We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Rabu, 19 Februari 2014


Chapter Review

Literasi Bukan Baca Tulis
“Belaka”

Siapa bilang literasi adalah keterampilan baca-tulis? Memang menurut Oxford edisi ketujuh (definisi lama) bahwa literasi adalah sebuah ketrampilan membaca dan menulis yang dimiliki seseorang. Kemampuan literasi seseorang tidak serta merta hadir begitu saja dan tidak semua orang memiliki kemampuan ini. Keterampilan berbahasa mencakup 4 segi yaitu Keterampilan menyimak (listening skills), Keterampilan berbicara (speaking skills), Keterampilan membaca (reading skills), dan Keterampilan menulis (writing skills). Setiap keterampilan itu erat sekali berhubungan dengan yang lainnya dengan cara yang beraneka ragam. Dalam memperoleh keterampilan berbahasa bisa kita mulai dari menyimak kemudian berbicara, sesudah itu belajar membaca dan menulis. Keempat keterampilan tersebut pada dasarnya merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya setiap keterampilan itu erat berhubungan dengan proses - proses yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa semakin teerampil pula jalan pikirannya. Keterampilan hanya dapat diperoleh dengan jalan praktek dan latihan yang melelahkan. Melatih keterampilan berbahasa berarti melatih keterampilan berpikir.
Makna dan rujukan literasi akan terus berevolusi, maknanya akan semakin meluas dan kompleks. Literasi merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang saling terkait.
1.    Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan Internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi geografis bergantuung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vocasionalnya.
2.    Dimensi Bidang (pendidikan, komukasi, militer, dsb)
Dari berbagai macam bidang yang berkualitas tinggi pasti menghasilkan literasi yang tinggi pula.
3.    Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara)
Literasi seseorang tampak dalam kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Kualitas tulisan bergantung pada “gizi” bacaan yang disantapnya. Gizi itu tampak saat orang itu berbicara.
4.    Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapat pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri)
Orang-orang yang literat akan sangat mudah untuk mewujudkan dimensi fungsi.
5.    Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital)
Pada zaman seperti sekarang ini orang harus bisa mengandalkan media lain selain membaca dan mennulis.
6.     Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal seperti, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainya.
7.     Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional)
Multilingual - multiliterat
Dalam kehidupan modern jelas bahwa keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Literasi tidak lagi hanya merupakan budaya kegiatan baca-tulis dalam konteks yang sempit, melainkan literasi saat ini sudah amat kompleks yang merupakan hubungan anatar membaca dan menulis dengan text (linguistic), mind (kognitif), group (sosicultural), dan growth (perkembangan berpikir). Pada saat ini literasi berkecimpung mengenai praktek Cultural yang berintegrasi dengan persoalan sosial dan  politik. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keterampilan menulis merupakan suatu ciri dari orang terpelajar atau bangsa yang terpelajar atau bangsa yang maju dan berperadaban. Salah satu faktor pokok agar seseorang memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik adalah kecintaan terhadap ilmu. Inilah salah satu sifat kecendikian  seseorang. Di dunia modern ini, definisi literasi tidak semata-mata hanya kecakapan membaca dan menulis. Literasi merupakan integrasi ketrampilan menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan masyarakat mengenai persoalan-persoalan yang terjadi. Sehingga diharapkan literasi mampu berperan dalam memahami, melibatkan, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks-teks yang ada di masyarakat.
Membaca ternyata memerlukan sikap kritis untuk membangun logika yang obyektif (apa adanya) terhadap teks yang sedang dihadapi. Sikap kritis dan daya nalar inilah yang sesungguhnya diperlukan untuk mendiagnosa kebutuhan sosial warga sekaligus menemukan formula solusinya. Seorang literate adalah orang yang piawai  membaca teks dan realitas di lingkungannya.
Menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis haruslah terampil dalam memanfaatkan struktur bahasa dan kosakata . Keterampilan menulis tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan teratur. Seperti yang telah dan sedang penulis lakukan bersama teman-teman seperjuangan pada mata kuliah Wriritng2, English Phonology, dan Writing 4 (Writing for Academic Purpose).
Imam Syafi’i berkata, “Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan didalam karung, menulis adalah ikatannya” Ali ibn Abi Thalib berkata, “Ikatlah ilmu dengan menulis” Kalimat yang sangat mendalam betapa manfaat menulis dalam keilmuan tidak dapat terpisahkan karena menulis akan menghasilkan sebuah karya yang akan abadi dan terus mengalir manfaatnya walaupun penulis sudah tidak di dunia lagi. Jika orator akan terkenang akan gaya penyampaian dan beberapa kalimat intinya, penulis lewat tulisannya akan terkenang dengan utuh gagasan pemikirannya dan utuh tersampaikan.
Islam adalah agama yang berperadaban. Namun pada kenyataanya saat ini, kita sangat jauh tertinggal dengan bangsa Eropa. Kita harus sadar bahwa budaya keilmuan membaca, menulis dan berdiskusi saat masa Emas Islam sudah sangat jarang sekarang. Kiblat keilmuan pun kini terpacu pada standar keilmuan barat dan dengan sengaja meniadakan pengaruh tokoh serta keilmuan muslim. Padahal dalam catatan sejarah saat masa Emas Islam tidak terlepas dari budaya keilmuan membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi. Masa emas ini bersamaan dengan terjadinya kemunduran dan kegelapan pada benua eropa dan amerika. Tokoh-tokoh besar Islam sangat produktif dalam berkarya diberbagai bidang. Banyak tokoh Islam yang sampai saat ini terus di pelajari karyanya seperti imam syafii, imam hanafi, imam hambali, imam maliki, ibnu khaldun, Imam ghazali, ibnu sina, ibnu taimiyah dll. Pengembangan intelektual dalam Islam tidak terlepas dari karya-karya tulisan cendekia muslim yang aktif terus membuat karya yang meningkatkan pengetahuan ilmu agama, ilmu pengetahuan dan mengispirasi untuk terus mengembangkan keilmuan yang telah ada.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Peradaban Emas Islam tidak terlepas dari budaya ilmiah “membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi’’. Jika budaya itu hilang, pantaslah umat Islam menjadi Terbelakang. Terbelakang dalam bidang keilmuan akan berpengaruh terhadap perkembangan teknologi, ekonomi dan politik.
Dalam paradigma berpikir modern, Chaedar menjelaskan bahwa terdapat tiga paradigma pembelajaran literacy yakni decoding, skills, dan whole language (Kucer : 2000). Dalam decoding, siswa mulai membangun literasi dengan memaknai kode bahasa. Dalam skills atau keterampilan, siswa dilatih untuk membangun kosakata dan morfem bahasa. Sedangkan pada whole language, siswa diajarakan untuk memaknai teks secara utuh, tidak parsial. Literasi dalam konteks ini bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan. Dalam konteks modern, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh lagi literasi merupakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.
            Menengok kembali tentang definisi literasi yang terus berevolusi, ada 11 gagasan kunci tentang literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan perkembangan zaman.
Ø  Ketertiban lembaga-lembaga sosial
Ø  Tingkat kefasihan relatif
Ø  Pengembangan potensi diri dan pengetahuan
Ø  Standar dunia
Ø  Warga masyarakat demokratis
Ø  Keragaman lokal
Ø  Hubungan global
Ø  Kewarganegaraan yang efektif
Ø  Bahasa Inggris ragam dunia
Ø  Kemampuan berpikir kritis
Ø  Masyarakat semiotic
Penguasaan literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural karena literasi tersebut merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia. Dengan penguasaan literasi yang baik atau sesuai dengan sosiokulturalnya, manusia dapat berkomunikasi dengan baik pula. Agar literasi dapat dikuasai secara maksimal sehingga membantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka melalui komunikasi yang baik maka budaya literasi itu sangat penting.
Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dapat kita pahami bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Di dalam konteks sekolah, peserta didik belajar dalam suatu proses yang disebut pembelajaran. Namun adakah yang salah dengan sistem pembelajaran di Indonesia? Pembelajaran di sekolah pada saat ini lebih menitikberatkan pada transfer pengetahuan, sehingga kurang memperhatikan transfer nilai, seni dan budaya. Pentransferan pengetahuan yang terjadi pada saat inipun hanya seputar pengetahuan tentang materi yang ada di buku saja dan kurang memperhatikan bagaimana aplikasi pengetahuan tersebut di kehidupan sehari-hari (literasi). “Literacy is something we do”, kata Hayland. Pendidikan Indonesia saat ini cenderung hanya menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem persekolahan yang hanya “mentransfer” kepada peserta didik pengetahuan yang terlalu berpusat pada buku. Padahal kita ketahui bahwa “lembaga pendidikan bukanlah hanya sebagai pusat belajar mengajar tetapi juga sebagai pusat penghayatan dan pengembangan budaya, baik budaya lokal, nasional bahkan global”, kata Chaedar.
Sehingga pada dasarnya pendidikan Indonesia sangatlah membutuhkan suatu pendekatan, metode, model, media pembelajaran atau bahan ajar yang dapat melakukan pentransferan pengetahuan, aplikasi pengetahuan di kehidupan sehari-hari dan budaya secara serempak (sekaligus) atau diperlukannya penyampaian literasi sains kepada peserta didik. Namun pada kenyataannya masih jarang media-media yang mengintegrasikan budaya, literasi sains dengan pembelajaran sains, sebagai contoh bahan ajar.
Dalam sistem pendidikan, ada baiknya Indonesia mau belajar dari sistem pendidikan India. Negara India bukan sekadar Bollywood yang kita kenal dengan music videonya plus goyangannya yang menyejukan mata, atau hanya terkenal dengan Raja Hindustan “Shah Rukh Khan (SRK)” beserta Kajol, Rani Mukherjee, Pretty Zinta, dan artis-artis cantik lainnya.  Dibalik itu, India kini tengah merangkak maju menuju negara besar dunia. Keberhasilan India tidak hanya dari film saja, tapi juga dalam dunia teknologi informasi, otomotif, dan farmasi. Berbagai bentuk keberhasilan negara India berawal dari fondasi pembangunan pendidikannya. Pemerintah India pun memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan budaya membaca dan menulis masyarakatnya. Semakin banyak karya buku-buku yang ditulis, maka semakin banyak karya-karya lain yang akan lahir.
Dengan demikian, literasi bukan sekadar kemampuan baca-tulis. Literasi seharusnya dipahami sebagai proses interaksi antara diri, teks, dan konteks, pemahaman akan diri dan lingkungan kultural. Pemahaman literasi juga tidak hanya mengantarkan pada kemajuan individu tapi pada masanya nanti pada kesejahteraan suatu bangsa. Membaca buku berarti membuka jendela mata dunia. Buku merupakan instrumen pokok dunia pendidikan yang menjadi hal penting bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu negara. Negara yang memperhatikan kualitas dan kuantitas pendidikannya akan lebih maju daripada negara yang kurang memerhatikan sektor pendidikannya. Peran pendidikan dalam hal ini adalah menghasilkan sumber daya manusia yang berdaya guna bagi bangsa dan negara yang pada akhirnya berdampak positif pada kemajuan negara tersebut di berbagai bidang. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic