Class review 7
Until the End
“I do the very best I know how, the
very best I can, and
I mean to keep on doing so until the
end.”
Abraham Lincoln
Seperti
biasa malam selalu setia menemaniku menulis dengan segala ketenangan dan
keindahannnya malam tak pernah pergi dan tetap menemani. Tak pernah. Semangatku
tak pernah padam saat malam datang, entah mengapa aku begitu menyukai malam.
Menulis lagi, lagi dan lagi, bayangkan begitu hampamnya malamku tanpa menulis,
jangan tanya ini rumit atau tidak yang pasti menulis membuat malam-malamnku
tertantang, tertantang untuk berpikir panjang, tertantang untuk bagaimana
caranya membuat pena ini menari dalam lembaran dan tertangtang untuk mengatahui
setiap ceruk-ceruk baru pengetahuan.
Orang-orang
di sana membual ingin lari saja dari menulis. Rumit, tapi aku tahu mereka tak
benar-benar mengatakannya, mereka juga akan tetap menjaga semangatnya untuk
tetap menulis sampai akhir. Lalu, aku juga demikian. Setidaknya aku tahu apa
yang harus aku lakukan “I do the very
best I know how, the very best I can, and I mean to keep on doing so until the
end” kata Lincoln, dan aku akan selalu melakukannya, selalu!
Sudah
beberapa minggu ini Howard Zinn dan history selalu mengisi malam-malam ku tanpa
tanya dan lagu ragu. Ini sudah kesekian kalinya Howard Zinn menjadi trending
topic dalam setiap lembaran bukuku. Pada Selasa, 18 Februari 2013 adalah waktu
untuk mulai menulis lagi. Milan Kundera berpendapat bahwa “to write, means for the poet to crush the wall
behind which something that ``was always there'' hides” (in L'Art duroman,1986). Ini berarti menulis bagi seorang penyair adalah seperti menghangcurkan
dinding dan mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Tak berbeda dengan
penyair, menulis bagi para sejarahwan juga demikian, sejarahwan harus mencari
kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi. Milan Kundera buerpendapat demikian
karena dia adalah seorang prnulis yang berliterasi melalui karya-karya
sastranya. Tak beda dengan penyair, sejarahwan juga demikian, sejarahwan harus
mencari kemungkinan-kemungkina baru yang mungkin masih tersembunyi dalam fakta
sejarah.
Tak dapat
kita pungkiri bahwa penulisan sejarah tercipta berkat kaum-kaum literat, berkat
kaum literat pula sejarah yang tadinya hanya disampaikan melalui mulut ke mulut
kini menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan kebenaran dan keberadaan dalam
kehidupan manusia. Dalam sejarah manusia, menulis lebih banyak diambil alih
dibandingkan dengan berbicara (Lehtonen,2000:53). Dalam pencatatan sejarah
memerluan teks dan alat proses yang disebut dengan ideologi (Fowler,1996:12). Sedikit memperdalam catatan
sebelumnya yang berjudul “Bias Ideologi,” Ideologi
di sini hanya didefinisikan sebagai sistem yang berada di dasar dari kognisi
sosial-politik kelompok (Lau dan Sears, 1986; Rosenberg, 1988). Teori ideologi
adalah rekening eksplisit struktur internal atau organisasi ideologi. Ini dapat
diasumsikan, seperti yang kita lakukan, bahwa ideologi fitur, seleksi kelompok
- relevan melayani diri sendiri dari sosial budaya dasar nilai-nilai. Selanjutnya, ideologi
tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang terkait dengan dominasi, kekuasaan atau perjuangan.
Relevan, sesuai dengan definisi kami,
namun, adalah kepentingan kelompok seperti yang didefinisikan oleh kategori
identitas, kegiatan, tujuan,
norma-norma dan nilai-nilai, posisi sosial dan sumber daya (Billig, 1991). Tujuan
utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses
pemikiran normatif. Ideologi
adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang
diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti
politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi
walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. Ideologi
merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan
suatu pilihan yang jelas membawa komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya.
Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi pula
komitmennya untuk melaksanakannya. Dengan demikian, ideologi mengatur sikap kelompok sosial yang terdiri
dariskematis terorganisir pendapat
umum tentang isu-isu sosial yang relevan (Eagly dan Chaiken, 1993).
Seperti halnya linguist kritis, sejarahawan juga
bertujuan untuk memahami nilai (Fowler,1996:10). Menurut Dictonary of Sosciology and Related Science,
nilai adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia, siklus dari suatu benda menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok. Pada dasarnya nilai merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada
suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung nilai berarti ada
sifat atau kualitas yang melekat pada objek tersebut. Dengan demikian nilai itu
sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan
lainnya. Adanya nilai karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa
nilai. Youn Ambriose mengaitkan nilai dengan kebudayaan dan menganggap nilai
merupakan inti dari kebudayaan tersebut. Nilai merupakan suatu daya dorong
dalam kehiduapn seseorang baik pribadi maupun kelompok.Oleh karena itu nilai
berperan penting dalam proses perubahan sosial.
Sedangkan menurut Sidi Gavalba, nilai adalah sesuatu yang
bersifat abstrak dan ideal. Nilai terletak antara subjek penilai dengan objek.
Pendapat lain menurut Milton Receach dan James Bank nilai adalah sutu tipe
ke[percayaan yang berbeda dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana
seseorang harus bertindak atau menyadari suatu tindakan mengenai sesuatu yang
pantas atau sesuatu yang tidak pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai.
Pandangan ini juga berarti nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang
telah berhubungan dengan subjek atau manusia pemberi nilai.
Dari beberapa uraian di atas kita dapat melihat bahwa
sejarah dan praktek literasi yang meliputi membaca dan menulis memiliki
keterkaitan yang erat. Sejarah merupakn proses penciptaan manusia yang tidak
pernah berakhir. Begitu banyak hal-hal yang berkaitan dengan penulisan sejarah,
misalnya ideologi dan nilai-nilai yang terkait.
Dapat dikatakan pulla litersi merupakan sebuah instrumen dari sejarah.
Sejarah dapat tercipta berkat keberadaan kaum literat yang tak pernah berhenti
berpikir, dan menggali setiap ceruk-ceruk baru pengetahuan yang dilatar belakangi
oleh penolakan terhadap asumsi yang beredar dengan membawakan sudut pandang
yang berbeda-beda dengan disertai fakta-fakta yang valid dan ini artinya,
sejarahwan, penyair dan linguis adalah seorang
“discover.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sejarah dapat tercipta
berkat keberadaan kaum literat yang tak henti berpikir dan menggali ceruk-ceruk
baru kemungkinan lewat literasi. Antara sejarahwan, penyair dan linguis
merupakan “discover” yang selalu mengibaratkan menulis seperti memecahkan
sebuah tembok dan mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic