We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Selasa, 04 Maret 2014

Buku Sebagai Penyingsing Hijab Cakrawala (Critical Review 2)


Buku sejatinya merupakan jendela dunia dan ilmu pengetahuan.  Melalui buku kita bisa mendapatkan wawasan luas tentang segala hal, dari mulai hal yang terkecil hingga hal yang luar biasa. Melalui buku, teori relativitasnya Einstein mampu meledakkan kota Hiroshima.  Bahkan, short message service (SMS) pun menggunakan kode-kode digital yang awalnya dipelajari lewat buku.  Secara sederhana, buku bisa membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab cakrawala. Ketika tak ada lagi aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku, maka saat itulah peradaban akan hancur berkeping-keping, seperti halnya peradaban Islam, yang sempat tertutupi kemajuan pengetahun Eropa.  Buku tidak akan ada gunanya jika tanpa aktivitas membaca. Yang ada buku hanya akan menjadi replika tak berarti yang terpampang di perpustakaan.  Dari buku inilah kita bisa membaca, merefleksikan kehidupan dan selebihnya mampu menulis. Seperti dikatakan penyair Amerika, Henry David Thoreau, "Kita dapat mengubah dunia dengan membaca buku" (Walden: Reading. 1854).  Dengan kata lain, sebuah bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan buku dan aktivitas membaca. 
Berbicara mengenai aktivitas membaca dan menulis, beberapa waktu silam, salah seorang wartawati kelas dunia mengungkapkan alasannya mengapa ia membaca, dalam sebuah majalah yang pernah dibaca oleh Umar Hadi.  Dalam ungkapan tersebut ia berkata, “I red because I want to change the society”.  Alasan mengapa ia membaca yaitu karena ia ingin mengubah masyarakat.  Bahkan cara pandang ia terhadap membaca bisa dibilang sangat mengesanan, karena baginya membaca tidak hanya sekedar untuk mengisi waktu luang, menambah ilmu pengetahuan atau pun menghibur diri.  Namun lebih dari itu, baginya membaca adalah aktivitas dan proses kreatif yang bisa mengubah arah dan jalannya sejarah.  Bahkan jika seseorang telah menguasai teks (baca-tulis), maka ia akan mampu memanipulasi atau pun memutarbalikkan sejarah, karena tak dapat dipungkiri bahwa jalannya sejarah, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh aktivitas membaca.  
Sebagai bukti empiris, salah satu contohnya yaitu sejarah pada masa peradaban Islam.  Pada masa tersebut, para penulis sejarah Islam sepakat, bahwa titik tolak sejarah peradaban Islam dimulai dari peristiwa turunnya wahyu pertama kepada nabi Muhammad di gua Hira.  Wahyu pertama yang terdapat dalam surah al-alaq itu, ternyata diawali dengan perintah iqra’(bacalah), bukan perintah sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya.  Para ahli tafsir mengatakan: “mengapa ayat pertama itu diawali dengan perintah membaca?, karena membaca adalah miftaahul ma’rifah (kunci pengetahuan)”. Ayat inilah yang menjadi embrio peradaban Islam melalui budaya literasi (literacy culture) yang kuat.  Menurut agama Islam,  membaca adalah kewajiban yang bersifat individual sebagai konsekuesi penciptaan kita sebagai manusia.  Maka tidak mengherankan, ada banyak ribuan ilmuan yang lahir dari rahim peradaban Islam. Bahkan, peradaban Barat banyak mendapatkan sumbangsih dari peradaban Islam dalam bidang ilmu pengetahuan seperti yang diakui oleh Ilmuan Barat sendiri, misalnya pengakuan Goerge Sarton dalam bukunya  bertajuk introduction to the history of science.  Fakta ini dapat memperkuat gagasan kita akan pentingnya membangun budaya literasi untuk menciptakan masa depan peradaban Indonesia yang lebih bermartabat, unggul,  dan kompetitif dengan bangsa-bangsa lain. Sampai pada tahap ini, mudah-mudahan kita masih meyakini asumsi tersebut.
Setelah membaca tulisan Howard Zinn yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books”, dalam artikelnya beliau terlebih dahulu membahas perihal isu-isu krusial yang berkaitan dengan menulis.  Diantaranya, apa manfaatnya?, apa efek tidak dimilikinya?, apakah itu membantu mengubah dunia?, kemudian untuk apa orang-orang menulis? apakah hanya sebatas memajukan diri secara profesional atau hanya untuk mendapatkan sebuah buku yang diterbitkan? Selain itu, dalam artikel tersebut beliau juga menceritakan sedikit tentang pengalaman hidupnya yang berubah karena buku. Ketika orang-orang bertanya apa yang membuatnya seperti sekarang? Beliau hanya menjawab bahwa bukulah yang membuatnya seperti sekarang ini, menjadi seorang aktivis dengan kesadaran sosial. Baginya, buku dapat merubah seseorang, karena apa yang ia baca akan berdampak pada cara pemikirannya atau lingkungannya. Disamping itu, buku memiliki dampak yang dapat merubah hidup para pembacanya seperti pemikiran, mindset, paradigma, sampai tingkah laku mereka sekalipun.  Bahkan lebih dari itu, buku juga dapat memutarbalikkan fakta yang ada meskipun itu adalah sejarah. Hal ini bisa saja terjadi karena masih banyak orang yang tidak peduli bahwa tulisan yang mereka baca itu adalah fakta atau hanya omong kosong semata.  
Sebenarnya, Speaking Truth to Power itu sendiri merupakan sebuah frasa yang diciptakan oleh Quaker di pertengahan tahun 1950-an. Melalui frasa tersebut, beliau ingin mempromosikan pasifisme, dengan keyakinan bahwa cinta bisa mengatasi kebencian.  Hal tersebut merupakan panggilan bagi Amerika Serikat untuk berdiri teguh melawan fasisme dimana frasa ini merupakan frasa yang tampaknya membuat bingung hak politik.  Secara garis besar, artikel “Speaking Truth to Power with Books” ini mengajarkan kita agar bisa berperilaku jujur untuk menyatakan suatu kebenaran, tentang kenyataan yang mungkin tidak diketahui oleh orang-orang di seluruh dunia.  Terutama masalah sejarah peradaban manusia yang seharusnya kita benahi dari sekarang, karena belakangan ini banyak penulis yang sudah tidak lagi menulis secara objektif. Seperti apa yang dikatakan oleh Howard Zinn, arti dari Speaking Truth sendiri adalah  berbicara tentang kebenaran suatu keadaan yang sebenar-benarnya tanpa ada pembelokan cerita atau penyembunyian cerita.  Apalagi dibelakangnya didalangi oleh sebuah birokrasi demi suatu kepentingan. Mereka bahkan tidak peduli apakah yang mendengarkan akan menyimak atau tidak, yang terpenting bagi mereka adalah mereka telah selesai menyampaikan sesuai dengan kepentingan mereka.
Sebelum masuk ke pembahasan lebih lanjut, ada baiknya jika saya paparkan terlebih dahulu tentang siapa sebenarnya sosok penulis artikel yang berjudul Speaking Truth to Power with Books” ini. 


 Howard Zinn dikenal sebagai orang pertama yang menentang perang Vietnam.  Dia adalah seorang sejarawan yang sentiasa mencabar status quo.  Bukunya, A people history of United States of America” melihat sejarah Amerika Serikat dari sudut kiri.  Bahkan dalam bukunya ia menganggap Christopher Columbus dan gerombolannya itu telah melakukan genocide (pembunuhan yang melenyapkan suatu bangsa atau kaum).  Menurutnya sejarah Amerika Serikat adalah sejarah orang-orang kecil, bukan sejarah para presidennya dari mulai Andrew Jackson hingga Franklin Rooseevelt.  Zinn melihat sejarah ini sebagai sejarah perlawanan perhambaan, hak orang asal Red Indian, watak-watak kaum buruh, gerakan hak-hak sivil dan politik warga A.S, feminis serta wira-wira perlawanan anti perang.  Selain itu, ia juga merupakan seorang Yahudi yang jelas pendirian terhadap Anti Israel dan Anti Zionis.  Hampir seluruh karya-karya akademiknya, wawancara, tulisan atau syarahannya yang mengeritik pentabiran A.S sebagai Negara industri perang Amerika dan dasar imperialisme A.S sejak dari Vietnam, Panama, Granada, Palestin hinggalah ke Afghanistan dan Iraq.  Howard Zinn meninggal dunia pada usia 87 tahun.  Itulah sekilas penjelasan tentang siapa sebenarnya Howard Zinn.
Masih terngiang-ngiang di telinga kita bahwa “Orang yang mampu menulis adalah orang yang mampu mengukir sejarah”Howard Zinn adalah salah satu orang  yang dapat melakukan hal itu. Dalam bukunya yang berjudul A People’s History of the United States”, ia sangat berani  mengungkap sisi gelap benua Amerika, yang tak sedikit menuai protes dari berbagai pihak tidak hanya dari rakyat Amerika namun juga dari seluruh dunia.  Bahkan tak tanggung-tanggung yang menjadi sasaran utamanya yaitu Christoper Columbus.  Dalam bukunya, ia mematahkan segala pemikiran orang-orang yang beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover atau penemu pertama benua Amerika, selain itu mereka juga menganggap bahwa ia adalah seorang pahlawan. Dulu sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA, saya pun ikut beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover atau penemu pertama benua Amerika.  Pada saat itu, saya langsung percaya begitu saja bahwa hal itu benar adanya.   Namun setelah saya membaca artikel yang ditulis oleh Howard Zinn, ternyata ada hal yang cukup membuat saya kaget. 


Dalam artikelnya, beliau mengatakan bahwa Columbus adalah seorang pembunuh, penyiksa, penculik, dan munafik.  Hal ini membuat saya ragu dan bingung, apakah saya harus mempercayai ungkapan tersebut atau justru malah lebih percaya dengan ungkapan sebelumnya bahwa Christoper Columbus tidak sesuai dengan apa yang diungkapan oleh Howard Zinn.  Mengapa demikian? Karena ungkapan tersebut sangat bertentangan dengan semua buku yang mengungkapkan bahwa Columbus adalah seorang pembaca Alkitab yang saleh.  Meskipun tujuan beliau pada awalnya hanya untuk memberikan suasana baru atau mengejutkan pembaca, namun hal ini justru malah memberi dampak besar terhadap pola pikir setiap orang yang ada di dunia ini,  Terlebih lagi jika berdampak terhadap dunia pendidikan, karena ungkapan tersebut dapat mempengaruhi pola fikir anak-anak yang membaca buku beliau, dan dampaknya akan terus berlanjut ke generasi selanjutnya. 
Buku itu tidak hanya dapat memberikan dampak yang baik terhadap kehidupan manusia tetapi juga dapat berdampak buruk.  Namun sejatinya, buku cenderung lebih banyak memberikan pengaruh baik terhadap kehidupan manusia jika dibandingkan dengan pengaruh buruknya.  Selain itu, buku juga dapat menjadikan pola fikir manusia yang lebih baik dengan banyaknya pengetahuan yang ada di dalamnya, karena sebagian dari kita meyakini bahwa 90% pernyataan yang ada di dalam buku itu benar adanya.  Meskipun demikian, sebagai seorang pembaca seharusnya kita bisa berpikir secara kritis, sebab sangatlah naif jika hanya dengan membaca sebuah buku saja kita langsung percaya dengan apa yang kita baca.  Kita tidak bisa mengklaim bahwa sesuatu yang ditulis dalam buku itu benar adanya, tanpa adanya rujukan buku lain.  Kita baru akan tahu benar atau salahnya isi dalam buku tersebut, jika kita membaca buku-buku yang lainnya yang merujuk kepada buku yang telah dibaca sebelumnya, dan seterusnya seperti itu. Seperti halnya contoh kasus diatas, masyarakat bisa tahu sesuatu yang sebenarnya setelah membaca buku. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang membaca dengan rujukan buku lain. 
Howard Zinn lewat artikelnya pun pernah menulis soal kekuatan sebuah buku yang dapat mengubah pemikiran manusia. Dengan kata lain, buku bisa merubah pemikiran dan kesadaran seseorang akan suatu hal yang Ia baca dan pastinya juga dapat menunjukan kebenaran atau kesalahan.  Oleh karena itu, semua peristiwa di dunia ini terutama sejarah mungkin saja akan menjadi salah ketika orang yang membacanya lebih teliti serta cermat dan mencari referensi dari buku lainnya. Itu dikarenakan setiap penulis memiliki ideologi atau sudut pandang masing-masing terhadap suatu peristiwa.  Lalu, apa yang membuat Howard Zinn berbeda dengan yang lainnya? Bukankah ia sama mengambil sebuah pilihan ideologis ketika menulis dalam bukunya? Alasannya yaitu karena ia jujur dalam mengungkap keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca tentang posisinya.
Selain itu, dalam artikelnya yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books”, beliau juga mengatakan bahwa “…first led me to consider that we are not one great family in this country…”.  Ungkapan di atas memilki maksud bahwa kita adalah manusia yang pada hakikatnya membutuhkan orang lain. Kita hidup didunia memang bukan dari sebuah keluarga besar dari suatu Negara, akan tetapi kita adalah sebuah keluarga yang harus mewujudkan tujuan bangsa yaitu saling rukun antara satu dengan yang lainnya. Dengan menulis kita juga dapat menjadi sebuah keluarga. Jika kita menganggap bahwa kita tidak satu keluarga di dunia ini, maka akan menjadi apa dunia ini? Menulis itu mampu berinteraksi dengan dunia luar, contohnya jika kita menjadi seorang penulis. Kita dapat mengungkap kepedulian kita terhadap masyarakat yang kurang mampu atau terkena bencana.  Jika kita berada pada posisi mereka sebagai warga yang kurang mampu.  Maka secara tidak langsung kita merasakan apa yang mereka rasakan. Itulah arti dari sebuah keluarga yang dapat diungkapkan dalam sebuah tulisan.
Meskipun apa yang disampaikan oleh Howard Zinn ada banyak benarnya, namun “Speaking Truth to Power with Books” masih belum bisa terlihat di semua bangsa termasuk di Indonesia. Dalam hal ini, buku belum menjadi kebutuhan primer atau pokok di Negara Indonesia.  Padahal sejatinya, bukulah yang merupakan sumber dari peradaban itu sendiri.  Itulah mengapa bangsa ini masih sangat tertinggal dengan bangsa lainnya.  Hal itu disebabkan oleh masyarakatnya sendiri yang acuh tak acuh terhadap teks, ini juga yang menjadi cikal bakal mengapa orang Indonesia tidak suka sejarah. Bagaimana jika ada yang mempropagandakan sejarah, mungkin Negara ini akan bisu karena tidak ada ahli dalam hal tersebut. Itulah mengapa buku adalah sesuatu yang powerful, dan pembaca adalah jantungnya, karena pembacalah yang menghidupkan makna-maknanya.
Kegiatan mengungkapkan masa lampau yang berdasarkan pada naskah (atau bahkan tradisi, termasuk mitologi) itu ternyata memberikan peluang kepada kita untuk mencoba merenungkan, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua kisah yang dikandungnya itu. Apalagi Indonesia berdiri dengan sejarah yang panjang dan juga beragam. Seyogianya membuat kita lebih terpacu lagi dalam melakukan Speaking Truth to Power with Book. Mulai dari hal terkecil seperti senang membaca, lebih baik lagi jika sampai pada tahap menganalisis dan menkritisi.
Peranan kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama pada saat sebuah Negara sibuk dengan pembangunan ekonomi.  Hal ini menimpa juga Negara kita yaitu Negara Indonesia.  Di satu sisi, para penguasa Negara kita kerap kali merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan beberapa kebijakan politik yang menyangkut aspe-aspe kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.  Mereka cenderung menganggap sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kinerja pemerintah, mengecam para politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup.  Namun di sisi lain, masyarakat umum memandang bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra hanya sekedar berisi lamunan dan kata-kata indah saja.
Akan tetapi, John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengumumkan bahwa jika kekuasaan membawa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan keterbatasan manusia.  Jika kekuasaan mempersempit kepedulian kita, maka puisi dapat mengingatkan manusia akan kaya dan beragamnya eksistensi manusia.  Jika kekuasaan kotor, maka puisi akan  membersihkannya.  Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai penyeimbang atau bahkan anti toksin bagi penguasa dan kekuasaan.
Oleh karena itu, Mohammad Iqbal, seorang penyair dan filsuf terkenal yang berasal dari Pakistan, mengemukakan bahwa Negara lahir justru dari tangan para penyair atau penulis.  Bagi setiap bangsa, pada umumnya ungkapan tersebut benar secara metafosis.  Namun, bagi bangsa-bangsa yang terjajah, khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahan benar secara faktual.  Kelahiran  sastra Indoneisa tidak dapat dipisahkan dari gejolak-gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang lahirnya Negara Indonesia di awal abad ke-20.
Dari uraian yang telah saya paparkan di atas pada intinya membahas tentang sejauh mana  buku dapat mempengaruhi dan merubah hidup kita.  Tidak hanya mempengaruhi dan merubah hidup kita saja, akan tetapi juga bisa membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab cakrawala. Ketika tak ada lagi aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku, maka saat itulah peradaban akan hancur berkeping-keping, seperti halnya peradaban Islam, yang sempat tertutupi kemajuan pengetahun Eropa.  Buku tidak akan ada gunanya jika tanpa aktivitas membaca. Yang ada buku hanya akan menjadi replika tak berarti yang terpampang di perpustakaan.  Dari buku inilah kita bisa membaca, merefleksikan kehidupan dan selebihnya mampu menulis. 
Kemudian Howard Zinn berpendapat bahwa secara garis besar, artikel “Speaking Truth to Power with Books” ini mengajarkan kita agar bisa berperilaku jujur untuk menyatakan suatu kebenaran, tentang kenyataan yang mungkin tidak diketahui oleh orang-orang di seluruh dunia.  Terutama masalah sejarah peradaban manusia yang seharusnya kita benahi dari sekarang, karena belakangan ini banyak penulis yang sudah tidak lagi menulis secara objektif.   Dengan membaca artikel Howard Zinn ini dapat membuka mata dan pemikiran kita bahwa Speaking Truth to Power Speaking Truth sendiri adalah  berbicara tentang kebenaran suatu keadaan yang sebenar-benarnya tanpa adanya pembelokan cerita atau penyembunyian cerita.  Apalagi jika dibelakangnya didalangi oleh sebuah birokrasi demi suatu kepentingan.  Oleh karena itu, baik Speaking Truth maupun dan apapun responnya, keduanya perlu dilakukan.  Apalagi mengenai hal yang sensitif seperti sejarah. Bukulah yang menjadi alatnya, benda yang satu ini biasa dibuat oleh para sastrawan, kaum intelektualitas, akademisi, pemikir, kritikus. Yang merupakan agen dalam pembentukan suatu peradaban. Gagasannya, pemikirannya, kiprahnya, dan tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan yang lebih luas. Buku merupakan sebuah paket lengkap untuk mengubah dunia ini.  Makin kecil peranan pujangga, maka makin kecil pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala imajinasinya dan menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan.


Referensi
 http://id.wikipedia.org/wiki/Kristoforus_Kolumbus diakses pada tanggal 1 Maret 2014
diakses pada tanggal 2 Maret 2014
diakses pada tanggal 1 Maret 2014
  http://www.klik-galamedia.com/kesadaran-membaca-buku diakses pada tanggal 1 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic