Buku sejatinya merupakan jendela dunia
dan ilmu pengetahuan. Melalui buku kita
bisa mendapatkan wawasan luas tentang segala hal, dari mulai hal yang terkecil
hingga hal yang luar biasa. Melalui buku, teori relativitasnya Einstein mampu
meledakkan kota Hiroshima. Bahkan, short
message service (SMS) pun menggunakan kode-kode digital yang awalnya dipelajari
lewat buku. Secara sederhana, buku bisa
membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab cakrawala. Ketika tak ada lagi
aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku, maka saat itulah peradaban
akan hancur berkeping-keping, seperti halnya peradaban Islam, yang sempat
tertutupi kemajuan pengetahun Eropa. Buku
tidak akan ada gunanya jika tanpa aktivitas membaca. Yang ada buku hanya akan
menjadi replika tak berarti yang terpampang di perpustakaan. Dari buku inilah kita bisa membaca, merefleksikan
kehidupan dan selebihnya mampu menulis. Seperti dikatakan penyair Amerika,
Henry David Thoreau, "Kita dapat mengubah dunia dengan membaca buku"
(Walden: Reading. 1854). Dengan
kata lain, sebuah bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan buku dan
aktivitas membaca.
Berbicara mengenai aktivitas membaca
dan menulis, beberapa waktu silam, salah seorang wartawati kelas dunia
mengungkapkan alasannya mengapa ia membaca, dalam sebuah majalah yang pernah
dibaca oleh Umar Hadi. Dalam ungkapan
tersebut ia berkata, “I red because I want to change the society”. Alasan mengapa ia membaca yaitu karena ia
ingin mengubah masyarakat. Bahkan cara
pandang ia terhadap membaca bisa dibilang sangat mengesanan, karena baginya
membaca tidak hanya sekedar untuk mengisi waktu luang, menambah ilmu
pengetahuan atau pun menghibur diri.
Namun lebih dari itu, baginya membaca adalah aktivitas dan proses
kreatif yang bisa mengubah arah dan jalannya sejarah. Bahkan jika seseorang telah menguasai teks (baca-tulis), maka
ia akan mampu memanipulasi atau pun memutarbalikkan sejarah, karena tak dapat dipungkiri bahwa jalannya
sejarah, sedikit banyaknya dipengaruhi oleh aktivitas membaca.
Sebagai bukti empiris, salah satu
contohnya yaitu sejarah pada masa peradaban Islam. Pada masa tersebut, para penulis
sejarah Islam sepakat, bahwa titik tolak sejarah peradaban Islam dimulai dari
peristiwa turunnya wahyu pertama kepada nabi Muhammad di gua Hira. Wahyu pertama yang terdapat dalam surah
al-alaq itu, ternyata diawali dengan perintah iqra’(bacalah), bukan
perintah sholat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Para ahli tafsir mengatakan: “mengapa ayat
pertama itu diawali dengan perintah membaca?, karena membaca adalah miftaahul
ma’rifah (kunci pengetahuan)”. Ayat inilah yang menjadi embrio
peradaban Islam melalui budaya literasi (literacy culture) yang
kuat. Menurut agama Islam, membaca adalah kewajiban yang bersifat
individual sebagai konsekuesi penciptaan kita sebagai manusia. Maka tidak
mengherankan, ada banyak ribuan ilmuan yang lahir dari rahim peradaban Islam.
Bahkan, peradaban Barat banyak mendapatkan sumbangsih dari peradaban Islam
dalam bidang ilmu pengetahuan seperti yang diakui oleh Ilmuan Barat sendiri,
misalnya pengakuan Goerge Sarton dalam bukunya bertajuk introduction
to the history of science. Fakta
ini dapat memperkuat gagasan kita akan pentingnya membangun budaya literasi
untuk menciptakan masa depan peradaban Indonesia yang lebih bermartabat,
unggul, dan kompetitif dengan bangsa-bangsa lain. Sampai pada tahap ini,
mudah-mudahan kita masih meyakini asumsi tersebut.
Setelah membaca tulisan Howard Zinn yang
berjudul “Speaking Truth to Power with Books”, dalam artikelnya beliau
terlebih dahulu membahas perihal isu-isu krusial yang
berkaitan dengan menulis. Diantaranya, apa manfaatnya?, apa efek
tidak dimilikinya?, apakah itu membantu mengubah dunia?, kemudian untuk apa orang-orang menulis? apakah
hanya sebatas memajukan diri secara profesional atau hanya untuk
mendapatkan sebuah buku yang diterbitkan? Selain itu, dalam artikel tersebut
beliau juga menceritakan sedikit tentang pengalaman hidupnya yang berubah
karena buku. Ketika orang-orang bertanya apa yang membuatnya seperti sekarang?
Beliau hanya menjawab bahwa bukulah yang membuatnya seperti sekarang ini, menjadi
seorang aktivis dengan kesadaran sosial. Baginya, buku dapat merubah seseorang, karena apa
yang ia baca akan berdampak pada cara pemikirannya atau lingkungannya. Disamping
itu, buku memiliki dampak yang dapat merubah hidup para pembacanya seperti pemikiran,
mindset, paradigma, sampai tingkah laku mereka sekalipun. Bahkan lebih
dari itu, buku juga dapat
memutarbalikkan fakta yang ada meskipun itu adalah sejarah. Hal ini bisa saja terjadi karena masih banyak orang yang tidak peduli bahwa tulisan yang
mereka baca itu adalah fakta atau hanya omong kosong semata.
Sebenarnya, Speaking
Truth to Power itu sendiri
merupakan sebuah frasa yang diciptakan oleh Quaker di pertengahan tahun
1950-an. Melalui
frasa tersebut, beliau ingin mempromosikan pasifisme, dengan keyakinan bahwa
cinta bisa mengatasi kebencian. Hal
tersebut merupakan
panggilan bagi Amerika Serikat untuk berdiri teguh
melawan fasisme dimana
frasa ini merupakan
frasa yang tampaknya membuat bingung hak politik. Secara garis besar, artikel
“Speaking Truth to Power with Books” ini mengajarkan kita
agar bisa berperilaku jujur untuk menyatakan suatu kebenaran, tentang kenyataan
yang mungkin tidak diketahui oleh orang-orang di seluruh dunia. Terutama masalah sejarah peradaban manusia
yang seharusnya kita benahi dari sekarang, karena belakangan ini banyak penulis
yang sudah tidak lagi menulis secara objektif. Seperti apa yang dikatakan oleh
Howard Zinn, arti dari Speaking Truth sendiri adalah berbicara
tentang kebenaran suatu keadaan yang sebenar-benarnya tanpa ada pembelokan
cerita atau penyembunyian cerita. Apalagi
dibelakangnya didalangi oleh sebuah birokrasi demi suatu kepentingan. Mereka
bahkan tidak peduli apakah yang mendengarkan akan menyimak atau tidak, yang terpenting
bagi mereka adalah mereka telah selesai menyampaikan sesuai dengan kepentingan
mereka.
Sebelum
masuk ke pembahasan lebih lanjut, ada baiknya jika saya paparkan terlebih
dahulu tentang siapa sebenarnya sosok penulis artikel yang berjudul “Speaking Truth to Power with Books”
ini.
Howard Zinn dikenal sebagai
orang pertama yang menentang perang Vietnam.
Dia adalah seorang sejarawan yang sentiasa mencabar status quo. Bukunya, “A people
history of United States of America” melihat sejarah Amerika
Serikat dari sudut kiri. Bahkan dalam
bukunya ia menganggap Christopher Columbus dan gerombolannya itu telah
melakukan genocide (pembunuhan yang melenyapkan suatu bangsa atau kaum). Menurutnya
sejarah Amerika Serikat adalah sejarah orang-orang kecil, bukan sejarah para
presidennya dari mulai Andrew Jackson hingga Franklin Rooseevelt. Zinn melihat sejarah ini sebagai sejarah
perlawanan perhambaan, hak orang asal Red Indian, watak-watak kaum buruh,
gerakan hak-hak sivil dan politik warga A.S, feminis serta wira-wira perlawanan
anti perang. Selain itu, ia juga
merupakan seorang Yahudi yang jelas pendirian terhadap Anti Israel dan Anti
Zionis. Hampir seluruh karya-karya
akademiknya, wawancara, tulisan atau syarahannya yang mengeritik pentabiran A.S
sebagai Negara industri perang Amerika dan dasar imperialisme A.S sejak dari
Vietnam, Panama, Granada, Palestin hinggalah ke Afghanistan dan Iraq. Howard Zinn
meninggal dunia pada usia 87 tahun.
Itulah sekilas penjelasan tentang siapa sebenarnya Howard Zinn.
Masih terngiang-ngiang di telinga kita bahwa “Orang yang mampu menulis adalah orang yang mampu
mengukir sejarah”. Howard Zinn adalah salah satu
orang yang dapat melakukan hal itu. Dalam bukunya yang berjudul “A People’s History of the United
States”, ia sangat berani mengungkap sisi gelap benua Amerika, yang tak sedikit menuai
protes dari berbagai pihak tidak hanya dari rakyat Amerika namun juga dari
seluruh dunia. Bahkan tak
tanggung-tanggung yang menjadi sasaran utamanya yaitu Christoper Columbus. Dalam bukunya, ia mematahkan segala pemikiran
orang-orang yang beranggapan bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover
atau penemu pertama benua Amerika, selain itu mereka juga menganggap bahwa ia
adalah seorang pahlawan. Dulu
sewaktu saya duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA, saya pun ikut beranggapan
bahwa Christoper Columbus adalah seorang discover atau penemu pertama benua Amerika. Pada saat itu, saya langsung percaya begitu
saja bahwa hal itu benar adanya. Namun
setelah saya membaca artikel yang ditulis oleh Howard
Zinn, ternyata ada hal yang cukup membuat saya kaget.
Dalam
artikelnya, beliau
mengatakan bahwa Columbus adalah seorang pembunuh, penyiksa, penculik, dan
munafik. Hal ini membuat saya ragu dan
bingung, apakah saya harus mempercayai ungkapan tersebut atau justru malah
lebih percaya dengan ungkapan sebelumnya bahwa Christoper Columbus tidak sesuai dengan apa
yang diungkapan oleh Howard
Zinn. Mengapa demikian? Karena ungkapan
tersebut sangat bertentangan dengan semua buku
yang mengungkapkan bahwa Columbus adalah seorang pembaca Alkitab yang saleh. Meskipun tujuan beliau pada awalnya
hanya untuk memberikan suasana baru atau mengejutkan pembaca, namun hal ini justru
malah memberi dampak besar terhadap pola pikir setiap orang yang ada di dunia
ini, Terlebih lagi jika berdampak
terhadap dunia pendidikan, karena ungkapan tersebut dapat mempengaruhi
pola fikir anak-anak yang membaca buku beliau, dan dampaknya akan terus
berlanjut ke generasi selanjutnya.
Buku itu tidak hanya dapat memberikan dampak yang baik terhadap
kehidupan manusia tetapi juga dapat berdampak buruk. Namun sejatinya, buku cenderung lebih banyak memberikan
pengaruh baik terhadap kehidupan manusia jika dibandingkan dengan pengaruh
buruknya. Selain itu, buku juga dapat
menjadikan pola fikir manusia yang lebih baik dengan banyaknya pengetahuan yang
ada di dalamnya, karena sebagian dari kita meyakini bahwa 90% pernyataan yang
ada di dalam buku itu benar adanya.
Meskipun demikian, sebagai
seorang pembaca seharusnya kita bisa berpikir secara kritis, sebab sangatlah naif jika hanya dengan membaca sebuah buku saja kita langsung
percaya dengan apa yang kita baca. Kita tidak bisa
mengklaim bahwa sesuatu yang ditulis dalam buku itu benar adanya, tanpa adanya
rujukan buku lain. Kita baru akan tahu benar atau salahnya isi dalam buku
tersebut, jika kita membaca buku-buku yang lainnya yang merujuk kepada buku
yang telah dibaca sebelumnya, dan seterusnya seperti itu. Seperti halnya
contoh kasus diatas, masyarakat bisa tahu sesuatu yang
sebenarnya setelah membaca buku. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang
membaca dengan rujukan buku lain.
Howard Zinn
lewat artikelnya pun pernah menulis soal kekuatan sebuah buku yang dapat
mengubah pemikiran manusia. Dengan kata lain, buku bisa merubah pemikiran dan
kesadaran seseorang akan suatu hal yang Ia baca dan pastinya juga dapat
menunjukan kebenaran atau kesalahan. Oleh karena itu, semua peristiwa di dunia ini terutama sejarah mungkin saja
akan menjadi salah ketika orang yang membacanya lebih teliti serta cermat dan
mencari referensi dari buku lainnya. Itu dikarenakan setiap penulis memiliki
ideologi atau sudut pandang masing-masing terhadap suatu peristiwa. Lalu, apa yang membuat Howard Zinn berbeda
dengan yang lainnya? Bukankah ia sama mengambil sebuah pilihan ideologis ketika
menulis dalam bukunya? Alasannya yaitu karena ia jujur dalam mengungkap
keberpihakannya. Zinn jelas tidak senaif mereka yang berbicara soal
objektifitas dalam narasi. Ia berpihak, dan sedari awal memperingatkan pembaca
tentang posisinya.
Selain itu, dalam artikelnya yang
berjudul “Speaking
Truth to Power with Books”, beliau juga mengatakan bahwa “…first led me to consider that we are not one great family in this
country…”. Ungkapan di atas memilki
maksud bahwa kita adalah manusia yang pada hakikatnya membutuhkan orang
lain. Kita hidup didunia memang bukan dari sebuah keluarga besar dari suatu Negara,
akan tetapi kita adalah sebuah keluarga yang harus mewujudkan tujuan bangsa
yaitu saling rukun antara satu dengan yang lainnya. Dengan menulis kita juga dapat
menjadi sebuah keluarga. Jika kita menganggap bahwa kita tidak satu keluarga di
dunia ini, maka akan menjadi apa dunia ini? Menulis itu mampu berinteraksi
dengan dunia luar, contohnya jika kita menjadi seorang penulis. Kita dapat mengungkap
kepedulian kita terhadap masyarakat yang kurang mampu atau terkena
bencana. Jika kita berada pada posisi
mereka sebagai warga yang kurang mampu.
Maka secara tidak langsung kita merasakan apa yang mereka rasakan.
Itulah arti dari sebuah keluarga yang dapat diungkapkan dalam sebuah tulisan.
Meskipun
apa yang disampaikan oleh Howard Zinn ada banyak benarnya, namun “Speaking Truth to Power with
Books” masih
belum
bisa terlihat di semua bangsa termasuk di Indonesia. Dalam hal ini, buku belum
menjadi kebutuhan primer atau pokok di Negara Indonesia. Padahal sejatinya, bukulah yang merupakan
sumber dari peradaban itu sendiri. Itulah mengapa bangsa ini masih sangat
tertinggal dengan bangsa lainnya. Hal itu
disebabkan oleh masyarakatnya sendiri yang acuh tak acuh terhadap teks, ini
juga yang menjadi cikal bakal mengapa orang Indonesia tidak suka sejarah.
Bagaimana jika ada yang mempropagandakan sejarah, mungkin Negara ini akan bisu
karena tidak ada ahli dalam hal tersebut. Itulah mengapa buku adalah sesuatu
yang powerful, dan pembaca adalah jantungnya, karena
pembacalah yang menghidupkan makna-maknanya.
Kegiatan
mengungkapkan masa lampau yang berdasarkan pada naskah (atau bahkan tradisi,
termasuk mitologi) itu ternyata memberikan peluang kepada kita untuk mencoba
merenungkan, apa yang sebenarnya tersembunyi di balik semua kisah yang
dikandungnya itu. Apalagi Indonesia berdiri dengan sejarah yang panjang dan
juga beragam. Seyogianya membuat kita lebih terpacu lagi dalam melakukan Speaking Truth to Power with Book.
Mulai dari hal terkecil seperti senang membaca, lebih baik lagi jika sampai
pada tahap menganalisis dan menkritisi.
Peranan
kesusastraan dalam kehidupan masyarakat tidak jarang dipertanyakan, terutama
pada saat sebuah Negara sibuk dengan pembangunan ekonomi. Hal ini menimpa juga Negara kita yaitu Negara
Indonesia. Di satu sisi, para penguasa Negara
kita kerap kali merasa terganggu oleh sikap sastrawan tentang pembangunan dan
beberapa kebijakan politik yang menyangkut aspe-aspe kehidupan sosial, ekonomi,
politik, dan budaya. Mereka cenderung menganggap
sastrawan hanya bisa mengkritik kebijakan dan kinerja pemerintah, mengecam para
politikus busuk, dan menghujat para pejabat korup. Namun di sisi lain, masyarakat umum memandang
bahwa peranan sastra dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat luas tidak
begitu jelas, atau bahkan menganggap sastra hanya sekedar berisi lamunan dan
kata-kata indah saja.
Akan
tetapi, John F. Kennedy, presiden Amerika Serikat yang legendaris, mengumumkan bahwa
jika kekuasaan membawa orang pada arogansi, puisi mengingatkan kita akan
keterbatasan manusia. Jika kekuasaan
mempersempit kepedulian kita, maka puisi dapat mengingatkan manusia akan kaya
dan beragamnya eksistensi manusia. Jika
kekuasaan kotor, maka puisi akan membersihkannya. Puisi dan sastra pada umumnya di mata Kennedy
adalah bagian penting dari kehidupan berbangsa sebagai penyeimbang atau bahkan
anti toksin bagi penguasa dan kekuasaan.
Oleh
karena itu, Mohammad Iqbal, seorang penyair dan filsuf terkenal yang berasal
dari Pakistan, mengemukakan bahwa Negara lahir justru dari tangan para penyair
atau penulis. Bagi setiap bangsa, pada
umumnya ungkapan tersebut benar secara metafosis. Namun, bagi bangsa-bangsa yang terjajah,
khususnya Indonesia, pernyataan Iqbal bahan benar secara faktual. Kelahiran sastra Indoneisa tidak dapat dipisahkan dari
gejolak-gejolak sosial-politik pada masa-masa berseminya gagasan tentang
lahirnya Negara Indonesia di awal abad ke-20.
Dari uraian yang telah saya paparkan
di atas pada intinya membahas tentang sejauh mana buku dapat mempengaruhi dan merubah hidup
kita. Tidak hanya mempengaruhi dan merubah
hidup kita saja, akan tetapi juga bisa membuka mata kita untuk menyingsingkan hijab
cakrawala. Ketika tak ada lagi aktivitas pergulatan antara manusia dengan buku,
maka saat itulah peradaban akan hancur berkeping-keping, seperti halnya
peradaban Islam, yang sempat tertutupi kemajuan pengetahun Eropa. Buku tidak akan ada gunanya jika tanpa
aktivitas membaca. Yang ada buku hanya akan menjadi replika tak berarti yang
terpampang di perpustakaan. Dari buku
inilah kita bisa membaca, merefleksikan kehidupan dan selebihnya mampu menulis.
Kemudian Howard Zinn berpendapat bahwa secara garis besar, artikel “Speaking Truth to Power with
Books” ini mengajarkan kita agar bisa berperilaku jujur untuk
menyatakan suatu kebenaran, tentang kenyataan yang mungkin tidak diketahui oleh
orang-orang di seluruh dunia. Terutama
masalah sejarah peradaban manusia yang seharusnya kita benahi dari sekarang,
karena belakangan ini banyak penulis yang sudah tidak lagi menulis secara
objektif. Dengan membaca artikel Howard Zinn ini dapat membuka
mata dan pemikiran kita bahwa Speaking Truth to Power Speaking Truth
sendiri adalah berbicara tentang kebenaran suatu keadaan yang
sebenar-benarnya tanpa adanya pembelokan cerita atau penyembunyian cerita. Apalagi jika dibelakangnya didalangi oleh
sebuah birokrasi demi suatu kepentingan. Oleh karena itu, baik Speaking Truth maupun
dan apapun responnya, keduanya perlu dilakukan. Apalagi mengenai hal yang sensitif seperti
sejarah. Bukulah yang menjadi alatnya, benda yang satu ini biasa dibuat oleh
para sastrawan, kaum intelektualitas, akademisi, pemikir, kritikus. Yang
merupakan agen dalam pembentukan suatu peradaban. Gagasannya, pemikirannya,
kiprahnya, dan tindakannya memberikan pengaruh dan dampak cukup luas khususnya
pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual,
sosial, politik, dan kebudayaan yang lebih luas. Buku merupakan sebuah paket
lengkap untuk mengubah dunia ini. Makin kecil peranan
pujangga, maka
makin kecil
pula peluang suatu bangsa untuk memperluas cakrawala imajinasinya dan menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam kehidupan.
Referensi
http://inspirasi.co/forum/post/3448/pengantar_buku_33_tokoh_sastra_paling_berpengaruh_oleh_tim_8#sthash.jQ917o6A.dpuf
diakses pada
tanggal 2 Maret 2014
diakses pada tanggal 2 Maret 2014
diakses pada tanggal 1 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic