Mayoritas sarjana lulusan perguruan
tinggi di Indonesia tidak bisa menulis bahkan para dosennya mayoritas tidak
bisa menulis atau tidak mau melakukannya. Rendahnya kemampuan menulis menjadi
sebuah realita, sehingga bukan suatu kerahasiaan.
Dalam
pandangan saya, bukan karena tidak bisa menulis melainkan karena seseorang itu
takut untuk mencobanya. Jika seseorang tidak memiliki keberanian untuk menulis
maka tidak akan pernah lahir sebuah karya tulis. Untuk itu, diperlukan
keberanian sebagai langkah pertama untuk mencoba melahirkan tulisan.
Menulis merupakan sebuah
keterampilan yang dapat dipelajari oleh siapapun. Oleh karena itu, perlunya
mempelajari cara menulis yang baik dan benar sejak dini mungkin karena menulis
bukanlah sebuah bakat melainkan, karena memiliki pengetahuan, pengalaman,
keberanian serta adanya inspirasi untuk menciptakan tulisan.
Saya
tidak sependapat dengan opini yang mengatakan “Selama ini Perguruan Tinggi kita
mewajibkan mahasiwa menulis Skripsi, Tesis, dan Disertasi, karena itulah ajang
yang jitu untuk mengasah keterampilan menulis, meneliti, dan melaporkannya
secara akademik”. Alasan saya, Indonesia seharusnya mengikuti jejak langkah
Amerika dengan banyak menulis essay serta mengeluarkan komentar kritis dari
dosen dan tidak diharuskan membuat artikel jurnal maupun skripsi, tesis maupun
disertasi. Jika hanya mengasah hanya melalui pembuatan Skripsi ataupun Tesis
berarti mahasiswa hanya melakukannya sekali sampai dengan tiga kali selama
duduk di perkuliahan S1
sampai dengan S3.
Itu hanya menjadi solusi alternative daripada selama duduk di perkuliahan
mahasiswa tidak pernah melahirkan sebuah tulisan.
Jika dalam penelitian Krashen
(1984), “para penulis produktif dewasa adalah mereka yang sewaktu di SMA banyak
membaca karya sastra, berlangganan Koran atau majalah, dan terdapat
perpustakaan di rumahnya sehingga perlu pembenahan di tingkat SMA, agar
lahirnya penulis produktif”. Pendapat saya, pembenahan itu dilakukan sejak usia
dini karena “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar di
usia dewasa bagai mengukir di atas air”. Jelas adanya perbedaan antara mengukir
di atas air dengan mengukir di atas batu, jika seseorang diberikan motivasi
sejak kecil maka semangat belajar anak itu masih sangat besar tentunya bisa
dilakukan dengan langkah pembenahan tadi yaitu, guru maupun orang tua
memberikan motivasi agar anaknya gemar membaca karya sastra baik itu SD, SMP,
SMA bahkan yang belum sekolah sekalipun. Jadi tidak hanya di tingkat SMA saja
pembenahan itu dilakukan. Kesadaran membaca-menulis (literasi) harus
disampaikan oleh guru di sekolah agar terciptanya generasi yang lebih baik
lagi. Dengan kesadaran membaca tersebut, otomatis anak akan gemar mengoleksi
buku-buku yang ia sukai. Jika sudah menjadi kebiasaan maka anak akan mencintai
membaca-menulis (literasi) secara sendirinya seiring dengan berjalannya waktu.
Kemudian, anak akan mungkin dapat menjadi penulis produktif dengan adanya
pengalaman yang sudah ia lalui, pengetahuan yang telah ia pelajari sejak kecil
melalui peran guru maupun dari buku yang pernah ia baca, serta dari
kesadarannya dan bentuk inspirasi yang kuat dari jiwa anak.
Dalam wacana “Powerful Writers versus
the Helpless Reader”
Ketika
pembaca mengatakan “saya tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sama”
hal itu menunjukkan kurangnya kepercayaan diri. Sama halnya seperti masalah
yang melatar belakangi “Keberanian (Courage)”. Faktor utama yaitu Keberanian.
Caranya dengan membangun pendekatan oleh masyarakat agar menyadari arti
pentingnya belajar literasi secara terus menerus dan menanamkan keberanian
untuk melakukannya,
Saya
sangat setuju dengan penulis yang mengatakan “Fenomena penggunaan yang salah
yaitu dibelinya buku teks impor untuk mahasiswa Indonesia”.
Bagaimana
ingin mengeluarkan buku sebanyak 80 juta per tahun jika membeli bukunya saja di
luar negeri dan mahasiswa diasupi pengaruh negative dari buku impor tersebut.
Mengapa tidak berusaha untuk mencoba membuatnya terlebih dahulu bisa saja buku
yang dihasilkan lebih baik daripada buku impor. Dosen yang tidak bisa menulis,
mungkin mereka beranggapan bahwa dosen tidak harus menjadi seorang penulis,
tetapi bukankah untuk mencapai gelar kesajarnaan mereka harus membuat tulisan
akademik dan melakukan penelitian sebelum mendapatkan gelar tersebut. Jadi,
kenapa tidak dikembangkan dengan pengalaman yang telah ada dan bisa mencadi
contoh untuk mahasiswanya.
Analisis
hasil tes yang diambil oleh mahasiswa Indonesia disajikan oleh Dr. Imam Bagus
yaitu “Menunjukkan bukti mengejutkan siswa tidak mampu mengidentifikasi tema
utama potongan prosa Indonesia langsung dalam pemeriksaan pilihan ganda”.
Menurut
saya, hal ini terjadi karena kurangnya praktek dalam hal pemahaman membaca.
Dibutuhkan kesadaran membaca yang tinggi serta dapat mempraktekkannya dalam
menjawab soal-soal maupun dalam aktifitas lainnya. Penerapan sistem yang
dirancang Paymasters harus sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia. Ada
baiknya sebelum menggunakan bahasa Inggris kita harus menguasai dan
mempraktekkan bahasa kita sendiri dengan tepat dan benar.
Kesimpulan
Budaya
membaca-menulis (literasi) perlu ditanam sejak usia dini tidak harus menunggu di
tingakt SMA maupun Perguruan Tinggi. Ditunjang dengan keberanian untuk mencoba
menulis dan menciptakan karya tulis sehingga tidak perlu lagi untuk membeli
buku impor, karena tidak semua buku yang diasup dari luar itu semuanya baik
untuk diambil. Sebelum menggunakan bahasa Inggris kita harus menguasai bahasa
Indonesia terlebih dahulu secara benar. Penulis produktif akan lahir jika
memiliki empat keterampilan, yakni pengetahuan, keberanian, pengalaman, dan
inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic