CHAPTER REVIEW “Rekayasa Literasi”
Pada
chapter review buku kali ini, saya akan membahas mengenai begaimana keadaan
literasi di Negara kita ini, Negara Indonesia. Melalui teks yang berjudul
“Rekayasa Literasi” yang ditulis oleh penulis sastra yang sudah tidak asing
lagi di dunia sastra bahasa yaitu A.Chaedar Alwasilah. Beliau mengemukakan
bahwa tingkat literasi di Indonesia masih sangat minim. Disini segala
sesuatunya akan kita bahas, dari mulai bagaimana kita mengetahui cara para ahli
mengelompokkan periodisasi menggunakan metode dan pendekatan, khususnya
terhadap pengajaran bahasa asing kedalam beberapa kelompok, sampai dengan
bagaimana kita belajar mengenai paradigm pengajaran literasi.
Sebelum beranjak ke pokok pembahasan tentang define
literasi, pertama kita akan membahas bagaimana para ahli bahasa mengelompokkan
periodisasi pengguna metode dan pendekatan, khususnya pengajaran bahasa asing,
dan disini A.Chaedar Alwasilah membagi kedalam 5 kelompok besar, yaitu:
1. Pendekatan
structural dengan grammar translation methods, dimana pendekatan ini
memfokuskan pengajarannya kepada bidang tulisan dan tata bahasa, walaupun cara
ini mungkin kurang tepat karena (maha)siswa tidak menganalisis masalah social.
2. Pendekatan
audiolingual atau dengar ucap, dimana pendekatan ini lebih difokuskan melalui
latihan dialog-dialog, tapi dalam pendekatan ini budaya baca-tulis malah
terabaikan.
3. Pendekatan
kognitif dan transformative, dimana pendekatan ini dibangun pada teori-teori
syntactic dan pendekatan ini lebih ditekankan kepada pengolahan bahasa. Dimana
(maha)siswa dapat berbahasa dilingkungan sosialnya.
4. Pendekatan
communicative competence, diamana pendekatan ini lebih difokuskan kepada
bagaimana (maha)siswa dapat berkomunikasi, baik itu dengan bahasa yang terbatas
atau bahasa yang spontan dan alami. Bahasa bukan hanya dengan sekedar untuk
berkomunikasi, tetapi bagaimana caranya kita mampu bernalar, dimana kita
seharusnya mampu berkomunikasi dengan bernalar melalui social, politik dan
ekonomi.
5. Pendekatan
literasi, dimana pendekatan ini memfokuskan bagaimana caranya (maha)siswa mampu
menunjukkan hasil wacana. Pembelajaran dilakukan melalui empat tahahapan,
yaitu: 1. Membangun pengetahuan, 2. Menyusun model-model teks, 3. Menyusun teks
bareng-bareng, dan 4. Menciptakan teks sendiri.
Setelah
mengetahui pendekatan-pendekatan belajar bahasa asing, mari kita beranjak ke
tahap yang selanjutnya, yaitu yang terpenting adalah bagaimana definisi
literasi itu sendiri. Banyak yang beranggapan bahwa literasi itu dianggap hanya
sekedar masalah psikologi saja, kita tidak menyadari bahwa ihwal literasi
ituakan sangat berhubungan dengan maslah ekonomi, social dan politik. “padahal
literasi adalah praktek kultural yang berkaitan dengan persoalan social dan
politik” (kutip). Selain itu terdapat empat model literasi, yaitu sebagai
berikut: 1. Memahami kode dalam teks, 2. Terlibat dalam memaknai teks, 3.
Menggunakan teks secara fungsional, dan 4. Melakukan analisis dan mentransformasi
teks secara kritis. Keempat peran penting literasi ini dapat diringkas kedalam
liam verba : memahami, melibat, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi
teks. Itulah hakikat makna nyata berliterasi secara kritis dlam masyarakat
demokratis. Jadi literasi adalah kemampuan seseorang dalam baca-tulis, serta
bagaimana seseorang bisa berkomunikasi dengan nalar social, ekonomi, dan
politik.
Ditinjau
dari beberapa pemahaman saya diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa makna dan
rujukan literasi terus berkembang dan berevolusi dan kini mulai meluas.
Literasi
tidak akan putus hubungannya dengan penggunaan bahasa, dan kini litrerasi sudah
menjadi kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling
berkaitan, yaitu:
1) Dimensi
geografis (local, nasional, regional, dan internasional), diplomat, misalnya,
lebih sering ditantang untuk memiliki literasi internasional daripada Bupati.
2) Dimensi
keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara). Dimensi ini
memperlihatkan bahwa literasi seseorang bisa dilihat dari kegiatannya dalam
membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Setiap sarjana pasti bisa membaca,
tapi tidak semua sarjana mampu menulis. Untuk menjadi seorang sarjana, tidak
cukup mengandalkan literasi, tapi harus juga memiliki numerisasi (keterampilan
menghitung) atau juga 3R yaitu reading, writing, and arithmetic.
3) Dimensi
fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri).
4) Dimensi
media (teks, cetak, visual, digital). Untuk menjadi literat, tidak cukup
menguasai baca-tulis saja tapi pengetahuan IT (Information Technology) sangat
penting, sehingga kini kehebatan universitas antara lain diukur lewat
webometrics, yaitu sejauh mana universitas tersebut diperbincangkan di dunia maya.
5) Dimensi
jumlah (satu, dua, beberapa). Orang multiliterat mampu berinteraksi dalam
berbagai situasi.
6) Dimensi
bahasa (etnis, local, nasional, regional, internasional) ada literasi yang
singular dan adapun yang literacy plural. Sebagai mahasiswa kita harus menjadi
orang yang multingual, dimana ketika anda memang mampu berliterat dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris tetapi anda tidak mampu berliterat dalam basis
bahasa ibu, maka anda bukanlah orang
yang multilingual melainkan anda orang yang payah!
Selain
enam definisi diatas ada 10 gagasan kunci mengenai literasi yang menunjukan
perubahan paradigma literasi sesuai dengan tantangan zaman dan perkembangan
ilmu pengetahuan sekarang ini.
ü
Ketertiban lembaga-lembaga social.
Setiap
lembaga itu menjalankan perannya dengan bahasa, sehingga muncullah bahas
birokrat atau bahasa politik yang menunjukan kekuasan birokrat terhadap rakyat.
ü
Tingkat kefasihan relative.
Setiap
interaksi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang berbeda.
ü
Pengembangan potensi diri dan pengetahuan.
Kemampuan
berliterasi yaitu dimana seseorang dapat mengekspresikan potensi diri serta
kemampuan memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan. Menulis akademik
adalah bagian dari literasi yang harus dikuasai oleh (calon) sarjana. Itulah akademik
literasi.
ü
Standard dunia.
Dalam
persaingan global sekarang ini rujuk mutu dikembangkan ke tingkat
internasional, agar tingkat literasi suatu bangsa mudah dibandingkan dengan
bangsa lainnya.
ü
Warga Negara demokratis.
Media
adalah salah satu pilar demokrasi. Dengan kata lain, pendidikan literasi harus
mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
ü
Keragaman local.
Disini
kita akan membahas bahwa manusia yang berliterat itu adalah orang yang
menghargai budaya dan keragaman bahasa. Dan mereka mengembangkan literasi dalam
konteks lokalnya, sebellum memasuki konteks nasional, regional, dan global.
ü
Hubungan global.
Literasi
tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaan teknologi informasi dan
penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
ü
Kewarganegaraan yang efektif.
Warga
Negara yang efektif mengetahui hak dan kewajibannya (cititenship literary).
Selama ini ada hipotesis yang mengatakan bahwa perbedaan bahasa berarti deficit
bahasa.
ü
Bahasa Inggris ragam dunia.
Pemahaman
dan antisipasi atas ragam bahasa Inggris merupakan bagian dari literasi global.
ü
Kemampuan berpikir kritis.
Berbicara
dan menulis adalah tindakan literasi dan merupakan keputusan politik. Dan
“manusia adalah mahluk pengguna symbol” (kutip).
ü
Masyarakat semiotic.
Semiotic
adalah ilmu tentang tanda. Budaya system tanda. Dalam upaya mengkaji budaya,
para ahli menggunakan istilah sintaksis, semantic dan pragmatic.
Selain
mengkaji tujuh ranah litrerasi diatas, pendidikan bahasa berbasis literasi
seyogyanya dilaksanakan dengan mengikuti tujuh prinsip, sebagai berikut :
A. Literasi
adalah kecakapan hidup (life skill) yang memungkinkan manusia berfungsi
maksimal sebagai anggota masyarakat.
B. Literasi
menakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana secara tulis
maupun secara lisan. Bagaimana seharusnya pendidikan bahasa sejak dini
membiasakan siswa berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan.
C. Literasi
adalah kemampuan memecahkan masalah. Pendidikan bahasa juga melatih siswa
berpikir kritis. Bahasa adalah alat berpikir. Karena itu, ada orang menyarankan
agar 3R dirubah menjadi 4R: reading, writing, arithmetic dan reasoning.
D. Literasi
adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya. Berbaca-tulis selalu ada dalam
system budaya (kepercayaan, sikap, cara dan tujuan budaya).
E. Literasi
adalah kegiatan refleksi (diri). Pendidikan bahasa seharusnya menanamkan pada
diri (maha)siswa kebiasaan melakukan refleksi atas bahasa sendiri maupun bahasa
orang lain, yakni kesadaran terhadap metakomunikasi.
F. Literasi
adalah hasil kolaborasi. Berbaca-tulis selalu melibatkan kolaborasi antara dua
belah pihak yang berkomunikasi.
G. Literasi
adalah kegiatan melakukan interpretasi. Penulis menginterpretasikan alam
semesta dan pengalaman subjektifnya lewat kata-kata, sedangkan pembaca memaknai
inerpretasi penulis.
Setelah
kita mengetahui banyak mengenai literasi itu sendiri, seharusnya kita dapat
segera menerapkannya didalam kehidupan kita, terlebih untuk membawa nama baik
Negara Indonesia ini ke kancah dunia. Seperti yang sudah kita ketahui dalam
wacana “Rapor Merah Literasi Anak Negeri” yang ditulis oleh A.Chaedar
Alwasilah, bahwa kondisi literasi anak bangsa ini sangatlah memprihatinkan.
Seperti
temuan-temuan beliau dari PIRLS (Progress in International Reading Literacy
Study) pada tahun 2006, yakni prestasi membaca pada kelas IV Indonesia yang
bersaing dengan siswa dari Negara peserta lainnya.
Dalam
penelitian ini tujuan membaca meliputi literacy purposes dan international
purposes. Sedangkan proses membaca interpreting, integrating, dan evaluating.
Berikut adalah temuan-temuannya literacy siswa Indonesia. Skor prestasi membaca
di Indonesia adalah 407 (untuk semua siswa), 417 untuk perempuan dan 398 untuk
laki-laki. Angka-angka ini berada di bawah rata-rata nilai Negara lain. Atau
dalam kategori Negara berdasarkan perbandingan skor membaca literacy purposes
(LP) dan informational purposes (IP). Negara yang prestasi membaca LP lebih
rendah daripada IP adalah Indonesia, malahan Negara kita ini menyandang gelar
paling tinggi untuk kategori ini. Selain itu, di Indonesia hanya tercatat 2%
siswa yang prestasi membacanya masuk ke dalam kategori sangat tinggi, 19% masuk
ke dalam kategori menengah, dan 55% masuk ke dalam kategori rendah. Ini
artinya, 45% siswa Indonesia tidak dapat mencapai skor 400.
Literasi
diukur juga dengan index of home educational resources (HER). Dimana setiap
rumah memiki banyak sekali sumber ilmu, seperti buku-buku dan computer, serta
tidak menutup kemungkinan background pendidikan orang tua mempengaruhi
tingginya literasi dalam keluarga. Di Indonesia masuk ke dalam ketegori posisi
yang paling bawah, yakni 1% ketegori high, 62% medium, dan 37% low dalam
ketegori ukuran HER.
Pendidikan
literasi adalah investasi jangka panjang yang berfungsi transformative, untuk
meningkatkan HID dan menjamin kehidupan social ekonomi yang lebih baik. Dengan
kata lain, “pendidikan literasi pasti mengubah pendapat dan pendapatan”.
(kutip). Namun dapat diprediksi bahwa prestasi menulis sangatlah bergantung
pada kemampuan membaca. Tanpa kegiatan membaca, orang akan kesulitan untuk menulis.
Ujung
tombak pendidikan literasi adalah guru, tapi membangun literasi bangsa harus
diawali dengan membangun guru yang professional dan guru professional hanya
dihasilkan oleh lembaga pendidikan guru yang professional juga.
Beranjak
ke pembahasan selanjutnya, yaitu “implementasi”. Rekayasa literasi adalah upaya
yang sengaja dan sistematis untuk menjadikan manusia terdidik dan berbudaya
lewat penguasaan bahasa secara optimal. Kern (2000:38) menyebut tiga dimensi,
yaitu dimensi linguistik, sosiokultural, dan kognitif / metakognitif. Dengan
demikian, rekayasa literasi berarti merekayasapengajaran membaca dan menulis
dalam empat dimensi diatas, dan menggunakannya secara serempak, aktif dan
terintegrasi.
Kegiatan
literasi selalu serentak melibatkan keempat dimensi (bahasa, konitif, social,
dan perkembangan). Literasi tidaklah sesederhana hanya sekedar menguasai
alphabet atau sekedar mengerti hubungan antara bunyi dengan symbol tulisannya,
tapi symbol itu difungsikan secara bernalar dalam konteks social. Tindak
pendidikan sangat mempengaruhi tingkat literasi seseorang. Artinya, bahwa
seorang literat itu tidak sekedar berbaca-tulis. Tapi juga terdidik dan
mengenal sastra.
Mengajarkan
literasi pada intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mempu berbaca-tulis,
terdidik, cerdas, dan menunjukan apresiasi terhadap sastra. Dalam garis
besarnya, ada tiga paradigma pembelajaran literasi, yaitu decoding, skill, dan
whole language (Kucer:200).
v
Paradigma 1. : decoding, menyatakan
bahwa grafofonem berfungsi sebagai pintu masuk literasi dan belajar bahasa
dimulai dengan menguasai bagian-bagian bahasa. Dalam paradigma ini berlaku
rumus :
Perkembangan
literasi = belajar ihwal literasi kemudian
belajar literasi dan dilanjut dengan belajar
melalui literasi.
v Paradigma
2. : keterampilan, bahwa penguasaan
morfem dan kosa kata adalah dasar untuk membaca. Dalam paradigma ini berlaku
rumus :
Pengembangan
literasi = belajar ihwal literasi kemudian belajar
literasi
Dan dilanjut dengan belajar
melalui literasi.
v Paradigma
3. : bahasa secara utuh, dilihat dari namanya paradigma ini menolak
pembelajaran yang meletakan focus kepada bagian atau serpihan bahasa. Belajar
literasi berlangsung seperti bayi belajar bahasa ujaran dari sekitar, yakni
berlangsung secara induktif. Paradigma ini menolak urutan rumus paradigma #1
dan 2, karena paradigma ini mengajukan rumus sebagai berikut : perkembangan
literasi adalah belajar melalui literasi
kemudian
belajar literasi dan dilanjut dengan belajar
ihwal literasi.
Paradigma adalah cara pandang dan pemaknaan terhadap
objek pandang (baca:pengajaran literasi) yang penting berekspresi tulis.
Kesalahan ejaan, tata bahasa, dan kosakata dapat dibenahi sambil jalan .
Bila rapor literasi anak bangsa ini merah seperti yang
sudah dikemukakan sebelumnya, apa yang salah dengan system pendidikan dan
pengajaran literasi di negeri ini? Apa karena metode dan teknik pengajaran
literasi selama ini kurang mencerdaskan? Bisa jadi. Tapi walau bagaimanapun
jangan menyalahkan guru bahasa, karena seyogyanya literasi juga akan dibangun
pula dimensi social dan politik.
Jadi kesimpulannya adalah menurut beberapa dimensi
literasi itu tidak sesederhana hanya sekedar kemampuan seseorang dalam
baca-tulis, tetapi juga bagaimana seseorang bisa memecahkan suatu masalah atau
juga kemampuan seseorang yang mampu bernalar social ekonomi dan politik.
Mengenai rapor merah yang diperoleh negeri ini mengenai tingkat literasi. Ini
adalah tugas semua orang. Bagaimana kita mengubah paradigma yang ada menjadi
lebih baik lagi. Walaupun kita meyakini adanya kesalahan metode dan teknik
dalam pengajaran literasi, kita tidak boleh langsung menyalahkan guru bahasa,
karena seyogyanya literasi tumbuh dalam dimensi social dan politik. Diperlukan
kesadaran dari berbagai pihak, bahwa literasi akan tumbuh pada masyarakat yang
berpendidikan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic