Berkecimpung
dengan class review. Bosan? Tentu saja. Tapi, hal itu sudah terbiasa. Jalani
saja apa yang seharusnya dilakukan dan tetap jaga stamina. Toh, it is all for
my sake. Kenyataannya, dengan cara seperti itu saya jadi merasa benar-benar
seorang mahasiswa. Dan, inilah class review keenam yang saya tulis di hari-hari
deadlineku. Padahal, minggu lalu saya mendapat trouble di hari deadline.
Tampaknya rasa jera tidak kunjung bersemi di diriku. Tapi anehnya, ide-ide
selalu muncul pada saat deadline. Dari sinilah saya mulai percaya pada yang
namanya “The Power of Kepepet”.
Sudah cukup basa-basinya, sekarang
saatnya mempreteli materi yang saya dapat kemarin. Meski sejujurnya saya
kekurangan data untuk memenuhi lembar-lembar kosong ini. Atau sebenarnya saya yang
kurang paham dengan materi kemarin. Saya hitung itu sebagai alasan. Pada
pertemuan kemarin, perasaan saya sedang benar-benar campur aduk. Ditambah lagi
criteria free-writing yang harus dicapai. Intinya, produksi kita kali ini harus
benar-benar bersih dari dosa.
Sebagai orang literat, tugas kita yakni untuk mengeksplor
atau mendalami sebuah wacana atau hal-hal baru di sekitar kita dengan cermat.
Kata kunci bagi kaum literat salah satunya yakni :
Boleh kita meniru dari apa yang
sudah lebih dulu diciptakan atau digagas orang lain. Setelah itu, dari aspek
tersebut kita dapat menemukan hal baru dari pemikiran sebelumnya. Kemudian
tahap selanjutnya yakni menciptakan sesuatu yang baru. Selain itu, kita juga
harus mempelajari sesuatu, memahaminya, dan memaknainya. Bagaimana cara kita
memaknai tulisan itu tergantung pada apa yang kita pahami dan pelajari.
Dalam sebuah tulisan, pasti terdapat
value atau nilai di dalamnya. Selain nilai, biasanya sebuah tulisan mengikuti
ideology penulisnya. Seperti yang dinyatakan Fowler (1996:10): ”Seperti
historian critical linguist bertujuan untuk memahami values yang berhubungan
dengan social, ekonomi, susunan politik dan secara diakronik mengubah
nilai-nilai dan mengubah susunan”. Selain itu, ideology juga merupakan sebuah
perantara dan instrument daripada proses historical (Fowler, 1996:12).
ð Critical
linguist menolak mimetic view dari bahasa sebagai sebuah value-free atau bebas
value, perantara transparan yang mencerminkan kenyataan. Semua representasi
diantarkan, dicetak melalui value-system, berakar pada perantara (dalam hal ini
adalah bahasa) lama untuk representasi (fowler, 1996:4).
ð Bahasa
sebagai sebuah susunan gabungan dari perilaku social yang akan secara pasti dan
inextricably diikat dengan konteks sociopolitical pada fungsinya. Bahasa tidak
digunakan dalam contextless vacuum. Melainkan, digunakan dalam host of
discourse contexts, konteks-konteks yang dibuahi dengan ideology dari system
social dan institusi-institusi. Hal itu karena bahasa bekerja dalam dimensi social
tersebut. Hal itu harus dari reflek keharusan dan beberapa pendapat, construct
ideology (Simpson, 1993:6).
Dalam
hal ini, jelas bahwa ideology merupakan pemegang kendali daripada literasi itu
sendiri. Ideology sendiri tidak lepas dari kepentingan social dan politik,
serta aspek-aspek lain yang berpengaruh dalam kehidupan social. Proses tersebut
akan menghasilkan nilai atau values.
ð Ideologis
menurut pandangan Norman Fairclough (1989:2) dalam bukunya yang berjudul
“Language and Power”
Ideologies secara jelas dihubungkan pada power,
karena sifat dari asumsi secara ideology tertanam dalam kebiasaan tertentu.
Maka sifat dari kebiasaan itu sendiri tergantung pada hubungan power dengan
kebiasaan tersebut, dan juga karena mereka adalah sebuah maksud atau arti yang
mengesahkan keberadaan hubungan-hubungan social dan perbedaan dari power.
Secara sederhananya, melalui perulangan lazim,cara yang familiar pada sikap
yang mengambil hubungan ini dan perbadaan power untuk dikabulkan. Ideology juga
secara jelas dihubungkan pada bahasa, karena menggunakan bahasa merupakan
bentuk yang paling umum dari perilaku social. Selain itu, bentuk dari perilaku
social dimana yang paling bertumpu pada ‘common-sense’ assumption. Akan tetapi,
meskipun kepentingannya terhadap bahasa, konsep ideology sudah sangat jarang
terpikirkan dalam diskusi-diskusi bahasa dan power dalam linguistic, yang mana
hal tersebut sistematik dari kelimitannya.
Dalam hal ini, berarti aktivitas social pun ikut
berperan dalam proses menghasilkan suatu teks. Kita dapat melihat gambarannya
di bawah ini :
Pada gambaran tersebut, dapat kita ketahui bahwa
teks atau produk itu duhasilkan melalui proses atau tahap yang tergambar dalam
gambaran tersebut. Sementara ideology sendiri dipengaruhi dalam social
conditions of production. Hal itu dikarenakan proses tersebut tidak lepas dari
pengaruh aktivitas social disekitar.
Dengan begitu, dapat kita pahami
hal-hal tersebut sebagaimana yang dikatakan fowler (1996) bahwa ideology
merupakan sesuatu yang hadir dimana-mana (omnipresent)dalam setiap text (spoken,
written, audio, visual ataupun gabungan dari aspek-aspek tersebut. Dan juga
produksi teks sendiri tidak pernah netral (Fairclough 1989;1992;1995;2000),
karena dalam sebuah teks pasti mengacu pada ideologi si penulis sebagai
‘source’ dari tulisan tersebut. Dalam meneliti penempatan ideologi dari teks
dengan melihat ideasional teks, interpersonal dan textual meaning banyak
meminjam systemic functional grammar dalam pelaksanaannya.
Secara khusus, Janks (1997)
mensugestikan untuk mencari pengiring dalam sebuah textual analysis yaitu :
1. Lexucalisation
2. Patterns
of transitivity
3. The
use of active and passive voice
4. The
use of nominalisation
5. Choices
of mood
6. Choices
of modality or polarity
7. The
thematic structure of the text
8. The
information focus
9. Cohesion
devices.
Dari
poin-poin di atas tersebut, kita dapat menelaah sebuah teks dengan menggunakan
metode tersebut. Sementara dalam sebuah teks, aspek-aspek yang ada di dalamnya
terbilang cukup kompleks. Masih seputar ideology, Fairclough (1989:3)
menyatakan bahwa ideologi secara keseluruhan hadir dalam bahasa. Fakta tersebut
seyogyanya berarti bahwa sifat ideologis dari bahasa harus menjadi salah satu
dari tema-tema penting dari ilmu sosial modern.
Dari
apa yang dikatakan Fairclough (1989:3), inti dari apa yang ia nyatakan hampir
serupa dengan Fowler (1996) bahwa ideologi itu terdapat pada setiap teks. Hal
itu berarti sebuah teks tidak lepas dari pemikiran atau ideologi penulisnya,
dan juga temayang terkandung dalam tulisan tersbut tidak lepas dari keadaan
atau situasi sosial. Dari ideologi tersebut, maka setiap tulisan yang ditulis
oleh orang yang berbeda, meskipun intinya sama, pasti akan menggunakan metode
yang berbeda sesuai dengan ideologi penulisnya. Dan hal tersebutlah yang akan
mempengaruhi pembaca dalam menanggapi sebuah tulisan.
Kesimpulan
:
Dari apa yang saya tulis dalam class
review keenam ini, mencakup literasi
dalam dunia sosial dimana ideologi sangat berpengaruh didalamnya. Hal
itu karena, sebuah teks yang dihasilkan dari seorang penulis pasti memiliki
ideologi si penulisnya. Ideologi tersebut mencakup tujuan penuli dalam
memproduksi sebuah teks. Dari hal tersebut, maka terdapat yang namanya “values”
dalam sebuah tulisan. Kedua aspek tersebut sangat erat kaitannya dengan proses
literasi. Ideologi sendiri dipengaruhi oleh lingkungan sosial dimana penulis
menerima pemikiran tersebut. Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa
setiap tulisan itu memiliki ideologi dan value yang berbeda, mengikuti
pemikiran penulisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic