We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Rabu, 26 Maret 2014

BAHASA, IDEOLOGI, DAN SEJARAH


Class Review 7

Hujan rintik-rintik turun membasahi bumi yang indah ini. Hujan merupakan saksi bisuku dalam menulis. Hujan selalu mengiringi setiap kata demi kata yang kutulis dalam tinta hitam ini. Menulis adalah kebiasaanku setiap minggu. Menulis seperti bagian dalam hidupku. Dan menulis merupakan perjalanan hidupku dalam meraih cita-cita. “Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuan saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya”(Stephen King).
Mata kuliah “Writing and Composition 4” kini telah memasuki pertemuan ketujuh. Sangat luar biasa sekali, selangkah lagi kami akan menghadapi UTS. Pada  pertemuan ketujuh mata kuliah ini dimulai pada hari Selasa, 18 Februari 2014. Tepatnya pukul 10.50 di ruang 44 Gedung PBI. Mata kuliah ini dibimbing oleh dosen yang sangat luar biasa sekali, yaitu Mr. Lala Bumela, M. Pd.
Pada pertemuan kali ini, Mr. Lala membahas ulang materi pada minggu sebelumnya. Diantaranya, yaitu:
·         Salah satu tugas utama penulis adalah untuk mengungkap kemungkinan-kemungkinan baru pemahaman
·         Menjangkau bentuk-bentuk baru dari pemahaman meliputi tiga tahap penting: emulate (meniru) discover (menemukan) create (menciptakan).  
·         Menulis adalah masalah menciptakan affordances dan mengeksplorasi potensi makna
·         Menulis adalah sebuah semogenesis
·         Pernyataan tesis merupakan tahapan yang sangat penting untuk membuat dialog awal dengan pembaca diharapkan
Tentang Bahasa dan Kebudayaan
Hipotesis Sapir – Whorf: Relativitas Bahasa
Konsep hubungan bahasa dan kebudayaan menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf adalah hubungan yang koordinatif, yaitu hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Menariknya hipotesis dari dua pakar linguistik ini sangat kontroversial, yang dikenal dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan lazim disebut relativitas bahasa (Inggris: linguistic relativity). Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan mereka adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana.
Isi hipotesis tersebut mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaab bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali.
Jika bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Misalnya, katanya, karena dalam bahasa Barat (Inggris, Belanda, dsb.) mengenal sistem kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Begitu pun kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan waktu. Pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan) disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena bahasanya tidak ada sistem kala, maka, katanya, menjadi tidak memperhatikan akan waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa jam kemudian. Itulah sebabnya, katanya, ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia, tetapi tidak ada pada bangsa-bangsa yang di dalam bahasanya ada sistem kala.
Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan orang Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya: kita membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita pakai, dan bukan atas dasar realitas itu. Contohnya:
Orang Inggris, misalnya, mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey; tetapi penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu mambiru, hitam, dan warna gelap lain, melangit ‘putih dan warna cerah’, meramar kelompok warna merah, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan coklat muda’.
Jika hipotesis Sapir – Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan pikiran. (Sumber: Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta). http://gin2gina.blogspot.com/p/sejarah-kajian-linguistik.html

Berikut ini, masuk pada materi tentang analis wacana buku Critical Linguist [R. Fowler dan Hodge B (1979)] dalam R. Fowler et al (Eds.). Critical Linguistics merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi kuasa tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991:90). Menurut Fowler (1986:6) hanya analisis kritis yang merealisasikan “teks sebagai modus wacana” serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat melakukannya. CL mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi-fungsi yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris.
Fowler secara terang-terangan mengatakan bahwa pikiran-pikiran Halliday mendasari pengembangan linguistic ini. Untuk menganalisisnya, diperlukan analisis linguistik yang tidak semata-mata deskriptif. Linguistik kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam politik, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996:5), model linguistik itu sangat memerhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi dan diskriminasi dalam berbagai modus wacana publik. Beberapa pandangan Halliday yang berpengaruh terhadap pengembangan linguistik kritis dijelaskan sebagai berikut.


Pandangan tentang Sifat Instrumental dalam Linguistik

Istilah linguistic instrumental dimunculkan sebagai penjabaran pandangan Halliday tentang konsep instrumental dalam linguistic fungsional-sistemik. Menurut Fowler (19- 96), linguistic fungsional sistemik mempunyai dua pengertian: (1) linguistik fungsional berangkat dari premis bahwa bentuk bahasa merespon fungsi-fungsi penggunaan bahasa dan (2) linguistik fungsional berangkat dari pandangan bahwa bentuk linguistic akan merespon fungsi-fungsi linguistik itu.
Critical Linguist memberikan landasan yang kokoh untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata antara lain dalam politik, media massa, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender. Fowler sudah merumuskan sebuah analisis wacana publik, yakni sebuah analisis yang dirancang untuk (i) memperoleh atau menemukan ideology yang dikodekan secara implisit di belakang proposisi yang jelas (overt propositions), dan (ii) mengamati ideologi secara khusus dalam konteks pembentukan sosial (Fowler, 1996:3). 
            Pandangan instrumental Halliday juga tampak pada pandangan Fowler tentang fungsi klasifikasi bahasa. Menurut Fowler (1986:19), bahasa adalah medium efisien dalam pengodean kategori- kategori sosial. Bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide itu. Fowler menunjukkan bahwa struktur bahasa yang dipilih menciptakan sebuah jarring makna yang mendorong ke arah sebuah perspektif tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah ideologi atau teori dari penuturnya yang tentu saja bukan berupa kategori alamiah. Jaring makna lebih merupakan kategori kultural.
Pandangan tentang Kesatuan Teks dengan Konteksnya
Halliday mengemukakan bahwa teks itu selalu dilingkupi konteks situasi dan konteks budaya (Butt et al., 1999:11). Konteks situasi adalah keseluruhan lingkungan, baik lingkungan tutur (verbal) maupun lingkungan tempat teks itu diproduksi (diucapkan atau ditulis). Di atas konteks situasi terdapat konteks budaya yang melingkupi teks dan konteks situasi. Untuk memahami teks dengan sebaik-baiknya, diperlukan pemahaman terhadap konteks situasi dan konteks budaya.
Jejak Halliday tersebut dapat ditemukan dalam pandangan Fowler (1986:70) bahwa satuan bahasa dalam penggunaan yang nyata lebih dari sekadar sebuah teks yang dibangun bersama-sama dengan konvensi dasarnya, tetapi lebih banyak berupa wacana dari yang sudah dilahirkannya itu. Fowler membedakan konsep teks dan wacana. Wacana dibangun dari teks dan konteks . Untuk melihat bahasa sebagai teks membawa kita kepada kajian keseluruhan unit-unit komunikasi yang dilihat sebagai struktur sintaksis dan semantik yang koheren yang dapat diucapkan atau ditulis. Dalam pandangan kritis, teks dipandang secara dinamis sebagai komunikasi interpersonal dalam konteks. Dengan demikian, teks dapat dipandang sebagai medium wacana. Untuk melihat bahasa sebagai wacana membawa kita kepada keseluruhan proses interaksi lingual yang rumit antara masyarakat yang menghasilkan dan masyarakat yang memahami teks. 
 Gagasan bahwa ideologi berada dalam teks yang diusulkan oleh Critical Linguistic telah ditentang oleh Fairclough (1992, 1995). Meskipun mengakui bahwa memang benar bentuk dan isi teks yang menanggung jejak proses ideologi dan struktur, Fairclough berpendapat bahwa tidak mungkin untuk 'membacakan' ideologi dari teks. Fairclough berpendapat pada Ideologi, terletak baik dalam struktur yang merupakan hasil dari peristiwa masa lalu dan kondisi untuk kejadian terkini, dan dalam peristiwa itu sendiri karena mereka mereproduksi dan mengubah struktur pendingin mereka. Mengenai wacana sebagai praktik sosial, Fairclough membahas wacana dalam kaitannya dengan ideologi dan kekuasaan. Dia mengambil pandangan bahwa ideologi yang berarti dalam pelayanan kekuasaan, yaitu ideologi adalah proposisi yang umumnya mencari asumsi sebagai tersirat dalam teks, yang berkontribusi untuk memproduksi atau mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara atau dominasi.
Asumsi sentral lain Critical Discourse Analysis (CDA) dan Systemic Functional Linguistics (SFL) adalah bahwa pembicara membuat pilihan mengenai kosa kata dan tata bahasa, dan bahwa pilihan ini secara sadar atau tidak sadar "berprinsip dan sistematis" (Fowler et al.,1979, hal. 188). Jadi pilihan yang ideologis berbasis. Menurut Fowler et al. ( 1979), "hubungan antara bentuk dan isi tidak sewenang-wenang atau konvensional, tapi...bentuk menandakan isi" (hal. 188). Singkatnya, bahasa adalah tindakan sosial dan itu didorong ideologis.
Kini, masuk pada pembahasan tentang “Makna dan Kegunaan Sejarah”. Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajaratun yang artinya pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju dan maka dari itu sejarah di umpamakan menyerupai perkembangan sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang paling kecil yang kemudian bisa diartikan silsilah. Syajarah dalam arti silsilah berkaitan dengan babad, tarikh, mitos dan legenda. Dalam bahasa Inggris kata sejarah (history) berarti masa lampau umat manusia, dalam bahasa Jerman kata sejarah (geschichte) berarti sesuatu yang telah terjadi, sedangkan dalam bahasa Latin dan Yunani kata sejarah (histor atau istor) berarti orang pandai. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengertian sejarah pun mengalami perkembangan.
Menurut Dr. Kuntowijoyo sejarah dapat diartikan dua macam :
A. SEJARAH DALAM ARTI NEGATIF
1. Sejarah itu bukan mitos
Meskipun sama-sama menceritakan masa lalu, sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan waktu yang tidak jelas dan kejadiannya tidak masuk akal di masa sekarang contohnya dari jawa ada mitos tentang Raja dewatasangkar pemakan manusia yang dikalahkan oleh Ajisaka, sedangkan dalam sejarah semua peristiwa secara tepat diceritaka waktu dan tempat terjadinya.
2. Sejarah bukan filsafat
Sejarah mempelajari sesuatu yang konkret, sedangkan filsafat itu abstrak dan spekulatif, dalam arti hanya berkaitan dengan pikiran umum.
3. Sejarah bukan ilmu alam
Sejarah menuliskan sesuatu yang khas atau unik, sedangkan ilmu alam menuliskan sesuatu yang umum.
4. Sejarah itu bukan sastra
Perbedaan sejarah dengan sastra ada 4 hal yaitu cara kerja, kebenaran, hasil keseluruhan, dan kesimpulan.
B. SEJARAH DALAM ARTI POSITIF
1. Sejarah adalah ilmu tentang manusia
Karena yang dipelajari adalah manusia dalam sebuah peristiwa bukan cerita masa lalu manusia secara keseluruhan.
2. Sejarah adalah ilmu tentang waktu
Sejarah membicarakan masyarakat dari segi waktu, jadi sejarah adalah ilmu tentang waktu yang mencangkup empat hal yaitu
  1. Perkembangan, terjadi bila masyarakat secara terus menuerus bergerak dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks.
  2. Kesinambungan, terjadi bila seuatu masyarakat baru hanya melakukan adopsi lembaga-lembaga lama.
  3. Pengulangan, terjadi bila seuatu peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi di masa sekarang.
  4. Perubahan, terjadi bila masyarakat mengalami pergerakan dan perkembanganyang besar dalam waktu yang singkat yang disebabkan oleh pengaruh dari luar.
3. Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang mempunyai makna sosial
Dalam sejarah yang dipelajari bukan hanya akativitas manusia saja, melainkan aktifitas manusia yang mempunyai makna sosial.
4. Sejarah ialah ilmu tentang sesuatu yang terperinci dan tertentu
Sejarah adalah sejarah tertentu. Sejarah harus menulis peristiwa, tempat, dan waktu yang hanya sekali terjadi. Sedangkan sejarah harus terperinci artinya sejarah harus menyajikan yang kecil-kecil, tidak terbatas pada hal-hal yang besar.
C. Pengertian Sejarah Berdasarkan Bentuk dan Sifatnya
1. Sejarah sebagai peristiwa
Peristiwa merupakan aktivitas manusia yang hanya sekali terjadi dan hilang bersama dengan lewatnya waktu, yang kemudian dilanjutkan dengan aktivitas lain. Sejarah sebagai peristiwa adalah peristiwa masa lampau, dalam arti peristiwa sebagaimana terjadi.
2. Sejarah sebagai kisah
Sejarah sebagai kisah adalah peristiwa yang sudah terjadi diungkap kembali melalui tulisan maupun lisan. Peristiwa sejarah yang dimaksud terutama peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara umum.
3. Sejarah sebagai ilmu
Sejarah sebagai ilmu dikarenakan sejarah sebagai pengetahuan. Ilmu pengetahuan sejarah seperti halnya ilmu pengetahuan lainnya mulai berkembang pada abad ke-19. Pengetahuan ini meliputi kondisi-kondisi masa manusia yang hidup pada suatu jenjang sosial tertentu.
Ciri-ciri sejarah sebagai ilmu adalah
  1. Sejarah itu mempunyai obyek, yaitu aktivitas dan peristiwa di masa lampau.
  2. Sejarah itu mempunyai teori, yaitu memberi penjelasan tentang kapan sesuatu itu terjadi.
  3. Sejarah itu mempunyai metode, yaitu bahwa suatu pernyataan dari peneliti itu harus didukung oleh bukti-bukti sejarah. Proses rekonstruksi sejarah mulai dari heuristic (mencari sumber sejarah), kritik sumber, interpretasi data sampai dengan penulisan hasil penelitian (historiografi), harus berdasarkan metode. Dengan metode itu rekonstruksi sejarah akan menghasilkan tulisan sejarah ilmiah dan penulisan sejarah tanpa dilandasi oleh metode sejarah hanya akan menghasilkan tulisan populer yang uraiannya bersifat deskriptif naratif dan tidak menunjukkan ciri-ciri karya ilmiah sejarah.
  4. Sejarah bersifat sistematis, yaitu sejarah sebagai kisah ditulis secara sistematis. Hubungan antar bab dengan hubungan antar sub bab pada setiap bab disusun secara kronologis, sehingga uraian secara keseluruhan bersifat diakronis (memanjang menurut alur waktu). Uraian sistematis akan menunjukkan hubungan antara stu fakta dengan fakta lain yang bersifat kasalitas (hubungan sebab akibat) karena sejarah merupakan proses.
4. Sejarah sebagai seni
Sejarah sebagai seni merupakan sejarah tentang pengetahuan rasa. Sejarah memerlukan pemahaman dan pendalaman. Sejarah tidak saja mempelajari segala sesuatu gerakan dan perubahan yang tampak di permukaan tetapi juga mempelajari motivasi yang mendorong terjadinya perubahan.
Adapun ciri-ciri sejarah sebagai seni antara lain:
  1. Sejarah menentukan intuisi, yaitu pemahaman langsung dan instingtif selama masa penelitian berlangsung.
  2. Sejarah memerlukan imajinasi, yaitu untuk membayangkan apa yang sebelum, sekarang dan sesudah kejadian sebuah peristiwa.
  3. Sejarah memerlukan emosi, yaitu untuk membuat orang yang membaca tulisan sejarah seolah-olah hadir menyaksikan sendiri peristiwa itu.
  4. Sejarah memerlukan gaya bahasa.
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa tidak hanya menyediakan kata-kata untuk konsep-konsep tertentu, bahasa juga mengkristalisasikan dan menstabilisasikan ide-ide itu. Sebuah struktur bahasa yang dipilih akan menciptakan sebuah makna. Jaring makna itu sebuah ideologi dan teori. Sejarah adalah proses penciptaan manusia yang tiada akhir. Sejarah merupakan suatu peristiwa masa lampau yang tepat diceritakan waktu dan tempat terjadinya. Sejarah menuliskan peristiwa tempat, waktu dan hanya sekali terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic