We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Rabu, 16 April 2014

Lebih Jauh “Tersesat” di Papua

Class review 9





Selasa, 8 April 2014 perkuliahan mata kuliah Writing 4 kembali dimulai sesuai jadwal.  Dengan rasa lelah yang sebenarnya masih menggelayuti, kami tetap harus fokus untuk mengikuti perkuliahan hari ini.  Pembahasan kami hari masih akan membahas tentang teks yang ditulis oleh Eben mengenai penelitiannya di Papua.  Teks yang mempunyai alur yang sebenarnya sangat membuat kami bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi di Papua.  Tetapi, inilah tugas kami yang sebenarnya dalam memecahkan masalah dan misteri yang sebenarnya terkandung didalam teks tersebut dan yang terutama adalah masalah apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Dengan “reading club” yang telah dibagi pada minggu sebelumnya, kami mulai mancari tahu fakta-fakta yang sebenarnya terjadi dan mencoba menguaknya bersama-sama.  Melalui keinginantahuan kami bersama tentang kasus ini, timbullah kerjasama yang lebih dari kami berlima (Rina, Rini, Risa, Tika, Yuliati) untuk bersatu dan bersama-sama menguaknya demi terpenuhinya rasa penasaran dan keingintahuan kami.
Dengan sebuah komando awal Mr. Lala yang menugaskan kami semua untuk menganalisis sampai diparagraf 26 dari teks “Don’t Use Your Data as a Pillow”, kamipun mulai bergerak untuk membaca dan menganalisis teks tersebut.  Setelah lebih kurang seminggu kami menganalis teks tersebut, inilah hasil yang diperoleh dari hasil diskusi kami selama ini:
Paragraf 1: sebuah pesta yang ditujukan untuk Eben yang dipersembahkan atas selesainya research yang dia lakukan.
Paragraf 2: ketika Eben hendak melakukan penelitian el nino di Papua, ternyata pada saat itu Papua sedang turun hujan. Sehingga hal itu mengurangi antusiame Eben untuk meneliti El Nino. Eben justru merasa bingung. Karena pada saat itu disana sedang maraknya gerakan reformasi setelah lengsernya presiden Seoharto.
Paragraf 3: setelah menyaksikan serangkaian pembantaian yang dilakukan oleh Militer Indonesia terhadap orang-orang Papua, Eben mengerti kenapa Papua menolak untuk bereformasi.
Paragraf 4: Eben melakukan perjalanan ulang ke Papua untuk melakukan research tentang adat khas Papua. Fakta yang mencengangkan adalah ketika Eben menemukan bukti bahwa nenek moyangnya pernah membodohi/menjajah Papua.
Paragraf 5: Orang-orang papua mengira Eben merupakan sekutunya. Tetapi disisi lain, Eben justru tertarik untuk membantu orang-orang Papua mendapatkan kebebasannya.
Paragraf 6: Waropen (anggota Komnas HAM) diundang oleh Denny kepestanya. Kemudian dia berbincang dengan Eben. Perbincangan tersebut mengingatkan Eben pada kejadian dimana dia pertama kali datang ke Papua dimana pada saat itu sedang maraknya gerakan reformasi di Indonesia.
Paragraf 7: Eben dan Denny mengunjungi Wasior untuk menginvestigasi rumor bahwa agen-agen Militer Indonesia diam-diam mendukung misi Papua untuk merdeka.
Paragraf 8: Eben dan Denny melakukan penelitian di Wasior secara rahasia dengan menyembunyikan identitas narasumber.
Paragraf 9: Eben dan Denny tidak ingin mengambil resiko untuk mewawancarai dukun yang telah diagendakan sebelumnya. Karena sejak awal kedatangannya, dia sudah diawasi oleh orang-orang Papua yang menganggap dia adalah sekutu.
Paragraf 10: Eben berpikir bahwa Waropen bisa menjadi narasumber penting untuk melengkapi atau membantu penelitiannya mengenai dukun yang belum berhasil ia wawancarai.
Paragraf 11: Eben mewawancarai Waropen dengan menyembunyikan identitas Waropen sebagai narasumber. Waropen balik bertanya kenapa Eben menyembunyikan identitas narasumber ? Padahal hal tersebut bisa menguatkan penelitiannya.
Paragraf 12: Eben mendapatkan keringanan dari pihak kampus untuk menyembunyikan atau tidak mencantumkan identitas narasumber yang ia wawancarai. Tetapi Waropen ingin namanya dicantumkan sebagai narasumber karena ia ingin diakui sebagai intelektual publik.
Paragraf 13: Sumber yang disembunyikan bisa menimbulkan kecurigaan para pembaca. Tetapi para jurnalis dan editor yang mempunyai hukum untuk menyembunyikan identitas narasumber guna melindungi diri dari gugatan pencemaran nama baik (si narasumber). Terdapat beberapa hal tertentu yang tidak bisa dipublikasikan.
Paragraf 14: Waropen merupakan salah satu sumber data atau informasi penting dalam penelitian yang dilakukan Eben. Eben menyarankan beberapa saran untuk mencapai kebebasan di Papua. Saran tersebut sudah terpikirkan oleh Waropen. Namun waropen tidak mempunyai bukti, sedangkan system hukum zaman sekarang segala sesuatunya harus disertai bukti. Waropen menganggap eben sebagai sekutunya. Tapi disisi lain Eben membutuhkan Waropen untuk researchnya.
Paragraf 15: Percakapan mereka memanas. Mereka saling beradu argumen mengenai perlu tidaknya disembunyikannya identitas narasumber. Bahkan Eben mulai menyinggung Waropen mengenai kasus HAM bahwa identitas korban dan saksi dalam kasus HAM pun pasti ada yang dilindungi (disembunyikan). Waropen bersikeras dan berkata “Jangan menggunakan data Anda sebagai bantal dan pergi tidur ketika Anda kembali ke Amerika, jangan hanya menggunakan ini (penelitian) sebagai jembatan peluang professional Anda sendiri !”
Paragraf 16: Waropen mengingatkan Eben untuk menjadi seorang ahli regional yang handal dengan alasan banyak antropolog budaya terlalu berhati-hati dalam melakukan researchnya jika researchnya itu berhubungan dengan kekuasaan. Selain itu ahli regional sering mengabaikan akuntabilitas sari orang-orang yang menjadi narasumber mereka. Sehingga kritikan-kritikan si ahli regional yang ditujukan pada penguasa tidak mendapatkan respon serius dari penguasa.
Paragraf 17: Waropen meminta Eben untuk memikirkan kembali apa yang disebut sebagai “data” dalam antropologi budaya. Karena baru-baru ini Charles Hale mendesak antropolog untuk mengambil metodologi positif serius dalam setiap researchnya.
Paragraf 18: Ketika Eben bertemu dengan Waropen, dia sudah menerbitka sejumlah artikel koran tentang Papua Barat. Waropen mendorong Eben untuk menunjukan fakta dan tindakan nyata dalam tulisannya. Konfrontasi Waropen membuat Eben berpikir bagaimana dia bisa mulai masuk untuk membawa pengetahuan dan penelitiannya tentang Papua Barat pada dunia.
Paragraf 19: Ketika Eben dan Denny pergi ke Wasior, Eben hendak meneliti tentang kekerasan yang terjadi di perusahaan BP. BP sebelumnya bernama “British Petroleum” kemudian diubah menjadi “Beyond Petroleum”, yang baru saja mengeksplorasi ladang gas di Papua Barat yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan dan hasil yang sangat besar. Kabarnya, agen Militer Indonesia memprovokasi kekerasan dalam upaya konvensional untuk menguntungkan “perlindungan” kontrak.
Paragraf 20: Eben berhasil mewawancarai dua orang agen Papua. Salah satunya mengatakan bahwa dia mendapat dukungan logistik dan intelejen untuk membunuh para perwira polisi. Wawancara tersebut membuktikan rumor yang menghubungkan kekerasan yang terjadi di Wasior untuk proyek BP. Agen yang sama atau agen tersebut mengatakan bahwa seorang perwira militer aktif telah mencoba untuk membunuhnya karena ia tahu terlalu banyak. Dia meminta bantuan Eben untuk melarikan diri, namun Eben tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya.
Paragraf 21: John Rumbiak, orang Papua pelindung HAM, meminta Eben untuk menemaninya menghadiri sebuah pertemuan di London dengan Dr. Byron Grote. Dengan menghadiri pertemuan itu, sehingga Eben bisa mempresentasikanpenemuannya tentang kekerasan militer yang ada di Wasior.
Paragraf 22: Eben bertemu dengan Rumbiak sebelum menghadiri pertemuan di kantor pusat. Mereka bercerita tentang pengalaman atau perjalanan terakhir dengan menggunakan bahasa Indonesia dan Inggris saat mengobrol.
Paragraf 23: Eben merasa tersanjung dan terhormat karena bisa bertemu dengan orang-orang yang berkuasa di Eropa.
Paragraf 24: Rumbiak keberatan jika diskusi mereka tidak direkam. Rumbiak ingin apapun yang terjadi saat meeting direkam untuk ditunjukan kepada rakyat Papua Barat. Tetapi perwakilan BP menolak untuk direkam karena khawatir akan keamanan perusahaan mereka. BP juga menolak untuk melakukan kekerasan.
Paragraf 25: Dr. Grote menolak melakukan kekerasan untuk dapat mengeksplor wilayah Papua, membuka masyarakat adalah cara yang baik baginya. Dia menjamin semua masyarakat akan tetap bekerja. Dr. Grote tidak ingin perusahaan lain yang tidak punya kode etik mengembangkan lading tersebut. Eben terpukau dengan perkataan tersebut.
Paragraf 26: Eben mempresentasikan penemuannya di Wasior. Seorang anggota milisi Papua mengaku membunuh sekelompok Polisi Indonesia atas bantuan dari Militer Indonesia. So, Polisi Indonesia vs TNI ??
Jika kita menarik kesimpulan dari ke-26 paragraf tersebut, kita akan menemukan sedikit kejangggalan dengan apa yang sebenarnya terjadi antara serentetan penyerangan-penyerangan yang terjadi di Papua, khususnya di Wasior dengan proyek yang sedang atau akan dijalankan oleh perusahaan BP.  Pada saat pertemuan tersebut sepertinya ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi oleh pihak BP sendiri.  Lalu, apa tujuan Rumbiak menyuruh Eben menceritakan penemuannya di Wasior kepada pihak BP.  Sepertinya Rumbiak sengaja melakukan hal tersebut untuk melihat respon dari pihak BP.  Rumbiak sepertinya sudah curiga bahwa serentetan penyerangan-penyerangan tersebut ada hubungannya dengan proyek yang sedang dijalankan BP.  Oleh karena itu, pihak BP sebisa mungkin untuk menolak dan mencari alasan yang secara tidak langsung merupakan bentuk ketidaksetujuaan mereka terhadap penelitian yang dilakukan Eben.  Rahasia apa sebenarnya yang disembunyikan BP ?
Membahas mengenai Papua dan BP, tidak akan lepas dari beberapa perusahaan multi nasional lain yang berada di Papua yang sedang mengeruk kekayaan Papua dengan kejamnya.  Dengan kelicikan mereka dalam memanfaatkan situasi yang ada, mereka sebagai sutradara yang menjalankan cerita keji dengan memperdaya dan mengadu domba antara OPM, Polisi dan dan TNI.


            


kelicikan BP dalam mengadu domba ketiganya


Dengan memanfaatkan isu Nasionalisme, mereka mencoba mengadu domba ketiganya dan berhasil.  Mereka menggunakan ketiganya untuk mengamankan wilayah proyek mereka, tetapi ketika ada suatu masalah yang terjadi mekeka akan mengorbankan salah satu dari ketiganya.
Konflik yang terjadi di Papua sangatlah kompleks atau rumit.  Itulah yang membuatnya terus berlangsung sampai detik ini karena adanya perbedaan pendapat dan pemikiran antara pemerintah dan orang-orang Papua sendiri.  Kecemburuan sosial dan merasa dianak tirikan oleh pemerintah menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang terjadi di Papua.  Selain itu ada beberapa faktor-faktor penting lain penyebab terjadinya konflik berkepanjangan yang terjadi di Papua diantaranya faktor politik, ekonomi dan Agama.
Faktor politik menjadi salah satu faktor terjadinya konflik Papua.   Status politik Papua yang saat itu belum jelas sebelum adanya “otsus” yang diberikan pemerintah Indonesia untuk Papua.  Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses politik.  Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan.  Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu.  Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua.  Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.
Konflik politik di Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.  Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta.  Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong.  Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang. (http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html)
Meskipun Papua merupakan kawasan yang secara kategori pembangunan disebut terbelakang, Papua tercatat memiliki kekayaan alam yang melimpah.  Ada proven deposit 2,5 milyar ton bahan tambang emas dan tembaga (berdasarkan konsesi Freeport); 540 juta m³ potensi lestari kayu komersial; dan 9 juta ha hutan konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar.  Panjang pantai wilayah ini mencapai 2.000 mil, luas perairan 228.000 km², dengan tidak kurang dari 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. (Kebijakan Otonomi Khusus Di Indonesia, 2008).
Hal diataslah yang membuat banyak perusahaan multi nasional berbondong-bondong datang ke Papua dan mulai mengeruk kekayaan tanah Papua.  Sementara itu, kehidupan warga asli Papua sendiri berada diambang kemiskinan yang sangat mengenaskan.  Dengan kekayaan yang sangat melimpah Papua justru menjadi provinsi termiskin di Indonesia.
Kesejangan ekonomi dan perasaan dijajahlah yang menjadi akar utama gerakan separatis yang mewarnai perjalanan panjang papua sejak menjadi bagian dari Indonesia.  Selain itu kerahuan-raguan dan tidak konsistennya pemerintah pusat dalam menangani masalah Papua justru memperkeruh suasana di sana.  Berbagai kebijakan telah dilakukan, mulai dari pemerkaran silayah hingga pemberian otonomi khusus, namun masih belum bisa memberikan kedamaian di papua. Justru konflik yang ada semakin hari semakin besar, bahkan mungkin akan menjadi bom waktu yanng siap-siap meledak. (http://sejarahsadja.blogspot.com/2012/01/konflik-papua.html)
Perasaan menjadi kaum minoritas juga selalu dirasakan oleh Papua sejak masuk ke wilayah Indonesia.  Mereka merasa berbeda dengan orang Indonesia lainnya yang mayoritas merupakan ras melanosiod, sedangkan mereka adalah orang-orang melanesia.  Keinginan mereka untuk membangun sebuah negara melanesia seperti negara-negara di kawasan pasifik sangatlah tinggi, walaupun kenyataannya hanya sebagian kecil masyarakat Papua yang menginginkan ini.  Faktor lain yang membuat mereka merasa jadi minoritas di Indonesia adalah masalah Agama.  Orang-orang Papua mayoritas adalah pemeluk Nasrani sedangkan mayoritas orang Indonesia adalah Muslim. Diskriminasi agama sangat tampak pada masa Orde Baru.  Dibawah pemerintahan Soeharto, anggaran pembangunan infrastruktur tempat ibadah yang menjadi program departemen agama 90% dialokasikan ke pembangunan masjid, sedangkan pembangunan gereja yang menjadi tempat ibadah mayoritas orang Papua justru hanya mendapat 10% dari anggaran. (http://sejarahsadja.blogspot.com/2012/01/konflik-papua.html)
Konflik Papua juga memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia.  Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun.  Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi.  Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua.  Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua.  Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya. (http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html)

Table penyebab yang  dekat dari konflik internal
(The proximate cause of internal conflict)

Pendorong dari internal
Internality driven)
Pendorong dari external
(Externaliti-driven)
Elite-level
Pemimpin yang buruk
(bad leaders)
Negara tetangga yang buruk
(bad neighbors)

Problem domestic yang buruk
(bad domestic problems)
Lingkungan sekitar yang buruk
(bud neighborhoods)

Jika melihat literatur ada banyak riset yang mncermati konflik di tanah papua. Ester Heidbuchel (2007) misalnya  mengkategorikan konflik papua dalam empat level; pertama adalah subjective level yakni perbedaan stereotip orang papua dengan Indonesia, perbedaan ras, ketakutan disintegrasi versus ketakutan untuk dimusnahkan, ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga papua  dan begitu pula sebaliknya; kedua adalah issue level yakni inkonsistensi kebijakan, pelanggaran HAM dan korupsi. ketiga adalah damand level, yakni integritas atau persatuan nasional versus tuntutan merdeka atau pelurusan sejarah. Keempat compromissie level, yakni otonomi khusus. (http://politik.kompasiana.com/2013/03/25/akar-konflik-papua-545215.html)
Kesimpulan dari class review kali ini yaitu betapa rumitnya konflik yang terjadi di Papua.  Konflik yang sebenarnya telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang hanya menginginkan keuntungan dari konflik yang terjadi.  Keuntungan yang mereka inginkan adalah amannya segala kegiatan pengerukan kekayaan Papua yang mereka lakukan tanpa adanya gangguan dari warga local.  Itu karena kelicikan yang mereka lakukan untuk memperoleh keuntungan tanpa memikirkan nasib rakyat Papua yang menderita.
Salah satunya yaitu yang dilakukan PT Freeport, perang suku sengaja dipelihara di areal PT Freeport untuk mengalihkan perlawanan rakyat terhadap Freeport, dan Indonesia ikut mendukungnya agar “anjing-anjing” penjaga perusahaan seperti TNI dan Polri mendapat dana pengamanan.  Imperialisme dan neokolonialisme telah menjadi aktor kejahatan di dunia. West Papua adalah korban yang sangat jelas dan dapat dibuktikan. (http://knpbnews.com/?p=2252)
Pemerintah seharusnya tidak tinggal diam melihat apa yang terjadi di Papua, apalagi semua bukti sudah jelas.   Perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan rakyat Papua adalah “PR” besar yang harus segera diselesaikan untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia dengan tidak mendiskriminasi mereka karena mereka juga merupakan bagian dari NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic