Ideology is Like a Wind
Class Review 7
Ideologi bagaikan angin, tak terlihat namun terasa begitu
dahsyat. Angin yang berhembus sepoy-sepoy sungguh terasa begitu menyejukkan, mampu
memberikan manfaat yang dahsyat bagi umat. Sebaliknya, angin yang berhembus
dengan sangat kencang terasa begitu mengerikan, layaknya badai topan yang
menerjang bumi, menghancurkan semua yang dilaluinya. Begitu pula dengan ideologi,
ideologi dijadikan sebagai pijakan dan
pedoman seseorang dalam melakukan sesuatu. Di dunia ini terdapat beberapa macam
Ideologi, misalnya Fasism, Sosialism, Liberalism, Komunism, Demokratism, dan lain-lain. Ideologi
Islam adalah ideologi yang menjadi rahmat bagi alam semesta.
Dalam class review ini, saya akan membahas mengenai keterkaitan peran Sejarawan (Historian), Ahli Linguistik (Linguist), dan Penyair
(Poet) sebagai pendongkrak values dan sejarah terhadap
praktek literasi. Dalam sebuah tulisan,
pasti terdapat value atau nilai di dalamnya. Selain value, sebuah tulisan pasti mengikuti ideology
penulisnya. Bahasa sebagai sebuah susunan gabungan dari perilaku sosial yang akan secara pasti
dan inextricably diikat dengan konteks sociopolitical pada fungsinya. Bahasa
tidak digunakan dalam contextless vacuum. Melainkan, digunakan dalam host of
discourse contexts, konteks-konteks yang dibuahi dengan ideology dari system
social dan institusi-institusi. Hal itu karena bahasa bekerja dalam dimensi
social tersebut. Hal itu harus dari reflek keharusan dan beberapa pendapat, yang dinamakan construct
ideology (Simpson, 1993:6).
Menurut Historian yang sangat terkenal, Howard Zinn (2005:15), “There's no such thing as a
whole story; every story is incomplete”. Bahwa
sesungguhnya tidak ada sejarah yang diceritakan secara utuh, setiap sejarah
pasti tidak lengkap. Ini mengindikasikan bahwa tugas kita adalah untuk
menemukan (discover) sisi lain sejarah yang belum terungkap melalui praktek
literasi. Zinn pula mengatakan, “My idea
was the orthodox viewpoint has already been done a thousand times”. Zinn mengakui pula bahwa sesungguhnya sudut pandang
ideologi-nya sangat mempengaruhi tulisannya, idenya, dan gagasannya.
Selain Historian, Linguist juga berperan dalam mengungkap
sejarah melalui linguistik kritis. Linguistik kritis (critical linguistics) merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan
mengungkap relasi-relasi antara kekuatan yang tersembunyi (hidden power) dan
proses proses ideologis yang muncul dalam teks teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Menurut Fowler (1996: 10), “Like
the historian critical linguist aims to
understand the values which underpin social, economic, and political
formations, and diachronically, changes
in values and changes in formations. Fowler mengatakan, “Layaknya
seperti historian,
critical linguist bertujuan untuk memahami values yang berhubungan dengan
social, ekonomi, susunan politik dan secara diakronik mengubah nilai-nilai dan
mengubah susunan”. “Ideology is of course both a medium and an instrument of
historical processes.”
Selain itu, ideology juga merupakan perantara
antar instrument dan proses historical (Fowler, 1996:12). Ideology
is omnipresent in every single text (spoken, written, audio, visual or the
combinations of all of them). Ia mengatakan,
Ideologi
terdapat dimana-mana
di setiap teks tunggal (lisan, tertulis,
audio, visual atau kombinasi dari semua itu.
Fowler sang pelopor
secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistik ini. Linguistik kritis
amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan
kesenjangan, yakni adanya
ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam
politik, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa,
serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5), model linguistik itu
sangat memperhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi
dan diskriminasi dalam pelbagai modus
wacana publik.
Selain
Historian dan Linguists, menurut Milan
Kundera, Poet juga turut berperan dalam hal pengkajian sejarah. Ketiga
aspek tersebut memiliki tujuan yang sama dalam mengkaji sejarah. Hanya saja
cara pengkajiannya, masing-masing memiliki cara yang berbeda. Disinilah tugas
kita untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi serta menemukan
hal baru dalam hal tersebut. Selain itu, kita tidak boleh menerima
mentah-mentah asumsi-asumsi yang telah lama beredar dan nyata di depan gerbang.
Tugas kita yaitu menelaahnya dan membuktikan kebenarannya. Seperti yang Firestone (Hobbs, 1998) yang melihat
literasi sebagai “kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
mengkomunikasikan pesan dalam berbagai bentuknya”. Artinya, seseorang baru bisa
dianggap literat jika ia kritis terhadap isi media serta dapat memproduksi
informasi baru.
Dalam sebuah komentar, Milan Kundera
(Dalam L’Art Duroman, 1486) menyatakan bahwa “Menulis sebagai penyair berarti untuk
menghancurkan dinding yang dibaliknya terdapat sesuatu yang selalu tersembunyi
disana”. Dalam hal ini, peran seorang penyair itu kurang lebihnya sama dengan
Historian dan Linguist yang sama-sama menemukan (discover) daripada
menciptakan. “The task of the poet is not different
from the work of history, which also discovers rather than invents”. Jejak histori itu adalah proses yang tidak pernah berakhir dari kreasi
manusia, bukankah hal itu juga merupakan alasan yang sama dalam proses tanpa
akhir dari penemuan pribadi manusia. Dalam hal ini tentunya selagi
sejarah itu terus berlanjut, pasti akan ada hal-hal baru yang selalu di temukan
di dalamnya. Milan Kundera sendiri merupakan seorang penulis yang mengembangkan
literasi lewat karya sastranya. Kebanyakan pemikirannya dalam seni dan politik
merupakan objek dari literary experimentation dalam novel-novelnya.
Pentingnya
literasi terhadap sejarah diperkuat dengan pernyataan Hendrik Hartog dalam sebuah “Journal
of American History Roundtable” pada pernyataan dari historical practice. “one (practical) that
we all bonded
as a historian is
reading”. Hal itu
menunjukkan bahwa untuk menghancurkan dinding penghalang, seperti yang
dikatakan oleh Milan Kundera, alat
yang digunakan adalah Literasi atau membaca. Dengan literasi, kita dapat
menelaah sesuatu yang tersembunyi dalam berbagai aspek, salah satunya adalah
sejarah. Oleh karena itu, kajian bahasa hakikatnya adalah kajian kewacanaan yang
bersifat historis. Sistem bahasa merupakan bagian yang integral dari struktur
dan proses sosial. Sebuah wacana tidak dapat terlepas dari dimensi kesejarahan.
Dengan demikian, jelas bahwa
ideology merupakan pemegang kendali daripada literasi itu sendiri. Sedangkan keterkaitan antar Historian, Linguist,dan Poet
adalah sama-sama (discover) menemukan suatu hal yang tertutupi atau belum
terungkap dalam sejarah. Tugas kita adalah untuk mengidentifikasi value dan
ideology apa yang tersembunyi di balik tulisan seseorang. Adakah penemuan baru
ataupun sisi lain dari sebuah sejarah? Ideology
sendiri tidak lepas dan selalu terkait
dengan kepentingan social, ekonomi dan politik, serta
aspek-aspek lain yang berpengaruh dalam kehidupan social. Untuk itu marilah kita menulis dengan menggunakan
ideology kita masing-masing demi mencapai suatu kepentingan yang bermanfaat
tentunya bagi individu dan lingkungan sekitar.
References:
Jejak-Halliday-dalam-Linguistik-Kritis-dan-Analisis-Wacana-Kritis-Anang-Santoso
(bookFi.org)
http://www.ucalgary.ca/hic/issues/vol6/3
diakses 23 Maret 2014 20.00
http://en.wikipedia.org/wiki/Milan_Kundera
diakses 23 Maret 2014 21.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic