Chapter
Review
Literasi
Bukan Baca Tulis
“Belaka”
Siapa
bilang literasi adalah keterampilan baca-tulis? Memang menurut Oxford edisi
ketujuh (definisi lama) bahwa literasi adalah sebuah ketrampilan membaca dan
menulis yang dimiliki seseorang. Kemampuan literasi seseorang tidak serta merta
hadir begitu saja dan tidak semua orang memiliki kemampuan ini. Keterampilan berbahasa
mencakup 4 segi yaitu Keterampilan menyimak (listening skills), Keterampilan
berbicara (speaking skills), Keterampilan membaca (reading skills), dan Keterampilan
menulis (writing skills). Setiap keterampilan itu erat sekali berhubungan
dengan yang lainnya dengan cara yang beraneka ragam. Dalam memperoleh keterampilan
berbahasa bisa kita mulai dari menyimak kemudian berbicara, sesudah itu belajar
membaca dan menulis. Keempat keterampilan tersebut pada dasarnya merupakan suatu
kesatuan. Selanjutnya setiap keterampilan itu erat berhubungan dengan proses -
proses yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikirannya. Semakin
terampil seseorang berbahasa semakin teerampil pula jalan pikirannya. Keterampilan
hanya dapat diperoleh dengan jalan praktek dan latihan yang melelahkan. Melatih
keterampilan berbahasa berarti melatih keterampilan berpikir.
Makna dan
rujukan literasi akan terus berevolusi, maknanya akan semakin meluas dan
kompleks. Literasi merupakan kajian lintas disiplin yang memiliki tujuh dimensi
yang saling terkait.
1. Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan
Internasional)
Literasi seseorang dapat dikatakan berdimensi
geografis bergantuung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan
vocasionalnya.
2. Dimensi Bidang (pendidikan, komukasi, militer, dsb)
Dari berbagai macam bidang yang berkualitas tinggi
pasti menghasilkan literasi yang tinggi pula.
3. Dimensi Keterampilan (membaca,
menulis, menghitung, berbicara)
Literasi seseorang tampak dalam kegiatan membaca, menulis,
menghitung, dan berbicara. Kualitas tulisan bergantung pada “gizi” bacaan yang
disantapnya. Gizi itu tampak saat orang itu berbicara.
4. Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapat
pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi
diri)
Orang-orang yang literat akan sangat mudah untuk
mewujudkan dimensi fungsi.
5. Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital)
Pada zaman seperti sekarang ini orang harus bisa
mengandalkan media lain selain membaca dan mennulis.
6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa)
Jumlah dapat merujuk pada banyak hal seperti, variasi
bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu, media, dan sebagainya.
7. Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional,
internasional)
Multilingual
- multiliterat
Dalam
kehidupan modern jelas bahwa keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Literasi
tidak lagi hanya merupakan budaya kegiatan baca-tulis dalam konteks yang
sempit, melainkan literasi saat ini sudah amat kompleks yang merupakan hubungan
anatar membaca dan menulis dengan text (linguistic), mind (kognitif), group
(sosicultural), dan growth (perkembangan berpikir). Pada saat ini literasi
berkecimpung mengenai praktek Cultural yang berintegrasi dengan persoalan
sosial dan politik. Tidaklah berlebihan
jika dikatakan bahwa keterampilan menulis merupakan suatu ciri dari orang
terpelajar atau bangsa yang terpelajar atau bangsa yang maju dan berperadaban. Salah
satu faktor pokok agar seseorang memiliki kemampuan membaca dan menulis yang
baik adalah kecintaan terhadap ilmu. Inilah salah satu sifat kecendikian
seseorang. Di dunia modern ini, definisi literasi tidak semata-mata hanya kecakapan
membaca dan menulis. Literasi merupakan integrasi ketrampilan menyimak,
berbicara, membaca, menulis, dan berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di
lingkungan masyarakat mengenai persoalan-persoalan yang terjadi. Sehingga diharapkan
literasi mampu berperan dalam memahami, melibatkan, menggunakan, menganalisis,
dan mentransformasi teks-teks yang ada di masyarakat.
Membaca
ternyata memerlukan sikap kritis untuk membangun logika yang obyektif (apa
adanya) terhadap teks yang sedang dihadapi. Sikap kritis dan daya nalar inilah
yang sesungguhnya diperlukan untuk mendiagnosa kebutuhan sosial warga sekaligus
menemukan formula solusinya. Seorang literate adalah orang yang piawai
membaca teks dan realitas di lingkungannya.
Menulis
merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis
haruslah terampil dalam memanfaatkan struktur bahasa dan kosakata . Keterampilan
menulis tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan
praktek yang banyak dan teratur. Seperti yang telah dan sedang penulis lakukan bersama
teman-teman seperjuangan pada mata kuliah Wriritng2, English Phonology, dan
Writing 4 (Writing for Academic Purpose).
Imam
Syafi’i berkata, “Ilmu itu bagaikan hasil panen/buruan didalam karung, menulis
adalah ikatannya” Ali ibn Abi Thalib berkata, “Ikatlah ilmu dengan menulis” Kalimat
yang sangat mendalam betapa manfaat menulis dalam keilmuan tidak dapat
terpisahkan karena menulis akan menghasilkan sebuah karya yang akan abadi dan
terus mengalir manfaatnya walaupun penulis sudah tidak di dunia lagi. Jika
orator akan terkenang akan gaya penyampaian dan beberapa kalimat intinya,
penulis lewat tulisannya akan terkenang dengan utuh gagasan pemikirannya dan
utuh tersampaikan.
Islam
adalah agama yang berperadaban. Namun pada kenyataanya saat ini, kita sangat
jauh tertinggal dengan bangsa Eropa. Kita harus sadar bahwa budaya keilmuan
membaca, menulis dan berdiskusi saat masa Emas Islam sudah sangat jarang
sekarang. Kiblat keilmuan pun kini terpacu pada standar keilmuan barat dan
dengan sengaja meniadakan pengaruh tokoh serta keilmuan muslim. Padahal dalam
catatan sejarah saat masa Emas Islam tidak terlepas dari budaya keilmuan
membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi. Masa emas ini bersamaan dengan terjadinya
kemunduran dan kegelapan pada benua eropa dan amerika. Tokoh-tokoh besar Islam
sangat produktif dalam berkarya diberbagai bidang. Banyak tokoh Islam yang
sampai saat ini terus di pelajari karyanya seperti imam syafii, imam hanafi,
imam hambali, imam maliki, ibnu khaldun, Imam ghazali, ibnu sina, ibnu taimiyah
dll. Pengembangan
intelektual dalam Islam tidak terlepas dari karya-karya tulisan cendekia muslim
yang aktif terus membuat karya yang meningkatkan pengetahuan ilmu agama, ilmu
pengetahuan dan mengispirasi untuk terus mengembangkan keilmuan yang telah ada.
Dalam
sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun
dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata
negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan
literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Peradaban
Emas Islam tidak terlepas dari budaya ilmiah “membaca, meneliti, menulis dan berdiskusi’’. Jika budaya itu
hilang, pantaslah umat Islam menjadi Terbelakang. Terbelakang dalam bidang
keilmuan akan berpengaruh terhadap perkembangan teknologi, ekonomi dan politik.
Dalam
paradigma berpikir modern, Chaedar menjelaskan bahwa terdapat tiga paradigma
pembelajaran literacy yakni decoding, skills, dan whole language (Kucer :
2000). Dalam decoding, siswa mulai membangun literasi dengan memaknai kode
bahasa. Dalam skills atau keterampilan, siswa dilatih untuk membangun kosakata
dan morfem bahasa. Sedangkan pada whole language, siswa diajarakan untuk memaknai
teks secara utuh, tidak parsial. Literasi dalam konteks ini bisa diartikan
sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial
dengan huruf dan tulisan. Dalam konteks modern, literasi atau literer memiliki
definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi,
politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Lebih jauh
lagi literasi merupakan kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi
tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan
manfaat bagi masyarakat luas.
Menengok
kembali tentang definisi literasi yang terus berevolusi, ada 11 gagasan kunci
tentang literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi sesuai dengan
perkembangan zaman.
Ø Ketertiban
lembaga-lembaga sosial
Ø Tingkat
kefasihan relatif
Ø Pengembangan
potensi diri dan pengetahuan
Ø Standar
dunia
Ø Warga
masyarakat demokratis
Ø Keragaman
lokal
Ø Hubungan
global
Ø Kewarganegaraan
yang efektif
Ø Bahasa
Inggris ragam dunia
Ø Kemampuan
berpikir kritis
Ø Masyarakat
semiotic
Penguasaan
literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural karena
literasi tersebut merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia. Dengan
penguasaan literasi yang baik atau sesuai dengan sosiokulturalnya, manusia
dapat berkomunikasi dengan baik pula. Agar literasi dapat dikuasai secara
maksimal sehingga membantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka melalui
komunikasi yang baik maka budaya literasi itu sangat penting.
Belajar
merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan
misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Dapat
kita pahami bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Di dalam konteks
sekolah, peserta didik belajar dalam suatu proses yang disebut pembelajaran.
Namun adakah yang salah dengan sistem pembelajaran di Indonesia? Pembelajaran
di sekolah pada saat ini lebih menitikberatkan pada transfer pengetahuan,
sehingga kurang memperhatikan transfer nilai, seni dan budaya. Pentransferan
pengetahuan yang terjadi pada saat inipun hanya seputar pengetahuan tentang
materi yang ada di buku saja dan kurang memperhatikan bagaimana aplikasi
pengetahuan tersebut di kehidupan sehari-hari (literasi). “Literacy is something we do”, kata Hayland. Pendidikan Indonesia
saat ini cenderung hanya menjadi sarana “stratifikasi sosial” dan sistem
persekolahan yang hanya “mentransfer” kepada peserta didik pengetahuan yang
terlalu berpusat pada buku. Padahal kita ketahui bahwa “lembaga pendidikan
bukanlah hanya sebagai pusat belajar mengajar tetapi juga sebagai pusat
penghayatan dan pengembangan budaya, baik budaya lokal, nasional bahkan global”,
kata Chaedar.
Sehingga
pada dasarnya pendidikan Indonesia sangatlah membutuhkan suatu pendekatan,
metode, model, media pembelajaran atau bahan ajar yang dapat melakukan
pentransferan pengetahuan, aplikasi pengetahuan di kehidupan sehari-hari dan
budaya secara serempak (sekaligus) atau diperlukannya penyampaian literasi
sains kepada peserta didik. Namun pada kenyataannya masih jarang media-media
yang mengintegrasikan budaya, literasi sains dengan pembelajaran sains, sebagai
contoh bahan ajar.
Dalam sistem
pendidikan, ada baiknya Indonesia mau belajar dari sistem pendidikan India. Negara
India bukan sekadar Bollywood yang kita kenal dengan music videonya plus
goyangannya yang menyejukan mata, atau hanya terkenal dengan Raja Hindustan “Shah
Rukh Khan (SRK)” beserta Kajol, Rani Mukherjee, Pretty Zinta, dan artis-artis
cantik lainnya. Dibalik itu, India kini
tengah merangkak maju menuju negara besar dunia. Keberhasilan India tidak hanya
dari film saja, tapi juga dalam dunia teknologi informasi, otomotif, dan
farmasi. Berbagai bentuk keberhasilan negara India berawal dari fondasi
pembangunan pendidikannya. Pemerintah India pun memiliki komitmen kuat dalam
mempertahankan budaya membaca dan menulis masyarakatnya. Semakin banyak karya buku-buku
yang ditulis, maka semakin banyak karya-karya lain yang akan lahir.
Dengan
demikian, literasi bukan sekadar kemampuan
baca-tulis. Literasi seharusnya dipahami sebagai proses interaksi antara diri,
teks, dan konteks, pemahaman akan diri dan lingkungan kultural. Pemahaman
literasi juga tidak hanya mengantarkan pada kemajuan individu tapi pada masanya
nanti pada kesejahteraan suatu bangsa. Membaca buku
berarti membuka jendela mata dunia. Buku merupakan instrumen pokok dunia
pendidikan yang menjadi hal penting bagi kemajuan peradaban suatu bangsa. Pendidikan
merupakan kunci keberhasilan suatu negara. Negara yang memperhatikan kualitas
dan kuantitas pendidikannya akan lebih maju daripada negara yang kurang memerhatikan
sektor pendidikannya. Peran pendidikan dalam hal ini adalah menghasilkan sumber
daya manusia yang berdaya guna bagi bangsa dan negara yang pada akhirnya
berdampak positif pada kemajuan negara tersebut di berbagai bidang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic