Selasa, 8 April 2014 perkuliahan
mata kuliah Writing 4 kembali dimulai sesuai jadwal. Dengan rasa lelah yang sebenarnya masih
menggelayuti, kami tetap harus fokus untuk mengikuti perkuliahan hari ini. Pembahasan kami hari masih akan membahas
tentang teks yang ditulis oleh Eben mengenai penelitiannya di Papua. Teks yang mempunyai alur yang sebenarnya
sangat membuat kami bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Tetapi, inilah tugas kami yang sebenarnya
dalam memecahkan masalah dan misteri yang sebenarnya terkandung didalam teks
tersebut dan yang terutama adalah masalah apa yang sebenarnya terjadi di Papua.
Dengan “reading club” yang
telah dibagi pada minggu sebelumnya, kami mulai mancari tahu fakta-fakta yang
sebenarnya terjadi dan mencoba menguaknya bersama-sama. Melalui keinginantahuan kami bersama tentang
kasus ini, timbullah kerjasama yang lebih dari kami berlima (Rina, Rini, Risa,
Tika, Yuliati) untuk bersatu dan bersama-sama menguaknya demi terpenuhinya rasa
penasaran dan keingintahuan kami.
Dengan sebuah komando awal Mr. Lala
yang menugaskan kami semua untuk menganalisis sampai diparagraf 26 dari teks
“Don’t Use Your Data as a Pillow”, kamipun mulai bergerak untuk membaca dan
menganalisis teks tersebut. Setelah
lebih kurang seminggu kami menganalis teks tersebut, inilah hasil yang
diperoleh dari hasil diskusi kami selama ini:
Paragraf 1: sebuah pesta yang
ditujukan untuk Eben yang dipersembahkan atas selesainya research yang dia
lakukan.
Paragraf 2: ketika Eben hendak
melakukan penelitian el nino di Papua, ternyata pada saat itu Papua sedang
turun hujan. Sehingga hal itu mengurangi antusiame Eben untuk meneliti El Nino.
Eben justru merasa bingung. Karena pada saat itu disana sedang maraknya gerakan
reformasi setelah lengsernya presiden Seoharto.
Paragraf 3: setelah menyaksikan
serangkaian pembantaian yang dilakukan oleh Militer Indonesia terhadap
orang-orang Papua, Eben mengerti kenapa Papua menolak untuk bereformasi.
Paragraf 4: Eben melakukan
perjalanan ulang ke Papua untuk melakukan research tentang adat khas Papua.
Fakta yang mencengangkan adalah ketika Eben menemukan bukti bahwa nenek
moyangnya pernah membodohi/menjajah Papua.
Paragraf 5: Orang-orang papua
mengira Eben merupakan sekutunya. Tetapi disisi lain, Eben justru tertarik
untuk membantu orang-orang Papua mendapatkan kebebasannya.
Paragraf 6: Waropen (anggota
Komnas HAM) diundang oleh Denny kepestanya. Kemudian dia berbincang dengan
Eben. Perbincangan tersebut mengingatkan Eben pada kejadian dimana dia pertama
kali datang ke Papua dimana pada saat itu sedang maraknya gerakan reformasi di
Indonesia.
Paragraf 7: Eben dan Denny
mengunjungi Wasior untuk menginvestigasi rumor bahwa agen-agen Militer
Indonesia diam-diam mendukung misi Papua untuk merdeka.
Paragraf 8: Eben dan Denny
melakukan penelitian di Wasior secara rahasia dengan menyembunyikan identitas
narasumber.
Paragraf 9: Eben dan Denny tidak
ingin mengambil resiko untuk mewawancarai dukun yang telah diagendakan
sebelumnya. Karena sejak awal kedatangannya, dia sudah diawasi oleh orang-orang
Papua yang menganggap dia adalah sekutu.
Paragraf 10: Eben berpikir bahwa
Waropen bisa menjadi narasumber penting untuk melengkapi atau membantu
penelitiannya mengenai dukun yang belum berhasil ia wawancarai.
Paragraf 11: Eben mewawancarai
Waropen dengan menyembunyikan identitas Waropen sebagai narasumber. Waropen
balik bertanya kenapa Eben menyembunyikan identitas narasumber ? Padahal hal
tersebut bisa menguatkan penelitiannya.
Paragraf 12: Eben mendapatkan keringanan
dari pihak kampus untuk menyembunyikan atau tidak mencantumkan identitas
narasumber yang ia wawancarai. Tetapi Waropen ingin namanya dicantumkan sebagai
narasumber karena ia ingin diakui sebagai intelektual publik.
Paragraf 13: Sumber yang disembunyikan
bisa menimbulkan kecurigaan para pembaca. Tetapi para jurnalis dan editor yang
mempunyai hukum untuk menyembunyikan identitas narasumber guna melindungi diri
dari gugatan pencemaran nama baik (si narasumber). Terdapat beberapa hal
tertentu yang tidak bisa dipublikasikan.
Paragraf 14: Waropen merupakan
salah satu sumber data atau informasi penting dalam penelitian yang dilakukan
Eben. Eben menyarankan beberapa saran untuk mencapai kebebasan di Papua. Saran
tersebut sudah terpikirkan oleh Waropen. Namun waropen tidak mempunyai bukti,
sedangkan system hukum zaman sekarang segala sesuatunya harus disertai bukti.
Waropen menganggap eben sebagai sekutunya. Tapi disisi lain Eben membutuhkan
Waropen untuk researchnya.
Paragraf 15: Percakapan mereka
memanas. Mereka saling beradu argumen mengenai perlu tidaknya disembunyikannya
identitas narasumber. Bahkan Eben mulai menyinggung Waropen mengenai kasus HAM
bahwa identitas korban dan saksi dalam kasus HAM pun pasti ada yang dilindungi
(disembunyikan). Waropen bersikeras dan berkata “Jangan menggunakan data Anda
sebagai bantal dan pergi tidur ketika Anda kembali ke Amerika, jangan hanya
menggunakan ini (penelitian) sebagai jembatan peluang professional Anda sendiri
!”
Paragraf 16: Waropen mengingatkan
Eben untuk menjadi seorang ahli regional yang handal dengan alasan banyak
antropolog budaya terlalu berhati-hati dalam melakukan researchnya jika
researchnya itu berhubungan dengan kekuasaan. Selain itu ahli regional sering
mengabaikan akuntabilitas sari orang-orang yang menjadi narasumber mereka.
Sehingga kritikan-kritikan si ahli regional yang ditujukan pada penguasa tidak
mendapatkan respon serius dari penguasa.
Paragraf 17: Waropen meminta Eben
untuk memikirkan kembali apa yang disebut sebagai “data” dalam antropologi budaya.
Karena baru-baru ini Charles Hale mendesak antropolog untuk mengambil
metodologi positif serius dalam setiap researchnya.
Paragraf 18: Ketika Eben bertemu
dengan Waropen, dia sudah menerbitka sejumlah artikel koran tentang Papua
Barat. Waropen mendorong Eben untuk menunjukan fakta dan tindakan nyata dalam
tulisannya. Konfrontasi Waropen membuat Eben berpikir bagaimana dia bisa mulai
masuk untuk membawa pengetahuan dan penelitiannya tentang Papua Barat pada
dunia.
Paragraf 19: Ketika Eben dan Denny
pergi ke Wasior, Eben hendak meneliti tentang kekerasan yang terjadi di
perusahaan BP. BP sebelumnya bernama “British Petroleum” kemudian diubah
menjadi “Beyond Petroleum”, yang baru saja mengeksplorasi ladang gas di Papua
Barat yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan dan hasil yang sangat
besar. Kabarnya, agen Militer Indonesia memprovokasi kekerasan dalam upaya
konvensional untuk menguntungkan “perlindungan” kontrak.
Paragraf 20: Eben berhasil
mewawancarai dua orang agen Papua. Salah satunya mengatakan bahwa dia mendapat
dukungan logistik dan intelejen untuk membunuh para perwira polisi. Wawancara
tersebut membuktikan rumor yang menghubungkan kekerasan yang terjadi di Wasior
untuk proyek BP. Agen yang sama atau agen tersebut mengatakan bahwa seorang perwira
militer aktif telah mencoba untuk membunuhnya karena ia tahu terlalu banyak.
Dia meminta bantuan Eben untuk melarikan diri, namun Eben tidak bisa melakukan
apapun untuk membantunya.
Paragraf 21: John Rumbiak, orang
Papua pelindung HAM, meminta Eben untuk menemaninya menghadiri sebuah pertemuan
di London dengan Dr. Byron Grote. Dengan menghadiri pertemuan itu, sehingga
Eben bisa mempresentasikanpenemuannya tentang kekerasan militer yang ada di
Wasior.
Paragraf 22: Eben bertemu dengan
Rumbiak sebelum menghadiri pertemuan di kantor pusat. Mereka bercerita tentang
pengalaman atau perjalanan terakhir dengan menggunakan bahasa Indonesia dan
Inggris saat mengobrol.
Paragraf 23: Eben merasa
tersanjung dan terhormat karena bisa bertemu dengan orang-orang yang berkuasa
di Eropa.
Paragraf 24: Rumbiak keberatan
jika diskusi mereka tidak direkam. Rumbiak ingin apapun yang terjadi saat
meeting direkam untuk ditunjukan kepada rakyat Papua Barat. Tetapi perwakilan
BP menolak untuk direkam karena khawatir akan keamanan perusahaan mereka. BP
juga menolak untuk melakukan kekerasan.
Paragraf 25: Dr. Grote menolak
melakukan kekerasan untuk dapat mengeksplor wilayah Papua, membuka masyarakat
adalah cara yang baik baginya. Dia menjamin semua masyarakat akan tetap
bekerja. Dr. Grote tidak ingin perusahaan lain yang tidak punya kode etik
mengembangkan lading tersebut. Eben terpukau dengan perkataan tersebut.
Paragraf 26: Eben mempresentasikan
penemuannya di Wasior. Seorang anggota milisi Papua mengaku membunuh sekelompok
Polisi Indonesia atas bantuan dari Militer Indonesia. So, Polisi Indonesia vs
TNI ??
Jika kita menarik kesimpulan dari
ke-26 paragraf tersebut, kita akan menemukan sedikit kejangggalan dengan apa
yang sebenarnya terjadi antara serentetan penyerangan-penyerangan yang terjadi
di Papua, khususnya di Wasior dengan proyek yang sedang atau akan dijalankan
oleh perusahaan BP. Pada saat pertemuan
tersebut sepertinya ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi oleh pihak BP
sendiri. Lalu, apa tujuan Rumbiak
menyuruh Eben menceritakan penemuannya di Wasior kepada pihak BP. Sepertinya Rumbiak sengaja melakukan hal
tersebut untuk melihat respon dari pihak BP.
Rumbiak sepertinya sudah curiga bahwa serentetan penyerangan-penyerangan
tersebut ada hubungannya dengan proyek yang sedang dijalankan BP. Oleh karena itu, pihak BP sebisa mungkin
untuk menolak dan mencari alasan yang secara tidak langsung merupakan bentuk
ketidaksetujuaan mereka terhadap penelitian yang dilakukan Eben. Rahasia apa sebenarnya yang disembunyikan BP
?
Membahas mengenai Papua dan BP,
tidak akan lepas dari beberapa perusahaan multi nasional lain yang berada di
Papua yang sedang mengeruk kekayaan Papua dengan kejamnya. Dengan kelicikan mereka dalam memanfaatkan
situasi yang ada, mereka sebagai sutradara yang menjalankan cerita keji dengan
memperdaya dan mengadu domba antara OPM, Polisi dan dan TNI.
kelicikan
BP dalam mengadu domba ketiganya
Dengan memanfaatkan isu
Nasionalisme, mereka mencoba mengadu domba ketiganya dan berhasil. Mereka menggunakan ketiganya untuk
mengamankan wilayah proyek mereka, tetapi ketika ada suatu masalah yang terjadi
mekeka akan mengorbankan salah satu dari ketiganya.
Konflik yang terjadi di Papua
sangatlah kompleks atau rumit. Itulah
yang membuatnya terus berlangsung sampai detik ini karena adanya perbedaan
pendapat dan pemikiran antara pemerintah dan orang-orang Papua sendiri. Kecemburuan sosial dan merasa dianak tirikan
oleh pemerintah menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik yang terjadi di
Papua. Selain itu ada beberapa
faktor-faktor penting lain penyebab terjadinya konflik berkepanjangan yang
terjadi di Papua diantaranya faktor politik, ekonomi dan Agama.
Faktor
politik menjadi salah satu faktor terjadinya konflik Papua. Status politik Papua yang saat itu belum
jelas sebelum adanya “otsus” yang diberikan pemerintah Indonesia untuk Papua. Perlakuan yang kurang tepat terhadap
masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses
politik. Sadar atau tidak, selama
pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang
pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu
diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu
mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang
Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua
sebagai OPM.
Konflik politik di Papua salah
satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau penggolongan-penggolongan
antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta
pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik. Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya
pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur
yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih
banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood
PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT.
Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan
juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang. (http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html)
Meskipun Papua merupakan kawasan
yang secara kategori pembangunan disebut terbelakang, Papua tercatat memiliki
kekayaan alam yang melimpah. Ada proven
deposit 2,5 milyar ton bahan tambang emas dan tembaga (berdasarkan konsesi
Freeport); 540 juta m³ potensi lestari kayu komersial; dan 9 juta ha hutan
konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar. Panjang pantai wilayah ini mencapai 2.000
mil, luas perairan 228.000 km², dengan tidak kurang dari 1,3 juta ton potensi
lestari perikanan per tahun. (Kebijakan Otonomi Khusus Di Indonesia, 2008).
Hal diataslah yang membuat banyak
perusahaan multi nasional berbondong-bondong datang ke Papua dan mulai mengeruk
kekayaan tanah Papua. Sementara itu,
kehidupan warga asli Papua sendiri berada diambang kemiskinan yang sangat
mengenaskan. Dengan kekayaan yang sangat
melimpah Papua justru menjadi provinsi termiskin di Indonesia.
Kesejangan ekonomi dan
perasaan dijajahlah yang menjadi akar utama gerakan separatis yang mewarnai
perjalanan panjang papua sejak menjadi bagian dari Indonesia.
Selain itu kerahuan-raguan dan tidak
konsistennya pemerintah pusat dalam menangani masalah Papua justru memperkeruh
suasana di sana. Berbagai kebijakan
telah dilakukan, mulai dari pemerkaran silayah hingga pemberian otonomi khusus,
namun masih belum bisa memberikan kedamaian di papua. Justru konflik yang ada
semakin hari semakin besar, bahkan mungkin akan menjadi bom waktu yanng
siap-siap meledak. (http://sejarahsadja.blogspot.com/2012/01/konflik-papua.html)
Perasaan menjadi kaum minoritas
juga selalu dirasakan oleh Papua sejak masuk ke wilayah Indonesia. Mereka merasa berbeda dengan orang Indonesia
lainnya yang mayoritas merupakan ras melanosiod, sedangkan mereka adalah
orang-orang melanesia. Keinginan mereka
untuk membangun sebuah negara melanesia seperti negara-negara di kawasan
pasifik sangatlah tinggi, walaupun kenyataannya hanya sebagian kecil masyarakat
Papua yang menginginkan ini. Faktor
lain yang membuat mereka merasa jadi minoritas di Indonesia adalah masalah Agama.
Orang-orang Papua mayoritas adalah
pemeluk Nasrani sedangkan mayoritas orang Indonesia adalah Muslim. Diskriminasi
agama sangat tampak pada masa Orde Baru. Dibawah pemerintahan Soeharto, anggaran
pembangunan infrastruktur tempat ibadah yang menjadi program departemen agama
90% dialokasikan ke pembangunan masjid, sedangkan pembangunan gereja yang
menjadi tempat ibadah mayoritas orang Papua justru hanya mendapat 10% dari
anggaran. (http://sejarahsadja.blogspot.com/2012/01/konflik-papua.html)
Konflik
Papua juga memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik
lokal lain di Indonesia. Keunikan ini
adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua
selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme
tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap
mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang
mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di
Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak
yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak
menguasai Papua. Pemikiran ini yang
menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak
mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya. (http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html)
Table penyebab yang dekat dari konflik
internal
(The proximate cause of internal conflict)
Pendorong dari internal
Internality driven)
|
Pendorong dari external
(Externaliti-driven)
|
|
Elite-level
|
Pemimpin yang buruk
(bad leaders)
|
Negara tetangga yang buruk
(bad neighbors)
|
Problem domestic yang buruk
(bad domestic problems)
|
Lingkungan sekitar yang buruk
(bud neighborhoods)
|
Jika melihat literatur ada
banyak riset yang mncermati konflik di tanah papua. Ester Heidbuchel (2007)
misalnya mengkategorikan konflik papua dalam empat level; pertama
adalah subjective level yakni perbedaan stereotip orang papua dengan
Indonesia, perbedaan ras, ketakutan disintegrasi versus ketakutan untuk dimusnahkan,
ketidakpercayaan pemerintah terhadap warga papua dan begitu pula
sebaliknya; kedua adalah issue level yakni inkonsistensi
kebijakan, pelanggaran HAM dan korupsi. ketiga adalah damand level,
yakni integritas atau persatuan nasional versus tuntutan merdeka atau pelurusan
sejarah. Keempat compromissie level, yakni otonomi khusus. (http://politik.kompasiana.com/2013/03/25/akar-konflik-papua-545215.html)
Kesimpulan dari class review kali
ini yaitu betapa rumitnya konflik yang terjadi di Papua. Konflik yang sebenarnya telah dimanipulasi
oleh pihak-pihak yang hanya menginginkan keuntungan dari konflik yang terjadi. Keuntungan yang mereka inginkan adalah
amannya segala kegiatan pengerukan kekayaan Papua yang mereka lakukan tanpa
adanya gangguan dari warga local. Itu
karena kelicikan yang mereka lakukan untuk memperoleh keuntungan tanpa
memikirkan nasib rakyat Papua yang menderita.
Salah satunya yaitu yang dilakukan PT
Freeport, perang suku sengaja dipelihara di areal PT Freeport untuk mengalihkan
perlawanan rakyat terhadap Freeport, dan Indonesia ikut mendukungnya agar
“anjing-anjing” penjaga perusahaan seperti TNI dan Polri mendapat dana
pengamanan. Imperialisme dan
neokolonialisme telah menjadi aktor kejahatan di dunia. West Papua adalah
korban yang sangat jelas dan dapat dibuktikan. (http://knpbnews.com/?p=2252)
Pemerintah seharusnya tidak tinggal
diam melihat apa yang terjadi di Papua, apalagi semua bukti sudah jelas. Perbaikan hubungan pemerintah pusat dengan
rakyat Papua adalah “PR” besar yang harus segera diselesaikan untuk mendapatkan
kembali kepercayaan rakyat Papua terhadap Pemerintah Indonesia dengan tidak
mendiskriminasi mereka karena mereka juga merupakan bagian dari NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic