Class review 12
Perjalanan
Panjang untuk West Papua
Ini benar-benar minggu sibuk. Tugas
hilir mudik sana sini. Dua minggu
terakhir tidurku tak pernah dibuat nyenyak, ditambah lagi dengan pertemuan
writing yang dipercepat. Sangat dipercepat. Ini membuat malamku tambah gila
saja. Tapi tak apa, pasti semua bisa terlewati dengan baik.
Pertemuan ke dua belas berlansung
pagi tadi, tepatnya pada Selasa, 13 Mei 2014. Agak aneh memang karena class
review dan revisi paper harus selasai besok pagi lantaran kesibukan Mr. Lala
pada minggu selanjutnya dan kami harus mengganti jadwal pertemuan pada 14 Mei
2014 besok.
Pembahasan tadi padi masih dengan
isu paling panas dalam akademc writing. Isu paling panas di sini kita masih
akan mendalami tentang West Papu dengan segala konflik di dalamnya.
Masalah-masalah yang paling panas pada West Papua tentang kemerdekaan tanah
Papua seakan menjadi konflik-konflik yang tak pernah henti untuk dipetakan.
Beberapa alasan yang kuat mengapa
West Papua harus tetap menjadi bagian dari NKRI dilihat dari sisi sejarah
memiliki alasan yang kuat. Tatapi sejarah di sini bukan hanya sejarah saja
tanpa penjelasan apa-apa tatapi bagaimana kita dapat menghubungkan sejarah
dengan literasi serta idologi sehingga benar-benar tercipta sebuah argumen yang
kuat untuk memecahkan konflik panas ini.
Sebagai penasan pada pertemuan pagi
tadi, Mr. Lala mengutip dari buku karangan Hyland (2003) di bawah ini:
A process view
of writing
Ø Writing is problem-solving: writers use
invention strategies and extensive planning to resolve the rhetorical problems
that each writing task presents.
Ø Writing is generative: writers explore and
discover ideas as they write.
Ø Writing is recursive: writers constantly
review and modify their texts as they write and often produce several drafts to
achieve a finished product.
Ø Writing is collaborative: writers benefit from
focused feedback from a variety of sources.
Ø Writing is developmental: writers should not
be evaluated only on their final products but on their improvement.
Dari sini kita dapat melihat bahwa proses menulis
bukanlah sebuah proses yang sederhana. Dari point pertama, menulis merupakan
sebuah pemecahan masalah. Dikatakan pemeahan masalah karena penulis menggunakan
starategi penemuan dan perencaan yang luas untuk memecahkan masalah teori yang
ada dalam menulis.
Point kedua, dalam menulis menjelajahi dan menemuakan
ide-ide dalam menulis. Ini berarti bahwa penulis harus benar-benar pengetahui
apa yang penulis tulis dengan begitu penulis mampu menjelajahi dan menemukan
ide-ide baru dalam setiap tulisannya.
Point ketiga, menulis adalah kegiatang yang berulang.
Dari sini penulis harus secara konstan meninjau dan memodifikasi teks penulis
melalui draf-draf untuk meningkatkan kualitas dari teks untuk produk akhir
penulis.
Point ketiga, penulis dapat menganbil mamnfaat dri proses
feed back dari berbagai sumber.
Point keempat, menulis merupakan proses pengembangan.
Penulis tidak hanya melihat dari produk akhir, tetapi juga dapat melihat dan
mengevaluasi bagaimana perkembangan tulisan penulis pada saat proses
pengerjaan.
Dari kutipan Hyland di atas akhirnya kita dapat memahami
mengapa pada academic writing dalam setiap pengumpulan tugasnya selalu direvisi
dan revisi lagi kerena hal ini mengacu pada apa yang ditulis oleh Hyland agar
memaksimalkan kemampuan mahasiswa dalam menulis.
Beranjak pada point inti, pertemuan pagi tadi berlansung
sama seperti pertemuan minggu lalu. Seluruh mahasiswa ditanyai satu persatu
tentang tulisaanya. Satu yang ditekankan pada pembhasan pagi tadi yaitu
bagaiman mahasiswa mengsingkronkan argumentative essay mereka dengan artikel
yang ditulis oleh Eben. Satu lagi hal yang paling ditekannkan yakni tentang
sejarah. Sebagaimana dibahas dalam class review sebelumnya yang berjudul
“Argumentative Essay dan Sejarah” sejarah menjadi alasan yang paling kuat untuk
memetakan konflik West Papua ini. Sebagai tambahan, dibawah ini merupakan
pembahasan sejarah sebelum Indonesia meraih kemerdekaan yang belum dibahsa pada
class review sebelumnya.
Sejarah Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Indonesia
adalah negara kepulauan yang terdiri dari tidak kurang 13.000 pulau yang
tersebar dari Sabang hingga Merauke (hasil survei dan verifikasi terakhir
Kementerian Kelautan dan Perikanan). Beragam suku bangsa, bahasa dan agama juga
menjadi hal yang unik dari Bangsa Indonesia. Sedikit saja gesekan yang terjadi
dalam masyarakat maka akan berakibat fatal, sering kita saksikan dalam media
massa beberapa peristiwa yang mencabik-cabik rasa nasionalisme kebangsaan.
Perang antar suku, pemberontakan, tawuran warga dan lain-lain yang dapat
menjadi pemicu disintegrasi bangsa.
Untuk itu diperlukan rasa kebangsaan yang tinggi agar
Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan yang menjadi slogan belaka, tetapi
benar-benar dapat menjiwai perilaku seluruh rakyat Indonesia. Dan salah satu
hal yang bisa menumbuhkan rasa kebangsaan adalah Kebangkitan Nasional, bangkit dari
keterpurukan, bangkit dari ketertinggalan, bangkit dari ketidakadilan, bangkit
dari kemiskinan dan kebodohan. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesaia
(NKRI) seharusnya Pemerintah memberikan perlakuan yang sama terhadap rakyatnya
dari Sabang sampai Marauke, bila rakyat di satu wilayah sejahtera maka
selayaknya rakyat di wilayah lainpun sejahtera agar asas Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Jika kita kembali kepada sejarah, kebangkitan nasional
merupakan peristiwa bangkitnya semangat persatuan, kesatuan dan nasionalisme
diikuti dengan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Selama masa penjajahan semangat kebangkitan nasional tidak pernah muncul hingga
berdirinya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan ikrar Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928.
Organisasi Boedi Oetomo yang didirikan pada tanggal 20
Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van
Indische Artsen) yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji serta digagas oleh
Dr. Wahidin Sudirohusodo pada awalnya bukan organisasi politik, tetapi lebih
kepada organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Namun seiring
waktu Boedi Oetomo kemudian menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk
kemerdekaan Indonesia.
Kongres pertama Boedi Oetomo diselenggarakan tanggal 3-5
Oktober 1908 di Yogyakarta. Saat itu organisasi Boedi Oetomo telah memiliki
tujuh cabang di beberapa kota yaitu Batavia, Bogor, Bandung, Magelang,
Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Pada kongres pertamanya ini Raden Adipati
Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) yang berasal dari kaum priyayi
diangkat sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Dan sejak itu banyak anggota
baru yang berasal dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial bergabung dengan
organisasi Boedi Oetomo, namun hal ini justru membuat anggota dari kalangan
pemuda memilih keluar dari organisasi ini.
Organisasi Boedi Oetomo sendiri dalam perjalanan
sejarahnya mengalami beberapa kali pergantian pimpinan dan sebagian besar
berasal dari kalangan bangsawan seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo mantan
Bupati Karanganyar yang menjadi presiden pertama Budi Utomo dan Pangeran Ario
Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Berturut-turut setelah Boedi Oetomo didirikan pada tahun
1908 diikuti berdirinya Partai Politik pertama di Indonesia Indische Partij
pada tahun 1912, kemudian pada tahun yang sama Haji Samanhudi mendirikan
Sarekat Dagang Islam di Solo, KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di
Yogyakarta, Dwijo Sewoyo dan kawan-kawan mendirikan Asuransi Jiwa Bersama Boemi
Poetra di Magelang. Karena dianggap sebagai organisasi yang menjadi pelopor
bagi organisasi kebangsaan lainnya sebagaimana disebutkan di atas, maka tanggal
kelahiran Boedi Oetomo yaitu 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan
Nasional.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat
kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang
Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang
mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat
pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama
makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah
Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi
persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang
Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia)
adalah di atas segala-galanya.
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo
menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya
kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota,
yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.
Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan
bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak dipimpin
oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari
kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang
memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada
awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun
kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan
dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain,
Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua
orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan
perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik
semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang.
Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan
Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum
berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna
nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang
memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang
tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai
bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi,
misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian
bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik
Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan
sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu
pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes
Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda
(lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor
politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih
mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo
adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang
Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia"
tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian,
nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat
yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat
untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula
Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya
mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun,
Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam
perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia"
ada dan merupakan unsur yang paling penting.
Dari pembahasan diatas kita dapat menari kesimpulan bahwa
sejarah yang menyangkut tentang West Papua tidak hanya dimulai pada saat
kemerdekaan RI saja, tatepi juga berkaitan erat dengan sejarah pada zaman
kebangkitan nasional pada tahun 1908.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic