Class Review 7
Malam ini, pena ini kembali
menggoreskan tulisan-tulisan indah diatas lembaran-lembaran putih. Tulisan yang akan mengingatkan kembali
momen-momen berharga di kelas writing pada
hari Selasa, 18 Maret 2014. Hari itu
merupakam hari dimana saya dan teman-teman seperjuangan saya mengikuti
pertemuan ketujuh dalam mata kuliah yang mengharuskan pena ini menari-nari
diatas lembaran-lembaran putih dan otak ini harus berpikir lebih keras untuk
mencari dan menemukan ide-ide brilian yang akan dituliskan dengan indah diatas
lembaran-lembaran putih tersebut.
Pada pertemuan ketujuh ini, Mr.Lala sedikit menyinggung
pembahasan pada minggu kemarin. Salah
satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan
pemahaman baru. Maka dari itu, untuk
menjangkau bentuk-bentuk baru dari pemahaman tersebut meliputi tiga tahap
penting, yaitu: emulate --> discover --> create. Tahap pertama yaitu emulate
atau meniru. Tahap ini merupakan
fase awal dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru. Setelah melewati tahap pertama, tahap
selanjutnya yaitu discover atau
menemukan. Pada tahap ini, kita
menemukan hal-hal baru atau pengetahuan baru yang sebelumnya belum kita
ketahui. Contohnya yaitu selama
perkuliahan writing ini banyak
pengetahuan baru yang sebelumnya belum kita ketahui, seperti: literasi,
classroom discourse, semogenesis, dan sebagainya. Hal itulah yang disebut dengan meneroka
ceruk-ceruk baru. Setelah melewati dua
tahap tersebut, yaitu meniru dan menemukan.
Tahap yang terakhir yaitu create atau
menciptakan. Dalam hal ini, tentunya
kita menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru setelah melewati kedua tahap
sebelumnya, yaitu meniru dan menemukan.
Dari kedua tahapan itulah kita bisa menciptakan sesuatu hal yang baru,
yaitu pengetahuan.
Dalam hal menulis, menulis berkaitan dalam hal
menciptakan affordance dan exploring the meaning potential. Sebuah tulisan yang didalamnya
menciptakan affordance dan exploring the meaning potential, tentunya
pembaca akan lebih tertarik untuk membacanya.
Oleh karena itu, tulisan tersebut akan menggugah pembacanya dan membuat
pembacanya interest pada tulisan
tersebut.
Menulis adalah sebuah semogenesis. Semogenesis adalah penciptaan makna. Istilah ini telah dipromosikan oleh Halliday
& Matthiessen (1999) sebagai prinsip dalam presentasi mereka tentang teori
fungsional sistemik bahasa-bahasa yang memiliki dalam dirinya sendiri sumber
daya yang mana orang dapat menciptakan makna baru. Mereka menyarankan bahwa setidaknya ada tiga
dimensi atau bingkai waktu untuk proses tersebut, diantaranya:
1)
Dimensi filogenetik; untuk mencakup evolusi dalam bahasa dan dalam bahasa
tertentu.
2)
Dimensi ontogenetik; untuk mencakup perkembangan linguistik dalam individu,
yaitu meningkatkan repertoar linguistik individu.
3)
Dimensi logogenik; untuk mencakup terungkapnya makna dalam wacana aktual.
Dalam hal ini,
makna terus diciptakan, ditransmisikan, diciptakan, diperpanjang, dan diubah
(1999: 18) dengan proses yang beroperasi di masing-masing dimensi atau kerangka
waktu. Dengan demikian, secara umum
kemampuan manusia untuk menggunakan bahasa untuk mengubah pengalaman menjadi
tindakan komunikasi.
Berbicara mengenai
menulis, Milan Kundera (di L’Art duroman, 1986) berkomentar bahwa: untuk
menulis, berarti untuk seorang penyair harus bisa menghancurkan dinding di
belakang yang “selalu ada” sesuatu yang tersembunyi. Dalam hal ini, menulis berarti menghancurkan
dinding menjadi berkeping-keping untuk mencari suatu rahasia yang ada di balik
dinding tersebut. Maksud dari crush the wall atau menghancurkan
dinding tersebut sampai berkeping-keping yaitu karena didalam sebuah ruangan
tentunya terdapat suatu rahasia dan sesuatu yang tersembunyi. Oleh karena itu, dibalik dinding ruangan
tersebut kita harus bisa menghancurkannya agar bisa mencari sesuatu yang belum
tahu dan mengetahui suatu rahasia yang tersembunyi dari balik dinding
tersebut. Dalam perumpamaan bahasa Sunda
yaitu seperti “cakcak bodas”. Kita harus
bisa seperti cakcak bodas agar kita bisa mengetahui suatu
rahasia dan sesuatu yang tersembunyi.
Dari hal tersebut, maka kita
dapat menggambarkannya seperti dibawah ini.
DISCOVER : POET = HISTORIAN = LINGUIST
Dari hal tersebut, antara poet, historian, dan
linguist memiliki keterkaitan antara
satu dengan yang lainnya. Ketiga hal
tersebut berada dibawah naungan discover. Hubungannya dengan hal tersebut, kita
juga memiliki misi yang sama yaitu discovering,
yaitu mengungkap sejarah. Tugasnya
yaitu menolak asumsi-asumsi yang lama beredar dan menolak asumsi-asumsi nyata
yang ada di depan mata.
Hubungannya karya
sastra atau puisi dengan sejarah tidak akan terlepas satu sama lain. Sebuah puisi tidaklah mungkin muncul secara
tiba-tiba, adanya puisi tersebut tentunya karena dibuat terlebih dahulu
sebelumnya. Dengan demikian, dalam
segala upaya melakukan interpretasi maupun apresiasi secara kritik, tentunya
tidak akan dihindari dengan sisi historis karya sastra tersebut. Sehingga hal itu akan menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa hubungan puisi yang baru
tersebut dengan puisi-puisi sebelumnya atau dengan puisi karya penyair lainnya,
serta keterkaitannya dengan penyair dari aspek sudut pandangnya yang telah
bersungguh-sunggguh melahirkannya, termasuk didalamnya berkaitan dengan waktu
atau zaman ketika puisi tersebut dimunculkan.
Hal-hal tersebut
begitu saling terkait, karena untuk mendapatkan interpretasi yng tidak jauh dan
tidak keluar dari cakupannya. Kita harus
mengetahui apa makna dari suatu kata, makna kata secara personal, maupun dalam
konteks gramatikal, menurut waktu tersebut disusun menjadi sebuah puisi. Hal itu dikarenakan bahasa adalah sebagai
sebuah alat, daya gunanya bisa terus mengalami pengembangan dan perubahan. Selain itu, penyair adalah salah satu pihak
yang paling utama dalam memperbesar khazanah kebahasaan bangsanya.
Kita tidak mungkin
hanya menilai sebuah teks puisi tanpa apa-apa yang ada di belakang kepala kita,
maka sebaiknya kita pun harus mempertimbangkan sisi kesejarahan puisi tersebut,
agar menjadi kuat dalam hal evaluasi dan kesimpulan. Sebab, sebuah kebaruan itu dikatakan baru
apabila memang sudah diperbandingkan dengan karya yang sebelumnya, menyatakan
sebuah kemunduran nila-nilai estetisnya.
Tentunya ada dua hal dalam memperbandingkan, bisa dengan karya penyair
lain atau bisa pula dengan syair-syairnya yang lain.
Disini terdapat
beberapa pendapat, seperti: pendapat Bambang Purwanto. Purwanto mengungkapkan bahwa secara umum
sastra selalu dikaitkan dengan fiksi yang imaginatif, sedangkan sejarah tidak
dapat dipisahkan dari fakta untuk menemukan kebenaran masa lalu sebagai sebuah
realitas yang dibayangkan, sejarah dan sastra sering dianggap berada dalam
tataran yang sama (Purwanto, 2006: 2).
Sastra telah
membuktikan dirinya sebagai ilmu yang bukan hanya bicara persoalan kreativitas
dan rentetan imajinasi, tetapi dapat pula berfungsi sebagai dokumen sejarah
(Surur, 2008). Zainuddin Fananie
berpendapat dengan keluarnya sastra dari kreativitas imajiner ke wilayah
sejarah, maka sastra secara tidak langsung bisa diletakan sebagai dokumen
sejarah atau dokumen sosial yang kaya dengan visi dan tata nilai suatu
masyarakat.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa karya sastra atau puisi memiliki keterkaitan dengan sejarah
dan bahasa. Ketiga hal tersebut memiliki
keterkaitan satu sama lain. Selain itu,
ketiga hal tersebut berada dalam satu atap yaitu discover. Hubungnnya dengan
hal tersebut, kita dalam kelas writing juga
memiliki misi yang sama yaitu discovering
atau mengungkap sejarah. Tugasnya
yaitu menolak asumsi-asumsi yang lama beredar dan menolak asumsi-asumsi yang
nyata di depan mata. Hubungannya dengan
puisi, sejarah, dan bahasa, maka antara penyair, sejarahwan, dan linguistik
tentunya juga akan terikat satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic