1st Chapter Review
Hingga saat ini,
Indonesia masih bisa dibilang sebagai Negara yang masih rendah akan kesadaran
literasinya. Hal ini dibuktikan dengan
kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia akan betapa pentingnya memiliki
kemampuan literasi yakni membaca dan menulis.
Hal ini jugalah yang menjadi faktor utama penyebab rendahnya atau tertinggalnya
bangsa Indonesia dalam pembangunan Negara sehingga bangsa kita ini mengalami
keterpurukan di dunia literasi.
Seiring
berkembangnya zaman, literasi ini mengalami banyak rekayasa. Yang dimaksud ”rekayasa literasi”
disini yaitu mengenai cara pengajaran reading dan writing. Kalau biasanya kita belajar reading dan
writing dengan cara membaca terlebih dahulu teksnya, kemudian merespon,
lalu menulis ulang ke dalam sebuah tulisan.
Sekarang yang harus kita perhatikan yaitu bagaimana cara kita mendekati
teks tersebut. Dengan kata lain,
rekayasa literasi berarti merekayasa cara pengajaran membaca dan menulis yang
meliputi empat dimensi yaitu linguistik (fokus teks), kognitif (fokus mind),
perkembangan (fokus pertumbuhan), dan sosiokultural (fokus kelompok).
Lewat tulisan yang
berjudul “Rekayasa Literasi” karangan Prof. Dr. Chaedar Alwasilah ini,
secara garis besar tulisan tersebut masih membahas tentang permasalahan minat
atau kesadaran literasi di kalangan masyarakat Indonesia khususnya
mahasiswa. Setelah saya membaca tulisan
tersebut, ada beberapa poin penting yang dijelaskan oleh penulis perihal metode
atau cara yang digunakan dalam pengajaran bahasa asing di setiap
pendidikan. Metode tersebut terdiri dari 5 (lima) pendekatan,
antara lain :
1.
Pendekatan Struktural : Grammar Translation Methods (Populer sampai
dengan Perang Dunia ke-2).
Fokus : penggunaan bahasa tulis dan penguasaan tata
bahasa. Seperti mengidentifikasi bentuk bahasa, jenis kata, dan unit-unit
sintaksis (kata, frase, klausa).
Tujuan : agar
siswanya mampu memperbaiki dan menganalisis setiap kesalahan bahasa yang
dipelajari oleh mereka.
2.
Pendekatan Audiolingual : Dengar-ucap (1940-1960)
Fokus :
latihan dialog-dialog pendek.
Tujuan : agar siswanya mampu beranalogi pada
dialog-dialog tersebut saat berkomunikasi secara spontan.
Kelemahan : pendekatan ini
urang efektif karena penguasaan baca-tulis terabaikan oleh siswanya.
3.
Pendekatan Kognitif dan Transformatif
Fokus :
pembangkitan potensi berbahasa siswa.
Tujuan : agar siswanya terus meningkatkan
kemampuan dalam bahasa yang mereka
kuasai.
4.
Pendekatan Communicative Competence (1980-1990)
Fokus
:
Latihan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik.
Tujuan : agar siswanya
mampu berkomunikasi dalam bahasa sesuai dengan bahasa yang ditargetkan.
5.
Pendekatan Literasi : Pendekatan Genre-Based
Fokus
:
Implikasi dari studi wacana.
Tujuan :
agar siswanya mampu menghasilkan wacana yang sesuai dengan tuntutan konteks
komunikasi.
Ada empat tahapan pembelajaran yang dilakukan oleh pendekatan ini,
yaitu :
ü Membangun
pengetahuan (building knowledge of field)
ü Menyusun
model-model teks (modeling of text)
ü Menyusun teks
secara bersamaan (joint construction of text)
ü Menciptakan
sendiri teks (independent construction of text)
Bicara tentang definisi literasi,
ada banyak sekali definisi tentang hal itu baik itu yang didefinisikan secara
sederhana maupun kompleks. Meskipun
demikian, pada dasarnya literasi merupakan suatu pembelajaran yang didalamnya membahas
tentang genre, wacana, literasi, teks, dan konteks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
literasi itu tidak ada, melainkan hanya ada kata literator dan literer. Pada zaman dahulu, membaca dan menulis
dianggap “cukup” sebagai pendidikan dasar (pendidikan umum) untuk membekali
manusia dalam menghadapi tantangan zaman.
Oleh karena itu terkadang kata literate diartikan sebagai educated. Secara singkat, literasi didefinisikan
sebagai kemampuan membaca dan menulis. ( 7th Edition Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, 2005: 898).
Sedangkan definisi literasi lainnya yaitu praktik kultural yang
berkaitan dengan persoalan sosial dan politik.
Di sisi lain, Freebody & Luke
juga menawarkan gagasannya sebagaimana ditulis oleh pak Chaedar dalam bukunya mengenai
model-model literasi, diantaranya sebagai berikut :
a)
Memahami kode dalam teks (breaking the codes of texts),
b)
Terlibat dalam memaknai teks (participating in the meaning of
texts),
c)
Menggunakan teks secara fungsional (using texts functionally), dan
d)
Melakukan analisis dan mentransformasi teks secara kritis
(critically analyzing and transforming texts).
Keempat peran literasi ini dapat
diringkas ke dalam 5 (lima) verba, yaitu :
memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi
teks. Dari dahulu hingga sampai saat
ini, kata “literasi” tidak pernah lepas dari yang namanya baca-tulis dan
juga writer-reader. Seiring
berkembangnya zaman, makna dan rujukan literasi terus berevolusi, dan kini
maknanya semakin luas dan kompleks.
Perubahan makna tersebut mengakibatkan perubahan pengajaran literasi
yang ada di Negara ini. Di bawah ini ada
beberapa dimensi yang saling berhubungan dengan kajian lintas disiplin dalam
penggunaan bahasa, antara lain :
§ Dimensi
Geografis : lokal, nasional, ragional, dan internasional. Semua itu tergantung pada tingkat pendidikan
dan jenjang sosialnya.
§ Dimensi Bidang : pendidikan, komunikasi, administrasi,
hiburan, dan lain-lain. Menurut dimensi
ini, pendidikan yang berkualitas tinggi juga akan menghasilkan literasi yang
berkualitas tinggi.
§ Dimensi Keterampilan
: membaca, menulis, menghitung, dan
berbicara. Literasi seseorang akan
tampak dalam kegiatan tersebut. Dengan
demikian, setiap sarjana pasti mampu membaca.
Namun tidak semua dari mereka mampu menulis.
§ Dimensi Fungsi :
memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan,
mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri.
Orang
yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan persoalan, tidak sulit untuk
mendapatkan pekerjaan, memiliki potensi untuk mencapai tujuan hidupnya, dan
gesit mengembangkan serta mereproduksi ilmu pengetahuan (kepakaran).
§ Dimensi Media :
teks, cetak, visual, dan digital.
Dimensi ini meliputi literasi visual, digital, dan virtual.
§ Dimensi jumlah :
satu, dua, dan beberapa. Literasi
disini bersifat relatif. Artinya mampu
berinteraksi dalam berbagai situasi.
§ Dimensi bahasa :
etnis, lokal, nasional, regional, dan internasional. Dalam dimensi ini, ada literasi yang bersifat
singular dan ada juga yang bersifat plural.
Hal ini beranalogi kepada dimensi monolingual, bilingual, dan
multilingual.
Selain dari uraian di atas, beliau, pak Chaedar juga memaparkan
tentang 10 gagasan kunci yang menandai adanya perubahan paradigma literasi sesuai
dengan tantangan zaman dan melesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di zaman
sekarang ini, diantaranya :
1)
Keterlibatan lembaga-lembaga sosial
2)
Tingkat kefasihan relatif
3)
Pembangunan potensi diri dan
pengetahuan
4)
Standar dunia
5)
Warga masyarakat demokratis
6)
Keragaman lokal
7)
Hubungan global
8)
Kewarganegaraan yang efektif
9)
Bahasa Inggris ragam dunia
10)
Kemampuan berpikir kritis
Semua gagasan tersebut, tidak akan
terlepas dari peranan masyarakat yang memiliki kesadaran literasi semiotik,
yakni masyarakat yang bernegosiasi dengan dunia symbol, dan mongonstruksi
dirinya sendiri secara semiotik, dari cara mereka berkomunikasi non-verbal
sampai cara mereka berpakaian (Luke, 2003).
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sehyogyanya bisa menguasai
literasi tersebut.
Dari semua penjelasan di atas, masih
ada lagi yang pak Chaedar tulis dalam bukunya yaitu tentang 7 (tujuh) prisnsip
yang seharusnya dilakukan dalam pendidikan bahasa berbasis literasi, sebagai
berikut :
a.
Literasi merupakan kecakapan hidup (life skill).
b.
Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya
berwacana secara kritis baik tertulis maupun lisan.
c.
Literasi merupakan kemampuan untuk memecahkan masalah.
d.
Literasi merupakan refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
e.
Literasi merupakan kegiatan refleksi diri.
f.
Literasi merupakan hasil kolaborasi.
g.
Literasi merupakan kegiatan melakukan interpretasi.
Menurut pendapat saya, sampai saat
ini kondisi minat kesadaran literasi bangsa kita masih sangat minim, terutama
dikalangan mahasiswa. Jika seterusnya
bangsa kita masih tetap seperti ini bahkan masih acuh terhadap literasi, maka
akan menjadi seperti apa negeri kita tercinta ini? Persoalan ini merupakan PR bagi kita semua
selaku anak bangsa yang memiliki kewajiban untuk membawa bangsa kita agar
kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi.
Melalui penelitian dunia yang
dikenal dengan PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study),
PISA (Program for International Student Assessment) dan TIMSS (the
Third International Mathematics and Science Study) yang meneliti ukuran
literasi membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan, ternyata terbukti bahwa
posisi minat literasi Indonesia
menempati urutan yang bisa dibilang rendah jika dibandingkan dengan Negara
lainnya. Dari hasil peneliatian PIRLS di
kelas IV (empat) tantang literasi membaca, diantaranya sebagai berikut :
·
Indonesia menempati posisi ke-5 dari bawah jika dibandingkan dengan
Rusia, Hong Kong, Kanada/Alberta, dan Singapura, yaitu dengan skor prestasi
407.
·
Indonesia memiliki pendapatan kapita dan indeks pembangunan manusia
(HDI) yang sangat rendah jika dibandingkan dengan Negara lainnya.
·
Indonesia termasuk Negara dengan indikator lebih tinggi dalam retrieving
dan straightforward inferencing process.
·
Di Indonesia hanya tercatat 2 % siswa yang memiliki kualitas
membaca yang tinggi, dan 19 % masuk ke dalam kategori menengah (medium), dan 55
% masuk ke dalam kategori rendah.
·
Indonesia diukur dengan index of home education resources (HER) yang meliputi jumlah buku, jumlah buku
anak-anak, sumber belajar lainnya seperti komputer, meja belajar sendiri, buku
milik sendiri, dan akses ke surat kabar.
·
Indonesia termasuk kedalam kategori Negara yang memiliki lulusan
pendidikan orang tua terendah dibandingkan dengan Negara lain.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa tingkat literasi siswa di Indonesia masih jauh tertinggal
jika dibandingkan dengan siswa di Negara lain.
Dengan demikian, Indonesia belum berhasil menciptakan Negara
literat. Selain itu, tanpa adanya
kegiatan banyak membaca, seseorang akan kusulitan untuk menjadi seorang
penulis. Akan tetapi seseorang yang
banyak baca tidak menjamin bahwa dirinya akan selalu rajin untuk menulis. Di bawah ini ada beberapa catatan tentang
jumlah buku yang diterbitkan oleh Negara-negara setiap tahunnya sampai 2003,
antara lain :
§ Amerika :
90.000 buku
§ India :
70.000 buku
§ Jepang :
60.000 buku
§ Korea :
45.000 buku
§ Malaysia : 8.500
buku
§ Indonesia :
6.000 buku
Bila setiap dosen menjalankan
kewajibannya untuk menulis sebuah buku dalam setiap tiga tahun, tentunya akan
terbit sekitar 77.000 buku, itu pun belum termasuk buku-buku yang ditulis oleh
kalangan non-dosen. Dengan cara ini,
Indonesia mungkin akan mampu menyamai India.
Penguasaan literasi juga pada
dasarnya harus dikuasai oleh para guru.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setiadi (2010), ditemukan kenyataan
sebagai berikut :
a.
Dalam pembelajaran membaca dan menulis, guru hanya mengandalkan
kurikulum nasional dan buku pokok.
b.
Pemodalan dalam kegiatan membaca dan menulis tidak lazim dilakukan
oleh para guru.
c.
Guru tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dalam kegiatan
mengelola kelas.
Di bawah ini merupakan 6 (enam)
profesionalisme guru terhadap pendidikan literasi, yakni :
1)
Komitmen profesional
2)
Komitmen etis
3)
Strategi analisis dan efektif
4)
Efikasi diri
5)
Pengetahuan bidang studi
6)
Keterampilan literasi dan numerasi (Core dan Chan, 1994 dikutip
oleh Setiadi, 2010).
Dari uraian di atas, dengan demikian
membangun literasi bangsa harus diawali dengan menciptakan guru-guru yang
profesional, dan seorang guru yang profesional itu hanya dihasilkan oleh
lembaga pendidikan guru yang profesional juga.
Rekayasa literasi mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap perkembangan suatu bangsa. Tentunya, dalam perbaikan rekayasa literasi
seyogyanya menyangkut 4 (empat) dimensi, yaitu :
1)
Linguistik (fokus pada teks) : a) Sistem bahasa untuk membangun
makna, b) Persamaan dan perbedaan bahasa lisan dan tulis, c) Ragam bahasa tulisan dan lisan.
2)
Kognitif (fokus pada mind) :
a) Aktif, selektif, dan konstruktif, b) Memanfaatkan pengetahuan yang
ada, c) Menggunakan proses mental dan strategi.
3)
Perkembangan (fokus pada pertumbuhan) : a) Pembelajaran yang aktif dan konstruktif,
b) Memakai berbagai strategi dan proses mengontruksi berbagai dimensi literasi,
c) Pengamatan data, dan sebagainya.
4)
Sosiokultural (fokus pada kelompok) : a) Tujuan dan pola literasi yang beragam, b)
Aturan serta norma dalam melakukan transaksi dengan bahasa tulis, c) Fitur
linguistic, dan lain-lain.
Jadi, dimensi kegiatan literasi ini
melibatkan 4 (empat) dimensi yaitu bahasa, kognitif, sosial, dan
perkembangan. Pengajaran literasi pada
intinya menjadikan manusia yang secara fungsional mampu berbaca-tulis, terdidik,
cerdas, dan menunjukkan apresiasi terhadap sastra. Untuk meluruskan rekayasa literasi soyogyanya
diawali dengan pemahaman atas berbagai paradigma pengajaran literasi. Secara garis besar, ada 3 (tiga) paradigma
pembelajaran literasi, yakni decoding, skills, dan whole language (Kucer:
2000).
Ø
Decoding : Siswa mampu membangun
literasi dengan cara diajarkan terlebih dahulu tentang literasi, yakni
bagaimana cara memaknai kode suatu bahasa.
Rumus :
Literasi = belajar ihwal literasi belajar
literasi belajar melalui
literasi.
Ø
Skills (Keterampilan)
: Siswa membangun literasi dengan cara
diajari terlebih dahulu tentang pengetahuan literasi, yakni tentang cara
memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata.
Rumus :
Literasi = belajar ihwal literasi belajar
literasi belajar melalui
literasi.
Ø Bahasa secara
utuh (whole language) : Siswa akan mampu menemukan keteraturan
bahasa.
Rumus :
Literasi = belajar melalui literasi belajar
literasi belajar ihwal literasi.
Dari berbagai
penjelasan dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa paradigma terhadap
literasi semakin berkembang. Hal inilah
yang menjadi pemicu adanya rekayasa literasi.
rekayasa literasi berarti merekayasa cara pengajaran membaca dan menulis
yang meliputi empat dimensi yaitu linguistik (fokus teks), kognitif (fokus
mind), perkembangan (fokus pertumbuhan), dan sosiokultural (fokus
kelompok). Namun, semua itu memerlukan
proses dan penelitian yang dapat diterima oleh para ahli bahasa. Selain itu, turunnya peringkat literasi
bangsa Indonesia merupakan salah satu
faktor penyebab terpuruknya bangsa kita.
Oleh karena itu, dengan adanya kenyataan seperti ini, seharusnya itu semua
bisa menjadi motivasi bagi kita semua untuk melakukan perubahan agar kedepannya
bisa menjadi lebih baik lagi, dan perubahan itu berawal dari kesadaran kita
masing-masing. Sehingga kita bisa
menunjukkan kepada dunia bahwa kita, bangsa Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukan bangsa kita melalui peningkatan literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic