APPETIZER ESSAY
Berbicara
mengenai menulis, tentunya tidak asing lagi di telinga kita. Namun, tidak semua
orang bisa menulis, terlebih lagi menulis yang bersifat akademik atau tulisan
akademik. Seperti yang diperbincangkan
dalam sebuah wacana yang berjudul “(Bukan) Bangsa Penulis”.
Dalam
wacana tersebut dijelaskan bahwa setelah di keluarkannya Surat Direktur Jendral
Pendidikan Tinggi Nomor 152/E/T/2012 yang ditujukan kepada para rektor, ketua,
direktur perguruan tinggi negeri dan swasta di seluruh Indonesia tentang karya
ilmiah telah memicu pro dan kontra di lingkungan kampus. Hal itu dikarenakan Dirjen Pendidikan Tinggi
adalah orang pertama yang paling bertanggung jawab mengawal publikasi ilmiah
dikalangan perguruan tinggi. Pantas saja
ia jengkel kerena mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak
bisa menulis. Bahkan pada dosennya pun
mayoritas tidak bisa menulis.
Pada
saat sekarang ini, menurut Dirjen, perguruan tinggi Indonesia masih jauh
tertinggal dengan Malaysia dalam hal memproduksi karya ilmiah. Beliau menghimbau untuk para sarjana agar
mampu menulis artikel jurnal. Artikel
jurnal adalah literasi tingkat tinggi, yakni
kemampuan merepeoduksi imu pengetahuan.
Namun, hal itu tergantung pada tingkatan akademiknya: S-1, S-2, atau S-3. Menurut A.Chaedar Alwasilah, selama ini untuk
kelulusannya, mahasiswa harus menulis skripsi, tesis, atau disertasi dengan
kekhasan bidang studi masing-masing.
Lalu apa bedanya skripsi, tesis, disertasi, dengan jurnal? Semuanya
termasuk genre tulisan akademik dan semuanya melaporkan hasil telaahan,
pengamatan, atau eksperimen.
Dalam
literatur keilmuan, jurnal tidak identik dengan skripsi, tesis, dan
disertasi. Jurnal dikelola oleh tim yang
ahli dalam bidag keilmuan tertentu.
Setiap naskah yang masuk dibaca oleh blind reviewer. Jurnal itu ajang silaturahmi intelektual dan
profesional bagi para peneliti atau dosen agar ilmunya tetap terbarukan, tidak
ketinggalan zaman. Oleh karena itu,
mewajibkan mahasiswa untuk menulis artikel jurnal rasanya tidak tepat, karena
hal itu akan menyebabkan penumpukan mahasiswa diakhir program yang tentunya
akan menuntut biaya hidup, SPP, dan biaya lainnya. Lagi pula selama ini perguruan tinggi di
Indonesia mewajibkan mahasiswa menulis skripsi, tesis, dan disertasi. Karena itulah ajang yang tepat untuk mengasah
keterampilan menulis, meneliti, dan melaporkannya secara akademik. Jadi, yang lebih tepatnya diwajibkan untuk
menulis artikel jurnal yaitu para dosen.
Berbicara
mengenai menulis, tentunya tidak akan terlepas dari yang namanya membaca. Membaca juga membutuhkan keterampilan dan
banyak berlatih untuk bisa memahami sebuah teks. Hal terpenting dalam membaca adalah mampu
memahami dan mengerti isi dari sebuah teks tersebut. Seperti yang diperbincangkan dalam sebuah
wacana yang berjudul “Powerful Writers versus Helpless Readers”.
Dalam
wacana tersebut menjelaskan tentang survei yang dilakukan oleh A.Chaedar Alwasilah
terhadap 40 matematika dan 60 siswa bahasa di sekolah pascasarjana di Bandung
dengan mengangkat pertanyaan berikut: jika anda tidak memahami teks yang anda baca,
apa alasannya? Dari survei tersebut, hampir 95% mahasiswa menyalahkan diri
mereka sendiri. Mereka mengatakan bahwa
mereka tidak memiliki background membaca, keahlian menulis sangat tinggi, angka
tersebut masih diluar kapasitas mereka sebagai pelajar baru, retorika itu
terlalu rumit, atau mereka tidak bisa berkonsentrasi ketika membaca. Respon-respon tersebut menunjukan bahwa yang
menjadi sikap fatalistik dari hal tersebut adalah teksnya dibuat oleh seorang
penulis yang hebat. Jadi, mereka sebagai
pembaca pasif tidak bisa mengimbangi teks yang ditulis oleh seorang penulis
yang hebat.
Dari
survei tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan bahasa kita telah gagal untuk
mengembangkan pembaca kritis. Pembaca
kritis mengembangkan kesadaran bentuk, isi, dan konteks. Bentuk mengacu pada simbol-simbol linguistik
yang dipekerjakan oleh penulis, isi mengacu pada makna atau substansi yang
dibahas dan konteks mengacu pada lingkungan social dan psikologis ketika
tulisannya dihasilkan. Pembaca kritis
percaya bahwa keduanya antara penulis dan pembaca sama-sama bertanggung jawab
untuk pembuatan makna. Ketika kita
memahami sebuah teks yang kita baca, seorang pembaca kritis akan bisa menjawab
bahwa penulis tidak cukup kompeten untuk menyampaikan ide-ide untuk menghibur
pembaca.
Fenomena
penggunaan yang salah dari buku teks yang baik untuk mahasiswa adalah bukti
belaka bahwa intelektual kita lebih berorientasi membaca dari pada berorientasi
menulis. Para intelektual yang
mendapatkan PhD di luar negeri, mereka merekomendasikan buku impor untuk mahasiswanya,
yang didesain untuk non-Indonesia, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk
menulis sendiri. Ada bahaya lain
menggunakan teks impor. Mahasiswa yang
saat ini lebih dari 2,6 juta jumlahnya, dicuci otaknya bahwa bahasa nasional
kita tidak cukup canggih untuk menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain
kedua wacana tersebut, terdapat satu lagi wacana yang berjudul “Learning and
Teaching Process : More about Readers and Writers”.
Dalam
wacana tersebut menjelaskan bahwa yang pada intinya tentang kesulitan yang
dihadapi oleh siswa dalam membaca dan menulis sebuah teks yang dipengaruhi oleh
proses belajar dan mengajar. Selama ini,
siswa menghadapi kesulitan dalam membaca teks akademis, baik tertulis dalam
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Hal yang mendasar yang perlu diperhatikan adalah silabus dan pemeriksaan
sistem. Guru-guru di sekolah dipaksa
untuk mengikutinya, sehingga merugikan perkembangan pemikiran kritis dan
kompetensi bahasa. Banyak masalah yang muncul
dalam belajar bahasa Inggris, apalagi dalam membaca dan menulis. Oleh karena itu, harus ada kinerja perbaikan
dalam proses belajar dan mengajar.
Dari
ketiga wacana tersebut, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan. Dalam wacana pertama yang berjudul “(Bukan)
Bangsa Penulis”, menjelaskan tentang Dirjen Pendidikan Tinggi yang merasa
jengkel karena mayoritas sarjana lulusan perguruan tinggi Indonesia tidak bisa
menulis, bahkan para dosennya pun tidak bisa menulis. Maka dari itu, beliau menghimbau para sarjana
untuk bisa menulis artikel jurnal.
Tentunya tidak tepat, apabila mahasiswa untuk kelulusan S-1 dan S-2
harus menulis artikel jurnal. Apabila
dipaksakan tentunya akan terjadi penumpukan mahasiswa di akhir program. Selama ini pun perguruan tinggi di Indonesia
mewajibkan mahasiswa menulis skripsi, tesis, dan disertasi, karena itulah ajang
yang jitu untuk mengasah keterampilan menulis, meneliti, dan melaporkannya
secara akademik. Saya setuju bahwa yang
lebih realistis adalah mewajibkan para dosen untuk menulis artikel jurnal
setiap tahunnya.
Keterkaitannya
wacana pertama dengan wacana kedua, yaitu masih dalam lingkup kemampuan membaca
dan menulis. Dalam wacana kedua
tersebut, tidak adanya keseimbangan antara teks yang ditulis oleh penulis
dengan pembacanya. Pembaca tersebut
tergolong masih pasif sehingga tidak bisa mengimbangi teks yang ditulis oleh
penulis yang hebat. Hal ini berarti
target pembacanya salah atau kemampuan pembaca tersebut tergolong masih rendah,
sehingga belum bisa dikatakan sebagai pembaca kritis. Lalu keterkaitannya wacana ketiga dengan
wacana lainnya yaitu masih seputar pembaca dan penulis. Dalam wacana ketiga tersebut terdapat
beberapa masalah dan kesulitan yang dihadapi dalam menulis dan membaca yang
dipengaruhi oleh proses belajar dan mengajar.
Pada dasarnya, ketiga wacana tersebut masih saling berkaitan dalam
konteks yang sama yaitu dalam kemampuan membaca dan menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic