Class review 4
Langit Pagi
Malam tak pernah segaduh ini. Di
sini orang ngomong, di sana anjing menggonggong. Ini tak seperti biasa. Tak
sepi. Pikiran dan hatiku dibuat kacau oleh ini, aku tak bisa menemukan
kata-kata untuk menulis. Aku tutup bukuku, tetapi aku tak bisa tidur. Malam
terlewati dan tiba-tiba pagi. Saat subuh aku kembali membuka catatanku. Ah..
ini lebih tenang dari yang semalam. Sebagai penulis sepi adalah saat terbaik
untuk menulis. Sebab dalam sepi ada penemuan dari apa yang dalam riuh gelisah
dicari. Dalam sepi ada berhenti dari menerima ramainya stimulus yang
memborbardir indera kita. Stimulus yang harus dipilah dan dipilih satu satu
untuk ditafakuri, lalu dimaknai, dan dijadikan berguna bagi kita. sejak dalam
sepi kita menemukan diri yang luput dari penglihatan dan kesadaran ketika
beredar dalam ramai; dalam sepi kita dapat melihat pendaran diri yang
diserakkan gaduh, mendekat, lalu merapat, membentuk bayang jelas untuk dilihat
tanpa harus memuaskan keinginan yang lain (Budi Hermawan). Di bawah hamparan
langit pagi ini aku memulai memutar otakku.
Langit pagi ini membawaku kembali
pada masa paling penting dalam minggu ini tepatnya pada Selasa, 25 Februari
2014. Ya ! apa lagi kalau bukan tentang writing dan tak pernah ada yang lain.
Tak pernah!
Satu hal yang paling banyak dibahas
pada minggu lalu yakni tentang artikel yang berjudul “Classroom Discourse to
Foster Religious Harmony” yang ditulis oleh Dr. A. Chaedar Alwasilah. Sebelumnya
artikel ini menjadi salah satu tugas Critical Review yang harus dipenuhi oleh
setiap mahasiswa.
Dari judulnya saja kita dapat mengetahui bahwa artikel
ini merupakan discourse tentang kegiatan belajar mengajar di dalam kelas yang
mencakup kerukunan umat beragama. Ini tak sesederhana yang dibayangkan. Kita
mungkin hanya mengetahui bahwa discourse kelas (classroom discourse) hanya
mancakup kegiatang belajar mengajar yang di dalanya hanya ada siswa dan
pendidik serta seluruh kegiatannya berjalan dengan baik. Padahal, classroom
discourse merupakan sesuatu yang “Complicated.” Dikatakan complicated karena
interaksi yang ada di dalam kelas tidak sesedernahan interaksi pada saat kita
melakukan proses jual beli. Kita bayangkan saja interaksi yang terjadi pada
saat jual beli yang begitu singkat. Saat alat tukar dan barang saling berpindah
tangan maka interaksi selesai sampai di situ.
Kelas diartikan sebagai “Situs Suci”
(Saacret Site) dimana setiap orang tidak boleh masuk seenaknya dan tentu saja
di dalamnya ada aturan yang harus selalu dipatuhi. Selain itu, orang-orang yang
berada di kelas bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah orang-orang
pilihan yang memiliki tujuan belajar yang sebenarnya.
Classroom discourse adalah sesuatu
yang “Complecated”. Ada beberapa poin yang menjadikan sebuah kelas menjadi
complecated.
Background
Siswa memiliki
background (latar belakang) yang berbeda-beda. Background di sini berupa
background sosial, ekonomi,politik dan budaya. Perbedaan background ini sering
kali memicu adanya interaksi yang kurang harmonis antar siswa. Salahnya, sistem
pembelajaran sering kali menyamakan background yang dimiliki oleh siswa dan
menyamakan start point yang siswa miliki. Hal seperti demikian yang memicu
timbulnya konflik.
Communicative
Strategies
Communicative
Strategies adalah suatu omunikasi yang dilakukan untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Meaning
Making Practices
Meaning
Making Practices adalah interaksi yang terjadi antara siswa denan siswa turut
memberikan pemahaman berbede dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan berdampak
pada tingkah laku dan tindakan siswa baik di dalam maupun di luar kelas.
Selanjutnya
kita kan beranjak pada pembahasan Classroom Discourse Analysis.
discourse analysis is the study of how language-in-use is
affected by the context of its use (Betsy Rymes, 2008:12). Classroom
Discourse Analysis adalah studi tentang bagaimana
bahasa digunakan dan dipengaruhi
oleh konteks yang digunakan. Di dalam kelas, konteks dapat berkisar dari pembicaraan dalam pembelajaran. Ceramah
analisis kelas menjadi analisis discourse
kritis ketika kelas-kelas peneliti mengambil
efek dari konteks variabel tersebut menjadi
pertimbangan dalam analisis mereka.
Definisi paling sederhana dari discourse
adalah language in use. Hal ini mungkin mengganggu jelas bahwa bahasa selalu digunakan, jadi mengapa tidak hanya
menyebutnya "bahasa"? hal ini dikarena, fitur "discorse" mendefinisikan sebagai "in-use"
yang diartikan sebagai fitur yang sebagian orang percaya bahwa bukan komponen
penting dari bahasa. Sebaliknya, beberapa ahli bahasa
berpendapat bahwa Fitur bahasa mendefinisikan adalah kemampuannya untuk dikontekstualisasikan.
Sebagai contoh, kata, "Pohon" tidak perlu "pohon"
sekitar untuk dipahami. Seorang siswa akan memberitahu ketika ia melihat "Pohon" hari ini kita akan mengetahui apa yang dia maksud
tanpa perlu ia menunjuk pohon atau menggambar untuk kita. Dalam hal ini berarti bahasa
adalah de-contextualizable dan hal ini dapat menjadi fitur yang membuat
unik bahasa manusia (Betsy Rymes, 2008:13).
"The Classroom" adalah
konteks utama dan paling jelas untuk discourse yang kita akan periksa. Namun, "konteks" untuk
analisis discourse kelas juga meluas di luar
kelas, dan dalam komponen yang berbeda dari bicara kelas. Untuk mencakup konteks
yang mempengaruhi apa yang dikatakan dan bagaimana hal itu ditafsirkan dalam
kelas. Konteks dapat dibatasi oleh
batas-batas yang sesuai fisik bahasa. Penggunaan bahasa di rumah mungkin
berbeda dari bahasa yang digunakan di sekolah, tetapi konteks juga dapat
dibatasi oleh batas-batas nonfisik, tetapi
oleh batas-batas yang sesuai discourse bahasa. Bahasa yang digunakan dalam
pembelajaran mungkin saj berbeda dengan bahasa saat pembelajaran berakhir (Betsy
Rymes, 2008:14).
Analisis Discourse melibatkan bagaimana discourse (bahasa yang digunakan) dan konteks dapat mempengaruhi
satu sama lain. Kadang-kadang kita memahami mengapa seseorang mengatakan sesuatu dengan cara
tertentu yakni melibatkan konteks sebelumnya yang
digunakan. "Sebelumnya konteks" dapat berkisar dari pertanyaan yang datang sebelum ucapan itu untuk pertanyaan dari sebelumnya percakapan, pengaruh acara televisi, pola seumur hidup bahasa sosialisasi.
Shirley Brice Heath (1983) mendokumentasikan bagaimana sosialisasi tertentu jenis di rumah. Pemecahan masalah dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa di sekolah (Betsy
Rymes, 2008:16).
Classroom
discourse analysis bisa diparafrasekan sebagai bagaimana melihat bahasa di gunakan dalam konteks kelas (dengan pemahaman bahwa konteks ini dipengaruhi pula oleh beberapa konteks sosial di luar dan dalam kelas). Untuk memahami bagaimana konteks dan bicara yang mempengaruhi satu sama lain (Betsy Rymes, 2008:17).
Dari
semua yang telah dipaparkan kita dapat menarik kesimpulan bahwa Kelas diartikan
sebagai “Situs Suci” (Sacret Site) yang sangat complicated dimana interaksi di
dalamnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Beberapa poin yang membuat kelas
complicated adalah perbadaan background setiap siswa, communicative strategies
dan mening making pracices.
Betsy
Rymes mengartikan Classroom discourse analysis bisa diparafrasekan sebagai bagaimana melihat bahasa di gunakan dalam
konteks kelas (dengan pemahaman bahwa konteks
ini dipengaruhi pula oleh beberapa konteks sosial di luar dan dalam kelas).
Untuk memahami bagaimana konteks dan bicara yang mempengaruhi satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic