pada tahun 2010, ketika anggota parlemen saling bertukar kata-kata kasar dengan cara tidak sopan dalam sidang yang disiarkan langsung di seluruh negeri .
Alih-alih mendidik anak-anak sekolah, politisi ini telah menetapkan contoh yang sangat miskin bagaimana berperilaku . Untuk mengulang, kejadian ini menunjukkan bahwa pendidikan politik belum berbuat cukup untuk mempromosikan kompetensi dalam wacana sipil. Guru SD sekarang harus berperan aktif dalam memandu anak-anak sekolah dasar untuk menerapkan wacana sipil. Siswa sekolah dasar memang belum bisa mengemukakan pendapat mereka dengan mengungkapkan fakta atau sumber-sumber lain, tetapi mereka sudah bisa membuat sebuah kesepakatan yang didapat dari permusyawarahan mereka dengan sesama rekan satu kelas.
“Peace cannot be achieved through violence, it can only be attained through understanding.”  Di masa yang modern seperti ini, kedamaian hidup tidak hanya bisa dapatkan melalui kekerasan, seperti yang dilakukan orang-orang terdahulu kita yang harus berjuang mempertaruhkan nyawa demi kedamaian. Sepertinya bila di masa sekarang kekerasan masih digunakan untuk memperoleh “kedamaian” sudah bukan menjadi hal yang baik, bahkan sangat buruk. Apalagi sekarang kekerasan itu mementingkan satu golongan saja, cohtohnya satu ras atau agama. Bila sekarang masih ada yang melakukan kekerasan atau “peperangan” yang hanya mementingkat kepentingan satu golongan saja berarti bereka iti PRIMITIF. Harus disadari lagi, bahwa kita ini Indonesia. Indonesia yang merupakan negara majemuk dengan segala aspek perbedaannya. Kita juga harus ingat bahwa di cengkraman kaki garuda masih ada semboyan bangsa ini “bhineka tunggal ika”.
Bila dahulu pahlawan-pahlawan kita mengangkat senjata untuk memperoleh kedamaian, tetapi sekarang kita tidak perlu melakukan semua itu. Kita tak perlu melakukan peperangan yang melibatkan kekerasan, karena bagaimanapun kekerasan akan banyak merugikan. Pendidikan kini telah menjadi peluru panas yang mampu menembus dinding tebal perdamaian. Pedidikan bahkan mampu menyatukan kembali bangsa Indonesia yang memiliki keberagaman yang sangat kaya. Konflik-konflik sosialpun akan mudah teratasi dengan pendidikan, apalagi bila classroom discourse dapat diterapkan dengan sempurna.

REFERENSI
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=499  diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://denaizzkakakecil.wordpress.com/2009/11/10/konflik-agama/ diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=956&res=jpz diakses pada tanggal 23 Februari 2013 pukul 15.28 WIB
http://alchaidar.blogspot.com/2008/09/bab-12-jendral-dibalik-pembantaian-umat.html diakses pada tanggal 24 Februari 2013 pukul 08.17 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic