Waktu tidak akan pernah bosan bahkan
lupa untuk selalu berdetik . Maka dari
itu zaman pun berganti setiap waktunya.
Pada saat waktu berdetik, pada saat itu pula zaman akan menuntut manusia
sebagai penghuni bumi sebuah perbaikan dan seuatu yang lebih sempurna. Sesuatu yang dituntut itu berfungsi untuk
manusia itu sendiri. Dengan kata lain
dapat disebut juga dari manusia untuk manusia.
Hal itupun dialami oleh perkembangan metode dan pendekatan pengajaran
bahasa asing. Zaman menuntut manusia
untuk menemukan metode pembelajaran bahasa asing yang lebih sempurna dari masa
ke masa. Menurut sejarah terdapat lima
kelompok besar metode dan pendekatan pengajaran bahasa asing.
Pendekatan pertama disebut sebagai
pendekatan structural dengan grammar translation methods yang popular sampai
perang dunia ke-2. Pendekatan ini
meletakan focus pembelajarannya pada penggunaan bahasa tulis dan pengusaan tata
bahasa. Hal ini metalih siswa dalam
menganalisis kesalahan berbahasa, sintaksis kalimat, dan wacana. Namun pendekatan ini memiliki kekurangan
dimana siswa tidak dijamin bisa dalam konteks komunikasi yang terkadang
menggunakan bahsa munafik sebagai ciri khas kehidupan sosial.
Pendekatan kedua merupakan dengar-ucap
atau yang sering dikenal audiolingual.
Metode ini menjawab kekurangan yang dimiliki oleh metode
sebelumnya. Pendekatan ini memiliki
fokus pada latihan dialog-dialog pendek untuk dikuasai oleh siswa. Namun pendekatan ini melupakan sebuah unsur
penting dalam pembelajaran bahasa asing, bahasa tulis.
Pendekatan ketiga dipengaruhi oleh
teori-teori Syntactic Structure yang dikembangkan oleh Chomsky pada tahun
1957. Pendekatan ini disebut pendekatan
kognitif dan transformatif yang berfokus kepada pembangkitan potensi berbahasa
siswa sesuai dengan kebutuhan lingkungannya.
Pendekatan ini pun berorientasi ke sintaksis.
Pendekatan keempat adalah pendekatan
communicative competence. Pendekatan ini
menjadi tren pada tahun 1980-1990. Fokus
dari pendekatan ini adalah mengajarkan siswa berkomunikasi sederhana namun
mencapai target, yaitu lawan bicara dapat paham topic pembicaraan. Namun nyatanya, komunikasi tidak semudah itu,
itu semua harus diikuti oleh nalar. Maka
zaman pun menuntut sesuatu yang lebih baik dan lahirlah tata bahasa fungsional
atau systematic functional grammar oleh Halliday pada 1985.
Pendekatan kelima adalah pendekatan
literasi yang berusaha menjadikan siswa mampu menghasilkan wacana yang sesuai
dengan tuntutan konteks komunikasi.
Pembelajaran meliputi bagaimana membangun pengetahuan, meyusun
model-model teks, menyusun teks bareng-bareng, dan menciptakan sendiri
teks. Mungkin pendekatan terakhir ini
yang dirasakan oleh siswa-siswa pada zaman serba membingungkan ini.
Sebagimana dijelaskan dalam pembukaan pada
paragraph pertama mengenai zaman yang akan selalu menuntut sebuah perbaikan dan
perubahan, maka literasi pun akan tersentuh oleh tuntutan-tuntutan tersebut. Literasi yang dahulu hanya terdiam dalam
lingkaran tulis-menulis dan baca-tulis, kini telah menjawab semua tuntutan
tersebut dengan mengembangkan jenis-jenis literasi yang baru. Kini dapat ditemukan literasi computer,
literasi virtual, literasi matematika, literasi IPA dan sebagainya. Namun literasi tetap berurusan dengan
penggunaan bahasa, dan kini menjadi kajian lintas displin yang memiliki tujuh
dimensi yang saling terkait.
Dimensi pertama adalah dimensi
geografis. Dapat dengan mudah ditebak
apa fokus dari dimensi ini, karena kata kunci yang sudah terpampang dalam
namanya yaitu geografis. Jadi dimensi
ini dipengaruhi lokasi tempat dari seseorang. Contohnya diplomat yang
kehidupannya merangkul negara-negara dan pastinya ditantang memiliki literasi
internasional.
Kedua adalah dimensi bidang. Setiap bidang pekerjaan akan menghasilkan
literasi yang berbeda. Contoh ketika
dibandingkan antara literasi tentara dan guru.
Maka literasi diantara keduanya akan sangat berbeda.
Dimensi ketiga adalah dimensi
keterampilan. Semakin tinggi
keterampilan seorang pembaca maka semakin tinggi pula tingkat literasinya. Jadi kualitas literasi ditentukan oleh gizi
yang orang tersebut konsumsi. Gizi di
sini berarti sebagai bahan bacaan yang menjadi bekal keterampilan itu sendiri.
Dimensi keempat disebut sebagai dimensi
fungsi. Dimensi ini merupakan sebuah
bukti bahwa literasi sengat penting dan dapat pula menjadi sebuah penolong
untuk mendongkrak taraf kehidupan.
Dimensi fungsi terdiri dari cara memecahkan masalah, cara mendapatkan
pekerjaan, cara mencapai tujuan, cara mengembangkan pengetahuan dan cara
mengembangkan potensi diri.
Kelima adalah dimensi media. Dimensi ini merupakan jawaban dari tuntutan
zaman, yaitu kemajuan teknologi. Saat
ini tidaklah cukup apabila hanya membaca teks tulisan. Namun teks cetak, visual, dan digital pun
dibutuhkan. Maka berkembanglah literasi
visual, digital, dan virtual.
Dimensi keenam ialah dimensi
jumlah. Fokus dari dimensi ini adalah
cara berinteraksi dalam berbagai kondisi.
Kemampuan ini akan lahir hanya dengan proses pendidikan yang berkualitas
tinggi karena semakin berkualitas pendidikan maka semakin tinggi literasi.
Dimensi terakhir adalah dimensi
bahasa. Dimensi ini membahas tentang
bahasa yang dikuasai masing-masing individu.
Seperti contoh ketika individu mampu berbahasa Indonesia, Inggris, dan
juga Sunda sebgai bahasa daerahnya. Maka
itu disebut sebagai multiliterat.
Tuntutan zaman pun memunculkan kunci
ihwal literasi. Kunci ihwal ini
menunjukan perubahan apa saja yang dialami literasi. Kunci-kunci itu ada 10, yaitu:
·
Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
·
Tingkat
kefasihan relatif
·
Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
·
Standar dunia
·
Warga masyarakat
demokratis
·
Keragaman local
·
Hubungan global
·
Kewarganegaraan
yang efektif
·
Bahasa Inggris
ragam dunia
·
Kemampuan
berpikir kritis
·
Masyarakat
semiotik
Penjelasan panjang di atas hanya sebuah
gerbang menuju literasi sesungguhnya.
Dengan penjelasan tersebut definisi dari literasi akan didapat. Namun dengan catatan kepahaman tentang
penjelasan di atas harus dimiliki terlebih dahulu. Sesuatu yang dapat diambil dari penjelasan
tersebut adalah prinsip-prinsip literasi.
Ada tujuh prinsip literasi, yaitu:
· Literasi adalah
kecakapan hidup yang memungkinkan manusia berfungsi maksimal sebagai anggota
masyarakat.
· Literasi
mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tertulis
maupun secara lisan.
·
Literasi adalah
kemampuan memecahkan masalah.
·
Literasi adalah
releksi penguasaan dan apresiasi budaya.
·
Literasi adalah
kegiatan refleksi diri.
·
Literasi adalah
hasil kolaborasi
·
Literasi adalah
kegiatan melakukan interpretasi.
Negara-negara
dunia memang sangat peduli dengan keliterasian masyarakatnya. Adanya beberapa proyek penelitian menjadi
bukti akan hal tersebut. PIRLS (progress
in Internasional reading Literacy Study), PISA (Program for Internasional
Students Assessment), dan TIMSS (the Third Internasional Mathematic and Science
Study) merupakan nama dari proyek penelitian tersebut. Proyek-proyek penelitian ini menempatkan
Indonesia pada kriteria golongan dasar.
Sungguh mengkhawatirkan, namun jangan memandang hanya dari satu
sisi. Fakta ini seharusnya dapat
digunakan sebagai motivasi memperbaiki pendidikan Indonesia dan memang terdapat
beberapa pelajaran yang dapat diambil dari fakta mengkhawatirkan tersebut.
Dengan
adanya fakta tersebut Indonesia harusnya sadar akan tingkat literasi
masyarakatnya. Literasi warga negara
Indonesia masih sangat tertinggal dari negara-negara lain. Ini berarti terdapat sesuatu yang salah pada
pendidikan Indonesia karena tidak mampu menciptakan warga negara literat yang
mampu bersaing dalam skala internasional.
Perlu digarisbawahi bahwa literasi merupakan pondasi bangsa. Masyarakat literat akan mampu meningkatkan
ekonomi negara (devisa).
Berdasaran
ketiga penelitian tersebut Indonesia berada dalam golongan dasar yang berarti
kemampuan literasinya masih kurang.
Kemampuan membaca warga negara Indonesia masih kurang dan secara
langsung akan terbaca bahwa kemampuan menulispun akan kurang. Hal ini dikarenakan menulis sangat ditentukan
dengan kebiasaan membaca sebagai bekal untuk tulisan. Indonesia hanya dapat memproduksi buku
sebanyak 6.000 buku per tahun. Ini
menjadi sebuah dilema karena tenaga pengajar seperti guru dan dosen sangat
menjamur, bahkan masyarakat non-pendidikan pun begitu banyak. Bila dosen menjalankan kewajibannya menulis
sebuah buku setiap tiga tahun, maka setiap tahun akan terbit sekitar 77.000
buah dan belum termasuk buku-buku karangan non-dosen. Jika seperti itu Indonesia akan mengalahkan
India yang saat ini menduduki posisi ketiga dunia.
Maka
Indonesia harus melakukan langkah-langkah untuk memecahkan masalah literasi
bangsa ini. Sebenarnya pemecahan masalah
ini dipegang oleh tenaga pendidik itu sendiri.
Ujung tobak dari pendidikan literasi adalah guru dengan langkah-langkah
profesionalnya. Dengan kata lain, ketika
Indonesia hendak membangun pendidikan literasi maka harus memprefosinalkan
guru-guru terlebih dahulu dan proses memprofesionalkan tenaga pengajar ini
dilakukan oleh lembaga pendidikan guru yang professional pula. Guru dan lembaga pendidikan hendaknya
professional.
Note
Pendapat saya mengenai maksud dari
rekayasa literasi adalah hubungan antara pembaca, penulis, teks, dan juga
meaning sebagai mana yang dijelaskan oleh Lehtonen dalam bukunya “the Cultrural
Analysis of Texts”. Literasi mampu
merekayasa pembaca melalui pesan pesan tertulis yang disebut teks. Teks sendiri menurut Mikko Lehtonen terbagai
menjadi dua, yaitu fisik dan semiotic.
Literasi dapat merekayasa artinya penulis mengelabui pembaca melalui
teks. Seperti contoh ketika siswa
membaca novel yang bertemakan cinta.
Penulis novel akan mengelabui pembaca dengan rekayasa literasi, yaitu
keindahan susunan katanya yang dapat membuat pembaca merasakan kesedihan
ataupun kegembiraan. Kesedihan dan kegembiraan
itulah makna yang akan didapat pembaca. Namun
semuanya kembali lagi pada kualitas pembaca dan penulisnya. Ketika pembaca kurang gizi bacaan maka
rekayasa akan gagal sehebat apapun penulis dan ketika penulis tidak komunikatif
maka rekayasa literasi akan gagal pula sehebat apapun pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic