Class Review 7
Hujan
rintik-rintik turun membasahi bumi yang indah ini. Hujan merupakan saksi bisuku
dalam menulis. Hujan selalu mengiringi setiap kata demi kata yang kutulis dalam
tinta hitam ini. Menulis adalah kebiasaanku setiap minggu. Menulis seperti
bagian dalam hidupku. Dan menulis merupakan perjalanan hidupku dalam meraih
cita-cita. “Menulis
adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua
pengetahuan, daya, dan kemampuan saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan
nafas hidupnya”(Stephen King).
Mata kuliah
“Writing and Composition 4” kini telah memasuki pertemuan ketujuh. Sangat luar
biasa sekali, selangkah lagi kami akan menghadapi UTS. Pada pertemuan ketujuh mata kuliah ini dimulai pada
hari Selasa, 18 Februari 2014. Tepatnya pukul 10.50 di ruang 44 Gedung PBI.
Mata kuliah ini dibimbing oleh dosen yang sangat luar biasa sekali, yaitu Mr.
Lala Bumela, M. Pd.
Pada pertemuan
kali ini, Mr. Lala membahas ulang materi pada minggu sebelumnya. Diantaranya,
yaitu:
·
Salah
satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru
pemahaman
·
Menjangkau
bentuk-bentuk baru dari pemahaman meliputi tiga tahap penting: emulate (meniru) – discover (menemukan) –
create (menciptakan).
·
Menulis
adalah masalah menciptakan affordances dan mengeksplorasi potensi makna
·
Menulis
adalah sebuah semogenesis
·
Pernyataan
tesis merupakan tahapan yang sangat penting untuk membuat dialog awal dengan
pembaca diharapkan
Tentang Bahasa dan Kebudayaan
Hipotesis Sapir – Whorf: Relativitas Bahasa
Konsep
hubungan bahasa dan kebudayaan menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf
adalah hubungan yang koordinatif, yaitu hubungan yang sederajat, yang
kedudukannya sama tinggi. Menariknya hipotesis dari dua pakar linguistik ini
sangat kontroversial, yang dikenal dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan
lazim disebut relativitas bahasa (Inggris:
linguistic relativity). Meskipun
gagasan-gagasan yang dikemukakan mereka adalah hasil penelitian yang lama dan
mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi,
tetapi nyatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam hipotesisnya sangat
kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana.
Isi
hipotesis tersebut mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak
budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu,
mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda
bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran
yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia
itu bersumber dari perbedaab bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak
mempunyai pikiran sama sekali.
Jika
bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri
yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.
Misalnya, katanya, karena dalam bahasa Barat (Inggris, Belanda, dsb.) mengenal
sistem kala (tenses), maka orang
Barat sebagai penutur bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah terikat dengan
waktu. Begitu pun kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu
terikat dengan waktu. Pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar
dengan terang, tetapi anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan)
disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang
Indonesia karena bahasanya tidak ada sistem kala, maka, katanya, menjadi tidak
memperhatikan akan waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur
satu atau beberapa jam kemudian. Itulah sebabnya, katanya, ungkapan “jam karet”
hanya ada di Indonesia, tetapi tidak ada pada bangsa-bangsa yang di dalam
bahasanya ada sistem kala.
Hipotesis
Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya
perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan
(realitas) secara berbeda dengan orang Jepang. Whorf menegaskan realitas itu
tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita memberinya
nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya:
kita membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita
pakai, dan bukan atas dasar realitas itu. Contohnya:
Orang
Inggris, misalnya, mengenal warna dasar white,
red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey; tetapi penutur bahasa Hunanco di
Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu mambiru, hitam, dan warna gelap lain, melangit ‘putih dan warna cerah’, meramar kelompok warna merah, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan coklat muda’.
Jika hipotesis
Sapir – Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat
sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan
pikiran. (Sumber: Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta). http://gin2gina.blogspot.com/p/sejarah-kajian-linguistik.html
Berikut
ini, masuk pada materi tentang analis wacana buku Critical Linguist [R. Fowler dan Hodge B (1979)] dalam R. Fowler et
al (Eds.). Critical Linguistics merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi kuasa
tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses ideologis yang muncul
dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Menurut
Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang merealisasikan “teks sebagai
modus wacana” serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat
melakukannya. CL mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi-fungsi yang
sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris.
Fowler secara terang-terangan
mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistic
ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak
semata-mata deskriptif. Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk
menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya
ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik,
relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5),
model linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar
misrepresentasi dan diskriminasi dalam berbagai modus wacana publik.
Beberapa pandangan Halliday yang berpengaruh terhadap pengembangan linguistik
kritis dijelaskan sebagai berikut.
Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik
Istilah linguistic instrumental
dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental
dalam linguistic fungsional-sistemik. Menurut Fowler (19- 96), linguistic
fungsional sistemik mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsional
berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan
bahasa dan (2) linguistik fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk
linguistic akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu.
Critical Linguist memberikan landasan
yang kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam
politik, media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi
gender. Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah
analisis yang dirancang untuk (i) memperoleh atau menemukan ideology yang
dikodekan secara implisit di belakang proposisi yang jelas (overt
propositions), dan (ii) mengamati ideologi secara khusus dalam konteks
pembentukan sosial (Fowler, 1996:3).
Pandangan
instrumental Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi
klasifikasi bahasa. Menurut Fowler (1986:19), bahasa adalah medium efisien
dalam pengodean kategori- kategori sosial. Bahasa tidak hanya menyediakan
kata-kata untuk konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan
menstabilisasikan ide-ide itu. Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang
dipilih menciptakan sebuah jarring makna yang mendorong ke arah sebuah
perspektif tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah ideologi atau teori dari
penuturnya yang tentu saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih
merupakan kategori kultural.
Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan
Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks
itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11).
Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal)
maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas
konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks
situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman
terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat
ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan
yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan
konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah
dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun
dari teks dan konteks . Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada
kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis
dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan
kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam
konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk
melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi
lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang
memahami teks.
Gagasan bahwa ideologi berada dalam
teks yang diusulkan oleh Critical Linguistic telah ditentang oleh Fairclough (1992,
1995). Meskipun mengakui bahwa memang benar bentuk dan isi teks yang menanggung
jejak proses ideologi dan struktur, Fairclough berpendapat bahwa tidak mungkin
untuk 'membacakan' ideologi dari teks. Fairclough berpendapat
pada Ideologi, terletak
baik dalam struktur yang merupakan hasil dari peristiwa masa lalu dan kondisi
untuk kejadian terkini, dan dalam peristiwa itu sendiri karena mereka
mereproduksi dan mengubah struktur pendingin mereka. Mengenai wacana sebagai
praktik sosial, Fairclough membahas wacana dalam kaitannya dengan ideologi dan
kekuasaan. Dia mengambil pandangan bahwa ideologi yang berarti dalam pelayanan
kekuasaan, yaitu ideologi adalah proposisi yang umumnya mencari asumsi sebagai
tersirat dalam teks, yang berkontribusi untuk memproduksi atau mereproduksi
hubungan kekuasaan yang tidak setara atau dominasi.
Asumsi sentral lain
Critical Discourse Analysis (CDA) dan Systemic Functional Linguistics (SFL) adalah bahwa pembicara membuat pilihan
mengenai kosa kata dan tata bahasa, dan bahwa pilihan ini secara sadar atau
tidak sadar "berprinsip dan sistematis" (Fowler et al.,1979, hal.
188). Jadi pilihan yang ideologis berbasis. Menurut Fowler et al. ( 1979),
"hubungan antara bentuk dan isi tidak sewenang-wenang atau konvensional,
tapi...bentuk menandakan isi" (hal. 188). Singkatnya, bahasa adalah tindakan
sosial dan itu didorong ideologis.
Kini,
masuk pada pembahasan tentang “Makna dan Kegunaan Sejarah”. Kata sejarah
berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang artinya pohon. Menurut bahasa
Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari
tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang
lebih maju dan maka dari itu sejarah di umpamakan menyerupai perkembangan
sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang paling kecil
yang kemudian bisa diartikan silsilah. Syajarah dalam arti silsilah berkaitan
dengan babad, tarikh, mitos dan legenda. Dalam bahasa Inggris kata sejarah
(history) berarti masa lampau umat manusia, dalam bahasa Jerman kata sejarah
(geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin
dan Yunani kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai. Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian sejarah pun mengalami
perkembangan.
Menurut
Dr. Kuntowijoyo sejarah dapat diartikan dua macam :
A. SEJARAH
DALAM ARTI NEGATIF
1. Sejarah itu
bukan mitos
Meskipun
sama-sama menceritakan masa lalu, sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan
masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadiannya tidak masuk akal di
masa sekarang contohnya dari jawa ada mitos tentang Raja dewatasangkar pemakan
manusia yang dikalahkan oleh Ajisaka, sedangkan dalam sejarah semua peristiwa
secara tepat diceritaka waktu dan tempat terjadinya.
2. Sejarah
bukan filsafat
Sejarah
mempelajari sesuatu yang konkret, sedangkan filsafat itu abstrak dan
spekulatif, dalam arti hanya berkaitan dengan pikiran umum.
3. Sejarah
bukan ilmu alam
Sejarah
menuliskan sesuatu yang khas atau unik, sedangkan ilmu alam menuliskan sesuatu
yang umum.
4. Sejarah itu
bukan sastra
Perbedaan
sejarah dengan sastra ada 4 hal yaitu cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan,
dan kesimpulan.
B. SEJARAH
DALAM ARTI POSITIF
1. Sejarah
adalah ilmu tentang manusia
Karena
yang dipelajari adalah manusia dalam sebuah peristiwa bukan cerita masa lalu
manusia secara keseluruhan.
2. Sejarah
adalah ilmu tentang waktu
Sejarah
membicarakan masyarakat dari segi waktu, jadi sejarah adalah ilmu tentang waktu
yang mencangkup empat hal yaitu
- Perkembangan, terjadi bila masyarakat secara terus menuerus bergerak dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks.
- Kesinambungan, terjadi bila seuatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama.
- Pengulangan, terjadi bila seuatu peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi di masa sekarang.
- Perubahan, terjadi bila masyarakat mengalami pergerakan dan perkembanganyang besar dalam waktu yang singkat yang disebabkan oleh pengaruh dari luar.
3. Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu
yang mempunyai makna sosial
Dalam sejarah yang
dipelajari bukan hanya akativitas manusia saja, melainkan aktifitas manusia
yang mempunyai makna sosial.
4. Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu
yang terperinci dan tertentu
Sejarah adalah sejarah
tertentu. Sejarah harus menulis peristiwa, tempat, dan waktu yang hanya sekali
terjadi. Sedangkan sejarah harus terperinci artinya sejarah harus menyajikan
yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar.
C. Pengertian Sejarah
Berdasarkan Bentuk dan Sifatnya
1. Sejarah
sebagai peristiwa
Peristiwa
merupakan aktivitas manusia yang hanya sekali terjadi dan hilang bersama dengan
lewatnya waktu, yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas lain. Sejarah
sebagai peristiwa adalah peristiwa masa lampau, dalam arti peristiwa
sebagaimana terjadi.
2. Sejarah
sebagai kisah
Sejarah
sebagai kisah adalah peristiwa yang sudah terjadi diungkap kembali melalui
tulisan maupun lisan. Peristiwa sejarah yang dimaksud terutama
peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara umum.
3. Sejarah
sebagai ilmu
Sejarah
sebagai ilmu dikarenakan sejarah sebagai pengetahuan. Ilmu pengetahuan sejarah
seperti halnya ilmu pengetahuan lainnya mulai berkembang pada abad ke-19.
Pengetahuan ini meliputi kondisi-kondisi masa manusia yang hidup pada suatu
jenjang sosial tertentu.
Ciri-ciri
sejarah sebagai ilmu adalah
- Sejarah itu mempunyai obyek, yaitu aktivitas dan peristiwa di masa lampau.
- Sejarah itu mempunyai teori, yaitu memberi penjelasan tentang kapan sesuatu itu terjadi.
- Sejarah itu mempunyai metode, yaitu bahwa suatu pernyataan dari peneliti itu harus didukung oleh bukti-bukti sejarah. Proses rekonstruksi sejarah mulai dari heuristic (mencari sumber sejarah), kritik sumber, interpretasi data sampai dengan penulisan hasil penelitian (historiografi), harus berdasarkan metode. Dengan metode itu rekonstruksi sejarah akan menghasilkan tulisan sejarah ilmiah dan penulisan sejarah tanpa dilandasi oleh metode sejarah hanya akan menghasilkan tulisan populer yang uraiannya bersifat deskriptif naratif dan tidak menunjukkan ciri-ciri karya ilmiah sejarah.
- Sejarah bersifat sistematis, yaitu sejarah sebagai kisah ditulis secara sistematis. Hubungan antar bab dengan hubungan antar sub bab pada setiap bab disusun secara kronologis, sehingga uraian secara keseluruhan bersifat diakronis (memanjang menurut alur waktu). Uraian sistematis akan menunjukkan hubungan antara stu fakta dengan fakta lain yang bersifat kasalitas (hubungan sebab akibat) karena sejarah merupakan proses.
4. Sejarah sebagai seni
Sejarah sebagai seni
merupakan sejarah tentang pengetahuan rasa. Sejarah memerlukan pemahaman dan
pendalaman. Sejarah tidak saja mempelajari segala sesuatu gerakan dan perubahan
yang tampak di permukaan tetapi juga mempelajari motivasi yang mendorong
terjadinya perubahan.
Adapun ciri-ciri sejarah sebagai seni
antara lain:
- Sejarah menentukan intuisi, yaitu pemahaman langsung dan instingtif selama masa penelitian berlangsung.
- Sejarah memerlukan imajinasi, yaitu untuk membayangkan apa yang sebelum, sekarang dan sesudah kejadian sebuah peristiwa.
- Sejarah memerlukan emosi, yaitu untuk membuat orang yang membaca tulisan sejarah seolah-olah hadir menyaksikan sendiri peristiwa itu.
- Sejarah memerlukan gaya bahasa.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di
atas dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk
konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan
ide-ide itu. Sebuah struktur bahasa yang dipilih akan menciptakan sebuah makna.
Jaring makna itu sebuah ideologi dan teori. Sejarah adalah proses
penciptaan manusia yang tiada akhir. Sejarah merupakan suatu peristiwa masa
lampau yang tepat diceritakan waktu dan tempat terjadinya. Sejarah menuliskan
peristiwa tempat, waktu dan hanya sekali terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic