CLASS REVIEW 7
Aku ingin menjadi seorang penulis. Mengukir
setiap kata dengan keindahan yang terdapat dalam setiap katanya. Merangkai satu
kata menjadi beribu kata mencipta sebuah makna. Gelap, itulah musuhku. Ketika
terangnya inspirasi sulit aku dapat, ketika sang tongkat imajinasi tak dapat
menorehkan secerca tinta diatas kertas putih. Inspirasi oksigenku, sebuah rasa,
imajinasi yang saling bersambung menjadi gelombang-gelombang dari radar dunia
dan cerita, ide-ide baru yang akan ku cipta. Mengukir cipta dan rasa dalam
jutaan kata yang saling berkaitan satu sama lain.
Selamat pagi titik-titik embun,
engkau senan tiasa memberi kesejukan di pagi hari. Walaupun kau tahu pada
saatnya nanti kau akan menghilang setibanya matahari. Hai burung, kegembiraan
senan tiasa terdengar merdunya suaramu. Ceria, gembira. Selasa pagi tanggal 18
Maret 2014 pukul 10.50 WIB bertempat di ruang 44 gedung PBI. Minggu ini
merupakan minggu ketujuh saya dan teman-teman PBI-C belajar mata kuliah Writing
and Composition 4 bersama Mr. Lala Bumela, M.Pd.
Pada pertemuan ketujuh minggu ini,
Mr. Lala Bumela, M.Pd membahas kembali sedikit materi yang telah disampaikan
beliau pada minggu lalu. Salah satu tugas utama penulis adalah
untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan
pemahaman baru menegenai
suatu hal yang belum pernah ditulis sebelumnya.
Menjangkau bentuk-bentuk baru
dari pemahaman meliputi
tiga tahap penting: emulate-discover-create.
Menulis adalah masalah menciptakan affordances dan mengeksplorasi
potensi makna. Menulis adalah sebuah semogenesis.
Pernyataan tesis merupakan
tahapan yang sangat penting untuk
membuat dialog awal dengan
pembaca.
Milan Kundera
comments (in L'Art duroman , 1986):
`to write,means for the poet to crush the wall behind which something that
``was always there'' hides. Menurut Milan Kundera,
arti menulis bagi penyair adalah seperti menghancurkan dinding untuk menemukan
dan melihat apa yang tersembunyi dibalik dinding tersebut. Dalam hal ini, tugas penyair
tidak berbeda dari karya sejarah, yang juga menemukan
daripada menciptakan.
Sejarah, seperti penyair,
mengungkapkan, dalam situasi yang selalu baru, kemungkinan manusia sampai sekarang tersembunyi.
Critical Linguistics merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap
relasi-relasi kuasa tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses
ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90).
Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat mengungkapkan signifikansi
kritis. Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang merealisasikan
“teks sebagai modus wacana” serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan
dapat melakukannya. CL mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi-fungsi yang sepenuhnya dan
dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris.
Fowler
sang pelopor secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistic ini. Untuk
menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata
deskriptif. Menurut Fowler (1996:5), model
linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar
misrepresentasi dan diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik.
Beberapa pandangan Halliday yang berpengaruh
terhadap pengembangan linguistik kritis dipaparkan berikut.
- Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik
Istilah linguistic
instrumental dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday
tentang konsep instrumental dalam linguistic fungsional-sistemik. Menurut Fowler (1996), linguistic fungsional sistemik
mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa
bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik
fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistic akan merespon
fungsi-fungsi linguistik itu.
Critical Linguist
memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata
antara lain dalam politik, media massa, komunikasi multikultural, perang,
iklan, dan relasi gender. Fowler sudah
merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang
untuk (i) memperoleh atau menemukan ideology yang dikodekan secara implisit di
belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati
ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3).
Pandangan
instrumental Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi
klasifikasi bahasa. Menurut Fowler (1986:19),
bahasa adalah medium efisien dalam pengodean kategori- kategori sosial. Bahasa
tidak hanya menyediakan kata-kata untuk konsep-konsep tertentu, bahasa juga
mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide itu. Fowler
menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih
menciptakan sebuah jaring makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif
tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah ideologi
atau teori dari penuturnya yang tentu
saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih merupakan kategori
kultural.
2.
Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday
mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks
budaya (Butt et al., 1999:11). Konteks
situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun
lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks
situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk
memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks
situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan
yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan
konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah
dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks
dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks . Untuk melihat bahasa
sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang
dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat
diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis
sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat
dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa
kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat
yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.
Gagasan bahwa ideologi berada dalam teks yang diusulkan
oleh Critical
Linguistic telah ditentang
oleh Fairclough (1992, 1995). Meskipun mengakui
bahwa memang benar bentuk dan isi teks yang menanggung jejak proses ideologi
dan struktur, Fairclough berpendapat bahwa tidak
mungkin untuk 'membacakan' ideologi dari teks. Fairclough
berpendapat pada ideologi, terletak baik dalam struktur yang merupakan hasil dari peristiwa masa
lalu dan kondisi untuk kejadian terkini, dan dalam peristiwa itu sendiri karena
mereka mereproduksi dan mengubah struktur pendingin mereka. Mengenai wacana
sebagai praktik sosial, Fairclough membahas
wacana dalam kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan. Dia mengambil pandangan
bahwa ideologi yang berarti dalam pelayanan kekuasaan, yaitu ideologi adalah
proposisi yang umumnya mencari asumsi sebagai tersirat dalam teks, yang
berkontribusi untuk memproduksi atau mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak
setara atau dominasi.
Asumsi sentral lain Critical Discourse
Analysis (CDA) dan Systemic
Functional Linguistics (SFL) adalah bahwa pembicara membuat pilihan mengenai kosa kata dan tata bahasa,
dan bahwa pilihan ini secara sadar atau tidak sadar "berprinsip dan
sistematis" (Fowler et al.,1979, hal. 188).
Jadi pilihan yang ideologis berbasis. Menurut Fowler et
al. ( 1979), "hubungan antara bentuk dan isi tidak sewenang-wenang
atau konvensional, tapi...bentuk menandakan isi" (hal. 188). Singkatnya,
bahasa adalah tindakan sosial dan itu didorong ideologis.
Setelah Halliday, praktisi CL ini melihat bahasa yang
digunakan secara simultan melakukan tiga fungsi: ideasional, interpersonal, dan tekstual fungsi. Menurut Fowler (1991, p. 71), dan Fairclough (1995b, p. 25),
sedangkan fungsi ideasional mengacu pada
pengalaman para pembicara dari dunia dan fenomena, fungsi antarpribadi mewujudkan
penyisipan sikap pembicara sendiri dan evaluasi tentang fenomena tersebut, dan
membangun hubungan antara pembicara dan pendengar. Instrumental untuk dua
fungsi ini adalah fungsi tekstual. Ini adalah melalui fungsi tekstual bahasa
yang speaker mampu menghasilkan teks yang dipahami oleh pendengar. Ini adalah
fungsi yang memungkinkan menghubungkan wacana untuk co-teks dan konteks di mana
hal itu terjadi.
Konsep hubungan bahasa dan kebudayaan menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf adalah hubungan
yang koordinatif, yaitu hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Menariknya
hipotesis dari dua pakar linguistik ini sangat kontroversial, yang dikenal
dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan lazim disebut relativitas bahasa (Inggris: linguistic
relativity). Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan mereka adalah hasil
penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot
ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam
hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana.
Isi
hipotesis tersebut mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak
budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu,
mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu
bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak
budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi,
perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari
perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama
sekali.
Jika bahasa itu mempengaruhi
kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu
bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Misalnya, katanya,
karena dalam bahasa Barat (Inggris, Belanda, dsb.) mengenal sistem kala (tenses), maka orang Barat sebagai
penutur bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan
perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan
menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan
orang Jepang. Whorf menegaskan realitas itu
tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita memberinya
nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya:
kita membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita
pakai, dan bukan atas dasar realitas itu. Jika hipotesis
Sapir – Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan
amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan
pikiran. (http://gin2gina.blogspot.com/p/sejarah-kajian-linguistik.html)
What history
does matter of factly, is
a mission for the poet. Untuk naik ke misi ini, penyair harus
menolak melayani kebenaran diketahui sebelumnya, kebenaran sudah jelas `'karena
mengambang di permukaan. Karena sejarah adalah proses tanpa akhir penciptaan manusia,
itu bukan karena alasan
yang sama (dan dengan cara yang
sama) proses tak berujung manusia penemuan diri.
Poet=historian=linguist, penyair dan sejarawan memiliki kesamaan dalam
menciptakan sebuah karya yaitu bagaimana mereka menggunakan bahasa sebagai alat
yang dapat menarik, mempengaruhi pembaca melalui gaya bahasanya.
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu
Syajaratun yang artinya pohon. Syajarah dalam arti silsilah berkaitan dengan
babad, tarikh, mitos dan legenda. Dalam bahasa Inggris kata sejarah
(history) berarti masa lampau umat manusia, dalam bahasa Jerman kata sejarah
(geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin
dan Yunani kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai. Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian sejarah pun mengalami
perkembangan. Menurut Dr. Kuntowijoyo sejarah
dapat diartikan dua macam:
SEJARAH DALAM ARTI NEGATIF
1) Sejarah
itu bukan mitos
Meskipun sama-sama menceritakan masa lalu, sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadiannya tidak masuk akal di masa sekarang.
Meskipun sama-sama menceritakan masa lalu, sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadiannya tidak masuk akal di masa sekarang.
2) Sejarah
bukan filsafat
Sejarah mempelajari sesuatu yang konkret, sedangkan filsafat itu abstrak dan spekulatif, dalam arti hanya berkaitan dengan pikiran umum.
Sejarah mempelajari sesuatu yang konkret, sedangkan filsafat itu abstrak dan spekulatif, dalam arti hanya berkaitan dengan pikiran umum.
3) Sejarah
bukan ilmu alam
Sejarah menuliskan sesuatu yang khas atau unik, sedangkan ilmu alam menuliskan sesuatu yang umum.
Sejarah menuliskan sesuatu yang khas atau unik, sedangkan ilmu alam menuliskan sesuatu yang umum.
4) Sejarah
itu bukan sastra
Perbedaan sejarah dengan sastra ada 4 hal yaitu cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan.
Perbedaan sejarah dengan sastra ada 4 hal yaitu cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan.
SEJARAH
DALAM ARTI POSITIF
1) Sejarah
adalah ilmu tentang manusia
Karena yang dipelajari adalah manusia dalam sebuah peristiwa bukan cerita masa lalu manusia secara keseluruhan.
Karena yang dipelajari adalah manusia dalam sebuah peristiwa bukan cerita masa lalu manusia secara keseluruhan.
2) Sejarah
adalah ilmu tentang waktu
Sejarah membicarakan masyarakat dari segi waktu, jadi sejarah adalah ilmu tentang waktu yang mencangkup empat hal yaitu
Sejarah membicarakan masyarakat dari segi waktu, jadi sejarah adalah ilmu tentang waktu yang mencangkup empat hal yaitu
a.
Perkembangan,
terjadi bila masyarakat secara terus menerus bergerak dari bentuk yang
sederhana ke bentuk yang kompleks.
b.
Kesinambungan,
terjadi bila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama.
c.
Pengulangan,
terjadi bila suatu peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi di
masa sekarang.
d.
Perubahan,
terjadi bila masyarakat mengalami pergerakan dan perkembanganyang besar dalam
waktu yang singkat yang disebabkan oleh pengaruh dari luar.
3) Sejarah
ialah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial
Dalam sejarah yang dipelajari bukan hanya akativitas manusia saja, melainkan aktifitas manusia yang mempunyai makna sosial.
Dalam sejarah yang dipelajari bukan hanya akativitas manusia saja, melainkan aktifitas manusia yang mempunyai makna sosial.
4) Sejarah
ialah ilmu tentang sesuatu yang terperinci dan tertentu
Sejarah adalah sejarah tertentu. Sejarah harus menulis peristiwa, tempat, dan waktu yang hanya sekali terjadi. Sedangkan sejarah harus terperinci artinya sejarah harus menyajikan yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar. (http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/makna-dan-kegunaan-sejarah.html)
Sejarah adalah sejarah tertentu. Sejarah harus menulis peristiwa, tempat, dan waktu yang hanya sekali terjadi. Sedangkan sejarah harus terperinci artinya sejarah harus menyajikan yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar. (http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/makna-dan-kegunaan-sejarah.html)
Unsur-unsur yang membentuk puisi terdiri bermacam unsur,
salah satunya adalah majas atau gaya bahasa. Majas dalam penciptaan puisi
diartikan sebagai cara menyatakan suatu maksud dengan cara menyamakan,
membandingkan, menyindir, menegaskan, mempertentangkan dengan sesuatu yang lain
yang memiliki hubungan tertentu. Majas
atau figurative language adalah bahasa kias, bahasa yang digunakan untuk
menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris yang pengunaannya
antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya. (http://blogpendidikanbahasa.blogspot.com/2012/08/mengidentifikasi-penggunaan-majas-dalam.html#.UzEzKGd63x4)
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks
budaya (Butt et al., 1999:11). Untuk
memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks
situasi dan konteks budaya. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai
medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada
keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang
menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic