We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Selasa, 25 Maret 2014



Ideology is Like a Wind
Class Review 7

Ideologi bagaikan angin, tak terlihat namun terasa begitu dahsyat. Angin yang berhembus sepoy-sepoy sungguh terasa begitu menyejukkan, mampu memberikan manfaat yang dahsyat bagi umat. Sebaliknya, angin yang berhembus dengan sangat kencang terasa begitu mengerikan, layaknya badai topan yang menerjang bumi, menghancurkan semua yang dilaluinya. Begitu pula dengan ideologi,  ideologi dijadikan sebagai pijakan dan pedoman seseorang dalam melakukan sesuatu. Di dunia ini terdapat beberapa macam Ideologi, misalnya  Fasism, Sosialism, Liberalism, Komunism, Demokratism, dan lain-lain.  Ideologi Islam adalah ideologi yang menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dalam class review ini, saya akan membahas mengenai keterkaitan peran Sejarawan (Historian), Ahli Linguistik (Linguist), dan Penyair (Poet) sebagai pendongkrak values dan sejarah terhadap praktek literasi. Dalam sebuah tulisan, pasti terdapat value atau nilai di dalamnya. Selain value, sebuah tulisan pasti mengikuti ideology penulisnya. Bahasa sebagai sebuah susunan gabungan dari perilaku sosial yang akan secara pasti dan inextricably diikat dengan konteks sociopolitical pada fungsinya. Bahasa tidak digunakan dalam contextless vacuum. Melainkan, digunakan dalam host of discourse contexts, konteks-konteks yang dibuahi dengan ideology dari system social dan institusi-institusi. Hal itu karena bahasa bekerja dalam dimensi social tersebut. Hal itu harus dari reflek keharusan dan beberapa pendapat, yang dinamakan construct ideology (Simpson, 1993:6).
Menurut Historian yang sangat terkenal, Howard Zinn (2005:15), “There's no such thing as a whole story; every story is incomplete”. Bahwa sesungguhnya tidak ada sejarah yang diceritakan secara utuh, setiap sejarah pasti tidak lengkap. Ini mengindikasikan bahwa tugas kita adalah untuk menemukan (discover) sisi lain sejarah yang belum terungkap melalui praktek literasi. Zinn pula mengatakan, “My idea was the orthodox viewpoint has already been done a thousand times”. Zinn mengakui pula bahwa sesungguhnya sudut pandang ideologi-nya sangat mempengaruhi tulisannya, idenya, dan gagasannya.
Selain Historian, Linguist juga berperan dalam mengungkap sejarah melalui linguistik kritis. Linguistik kritis (critical linguistics) merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kekuatan yang tersembunyi (hidden power) dan proses proses ideologis yang muncul dalam teks teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Menurut Fowler (1996: 10), “Like the historian critical linguist aims to understand the values which underpin social, economic, and political formations, and diachronically, changes in values and changes in formations. Fowler mengatakan, “Layaknya seperti historian, critical linguist bertujuan untuk memahami values yang berhubungan dengan social, ekonomi, susunan politik dan secara diakronik mengubah nilai-nilai dan mengubah susunan”. “Ideology is of course both a medium and an instrument of historical processes.” Selain itu, ideology juga merupakan perantara antar instrument dan proses historical (Fowler, 1996:12). Ideology is omnipresent in every single text (spoken, written, audio, visual or the combinations of all of them). Ia mengatakan, Ideologi terdapat dimana-mana di setiap teks tunggal (lisan, tertulis, audio, visual atau kombinasi dari semua itu.
Fowler sang  pelopor secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistik ini. Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya  ketidaksetaraan  relasi  antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5), model linguistik itu sangat memperhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi  dalam pelbagai modus wacana publik.
Selain Historian dan Linguists, menurut Milan Kundera, Poet juga turut berperan dalam hal pengkajian sejarah. Ketiga aspek tersebut memiliki tujuan yang sama dalam mengkaji sejarah. Hanya saja cara pengkajiannya, masing-masing memiliki cara yang berbeda. Disinilah tugas kita untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi serta menemukan hal  baru dalam hal tersebut. Selain itu, kita tidak boleh menerima mentah-mentah asumsi-asumsi yang telah lama beredar dan nyata di depan gerbang. Tugas kita yaitu menelaahnya dan membuktikan kebenarannya. Seperti yang Firestone (Hobbs, 1998) yang melihat literasi sebagai “kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya”. Artinya, seseorang baru bisa dianggap literat jika ia kritis terhadap isi media serta dapat memproduksi informasi baru.
            Dalam sebuah komentar, Milan Kundera (Dalam L’Art Duroman, 1486) menyatakan bahwa “Menulis sebagai penyair berarti untuk menghancurkan dinding yang dibaliknya terdapat sesuatu yang selalu tersembunyi disana”. Dalam hal ini, peran seorang penyair itu kurang lebihnya sama dengan Historian dan Linguist yang sama-sama menemukan (discover) daripada menciptakan. “The task of the poet is not different from the work of history, which also discovers rather than invents”. Jejak histori itu adalah proses yang tidak pernah berakhir dari kreasi manusia, bukankah hal itu juga merupakan alasan yang sama dalam proses tanpa akhir dari penemuan pribadi manusia. Dalam hal ini tentunya selagi  sejarah itu terus berlanjut, pasti akan ada hal-hal baru yang selalu di temukan di dalamnya. Milan Kundera sendiri merupakan seorang penulis yang mengembangkan literasi lewat karya sastranya. Kebanyakan pemikirannya dalam seni dan politik merupakan objek dari literary experimentation dalam novel-novelnya.
Pentingnya literasi terhadap sejarah diperkuat dengan pernyataan Hendrik Hartog dalam sebuah “Journal of American History Roundtable” pada pernyataan dari historical practice. “one (practical) that we all bonded as a historian is reading”. Hal itu menunjukkan bahwa untuk menghancurkan dinding penghalang, seperti yang dikatakan oleh Milan Kundera, alat yang digunakan adalah Literasi atau membaca. Dengan literasi, kita dapat menelaah sesuatu yang tersembunyi dalam berbagai aspek, salah satunya adalah sejarah.  Oleh karena itu, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan.
Dengan demikian, jelas bahwa ideology merupakan pemegang kendali daripada literasi itu sendiri. Sedangkan keterkaitan antar Historian, Linguist,dan Poet adalah sama-sama (discover) menemukan suatu hal yang tertutupi atau belum terungkap dalam sejarah. Tugas kita adalah untuk mengidentifikasi value dan ideology apa yang tersembunyi di balik tulisan seseorang. Adakah penemuan baru ataupun sisi lain dari sebuah sejarah? Ideology sendiri tidak lepas dan selalu terkait dengan kepentingan social, ekonomi dan politik, serta aspek-aspek lain yang berpengaruh dalam kehidupan social. Untuk itu marilah kita menulis dengan menggunakan ideology kita masing-masing demi mencapai suatu kepentingan yang bermanfaat tentunya bagi individu dan lingkungan sekitar.
References:
Jejak-Halliday-dalam-Linguistik-Kritis-dan-Analisis-Wacana-Kritis-Anang-Santoso (bookFi.org)
http://www.ucalgary.ca/hic/issues/vol6/3 diakses 23 Maret 2014 20.00
http://en.wikipedia.org/wiki/Milan_Kundera diakses 23 Maret 2014 21.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic