2nd Class Review
Tertanggal 11 februari 2014, pertemuan kedua mata kuliah writing 4
cukup membuat dada ini terasa sesak. Seakan ingin mengeluarkan perasaan yang membuat
jiwa ini semakin rapuhdan semakin tersesat. Bagaikan tersesat di sebuah hutan yang penuh dengan
binatang buas, dan tak ada jalan keluar untuk keluar dari hutan itu. Tertekan?
Bisa dibilang seperti itu. Kenapa tidak? Semakin kesini semakin terasa beban
yang harus pikul. Ok kita mulai saja.
Pertemuan kedua ini, beliau membahas lebih detail tetang Writing 4.
Terdapat 3 poin penting dari pembahasan minggu sebelumnya.
1.
Academic
Writing
Seperti yang telah saya tuliskan pada class review pertama, bahwa
Academic Writing identik dengan tugas menulis yang harus dikerjakan oleh para
mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan di Perguruan Tinggi dan
Universitas. Sehingga terdapat pula sifat-sifat dari Academic Writing itu
sendiri, diantaranya:
Ø Rigid (kaku)
Kita tidak
pernah menyadari, jika kita sedang menulis tulisan tersebut terasa kaku dengan
bahasa-bahasa yang baku dan formal. Tetapi, sebagai penulis, kita dituntut
untuk dapat mencairkan hal yang dianggap kaku tersebut.
Ø Formal
Bahasa yang
kita gunakan untuk Academic Writing memang haruslah formal, karena penulis itu
bagaikan seorang chef yang handal dan chef tersebut khusus memasak makanan yang
berkelas dan hanya menghidangkan makanan untuk orang-orang yang berkelas pula.
Ø Critical
Hal inilah yang
sangat penting dalam sebuah tulisan yang mempunyai nilai tinggi. Kritik
terhadap suatu bahasan atau materi tentu saja sangat diperlukan. Karena, manusia
yang critical berarti Ia sukses menggunakan otaknya dengan baik. Tetapi,
penulis harus mempunyai kekuatan penting, yaitu referensi yang bersifat factual
dan tentunya logical.
Ø Structure-Focused
Academic
Writing tentunya bukan hanya sekedar menulis, tetapi di dalamnya pun terdapat
struktur yang harus ditaati. Selain itu, penulis harus fokus terhadap materi
atau bahasan yang ditulis.
Ø Systematicity
Disamping
adanya struktur yang harus penulis taati, harus disadari pula penulisan sebuah
tulisan haruslah bersifat sistematis, karena ini akan berdampak pada tulisan
yang dikategorikan baik dan benar ataupun sebaliknya.
2.
Critical
Thinking
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa penulis haruslah mempunyai
sifat kritik terhadap infoemasi yang diproleh sebagai referensi. “You will not
take something for granted”. Dengan kata lain, seorang penulis tidak akan
mengambil sesuatu dari sesuatu yang belum dianggap pasti.
Kegiatan menulis tidak lepas dari kegiatan membaca dan berfikir.
Yang perlu kita sadari bahwa, membaca disini, bukan hanya sekedar membaca,
tetapi bagaimana untuk menjadi pembaca yang kritis. Dengan demikian, kegiatan
membaca, berfikir dan menulis haruslah disertai dengan sifat yang kritis. Ciri orang
yang kritis itu, Ia tidak mudah percaya terhadap sesuatu yang belum Ia tahu
sendiri. Selain itu, orang yang kritis itu selalu bertanya terhadap sesuatu
yang belum Ia pahami. Serta orang yang kritis itu, tidak pernah puas terhadap
informasi yang Ia dapatkan dan tidak pernah puas terhadap sesuatu yang sudah Ia
kerjakan.
3.
Writing
is...
1)
A
way of knowing something
Dengan kata lain, dengan menulis kita bisa
mengetahui sesuatu yang belum kita ketahui. Misalkan, sebelum menulis kita
diharuskan membaca terlebih dahulu, sehingga pada saat kita menulis kita tidak
menyadari bahwa kalimat yang kita tulis itu adalah hasil pemikiran kita
sendiri, dan kita juga akan mengetahui sejauh mana nilai tulisan kita.
2)
A
way of repesenting something
Dengan menulis
tetunya kita akan mengatakan sesuatu dan pula menunjukan sesuatu, yaitu berupa
tulisan. Apa yang kita fikirkan, apa yang kita rasakan dan apa yang kita tahu,
kita tuangkan dalam sebuah tulisan yang akan dibaca oleh orang lain.
3)
A
way reproducing something
Menulis merupakan
sesuatu yang butuh proses, dimana proses tersebut berupa kegiatan membaca dan
berfikir. Dengan demikian, kegiatan menulis adalah jalan dimana kita sedang
memproduksi sesuatu, yaitu berupa karya tulisan yang bermakna dan bernilai
tinggi dengan wawasan yang luas dan tentunya critical.
Adapun yang menyebutkan Writing
sebagai info pengetahuan dan eksperience. Eksperience disini, bermakna bahwa
menulis adalah suatu pengalamana yang membutuhkan proses yang dapat mengasah
otak. Dimana kita harus berfikir tetang apa yang akan kita bahas, kemudian
bagaimana kita memulai sebuah tulisan dan mungkin masih banyak lagi.
Kita dapat disebut sebagai penulis pada saat menulis. Tetapi
penulis yang mempunyai kemampuan yang tinggi sebagai penulis dan hasil
tulisannya dibaca oleh orang lain, walaupun Ia tidak sedang menulis Ia bisa
disebut sebagai penulis. Seorang penulis juga harus pandai memprediksi bacaan
atau pun bahasa yang akan ditulis. Oleh karena itu, sesuai dengan kegiatan
Academic Writing, penulis dituntut untuk bisa mengumpulkan pengetahuan dengan
kegiatan membaca dan dituntut untuk menjadi pembaca yang dinamis dan akan lebih
baiknya sebagai penulis yang handal, seseorang ditutut untuk menjadi Quantified
Reader.
Mr. Lala bertanya, apakah kita
semakin merasa kesulitan pada saat menulis? Jujur yang Saya rasakan memang
seperti demikian, namun keinginan untuk bisa menulis dengan baik pun semakin
muncul, hanya saja terkadang sulit untuk menentukan kata ataupun kalimat yang
pertama kali ditulis. Pertanyaannya, apakah hal ini dikarenakan kurangnya minat
membaca pada diri Saya?
Hoey (2001), mengibaratkan pembaca dan penulis itu seperti
penari. Dimana mereka saling megikuti irama sebuah lagu, dan mereka pun harus
menari bersamaan dan harus seirama. Dengan demikian, pembaca dan penulis
sangatlah berhubungan, dimana penulis berfungsi sebagai pengantar pengetahuan,
dan pembaca sebagai penerima pengetahuan. Yang harus kita ketahui adalah yang
menghidupkan roh dalam tulisan yaitu pembaca. Jadi, jika kita menulis tanpa ada
yang membacanya, maka tulisan kita sama saja seperti kuburan.
Berawal dari sebuah topik yang menjelaskan hubungan Teks, Konteks, Pembaca,
Penulis dan Makna. Kelima komponen tersebut memanglah saling berhubungan,
dimana seorang pembaca membutuhkan sesuatu yang dapat dibaca. Kemudian, seorang
penulis pun memerlukan sesuatu yang harus ditulis. Disini akan dijawab. Bahwa
semuanya itu sangat membutuhkan TEKS. Menurut Lehtonen, Teks dapat berupa
tulisan, pidato, gambar, musik atau siumbol lainnya. Titik penting adalah bahwa
mereka terorganisir dan ada kombinasi simbolik relatif padat yang tampaknya
agak jelas didefinisikan.
Dalam segala bentuknya, teks ditandai dengan tiga ciri: materialitas,
hubungan formal dan kebermaknaan. Pertama, tanda-tanda teks adalah fisik
dan material. Keberadaan fisik dan sensual pengartian selalu memiliki basis
material, baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang
dipancarkan selama tindakan berbicara. Kedua, ada beberapa hubungan
formal antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks. Tanda-tanda yang
diposisikan dalam hubungan temporal dan lokal tertentu dengan tanda-tanda lain,
di mana mereka membentuk unit terorganisir yang berbeda pada tingkat hirarki
yang berbeda seperti huruf, kata, kalimat atau seluruh teks. Ketiga,
tanda-tanda memiliki makna semantik. Mereka mengacu pada sesuatu di luar
dirinya, apakah itu memiliki lingkup alam atau budaya, atau apakah non-tekstual
atau tekstual fenomena. Roland
barthnes (1915-1980) menyatakan bahwa pembentukan makna dalam interaksi
tanda-tanda dan pembaca. Dengan kata lain, pembaca adalah seseorang yang
membentuk makna suatu teks.
Teks adalah bahasa yang
berfungsi, maksudnya adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu
(menyampaikan pesan atau informasi) dalam konteks situasi, berlainan dengan
kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin dituliskan di papan tulis.
Bentuknya bisa percakapan dan tulisan (bentuk-bentuk yang kita gunakan untuk
menyatakan apa saja yang kita pikirkan). Hal penting mengenai sifat teks ialah
bahwa meskipun teks itu bila kita tuliskan tampak seakan-akan terdiri dari
kata-kata dan kalimat, namun sesungguhnya terdiri dari makna-makna. Memang
makna-makna atau maksud yang ingin kita sampaikan kepada orang lain haruslah
dikodekan dalam tuturan lisan atau kalimat-kalimat supaya dapat
dikomunikasikan.
Teks merupakan produk,
dalam arti bahwa teks itu merupakan keluaran (output) ; sesuatu yang dapat
direkam atau dipelajari (berwujud). Teks juga merupakan proses, dalam arti
merupakan proses pemilihan makna yang terus-menerus, maksudnya ketika kita
menerima atau memberi informasi dalam bentuk teks (lisan atau tulis) maka
tentunya di dalam otak kita terjadi proses pemahaman (pemilihan makna) terhadap
informasi tersebut, jangan sampai terjadi kesalahpahaman. Adapun kriteria teks
sebagai berikut:
Kriteria yang bersifat internal teks:
Ø Kohesi : kesatuan makna
Ø Koherensi : kepaduan kalimat (keterkaitan antarkalimat)
Kriteria yang bersifat eksternal teks:
Ø Intertekstualitas : setiap teks saling berkaitan secara sinkronis atau diakronis.
Ø Intensionalitas : cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan
pembicaraan melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah. Intensionalitas
berkaitan dengan akseptabilitas (penerimaan informasi).
Ø Informativitas : kuantitas dan kualitas informasi.
Ø Situasionalitas : situasi tuturan.
Konteks adalah sesuatu
yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar, konteks wacana
dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks
ekstralinguistik. Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur
bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan kata depan, kata sifat, kata
kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif. Konteks ekstralinguistik adalah
konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu
mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran,
dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam
peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan
pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi.
Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana.
Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana. Halliday dan Hasan
(1992: 14) menandai konteks bahasa atau koteks itu sebagai konteks internal
wacana (internal discourse context) sedangkan segala sesuatu yang melingkupi
wacana, baik konteks situasi maupun konteks budaya sebagai konteks eksternal
wacana (external discourse contex). Senada dengan uraian di atas, Saragih dalam
Persfektif LFS (2006: 4), juga memaparkan bahwa konteks merupakan wahana
terbentuknya teks. Tidak ada teks tanpa konteks. Konteks mengacu pada segala
sesuatu yang mendampingi teks.
Menurut Kridalaksana,
konteks merupakan ciri-ciri alam di luar bahasa lingkungan atau situasi tuturan
berlangsung yang menumbuhkan makna pada ujaran lingkungan nonlinguistik dari
wacana. Menurut Moelyono dan Soenjono, konteks wacana
dibentuk oleh berbagai unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu,
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk, amanat, dan kode.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa konteks adalah segala sesuatu yang melingkupi teks.
Teks dan konteks merupakan sesuatu yang selalu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Makna yang
terealisasi dalam teks merupakan hasil interaksi pemakai bahasa dengan
konteksnya, sehingga konteks merupakan wacana terbentuknya teks.
Anggi Miladi Shulhiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic