Secercah Cahaya
Pada saatnya tiba….
Harapan akan datang
seperti matahari
Untuk melemparkan
kehangatan dihati
Mungkin pula muncul
pelangi
Menghadirkan
secercah harapan, keindahan dan kebahagiaan
Dengan bias cahaya
yang menerangi hati
Ketika
mata bathin ini terasa gelap, hanya
kepekaan akan adanya secercah cahaya yang
dapat meneranginya. Terpaan, halangan, rintangan, bahkan kehancuran akan terasa
hilang bila dapat menemukan secercah cahaya
yang tersimpan di dalam lubuk hati yang
penuh dengan keikhlasan. Hanya sebuah keikhlasan yang dapat membuka secercah cahaya itu. Andaikan secercah cahaya menemani setiap malamku, mungkin
setiap malamku akan terasa sempurna. Sepertinya aku harus melewati lorong demi lorong
untuk menemukan secercah cahaya yang begitu
berguna . Lorongnya penuh dengan keheningan.
Disaat keheningan tersebut, aku mulai kembali menari
di atas kertas bersama tinta unguku.
Tidak
terasa, kita sudah mencapai tengah laut, harus kuat dan memiliki semangat yang
besar untuk singgah ke samudera itu. 18 Maret 2014 merupakan pertemuan ke tujuh
dengan writing 4. Pada pertemuan ini
dan selanjutnya, pembahasan dan tantangannya akan lebih complex, karena antara mengaitkan
antara ideology, history, dan literasi.
Perlu
dipertegas lagi bahwa ideology adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya
sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat
konsep ini menjadi inti politik. History adalah rangkaian peristiwa yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Sedangkan literacy adalah praktik cultural
yang berkaitan dengan social dan politik. Teks critical kami (anak-anak PBi)
harus berkaitan dengan ideolody, history dan literacy. Ketiga aspek tersebut harus saling berkaitan,
tentunya mengenai Howard Zinn dan Columbus.
Mengulang
pada pembahasan minggu lalu, bahwa “Salah satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap
kemungkinan-kemungkinan baru pemahaman”, seorang penulis mampu
menciptakan pemahaman yang baru untuk membaca. Dengan adanya tulisan dan pengetahuan
yang diproduksi oleh penulis, disisi lain juga menciptakan pemahaman yang baru
kepada pembaca, khususnya pemahaman terhadap tulisan yang sedang dibaca.
Selanjutnya bahwa “Menulis adalah masalah menciptakan
hal yang baru dan mengeksplorasi potensi
makna”.
Apa yang kita lakukan itu mengandung sebuah makna, entah itu makna yang tersirat
maupun tersurat. Seperti pada minggu lalu juga ditegaskan bahwa menulis itu
akhirnya mengacu kepada meaning making
practice, dan selanjutnya “menulis adalah
sebuah semogenesis”. Pada pembahasan mengenai semogenesis, di dalamnya
menyangkut tentang literacy, seperti
dalam artikel “Mentoring semogenesis: ‘genre-based’ literacy pedagogy” bahwa “The literacy research which I shall be focusing on here
began in 1979, a few monhs after Benstein’s first visit to Australia in 1978. At
the time, writing instruction in Australia was shifting from traditional to
progressive pedagogy (toward ‘process writing’ and whole language programmers”.
Pada pertemuan kali ini akan membahas mengenai
“History, like poets, uncovers, in ever new situations,
the human possibilities heretofore hidden”.
Menurut Mr Lala bahwa historian dan
linguistic itu persamaannya pada value.
Menurut
powler (1996:10) yaitu seperti linguis kritis sejarawan yang bertujuan untuk
memahami sebuah nilai-nilai yang mendukung sebuah informasi sosial ekonomi, dan
juga politik, diakronis dalam sebuah perubahan nilai dan perubahan formations. Value itu lebih mangacu kepada sikap
yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Value itu bagian dari meaning
making practice dan ideology itu termasuk didalamnya. Menurut Mr Lala tugas
kami (mahasiswa PBI semester 4) adalah discover lalu tinggal digali dan setelah
digali “mengungkap apa yang tersembunyi”.
Ternyata makna bukan hanya didapat atau
digali dari sebuah teks saja, melainkan
dalam sebuah puisi yang menungkap makna dalam sebuah kata-kata mutiara dan
hiasan. Banyak orang awam yang berkata bahwa menggali makna dalam sebuah puisi
itu sulit, karena makna dalam puisi itu tersurat dan harus benar-benar dipahami
sebuah kata yang disampaikan oleh penulis.
Begitu juga dengan sebuah historian yang mampu menggali makna dalam
sebuah karya-karyanya. Seperti yang telah dijelaskan pada class review
sebelumnya, bahwa tugas linguistic adalah banyak memlih-milih, atau selektif
terhadap informasi, supaya informasi yang nantinya akan disampaikan kepada
pembaca sesuai dengan makna dan isi pesannya. Penjelasan di atas mengungkap
bahwa keterkaitan antara poet, historian dan linguistic terhadap sebuah makna
yang harus ditemukan.
Pada 35 menit terakhir kami (mahasiswa PBI-C
semester 4) diperintahkan untuk peer review terhadap hasil karya teman kita. Ternyata,
teks yang seharusnya dibuat itu critical review. Saya kira pada pertemuan ini
bukan ke critical review, dengan terpaksa teks yang saya buat harus dirombak
lagi untuk minggu depan. Ada yang membuat saya terheran-heran adalah ketika
berbicara mengenai generic structure.
Ternyata generic structure nya itu harus dimunculkan secara gambling atau
secara detail.
Dengan menampilkan generic structure yang
jelas itu dapat memudahkan pembaca untuk mengetahui tentang teks apa yang kita
buat, karena pada hakikatnya banyak sekali teks yang ada. Itu juga merupakan
penyampaian pesan kepada pembaca, supaya pembaca mengetahui terhadap pesan yang
kita sampaikan lewat sebuah tulisan.
Dalam slidenya Mr Lala ada pembahasn mengenai
commen dari Milan Kundera (in L’Art Duraman, 1986) : “to write means for the
poet to cruch the wall behind which something that was always there” hides.
Saya mencari buku yang ditulis oleh Milan Kundera yang berjudul “The Art of the
Novel”. Bahwa pada dasarnya tulisan dalam sebuah puisi itu diibaratkan dapat
“cruch the wall”. Bahkan makna yang terkandung dalam sebuah puisi itu sulit,
karena bahasa yang digunakan dalam puisi kebanyakan bahasa kiasan.
Berbicara mengenai keterkaitan antara
ideology, history dan literacy. “The ideologies that assign instruct value to
writing have no particular name or scholary traditional associated with them,
though their echoes are found in literacy criticism histories of books and
writing” (mark Lewis, 2010 : 24). Dalam buku “writing ideology and writing
instruction”, ideology berhubungan dengan nilai-nilai, karena pada dasarnya
kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai nilai atau norma yang
harus dipatuhi. Setelah membahas tentang ideology, selanjutnya tentang
literasi. Dalam literacy, juga berhubungan dengan bahasa. orang yang mempunyai
literasi yang tinggi mampu menjadi multilingual, seperti pada event penting
yang khususnya untuk mahasiswa jurusan bahasa Inggris dengan tema “what we can
learn from generative linguistic” dimana pembicaranya adalah seoarng professor
dari University of Iowa, USA yakni Prof. William D. Davies. Dengan membahas
tentang generative linguistics, language
as a rule based system, biological endowment of language, the autonomy
of syntax.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada pembahasan
ini harus mampu mengaitkan antara ideology, literasi dan history. Ideology
adalah sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah, sehingga membuat
konsep ini menjadi inti politik. Sedangkan literasi adalah praktek cultural
yang berkaitan dengan social dan politik, dan history adalah rangkaian
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbicara mengenai menulis, dan
salah satu tugas menulis atau penulis adalah untuk mengungkap
kemungkinan-kemungkinan baru tentang pemahamn. Selanjutnya menulis adalah
menciptakan hal yang baru dan mengeksplorasi potensi makna, karena pada
dasarnya menulis itu akhirnya mengacu kepada meaning making practice.
Secercah Cahaya
Pada saatnya tiba….
Harapan akan datang
seperti matahari
Untuk melemparkan
kehangatan dihati
Mungkin pula muncul
pelangi
Menghadirkan
secercah harapan, keindahan dan kebahagiaan
Dengan bias cahaya
yang menerangi hati
Ketika
mata bathin ini terasa gelap, hanya
kepekaan akan adanya secercah cahaya yang
dapat meneranginya. Terpaan, halangan, rintangan, bahkan kehancuran akan terasa
hilang bila dapat menemukan secercah cahaya
yang tersimpan di dalam lubuk hati yang
penuh dengan keikhlasan. Hanya sebuah keikhlasan yang dapat membuka secercah cahaya itu. Andaikan secercah cahaya menemani setiap malamku, mungkin
setiap malamku akan terasa sempurna. Sepertinya aku harus melewati lorong demi lorong
untuk menemukan secercah cahaya yang begitu
berguna . Lorongnya penuh dengan keheningan.
Disaat keheningan tersebut, aku mulai kembali menari
di atas kertas bersama tinta unguku.
Tidak
terasa, kita sudah mencapai tengah laut, harus kuat dan memiliki semangat yang
besar untuk singgah ke samudera itu. 18 Maret 2014 merupakan pertemuan ke tujuh
dengan writing 4. Pada pertemuan ini
dan selanjutnya, pembahasan dan tantangannya akan lebih complex, karena antara mengaitkan
antara ideology, history, dan literasi.
Perlu
dipertegas lagi bahwa ideology adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya
sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat
konsep ini menjadi inti politik. History adalah rangkaian peristiwa yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Sedangkan literacy adalah praktik cultural
yang berkaitan dengan social dan politik. Teks critical kami (anak-anak PBi)
harus berkaitan dengan ideolody, history dan literacy. Ketiga aspek tersebut harus saling berkaitan,
tentunya mengenai Howard Zinn dan Columbus.
Mengulang
pada pembahasan minggu lalu, bahwa “Salah satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap
kemungkinan-kemungkinan baru pemahaman”, seorang penulis mampu
menciptakan pemahaman yang baru untuk membaca. Dengan adanya tulisan dan pengetahuan
yang diproduksi oleh penulis, disisi lain juga menciptakan pemahaman yang baru
kepada pembaca, khususnya pemahaman terhadap tulisan yang sedang dibaca.
Selanjutnya bahwa “Menulis adalah masalah menciptakan
hal yang baru dan mengeksplorasi potensi
makna”.
Apa yang kita lakukan itu mengandung sebuah makna, entah itu makna yang tersirat
maupun tersurat. Seperti pada minggu lalu juga ditegaskan bahwa menulis itu
akhirnya mengacu kepada meaning making
practice, dan selanjutnya “menulis adalah
sebuah semogenesis”. Pada pembahasan mengenai semogenesis, di dalamnya
menyangkut tentang literacy, seperti
dalam artikel “Mentoring semogenesis: ‘genre-based’ literacy pedagogy” bahwa “The literacy research which I shall be focusing on here
began in 1979, a few monhs after Benstein’s first visit to Australia in 1978. At
the time, writing instruction in Australia was shifting from traditional to
progressive pedagogy (toward ‘process writing’ and whole language programmers”.
Pada pertemuan kali ini akan membahas mengenai
“History, like poets, uncovers, in ever new situations,
the human possibilities heretofore hidden”.
Menurut Mr Lala bahwa historian dan
linguistic itu persamaannya pada value.
Menurut
powler (1996:10) yaitu seperti linguis kritis sejarawan yang bertujuan untuk
memahami sebuah nilai-nilai yang mendukung sebuah informasi sosial ekonomi, dan
juga politik, diakronis dalam sebuah perubahan nilai dan perubahan formations. Value itu lebih mangacu kepada sikap
yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Value itu bagian dari meaning
making practice dan ideology itu termasuk didalamnya. Menurut Mr Lala tugas
kami (mahasiswa PBI semester 4) adalah discover lalu tinggal digali dan setelah
digali “mengungkap apa yang tersembunyi”.
Ternyata makna bukan hanya didapat atau
digali dari sebuah teks saja, melainkan
dalam sebuah puisi yang menungkap makna dalam sebuah kata-kata mutiara dan
hiasan. Banyak orang awam yang berkata bahwa menggali makna dalam sebuah puisi
itu sulit, karena makna dalam puisi itu tersurat dan harus benar-benar dipahami
sebuah kata yang disampaikan oleh penulis.
Begitu juga dengan sebuah historian yang mampu menggali makna dalam
sebuah karya-karyanya. Seperti yang telah dijelaskan pada class review
sebelumnya, bahwa tugas linguistic adalah banyak memlih-milih, atau selektif
terhadap informasi, supaya informasi yang nantinya akan disampaikan kepada
pembaca sesuai dengan makna dan isi pesannya. Penjelasan di atas mengungkap
bahwa keterkaitan antara poet, historian dan linguistic terhadap sebuah makna
yang harus ditemukan.
Pada 35 menit terakhir kami (mahasiswa PBI-C
semester 4) diperintahkan untuk peer review terhadap hasil karya teman kita. Ternyata,
teks yang seharusnya dibuat itu critical review. Saya kira pada pertemuan ini
bukan ke critical review, dengan terpaksa teks yang saya buat harus dirombak
lagi untuk minggu depan. Ada yang membuat saya terheran-heran adalah ketika
berbicara mengenai generic structure.
Ternyata generic structure nya itu harus dimunculkan secara gambling atau
secara detail, contohnya :
Dengan menampilkan generic structure yang
jelas itu dapat memudahkan pembaca untuk mengetahui tentang teks apa yang kita
buat, karena pada hakikatnya banyak sekali teks yang ada. Itu juga merupakan
penyampaian pesan kepada pembaca, supaya pembaca mengetahui terhadap pesan yang
kita sampaikan lewat sebuah tulisan.
Dalam slidenya Mr Lala ada pembahasn mengenai
commen dari Milan Kundera (in L’Art Duraman, 1986) : “to write means for the
poet to cruch the wall behind which something that was always there” hides.
Saya mencari buku yang ditulis oleh Milan Kundera yang berjudul “The Art of the
Novel”. Bahwa pada dasarnya tulisan dalam sebuah puisi itu diibaratkan dapat
“cruch the wall”. Bahkan makna yang terkandung dalam sebuah puisi itu sulit,
karena bahasa yang digunakan dalam puisi kebanyakan bahasa kiasan.
Berbicara mengenai keterkaitan antara
ideology, history dan literacy. “The ideologies that assign instruct value to
writing have no particular name or scholary traditional associated with them,
though their echoes are found in literacy criticism histories of books and
writing” (mark Lewis, 2010 : 24). Dalam buku “writing ideology and writing
instruction”, ideology berhubungan dengan nilai-nilai, karena pada dasarnya
kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai nilai atau norma yang
harus dipatuhi. Setelah membahas tentang ideology, selanjutnya tentang
literasi. Dalam literacy, juga berhubungan dengan bahasa. orang yang mempunyai
literasi yang tinggi mampu menjadi multilingual, seperti pada event penting
yang khususnya untuk mahasiswa jurusan bahasa Inggris dengan tema “what we can
learn from generative linguistic” dimana pembicaranya adalah seoarng professor
dari University of Iowa, USA yakni Prof. William D. Davies. Dengan membahas
tentang generative linguistics, language
as a rule based system, biological endowment of language, the autonomy
of syntax.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada pembahasan
ini harus mampu mengaitkan antara ideology, literasi dan history. Ideology
adalah sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah, sehingga membuat
konsep ini menjadi inti politik. Sedangkan literasi adalah praktek cultural
yang berkaitan dengan social dan politik, dan history adalah rangkaian
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbicara mengenai menulis, dan
salah satu tugas menulis atau penulis adalah untuk mengungkap
kemungkinan-kemungkinan baru tentang pemahamn. Selanjutnya menulis adalah
menciptakan hal yang baru dan mengeksplorasi potensi makna, karena pada
dasarnya menulis itu akhirnya mengacu kepada meaning making practice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic