We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Rabu, 26 Maret 2014

BAHASA DAN IDEOLOGI


CLASS REVIEW 7

Aku ingin menjadi seorang penulis. Mengukir setiap kata dengan keindahan yang terdapat dalam setiap katanya. Merangkai satu kata menjadi beribu kata mencipta sebuah makna. Gelap, itulah musuhku. Ketika terangnya inspirasi sulit aku dapat, ketika sang tongkat imajinasi tak dapat menorehkan secerca tinta diatas kertas putih. Inspirasi oksigenku, sebuah rasa, imajinasi yang saling bersambung menjadi gelombang-gelombang dari radar dunia dan cerita, ide-ide baru yang akan ku cipta. Mengukir cipta dan rasa dalam jutaan kata yang saling berkaitan satu sama lain.
Selamat pagi titik-titik embun, engkau senan tiasa memberi kesejukan di pagi hari. Walaupun kau tahu pada saatnya nanti kau akan menghilang setibanya matahari. Hai burung, kegembiraan senan tiasa terdengar merdunya suaramu. Ceria, gembira. Selasa pagi tanggal 18 Maret 2014 pukul 10.50 WIB bertempat di ruang 44 gedung PBI. Minggu ini merupakan minggu ketujuh saya dan teman-teman PBI-C belajar mata kuliah Writing and Composition 4 bersama Mr. Lala Bumela, M.Pd.
Pada pertemuan ketujuh minggu ini, Mr. Lala Bumela, M.Pd membahas kembali sedikit materi yang telah disampaikan beliau pada minggu lalu. Salah satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan pemahaman baru menegenai suatu hal yang belum pernah ditulis sebelumnya. Menjangkau bentuk-bentuk baru dari pemahaman meliputi tiga tahap penting: emulate-discover-create. Menulis adalah masalah menciptakan affordances dan mengeksplorasi potensi makna. Menulis adalah sebuah semogenesis. Pernyataan tesis merupakan tahapan yang sangat penting untuk membuat dialog awal dengan pembaca.
Milan Kundera comments (in L'Art duroman , 1986): `to write,means for the poet to crush the wall behind which something that ``was always there'' hides. Menurut Milan Kundera, arti menulis bagi penyair adalah seperti menghancurkan dinding untuk menemukan dan melihat apa yang tersembunyi dibalik dinding tersebut. Dalam hal ini, tugas penyair tidak berbeda dari karya sejarah, yang juga menemukan daripada menciptakan. Sejarah, seperti penyair, mengungkapkan, dalam situasi yang selalu baru, kemungkinan manusia sampai sekarang tersembunyi.
Critical Linguistics merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi kuasa tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Analisis linguistik belaka diyakini tidak dapat mengungkapkan signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang merealisasikan “teks sebagai modus wacana” serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat melakukannya. CL mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi-fungsi yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris.
Fowler sang pelopor secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistic ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata deskriptif. Menurut Fowler (1996:5), model linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi dalam pelbagai modus wacana publik. Beberapa pandangan Halliday yang berpengaruh terhadap pengembangan linguistik kritis dipaparkan berikut.
  1.      Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik
Istilah linguistic instrumental dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental dalam linguistic fungsional-sistemik. Menurut Fowler (1996), linguistic fungsional sistemik mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistic akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu.
Critical Linguist memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik, media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender. Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (i) memperoleh atau menemukan ideology yang dikodekan secara implisit di belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). 
            Pandangan instrumental Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa. Menurut Fowler (1986:19), bahasa adalah medium efisien dalam pengodean kategori- kategori sosial. Bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide itu. Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih menciptakan sebuah jaring makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah ideologi atau teori dari penuturnya yang tentu saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih merupakan kategori kultural.
2.      Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks . Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks. 
 Gagasan bahwa ideologi berada dalam teks yang diusulkan oleh Critical Linguistic telah ditentang oleh Fairclough (1992, 1995). Meskipun mengakui bahwa memang benar bentuk dan isi teks yang menanggung jejak proses ideologi dan struktur, Fairclough berpendapat bahwa tidak mungkin untuk 'membacakan' ideologi dari teks. Fairclough berpendapat pada ideologi, terletak baik dalam struktur yang merupakan hasil dari peristiwa masa lalu dan kondisi untuk kejadian terkini, dan dalam peristiwa itu sendiri karena mereka mereproduksi dan mengubah struktur pendingin mereka. Mengenai wacana sebagai praktik sosial, Fairclough membahas wacana dalam kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan. Dia mengambil pandangan bahwa ideologi yang berarti dalam pelayanan kekuasaan, yaitu ideologi adalah proposisi yang umumnya mencari asumsi sebagai tersirat dalam teks, yang berkontribusi untuk memproduksi atau mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara atau dominasi.
Asumsi sentral lain Critical Discourse Analysis (CDA) dan Systemic Functional Linguistics (SFL) adalah bahwa pembicara membuat pilihan mengenai kosa kata dan tata bahasa, dan bahwa pilihan ini secara sadar atau tidak sadar "berprinsip dan sistematis" (Fowler et al.,1979, hal. 188). Jadi pilihan yang ideologis berbasis. Menurut Fowler et al. ( 1979), "hubungan antara bentuk dan isi tidak sewenang-wenang atau konvensional, tapi...bentuk menandakan isi" (hal. 188). Singkatnya, bahasa adalah tindakan sosial dan itu didorong ideologis.
Setelah Halliday, praktisi CL ini melihat bahasa yang digunakan secara simultan melakukan tiga fungsi: ideasional, interpersonal, dan tekstual fungsi. Menurut Fowler (1991, p. 71), dan Fairclough (1995b, p. 25), sedangkan fungsi ideasional mengacu pada pengalaman para pembicara dari dunia dan fenomena, fungsi antarpribadi mewujudkan penyisipan sikap pembicara sendiri dan evaluasi tentang fenomena tersebut, dan membangun hubungan antara pembicara dan pendengar. Instrumental untuk dua fungsi ini adalah fungsi tekstual. Ini adalah melalui fungsi tekstual bahasa yang speaker mampu menghasilkan teks yang dipahami oleh pendengar. Ini adalah fungsi yang memungkinkan menghubungkan wacana untuk co-teks dan konteks di mana hal itu terjadi.
Konsep hubungan bahasa dan kebudayaan menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf adalah hubungan yang koordinatif, yaitu hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Menariknya hipotesis dari dua pakar linguistik ini sangat kontroversial, yang dikenal dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan lazim disebut relativitas bahasa (Inggris: linguistic relativity). Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan mereka adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana.
Isi hipotesis tersebut mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali.
Jika bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Misalnya, katanya, karena dalam bahasa Barat (Inggris, Belanda, dsb.) mengenal sistem kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan orang Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya: kita membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita pakai, dan bukan atas dasar realitas itu. Jika hipotesis Sapir – Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan pikiran. (http://gin2gina.blogspot.com/p/sejarah-kajian-linguistik.html)
What history does matter of factly, is a mission for the poet. Untuk naik ke misi ini, penyair harus menolak melayani kebenaran diketahui sebelumnya, kebenaran sudah jelas `'karena mengambang di permukaan. Karena sejarah adalah proses tanpa akhir penciptaan manusia, itu bukan karena alasan yang sama (dan dengan cara yang sama) proses tak berujung manusia penemuan diri. Poet=historian=linguist, penyair dan sejarawan memiliki kesamaan dalam menciptakan sebuah karya yaitu bagaimana mereka menggunakan bahasa sebagai alat yang dapat menarik, mempengaruhi pembaca melalui gaya bahasanya.
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang artinya pohon. Syajarah dalam arti silsilah berkaitan dengan babad, tarikh, mitos dan legenda. Dalam bahasa Inggris kata sejarah (history) berarti masa lampau umat manusia, dalam bahasa Jerman kata sejarah (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin dan Yunani kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian sejarah pun mengalami perkembangan. Menurut Dr. Kuntowijoyo sejarah dapat diartikan dua macam:
SEJARAH DALAM ARTI NEGATIF
1)      Sejarah itu bukan mitos
Meskipun sama-sama menceritakan masa lalu, sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadiannya tidak masuk akal di masa sekarang.
2)      Sejarah bukan filsafat
Sejarah mempelajari sesuatu yang konkret, sedangkan filsafat itu abstrak dan spekulatif, dalam arti hanya berkaitan dengan pikiran umum.
3)      Sejarah bukan ilmu alam
Sejarah menuliskan sesuatu yang khas atau unik, sedangkan ilmu alam menuliskan sesuatu yang umum.
4)      Sejarah itu bukan sastra
Perbedaan sejarah dengan sastra ada 4 hal yaitu cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan.
SEJARAH DALAM ARTI POSITIF
1)      Sejarah adalah ilmu tentang manusia
Karena yang dipelajari adalah manusia dalam sebuah peristiwa bukan cerita masa lalu manusia secara keseluruhan.
2)      Sejarah adalah ilmu tentang waktu
Sejarah membicarakan masyarakat dari segi waktu, jadi sejarah adalah ilmu tentang waktu yang mencangkup empat hal yaitu
a.       Perkembangan, terjadi bila masyarakat secara terus menerus bergerak dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks.
b.      Kesinambungan, terjadi bila suatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama.
c.       Pengulangan, terjadi bila suatu peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi di masa sekarang.
d.      Perubahan, terjadi bila masyarakat mengalami pergerakan dan perkembanganyang besar dalam waktu yang singkat yang disebabkan oleh pengaruh dari luar.
3)      Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial
Dalam sejarah yang dipelajari bukan hanya akativitas manusia saja, melainkan aktifitas manusia yang mempunyai makna sosial.
4)      Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang terperinci dan tertentu
Sejarah adalah sejarah tertentu. Sejarah harus menulis peristiwa, tempat, dan waktu yang hanya sekali terjadi. Sedangkan sejarah harus terperinci artinya sejarah harus menyajikan yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar. (
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2011/03/makna-dan-kegunaan-sejarah.html)
Unsur-unsur yang membentuk puisi terdiri bermacam unsur, salah satunya adalah majas atau gaya bahasa. Majas dalam penciptaan puisi diartikan sebagai cara menyatakan suatu maksud dengan cara menyamakan, membandingkan, menyindir, menegaskan, mempertentangkan dengan sesuatu yang lain yang memiliki hubungan tertentu. Majas atau figurative language adalah bahasa kias, bahasa yang digunakan untuk menciptakan efek tertentu. Majas merupakan bentuk retoris yang pengunaannya antara lain untuk menimbulkan kesan imajinatif bagi penyimak atau pembacanya. (http://blogpendidikanbahasa.blogspot.com/2012/08/mengidentifikasi-penggunaan-majas-dalam.html#.UzEzKGd63x4)
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic