Enam
yang Menghujam
author : Ema Wilianti Dewi
Petir bergelegar riang malam ini.
Mungkin petir rindu bermain di angkasa sana dan makhluk bumi pun seakan rindu
dengar gelegarnya yang dahsyat. Bersama riuhnya suasana malam hari ini, berusaha
saya menuangkan ide dalam sebuah tulisan dan melihat kertas putih tergoreskan.
Seperti biasa, untuk menuangkan sebuah ide membutuhkan suatu perjuangan yang
luar biasa hebat.
Selasa, 11 maret 2014 merupakan hari
perkuliahan writing 4 yang ke enam. Pembahasan semakin rumit dan semakin
membahana. Tulisan-tulisan yang harus dibuat sudah merasuk, menghujam, dan
menusuk ke arah academic writing. Banyak mahasiswa yang katanya tidak kuat
menghadapi segala tantangan yang di sodorkan oleh mata kuliah ini, tetapi banyak
juga yang tetap berjuang untuk bertahan. Pertemuan ke enam ini memang
benar-benar menghujam, tak terbayang akan seperti apa pertemuan yang
selanjutnya akan berlangsung.
Pada
class review kali ini ada beberapa hal
yang akan saya bahas. Seperti biasa, Mr. Lala selalu menuliskan quote of the day
pada slide yang dibuatnya. Quote of the day hari itu adalah Katanya, tugas mereka yang tercerahkan--kaum
literat--adalah meneroka ceruk-ceruk 'baru' tempat pengetahuan dan
keterampilan yang mereka pungut, kumpulkan dan kuasai dalam perjalanan hidupnya
sebagai bagian sederhana dari cinta mereka pada pengetahuan dan pemberi
pengetahuan. Mereka yang hanya baru tahu teori ini dan itu dari 'suara-suara
penuh kuasa' di bidang yang mereka geluti, belumlah dapat dikatakan yang
tercerahkan--literat; mereka baru pada fase awal; peniru.
Meniru adalah bagian
penting dari menemukan lalu menciptakan, dari memahami affordance dan meaning
potential tanda-tanda yang terserak, yang dibaca dengan teori
ini dan itu. Yang berbahaya adalah ketika kita merasa sudah mendesiminasi, pun
meneroka padang-padang baru tempat segala teori yang dipahami digunakan,
padahal kita baru sampai pada tahap meniru. Lalu kita dengan pongahnya
mengatakan 'ini salahitu tak benar", tanpa dasar yang 'tak bergetar' pada
mereka yang berada di titik awal menjadi peniru. Kita merasa bahwa hapal saja
teori ini dan itu, telah membuat kita menjadi bagian dari "Rejim kebenaran
tak terbantahkan". Begitu banyak yang harus dipelajari, dipahami
lalu dimaknai; lebih banyak dari alasan menjadi sombong sebab apa yang baru
kita sedikit ketahui.
Terdapat
ayat utama yang terkandung pada quote diatas, yakni emulate > discover>
create. Orang-orang yang tercerahkan memulai jalannya dari fase meniru, seperti
yang tertulis di atas bahwa Meniru adalah bagian penting dari menemukan lalu menciptakan. Ayat utama ini
dihasilkan dari memahami affordance dan meaning potential yang merupakan
semogenesis.
Seseorang
yang tercerahkan sama dengan orang yang literat. Orang yang literat tentu bukan
hanya bertugas dan cerdas untuk baca tulis. Mr. Lala menginginkan kita semua
menjadi orang yang benar-benar tercerahkan dan yang paling penting adalah
memiliki kecintaan terhadap pengetahuan (the love of knowledge).
Akhir-akhir
ini kita banyak bicara tentang sejarah. Sejarah dapat berubah seiring dengan
perjalanan waktu. Perubahan ini tidak berlangsung secara instan, melainkan
membutuhkan waktu yang lama. Dengan kata lain, sejarah itu bersifat diachronic.
Sejarah itu
diakronis maksudnya memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu
sinkronis maksudnya melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sejarah akan
membicarakan satu peristiwa tertentu dengan tempat tertentu, dari waktu A
sampai waktu B.
Sejarah berupaya melihat segala
sesuatu dari sudut rentang waktu. Pendekatan diakronis
adalah salah satu yang menganalisis evolusi/perubahan
sesuatu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan seseorang untuk menilai
bagaimana bahwa sesuatu perubahan itu terjadi
sepanjang masa. Sejarawan akan menggunakan
pendekatan ini untuk menganalisis dampak perubahan variabel pada sesuatu,
sehingga memungkinkan sejarawan untuk mendalilkan MENGAPA keadaan tertentu
lahir dari keadaan sebelumnya atau MENGAPA keadaan tertentu berkembang /
berkelanjutan.
Berbicara
tentang sejarah juga, sejarah mengajarkan kita tentang nilai. Pada Fowler (1996: 10): “Like the historian critical linguist
aims to understand the values which underpin social, economic, and
political formations, and diachronically, changes in values and changes in
formaitons. Di kehidupan sehari-hari, kita hidup
dalam sebuah keluarga yang pasti memiliki nilai yang diterapkan dalam setiap
keluarga. Nilai-nilai ini dapat berupa nilai kejujuran, kedisiplinan dan moral.
Tak asing bila di dalam sebuah keluarga ada peraturan-peraturan yang harus di
taati, itu merupakan salah satu cara untuk menerapkan nilai.
Masih
berbicara tentang sejarah, Fowler
(1996: 12): “Ideology is of course both a medium and an instrument of
historical processes.” Proses dari
sejarah itu di dalamnya memuat suatu ideology. Dalam pengabadian sebuah sejarah
pun para sejarahwan memiliki ideology masing-masing dalam pengabadiannya. Ideologi sendiri merupakan kumpulan
ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy
pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan
"sains
tentang ide".
Ideologi dapat dianggap sebagai visi
yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu secara umum dan
beberapa arah filosofis, atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang
dominan pada seluruh anggota masyarakat.
Tujuan
utama di balik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses
pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya
sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat
konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik
mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir
yang eksplisit.
Pesan
yang terngiang dari pertemuan ke enam bersama Mr. Lala adalah dalam menulis,
kita harus memiliki ideologi. Pada pertemuan ke enam pula kita dilatih untuk
membangun thesis statement. Untuk melatih penerapan thesis statement dan
ideologi kami diminta oleh Mr. Lala untuk melakukan free writing di dalam
kelas. Berikut adalah karya saya,
Another Story of Columbus
Christopher
Columbus may have sacred image in the people’s mind. Many people believe that
he was the first founder of United States of America. People also believe that
he is the religious man and never do a mistake ever. Howard Zinn, try to open
many people’s mind and heart that Columbus is not as sacred as the people all
over the world have said. There are many controversies about the book that
written by Howard Zinn, the book’s title is “A
People's History of the United States.”
Dalam
tulisan di atas, saya sebenarnya tidak dapat menentukan apakah tulisan saya ini
sudah bersih dan sudah menonjolkan ideology saya sendiri atau belum. Saya masih
sangat membutuhkan bantuan orang lain untuk menilai tulisan saya. Siti Hurriyah
sebagai orang yang seharusnya menilai tulisan saya ini juga belum bisa menilai
secara objektif.
Pada
akhirnya kita tahu bahwa untuk menjadi seorang penulis yang tercerahkan kita
harus memiliki ideologi dalam menulis. Walaupun pada awalnya kita harus
melewati tahap sebagai peniru terlebih dahulu, tetapi pada akhirnya kita akan
dapat menciptakan sesuatu dari pencarian ceruk-ceruk baru informasi dan
pengetahuan. Dalam menulis pula, kita membutuhkan sentuhan pertama yang dapat
membuat tulisan kita “meledak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic