MERAJUT ASA DARI KETERPURUKAN
Mencoba bangkit dari keterpurukan. Sedikit demi sedikit jiwa ini
mulai bangkit. Semangat yang tersisa menjadi kekuatan untuk terus berjalan
menuju satu harapan, yaitu kebahagiaan. “Tanyakan pada orang lain, kenapa
mereka bisa? Apa kamu tidak malu jika kamu menyerah? Mereka aja bisa kenapa
kamu tidak! Buktikan kalau kamu bisa!”. Bagaikan tamparan keras yang mampu
menggugahkan jiwa yang rapuh ini. kata-kata itulah yang mampu membangkitkan
kembali semangat dalam jiwa ini. tidak ada seorang Ibu yang menginginkan
anaknya jatuh dan terpuruk.
Berhubung hari selasa Saya tidak bisa masuk, jadi pada hari jum’at
tepatnya tanggal 21 Maret 2014, Saya mengikuti mata kuliah Writing 4 di kelas
PBI-D. Pertemuan ketujuh ini, Mr.Lala menilai kita (para mahasiswa) masih belum
bisa berfikir pada bahasa Inggris dan masih terpaku pada bahasa Indonesia. Pada
dsarnya, saat ini para mahasiswa sudah bisa mengaplikasikan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, serta menggunakan kosa kata yang sesuai dengan materi
yang dibahas. Tetapi, jika kita ditugaskan untuk menulis dalam bahasa Inggris,
ternyata kita masih ‘kagok’ ataupun masih belum terbiasa menulis dalam bahasa
Inggris.
Dalam mengerjakan tugas menulis ataupun mengkritik, tentu saja kita
dituntut untuk banyak membaca. Hal ini sangat diwajibkan karena sebagai bahan
referensi materi yang akan ditulis. Untuk mengkoneksikan isi dari buku dengan
isi pikiran kita sangatlah sulit. Dengan kata lain, hal ini membutuhkan
intelektual yang baik serta pemaparan atau penalaran pada suatu bahasan
sangatlah diperlukan dan penalaran tersebut harus benar dan tepat.
Sebagai penulis, kita harus bisa menyempatkan diri untuk
menunjukkan hasil tulisan kita kepada orang lain. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengetahui sejauh mana kemampuan menulis kita, apakan tujuan yang kita harapkan
pada tulisna tersebut dapat tersampaikan dengan baik atau tidak.
Mr. Lala menyebutkan bahwa para penulis hidup di dunia ini yang
berbeda. Pada era globalisasi ini banyak sekali hal-hal yang bersifat instan.
Disinilah terdapat tantangan untuk para penulis. Dimana para penulis harus bisa
menghindari INSTANITY. Dengan kata lain, para penulis (kita:para mahasiswa)
harus membaca pelan-pelan (kalau bisa, pakai hati), menulis pun harus
pelan-pelan, serta memaknai sebuah wacana pun haruslah pelan-pelan. ‘Pelan
tapi pasti’. Mungkin tiga kata tersebut sangatlah perperan pada
kegiatan seorang penulis. Menulis tidak hanya mediatasi, tetapi juga
belajar sabar dalam hal apapun. Memang,
untuk mendapatkan sesuatu kita mulai dengan kesabaran, kelak kesabaran itu akan
membuahkan hasil, yaitu sesuatu yang luar biasa “kebahagiaan”.
Seorang penulis harus bisa menciptakan epicentrum atau
gravitasi (sesuatu yang menarik)
pada setiap goresan tangannya. Hal ini sebagai titik kekuatan tulisan seoarang
penulis. Kekuatan ini sangatlah penting, karena akan menentukan katertarikan
pembaca. Epicentrum pada tulisan atau wacana bisa terdapat pada paragraf pertama.
Tetapi, ada juga penulis yang menempatkan epicentrumnya pada paragraf-paragraf
selanjutnya.
Historian (Sejarahwan), Linguist (Ahli linguistik), dan Poet
(sastrawan). Ketiga ahli tersebut mempunyai misi yang sama, yaitu emngungkapkan
sesuatu yang tersembunyi. Tetapi, historian dan linguist menekankan pada aspek
akedemik.
Berbicara tentang literasi dan mengaitkan dengan ketiga ahli
tersebut, memanglah sangat berhubungan. Seperti yang sudah Saya bahas
sebelumnya, hanya orang-orang literatlah yang mampu menciptakan sejarah. Dengan
kata lain, orang literat tersebut adalah para Sejarahwan. Begitu hlny dengan
ahli linguistik. Seorang ahli linguistik tentu saja diharuskan utuk bisa
menjadi seorang yang literat. Dimana linguistik itu sendiri adalah sebuah ilmu
yang berhubungan dengan baca-tulis dan pula pengaplikasian teori tersebut. satu
lagi, sastrawan. Poet atau sastrawanatau disebut pula sebagai ahli bahasa,
tentu saja sangatlah berhubungan erat dengan literasi. Kegiatan literasi tidak
akan berjalan tanpa adanya bahasa. Dimana tugas sastrawan tidak berbeda dengan
karya sejarah, yaitu menemukan daripada menciptakan. Seperti komentar Milan
Kundera (in L’Art duroman, 1986): ‘to write means for the poet to crush the
wall behind which something that was always there’.
Pada dasarnya kagiatan literasi berujung pada bahasa. Kiat
berbahasa terdiri atas kemampuan berfikir, menyimak, berbicara, membaca dan
menulis. kemampuan berfikirlah yang menjadi dasar untuk mencapai kemampuan
lainnya. Menurut teori Piaget, berfikir diperoleh terlebih dahulu kemudian
kemampuan berbahasa. Berfikir merupakan elemen dasar dalam kegiatan berbahasa.
Sehingga, berfikir menempati posisi yag sangat penting sebagai strategi dalam
proses berbahasa, baik reseptif maupun ekspresif, yang pada prosesnya
diperlukan unit dasar kognisi serta mekanismenya.
Dapat disimpulkan bahwasannya, seorang penulis (historian,
linguist, dan poet) harus mampu mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi, begitu
pun kita. Untuk menjadi penulis ynag baik pula harus bisa menghindari instanity
(segala sesuatu yang berbau instan). Dalam hal ini, seorang penulis tidak
sembarang mengambil suatu data atau informasi, tetapi harus dikaji terlebih
dahulu. Untuk kegiatan seorang penulis, kita diwajibkan membaca. Tetapi pada
dasarnya kegiatan seorang penulis tidak boleh dikerjakan secara buru-buru,
tetapi kita harus mengerjakannya secara pelan-pelan. Membaca haruslah
pelan-pelan, menulis pun haruslah pelan-pelan, serta memaknai sebuah wacana
ataupun materi pun haruslah pelan-pelan, tujuan dari kegiatan ini yaitu agar
tercapainya suatu hasil yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic