We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Kamis, 27 Maret 2014

7th Class Review



Secercah Cahaya

Pada saatnya tiba….
Harapan akan datang seperti matahari
Untuk melemparkan kehangatan dihati
Mungkin pula muncul pelangi
Menghadirkan secercah harapan, keindahan dan kebahagiaan
Dengan bias cahaya yang menerangi hati
Ketika mata bathin ini  terasa gelap, hanya kepekaan akan adanya secercah cahaya yang dapat meneranginya. Terpaan, halangan, rintangan, bahkan kehancuran akan terasa hilang bila dapat menemukan secercah cahaya yang tersimpan di dalam lubuk hati yang penuh dengan keikhlasan. Hanya sebuah keikhlasan yang dapat membuka secercah cahaya itu. Andaikan secercah cahaya menemani setiap malamku, mungkin setiap malamku akan terasa sempurna. Sepertinya aku harus melewati lorong demi  lorong untuk menemukan secercah cahaya yang begitu berguna . Lorongnya penuh dengan keheningan. Disaat keheningan tersebut, aku mulai kembali menari di atas kertas bersama tinta unguku.
Tidak terasa, kita sudah mencapai tengah laut, harus kuat dan memiliki semangat yang besar untuk singgah ke samudera itu. 18 Maret 2014 merupakan pertemuan ke tujuh dengan writing 4. Pada pertemuan ini dan selanjutnya, pembahasan dan tantangannya akan lebih complex, karena antara mengaitkan antara ideology, history, dan literasi.
 
Perlu dipertegas lagi bahwa ideology adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. History adalah rangkaian peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Sedangkan literacy adalah praktik cultural yang berkaitan dengan social dan politik. Teks critical kami (anak-anak PBi) harus berkaitan dengan ideolody, history dan literacy. Ketiga  aspek tersebut harus saling berkaitan, tentunya mengenai Howard Zinn dan Columbus.
Mengulang pada pembahasan minggu lalu, bahwa Salah satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru pemahaman, seorang penulis mampu menciptakan pemahaman yang baru untuk membaca. Dengan adanya tulisan dan pengetahuan yang diproduksi oleh penulis, disisi lain juga menciptakan pemahaman yang baru kepada pembaca, khususnya pemahaman terhadap tulisan yang sedang dibaca. Selanjutnya bahwa “Menulis adalah masalah menciptakan hal yang baru dan mengeksplorasi potensi makna. Apa yang kita lakukan itu mengandung sebuah makna, entah itu makna yang tersirat maupun tersurat. Seperti pada minggu lalu juga ditegaskan bahwa menulis itu akhirnya mengacu kepada meaning making practice, dan selanjutnya “menulis adalah sebuah semogenesis”. Pada pembahasan mengenai semogenesis, di dalamnya menyangkut tentang literacy, seperti dalam artikel “Mentoring semogenesis: ‘genre-based’ literacy pedagogy” bahwa “The literacy research which I shall be focusing on here began in 1979, a few monhs after Benstein’s first visit to Australia in 1978. At the time, writing instruction in Australia was shifting from traditional to progressive pedagogy (toward ‘process writing’ and whole language programmers”.
Pada pertemuan kali ini akan membahas mengenai “History, like poets, uncovers, in ever new situations, the human possibilities heretofore hidden”. Menurut Mr Lala bahwa historian dan linguistic itu persamaannya pada value. Menurut powler (1996:10) yaitu seperti linguis kritis sejarawan yang bertujuan untuk memahami sebuah nilai-nilai yang mendukung sebuah informasi sosial ekonomi, dan juga politik, diakronis dalam sebuah perubahan nilai dan perubahan formations. Value itu lebih mangacu kepada sikap yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Value itu bagian dari meaning making practice dan ideology itu termasuk didalamnya. Menurut Mr Lala tugas kami (mahasiswa PBI semester 4) adalah discover lalu tinggal digali dan setelah digali “mengungkap apa yang tersembunyi”.

Ternyata makna bukan hanya didapat atau digali  dari sebuah teks saja, melainkan dalam sebuah puisi yang menungkap makna dalam sebuah kata-kata mutiara dan hiasan. Banyak orang awam yang berkata bahwa menggali makna dalam sebuah puisi itu sulit, karena makna dalam puisi itu tersurat dan harus benar-benar dipahami sebuah kata yang disampaikan oleh penulis.  Begitu juga dengan sebuah historian yang mampu menggali makna dalam sebuah karya-karyanya. Seperti yang telah dijelaskan pada class review sebelumnya, bahwa tugas linguistic adalah banyak memlih-milih, atau selektif terhadap informasi, supaya informasi yang nantinya akan disampaikan kepada pembaca sesuai dengan makna dan isi pesannya. Penjelasan di atas mengungkap bahwa keterkaitan antara poet, historian dan linguistic terhadap sebuah makna yang harus ditemukan.
Pada 35 menit terakhir kami (mahasiswa PBI-C semester 4) diperintahkan untuk peer review terhadap hasil karya teman kita. Ternyata, teks yang seharusnya dibuat itu critical review. Saya kira pada pertemuan ini bukan ke critical review, dengan terpaksa teks yang saya buat harus dirombak lagi untuk minggu depan. Ada yang membuat saya terheran-heran adalah ketika berbicara mengenai generic structure. Ternyata generic structure nya itu harus dimunculkan secara gambling atau secara detail.
Dengan menampilkan generic structure yang jelas itu dapat memudahkan pembaca untuk mengetahui tentang teks apa yang kita buat, karena pada hakikatnya banyak sekali teks yang ada. Itu juga merupakan penyampaian pesan kepada pembaca, supaya pembaca mengetahui terhadap pesan yang kita sampaikan lewat sebuah tulisan.
Dalam slidenya Mr Lala ada pembahasn mengenai commen dari Milan Kundera (in L’Art Duraman, 1986) : “to write means for the poet to cruch the wall behind which something that was always there” hides. Saya mencari buku yang ditulis oleh Milan Kundera yang berjudul “The Art of the Novel”. Bahwa pada dasarnya tulisan dalam sebuah puisi itu diibaratkan dapat “cruch the wall”. Bahkan makna yang terkandung dalam sebuah puisi itu sulit, karena bahasa yang digunakan dalam puisi kebanyakan bahasa kiasan.
Berbicara mengenai keterkaitan antara ideology, history dan literacy. “The ideologies that assign instruct value to writing have no particular name or scholary traditional associated with them, though their echoes are found in literacy criticism histories of books and writing” (mark Lewis, 2010 : 24). Dalam buku “writing ideology and writing instruction”, ideology berhubungan dengan nilai-nilai, karena pada dasarnya kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai nilai atau norma yang harus dipatuhi. Setelah membahas tentang ideology, selanjutnya tentang literasi. Dalam literacy, juga berhubungan dengan bahasa. orang yang mempunyai literasi yang tinggi mampu menjadi multilingual, seperti pada event penting yang khususnya untuk mahasiswa jurusan bahasa Inggris dengan tema “what we can learn from generative linguistic” dimana pembicaranya adalah seoarng professor dari University of Iowa, USA yakni Prof. William D. Davies. Dengan membahas tentang generative linguistics, language  as a rule based system, biological endowment of language, the autonomy of syntax.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada pembahasan ini harus mampu mengaitkan antara ideology, literasi dan history. Ideology adalah sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah, sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Sedangkan literasi adalah praktek cultural yang berkaitan dengan social dan politik, dan history adalah rangkaian peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbicara mengenai menulis, dan salah satu tugas menulis atau penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru tentang pemahamn. Selanjutnya menulis adalah menciptakan hal yang baru dan mengeksplorasi potensi makna, karena pada dasarnya menulis itu akhirnya mengacu kepada meaning making practice.



Secercah Cahaya
Pada saatnya tiba….
Harapan akan datang seperti matahari
Untuk melemparkan kehangatan dihati
Mungkin pula muncul pelangi
Menghadirkan secercah harapan, keindahan dan kebahagiaan
Dengan bias cahaya yang menerangi hati
Ketika mata bathin ini  terasa gelap, hanya kepekaan akan adanya secercah cahaya yang dapat meneranginya. Terpaan, halangan, rintangan, bahkan kehancuran akan terasa hilang bila dapat menemukan secercah cahaya yang tersimpan di dalam lubuk hati yang penuh dengan keikhlasan. Hanya sebuah keikhlasan yang dapat membuka secercah cahaya itu. Andaikan secercah cahaya menemani setiap malamku, mungkin setiap malamku akan terasa sempurna. Sepertinya aku harus melewati lorong demi  lorong untuk menemukan secercah cahaya yang begitu berguna . Lorongnya penuh dengan keheningan. Disaat keheningan tersebut, aku mulai kembali menari di atas kertas bersama tinta unguku.
Tidak terasa, kita sudah mencapai tengah laut, harus kuat dan memiliki semangat yang besar untuk singgah ke samudera itu. 18 Maret 2014 merupakan pertemuan ke tujuh dengan writing 4. Pada pertemuan ini dan selanjutnya, pembahasan dan tantangannya akan lebih complex, karena antara mengaitkan antara ideology, history, dan literasi.
Perlu dipertegas lagi bahwa ideology adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. History adalah rangkaian peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Sedangkan literacy adalah praktik cultural yang berkaitan dengan social dan politik. Teks critical kami (anak-anak PBi) harus berkaitan dengan ideolody, history dan literacy. Ketiga  aspek tersebut harus saling berkaitan, tentunya mengenai Howard Zinn dan Columbus.
Mengulang pada pembahasan minggu lalu, bahwa Salah satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru pemahaman, seorang penulis mampu menciptakan pemahaman yang baru untuk membaca. Dengan adanya tulisan dan pengetahuan yang diproduksi oleh penulis, disisi lain juga menciptakan pemahaman yang baru kepada pembaca, khususnya pemahaman terhadap tulisan yang sedang dibaca. Selanjutnya bahwa “Menulis adalah masalah menciptakan hal yang baru dan mengeksplorasi potensi makna. Apa yang kita lakukan itu mengandung sebuah makna, entah itu makna yang tersirat maupun tersurat. Seperti pada minggu lalu juga ditegaskan bahwa menulis itu akhirnya mengacu kepada meaning making practice, dan selanjutnya “menulis adalah sebuah semogenesis”. Pada pembahasan mengenai semogenesis, di dalamnya menyangkut tentang literacy, seperti dalam artikel “Mentoring semogenesis: ‘genre-based’ literacy pedagogy” bahwa “The literacy research which I shall be focusing on here began in 1979, a few monhs after Benstein’s first visit to Australia in 1978. At the time, writing instruction in Australia was shifting from traditional to progressive pedagogy (toward ‘process writing’ and whole language programmers”.
Pada pertemuan kali ini akan membahas mengenai “History, like poets, uncovers, in ever new situations, the human possibilities heretofore hidden”. Menurut Mr Lala bahwa historian dan linguistic itu persamaannya pada value. Menurut powler (1996:10) yaitu seperti linguis kritis sejarawan yang bertujuan untuk memahami sebuah nilai-nilai yang mendukung sebuah informasi sosial ekonomi, dan juga politik, diakronis dalam sebuah perubahan nilai dan perubahan formations. Value itu lebih mangacu kepada sikap yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Value itu bagian dari meaning making practice dan ideology itu termasuk didalamnya. Menurut Mr Lala tugas kami (mahasiswa PBI semester 4) adalah discover lalu tinggal digali dan setelah digali “mengungkap apa yang tersembunyi”.


Ternyata makna bukan hanya didapat atau digali  dari sebuah teks saja, melainkan dalam sebuah puisi yang menungkap makna dalam sebuah kata-kata mutiara dan hiasan. Banyak orang awam yang berkata bahwa menggali makna dalam sebuah puisi itu sulit, karena makna dalam puisi itu tersurat dan harus benar-benar dipahami sebuah kata yang disampaikan oleh penulis.  Begitu juga dengan sebuah historian yang mampu menggali makna dalam sebuah karya-karyanya. Seperti yang telah dijelaskan pada class review sebelumnya, bahwa tugas linguistic adalah banyak memlih-milih, atau selektif terhadap informasi, supaya informasi yang nantinya akan disampaikan kepada pembaca sesuai dengan makna dan isi pesannya. Penjelasan di atas mengungkap bahwa keterkaitan antara poet, historian dan linguistic terhadap sebuah makna yang harus ditemukan.
Pada 35 menit terakhir kami (mahasiswa PBI-C semester 4) diperintahkan untuk peer review terhadap hasil karya teman kita. Ternyata, teks yang seharusnya dibuat itu critical review. Saya kira pada pertemuan ini bukan ke critical review, dengan terpaksa teks yang saya buat harus dirombak lagi untuk minggu depan. Ada yang membuat saya terheran-heran adalah ketika berbicara mengenai generic structure. Ternyata generic structure nya itu harus dimunculkan secara gambling atau secara detail, contohnya :
Dengan menampilkan generic structure yang jelas itu dapat memudahkan pembaca untuk mengetahui tentang teks apa yang kita buat, karena pada hakikatnya banyak sekali teks yang ada. Itu juga merupakan penyampaian pesan kepada pembaca, supaya pembaca mengetahui terhadap pesan yang kita sampaikan lewat sebuah tulisan.
Dalam slidenya Mr Lala ada pembahasn mengenai commen dari Milan Kundera (in L’Art Duraman, 1986) : “to write means for the poet to cruch the wall behind which something that was always there” hides. Saya mencari buku yang ditulis oleh Milan Kundera yang berjudul “The Art of the Novel”. Bahwa pada dasarnya tulisan dalam sebuah puisi itu diibaratkan dapat “cruch the wall”. Bahkan makna yang terkandung dalam sebuah puisi itu sulit, karena bahasa yang digunakan dalam puisi kebanyakan bahasa kiasan.
Berbicara mengenai keterkaitan antara ideology, history dan literacy. “The ideologies that assign instruct value to writing have no particular name or scholary traditional associated with them, though their echoes are found in literacy criticism histories of books and writing” (mark Lewis, 2010 : 24). Dalam buku “writing ideology and writing instruction”, ideology berhubungan dengan nilai-nilai, karena pada dasarnya kita hidup ditengah-tengah masyarakat yang mempunyai nilai atau norma yang harus dipatuhi. Setelah membahas tentang ideology, selanjutnya tentang literasi. Dalam literacy, juga berhubungan dengan bahasa. orang yang mempunyai literasi yang tinggi mampu menjadi multilingual, seperti pada event penting yang khususnya untuk mahasiswa jurusan bahasa Inggris dengan tema “what we can learn from generative linguistic” dimana pembicaranya adalah seoarng professor dari University of Iowa, USA yakni Prof. William D. Davies. Dengan membahas tentang generative linguistics, language  as a rule based system, biological endowment of language, the autonomy of syntax.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada pembahasan ini harus mampu mengaitkan antara ideology, literasi dan history. Ideology adalah sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah, sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Sedangkan literasi adalah praktek cultural yang berkaitan dengan social dan politik, dan history adalah rangkaian peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbicara mengenai menulis, dan salah satu tugas menulis atau penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru tentang pemahamn. Selanjutnya menulis adalah menciptakan hal yang baru dan mengeksplorasi potensi makna, karena pada dasarnya menulis itu akhirnya mengacu kepada meaning making practice.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic