We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Minggu, 30 Maret 2014

Class review 7

Until the End


“I do the very best I know how, the very best I can, and
I mean to keep on doing so until the end.”

Abraham Lincoln

Seperti biasa malam selalu setia menemaniku menulis dengan segala ketenangan dan keindahannnya malam tak pernah pergi dan tetap menemani. Tak pernah. Semangatku tak pernah padam saat malam datang, entah mengapa aku begitu menyukai malam. Menulis lagi, lagi dan lagi, bayangkan begitu hampamnya malamku tanpa menulis, jangan tanya ini rumit atau tidak yang pasti menulis membuat malam-malamnku tertantang, tertantang untuk berpikir panjang, tertantang untuk bagaimana caranya membuat pena ini menari dalam lembaran dan tertangtang untuk mengatahui setiap ceruk-ceruk baru pengetahuan.
Orang-orang di sana membual ingin lari saja dari menulis. Rumit, tapi aku tahu mereka tak benar-benar mengatakannya, mereka juga akan tetap menjaga semangatnya untuk tetap menulis sampai akhir. Lalu, aku juga demikian. Setidaknya aku tahu apa yang harus aku  lakukan “I do the very best I know how, the very best I can, and I mean to keep on doing so until the end” kata Lincoln, dan aku akan selalu melakukannya, selalu!
Sudah beberapa minggu ini Howard Zinn dan history selalu mengisi malam-malam ku tanpa tanya dan lagu ragu. Ini sudah kesekian kalinya Howard Zinn menjadi trending topic dalam setiap lembaran bukuku. Pada Selasa, 18 Februari 2013 adalah waktu untuk mulai menulis lagi. Milan Kundera berpendapat bahwa to write, means for the poet to crush the wall behind which something that ``was always there'' hides” (in L'Art duroman,1986). Ini berarti menulis bagi seorang penyair adalah seperti menghangcurkan dinding dan mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Tak berbeda dengan penyair, menulis bagi para sejarahwan juga demikian, sejarahwan harus mencari kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi. Milan Kundera buerpendapat demikian karena dia adalah seorang prnulis yang berliterasi melalui karya-karya sastranya. Tak beda dengan penyair, sejarahwan juga demikian, sejarahwan harus mencari kemungkinan-kemungkina baru yang mungkin masih tersembunyi dalam fakta sejarah.
Tak dapat kita pungkiri bahwa penulisan sejarah tercipta berkat kaum-kaum literat, berkat kaum literat pula sejarah yang tadinya hanya disampaikan melalui mulut ke mulut kini menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan kebenaran dan keberadaan dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah manusia, menulis lebih banyak diambil alih dibandingkan dengan berbicara (Lehtonen,2000:53). Dalam pencatatan sejarah memerluan teks dan alat proses yang disebut dengan ideologi (Fowler,1996:12). Sedikit memperdalam catatan sebelumnya yang berjudul “Bias Ideologi,” Ideologi di sini hanya didefinisikan sebagai sistem yang berada di dasar dari kognisi sosial-politik kelompok (Lau dan Sears, 1986; Rosenberg, 1988). Teori ideologi adalah rekening eksplisit struktur internal atau organisasi ideologi. Ini dapat diasumsikan, seperti yang kita lakukan, bahwa ideologi fitur, seleksi kelompok - relevan melayani diri sendiri dari sosial budaya dasar nilai-nilai. Selanjutnya, ideologi tidak terbatas pada kelompok-kelompok yang terkait dengan dominasi, kekuasaan atau perjuangan. Relevan, sesuai dengan definisi kami, namun, adalah kepentingan kelompok seperti yang didefinisikan oleh kategori identitas, kegiatan, tujuan, norma-norma dan nilai-nilai, posisi sosial dan sumber daya (Billig, 1991). Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya. Dengan demikian, ideologi mengatur sikap kelompok sosial yang terdiri dariskematis terorganisir pendapat umum tentang isu-isu sosial yang relevan (Eagly dan Chaiken, 1993).
Seperti halnya linguist kritis, sejarahawan juga bertujuan untuk memahami nilai (Fowler,1996:10). Menurut  Dictonary of Sosciology and Related Science, nilai adalah kemampuan yang dipercayai ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia, siklus dari suatu benda menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Pada dasarnya nilai merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung nilai berarti ada sifat atau kualitas yang melekat pada objek tersebut. Dengan demikian nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi di balik kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya nilai karena adanya kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Youn Ambriose mengaitkan nilai dengan kebudayaan dan menganggap nilai merupakan inti dari kebudayaan tersebut. Nilai merupakan suatu daya dorong dalam kehiduapn seseorang baik pribadi maupun kelompok.Oleh karena itu nilai berperan penting dalam proses perubahan sosial.
Sedangkan menurut Sidi Gavalba, nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak dan ideal. Nilai terletak antara subjek penilai dengan objek. Pendapat lain menurut Milton Receach dan James Bank nilai adalah sutu tipe ke[percayaan yang berbeda dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menyadari suatu tindakan mengenai sesuatu yang pantas atau sesuatu yang tidak pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai. Pandangan ini juga berarti nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang telah berhubungan dengan subjek atau manusia pemberi nilai.
Dari beberapa uraian di atas kita dapat melihat bahwa sejarah dan praktek literasi yang meliputi membaca dan menulis memiliki keterkaitan yang erat. Sejarah merupakn proses penciptaan manusia yang tidak pernah berakhir. Begitu banyak hal-hal yang berkaitan dengan penulisan sejarah, misalnya ideologi dan nilai-nilai yang terkait.  Dapat dikatakan pulla litersi merupakan sebuah instrumen dari sejarah. Sejarah dapat tercipta berkat keberadaan kaum literat yang tak pernah berhenti berpikir, dan menggali setiap ceruk-ceruk baru pengetahuan yang dilatar belakangi oleh penolakan terhadap asumsi yang beredar dengan membawakan sudut pandang yang berbeda-beda dengan disertai fakta-fakta yang valid dan ini artinya, sejarahwan, penyair dan linguis adalah seorang  “discover.”
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sejarah dapat tercipta berkat keberadaan kaum literat yang tak henti berpikir dan menggali ceruk-ceruk baru kemungkinan lewat literasi. Antara sejarahwan, penyair dan linguis merupakan “discover” yang selalu mengibaratkan menulis seperti memecahkan sebuah tembok dan mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic