Membaca dan menulis merupakan dua kegiatan yang bisa
membentuk suatu kesatuan dan saling mempengaruhi. Allah iti menciptakan sesuatau tentunya
saling berpasang-pasangan. Termasuk
membaca-menulis merupakan suatu pasang, misalnya apabila kita akan menulis sesuatu,
maka secara otomatis kita terlebih dahulu membaca agar tulisan kita objektif,
sebalik nya, setelah membaca secara
sadar kita perlu menulis, baik itu kata-kata yang kita anggap pentingan. Namun, kasus yang terjadi di dunia pendidikan mengenai membaca-menulis di
indonesia sangatlah rumit bagaikan benang kusut yang tidak tahu bagaimana
caranya untuk bisa menyelesaikannya.
Kegiatan membaca tidak hanya sekedar membaca. Sebagai orang-orang yang berkecimpung didunia
pendidikan, kita dituntut untuk menjadi seorang pembaca yang kritis. Pembaca kritis perlu sekali untuk
mengembangkan kesadaran, konten dan konteks.
CW Watson mengatakan bahwa pendidikan bahasa kita telah gagal untuk
mengembangkan pembaca kritis. Kalimat
tersebut dikatakn beliau dalam hipotesisnya(the jakartapost, 11february, 2012).
Kurangnya pembaca-pembaca kritis di Indonesia ini
menurut saya disebabkan oleh 2 faktor, yaitu:
1. Faktor
Internal (yang berasal dari personal)
2. Faktor
eksternal(yang berasal dari luar)
Menurut sepengetahuan saya, disini saya akan coba
jelaskan tentang kedua faktor tersebut.
1. Faktor
internal
Faktor ini datang dari dalam diri
pembaca itu sendiri. Antara lain karena
memang tidak biasa membaca, sifat malas untuk membaca, rendahnya kemampuan
dalam menyerap informasi dari bacaan, kurangnya minat membaca dan masih banyak
lagi.
2. Faktor
eksternal
Faktor eksternal yang berasal dari
luar ini meliputi lingkungan sekitarnya, fasilitas untuk membacanya, motivasi
untuk membaca dan lain-lain.
Sebagai pelajar atau mahasiswa yang seharusnya
belajar, kini sedikit demi sedikit mulai pudar.
Mahasiswa yang kadar belajarnya harus lebih tinggi ini, akan tetapi jauh
sekali dari faktanya. Mahasiswa yang
seharusnya identik dengan membawa buku-buku bacaan yang bermacam-macam. Faktanya kini yang ada mahasiswa hanya
menenteng tas kecil yang hanya muat dengan 1-2 buku kecil. Miris memang, namun memang seperti itu
faktanya. Lalu, kemanakah perginya
kewajiban mereka sebagai pelajar? Wallahua’lam bishowaf, hanya allah yang maha
mengetahui. Tetapi mungkin masih ada
sosok mahasiswa yang membawa macam-macam buku di dalam tasnya, namun hanya
sebagian kecil saja.
Daya minat baca dari pelajar atau mahasiswa
tergolonh masih cukup rendah. Hal ini
disebabkan dengan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan. Oleh karena itu, kebiasaan-kebiasaan untuk
membaca harus diterapkan sejak anak masih usia dini. Buku-bukunya pun harus disesuaikan dengan
kriteria usianya. Gerakan awal untuk
menumbuhkan generasi pembaca-pembaca kritis diperlukan adanyadorongan untuk
mambaca dan menjadikan membaca itu sebagai kebutuhan pokok.
Kegiatan membaca temtunya tidak pernah lepas dengan
kegiatan menulis. Menulis merupakan
suatu kegiatan dalam menuangkan gagasan atau ide ke dalam kertas yang kemudian
akan dibaca oleh para pembaca.
Kegiatan menulis erat kaitannya dengan mahasiswa
yang sedang menempuh pendidikan perguruan tinggi, baik swasta maupun
negeri. Mahasiswa wajib memenuhi tugas
akhirnya dalam bentuk tulisan. Tulisan
tersebut ada beberapa jenis dan disesuaikan dengan tingkatan akademiknya dan
masih dalam ruang lingkup studinya masing-masing. Menurut A. Chaedar Alwasilah, kemampuan
menulis artikel jurnal adalah literasi tingkat tinggi, yakni kemampuan
memproduksi ilmu pengetahuan. Jurnal
tidak identik dengan skripsi, tesis, dan disertasi. Jurnal dikelola oleh tim yang ahli dalam
bidang keilmuwan tertentu. Setiap naskah
yang masuk akan dibawa oleh blind review yaitu mitra bestari. Mitra bestari melihat naskah dengan otak dan
kalbu. Banyaknya halaman pada artikel
jurnal tidak sebanyak skripsi, tesis, dan disertasi. Artikel jurnal hanya sekitar 15-20 halaman.
Dari penjelasan diatas menggambarkan bahwa artikel
jurnal lebih mudah dibandingkan dengan yang lain, namun tetap saja tidak
berkembang karena belum adanya kesadaran dari diri masing-masing. Sangat jauh sekali bila dibandingkan dengan
perkuliahan yang ada di A.S. A.S memaksa
mahasiswa disana untuk menulis banyak essai diantaranya seperti laporan
observasi, ringkasan bab, review buku, dan sebagainya yang berkaitan dengan
menulis. Kemudian hal-hal diatas
tersebut selalu dikoreksidan diberi komentar kritis dari dosen yang berujuan
untuk nalar dan argumennya menjadi terasah.
Hal ini sangat berbeda dengan bangsa Indonesia yang sibuk dengan para
koruptor.
Meningkatkan kualitas penulis Indonesia bukanlah
suatu perkara yang mudah. Diperlukan
suatu proses yang panjang untuk menyelesaikan masalah-masalah khususnya dalam
baca-tulis. Berdasarkan penelitian
Krashen(1984) menunjukan bahwa para penulis produktif dewasa adalah mereka yang
sewaktu SMA-nya sering membaca karya sastra, berlangganan koran atau majalah,
dan menyediakan perpustakaan kecil dirumah.
Jadi intinya membaca dan menulis itu merupakan
kegiatan yang tidak bisa dipisahkan.
Untuk menjadi seorang penulis maka secara otomatis kita harus membaca
dan berusaha menjadi pambaca kritis yang kemudian akan mampu untuk menulis,baik
dalam bentuk jurnal dan sebagainya.
Jadikanla kegiatan membaca-menulis ini menjadi suatu kebutuhan yang
pokok dalam diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic