Critical review
Ada Apa dengan Bangsa Ini?
“Jika ingin mengetahui kualitas suatu bangsa, maka
lihatlah kualitas dan praktek sistem pendidikannya.” Sebagaimana dilansir oleh harian The Jakarta
Post (22 Oktober 2011), Dr. A. Chaedar Alwasilah mengungkap bagaimana
sebenarnya kualitas bangsa Indonesia saat ini. Pembentukan sistem pendidikan yang
baik merupakan cerminan dari hampir semua negara maju. Akan tetapi, realitanya
yang terjadi saat ini adalah sistem pendidikan di Indonesia yang belum memiliki
sistem pendidikan yang baik. Jika demikian, bagaimana dengan kualitas bangsa
ini?, Ada apa dengan bangsa ini?
Masalah sosial yang tak penah selesai seperti tawuran
pelajar, bentrokan pemuda dan lain-lain merupakan dampak dari penyakit sosial
yang disebabkan oleh kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain
dari kelompok yang berbeda. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?
Lagi lagi, pendidik yang menjadi sasaran empuk.
Dr. A. Chaedar Alwasilah megatakan bahwa Pendidikan dasar
merupakan modal utama dan sekaligus menjadi keterampilan dasar yang harus
diberikan kepada siswa untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu,
anggota masyarakat dan warga negara. Kerampilan dasar ini juga merupakan dasar
untuk pendidikan yang lebih lanjut. Bagi pendidik jelas ini merupakan tantangan
dalam membentuk dan mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang
demokratis dengan karakter yang baik yang diatur dalam UU Sisdiknas. Tujuan ini
akan terwujud apabila nilai-nilai antar umat beragama dikembangkan pada usia
sedini mungkin di sekolah.
Dalam konteks sekolah, anak-anak memilih untuk berinteraksi
dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam konteks ini mereka belajar menghormati,
membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan teman
sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Dalam pengaturan multikultural, siswa-siswa dari latar
belakang yang berbeda baik etnis, agama dan sosial. Sehingga, pola pikir mereka
dibentuk oleh latar belakang mereka. Dalam hal ini sekolah harus memfasilitasi
interaksi antar siswa untuk mengembangkan wacana sipil positif mereka. Indikator
wacana sipil mencakup mendengarkan dengan penuh perhatian, menyumbangkan ide
atau gagasan, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan tidak
kesepakatan dan mencapai persetujuan dengan cara yang hormat. Siswa harus
dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan cara kontak langsung dengan teman
mereka. Mereka juga harus diajarkan bagaimana mengemukakan ide-ide yang relevan
dengan topik diskusi dengan cara melatih mereka berbicara secara sesara
bergiliran.
Pada tingkat sekolah dasar, siswa harus diajarkan
bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya mereka dengan cara menumbuhkan rasa
saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain. Jika pendidikan dasar
ini berhasil, jelas ini akan berpengaruh positif pada tingkat pendidikan
selanjutnya. Tawuran dikalangan pelajar yang terjadi hampir seluruh melosok negeri
merupakan dampak gagalnya penanaman pendidikan dasar ini. Banyak sekali
kasus-kasus yang terjadi dikalangan pelajar lantaran hal-hal sepele.
Di media masa seperti koran, televisi dan radio banyak
sekali memuat berita tentang hal ini. Misalnya saja seorang siswa SMK di
kabupaten semarang terkena
bacokan pada leher belakang saat terlibat tawuran antar pelajar di Lingkungan
Tambakboyo, Ambarawa, Jawa Tengah (Jum’at, 27 September 2013) Korban sempat
dibawa oleh warga yang saat itu berada di sekitar lokasi ke RSUD Ambarawa untuk
menjalani perawatan. Namun karena terluka parah dan mengalami pendarahan
akhirnya meninggal dalam perawatan tim medis. Contoh lainya, seorang siswa SMPN
06 Jakarta Timur, tewas tertabrak kereta di sekitar Stasiun Buaran, Duren
Sawit, Jakarta Timur. Remaja ini kehilangan nyawanya karena tertabrak kereta
api saat dirinya dikejar oleh kelompok pelajar lain. Dalam keadaan panik korban
bahkan sempat beberapa kali berlari dari satu jalur kereta api ke jalur kereta
lainnya hingga tiba-tiba sebuah kereta api dari arah Stasiun Kota menuju
Stasiun Bekasi menabrak dan menyeret tubuhnya. Masih gara-gara tawuran, seorang
pria paruh baya warga Dusun Gempol Jaya RT 5 RW 2, Karawang tewas tertabrak
kereta karena menghindari tawuran antar pelajar di Jalan I Gusti Ngurah Rai,
Klender, Jakarta Timur. Korban panik dan menyeberang rel kereta tanpa melihat
adanya kereta. Masih di hari yang sama, seorang siswa kelas 1 SMK 39, Cempaka
Putih, Jakarta Pusat, akhirnya meregang nyawa di ruang Instalasi Gawat Darurat
(IGD), Rumah Sakit Islam, Pondok Kopi, Jakarta Timur. Korban tewas kehabisan
banyak darah setelah dibacok di bagian punggung oleh kelompok pelajar lainnya
saat terlibat tawuran di Fly Over Pondok Kopi sekitar pukul 17.00 WIB.
Ini
yang tak kalah miris, sembilan pelajar di Kota Padang diamankan Kepolisian
Resor setempat karena diduga terlibat tawuran dan membawa senjata tajam, saat
pengumuman hari kelulusan Ujian Nasional 2013. Kabag Ops Polresta Padang Kompol
Yudi Sulistyo mengatakan, sembilan pelajar diamankan saat akan melakukan
tawuran di kawasan RTH Imam Bonjol Padang, dan untuk mencegahnya mereka semua
digiring ke Makopolresta.
Yang terbaru, siswa kelas 3 SMP Telaga Kausar, Desa
Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, tewas karena menderita
luka bacok akibat sabetan senjata tajam. Korban yang terluka pada bagian leher
sebelah kanan sempat mendapat perawatan medis di klinik dekat rumahnya. Tawuran
bermula ketika korban bersama tujuh temannya tiba-tiba diserang oleh pelajar
SMP sekolah lain di depan Kantor Desa Cibatok, Jalan Raya
Cibatok, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Berdasarkan informasi
dan keterangan dari teman korban, penyerang terdiri dari tiga orang yang
mengendarai sepeda motor. Si penumpang menggunakan celurit, langsung menyabet
secara membabi-buta. (Rabu, 20 November 2013).
Belum lagi konflik saat siswa menyelesaikan pendidikan
formal mereka. Siswa memasuki dunia dimana kemampuan untuk menjaga hubungan
baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Ketidakmampuan untuk menjaga
hubungan baik ini akan merugikan individu dan dapat menyebabkan konflik sosial
dalam suatu masyarakat tertentu.
Misalnya konflik Sampit, Kalimantan Tengah. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.
Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000
warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan
dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Di lampung juga demikian, Konflik yang terjadi di Lampung
Selatan baru-baru ini melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda yaitu kelompok
masyarakat setempat yang beretnis Lampung dan kelompok masyarakat pendatang
beretnis Bali. Sebenarnya, etnis Lampung sebagai “suku asli” ternyata bukanlah
mayoritas dari segi jumlah. Kelompok etnis Jawa yang pendatang justru menjadi
mayoritas. Etnis Bali termasuk minoritas di kalangan masyarakat Lampung Selatan
sebagaimana yang ditulis dalam berbagi laporan media mengenai peristiwa tersebut.
Selain dua kelompok yang berkonflik, dapat diidentifikasi aktor-aktor lain yang
terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa konflik tersebut.
Yang pertama adalah pemerintah daerah setempat. Dalam beberapa kasus yang
mencuat, kebijakan bupati dan gubernur Lampung Selatan yang agak sensitif
menjadi faktor pendorong dan pemicu konflik. Sangat disayangkan, dalam beberapa
kasus, aparat pemerintahan seperti bupati dan gubernur, justru menjadi bagian
dari konflik alih-alih menjadi mediator. Yang kedua adalah aparat kepolisian
dan militer yang berada di daerah konflik tersebut bukan saja menjadi mediator
tetapi juga untuk menurunkan eskalasi konflik. Ketiga, LSM-LSM yang telah ada
dan baru datang kemudian dalam rangka penyembuhan trauma konflik di kalangan
anak-anak dan remaja. Dapat dikatakan, dalam konflik Lampung Selatan,
masyarakat setempatlah yang menjadi aktor perdamaian utama melalui serangkaian
upaya rekonsiliasi. Faktor pemicu dalam konteks konflik Lampung Selatan adalah
beragam insiden-insiden kecil yang menyulut bara kecemburuan sosial-ekonomi.
Belum lagi yang terjadi di kota Kainantu, kawasan dataran
tinggi timur Papua Nugini. Antara suku Agarabi dan Kamano. Setidaknya 15
orang tewas dalam pertikaian itu. Polisi menyatakan pertikaian melibatkan
senjata api dan pisau, dan sebuah pemukiman kesukuan dibakar hingga rata dengan
tanah.
Sebagaimana beberapa masalah yang telah disebutkan di
atas baik itu malasah tawuran antar pelajar ataupun konflik etnis merupakan
cerminan dari gagalnya sistem pendidikan di negara ini. Lalu apa yang salah
dengan sistem pendidikan kita?
Interaksi teman sebaya merupakan dukungan kelas wacana
sipil yang positif di kalangan siswa (Apriliaswati, 2011).
Istilah teman sebaya merujuk pada kesamaan status (Musser
& Graziano,1991). Ivor Morrish (dalam Ahmadi, 2004: 191) mengungkap teman
sebaya dengan kalimat “a peer is an equal, and a peer is a group composes of
individuals who are equals.” Dari pendapat Morrish setidaknya dapat
dimaknai bahwa istilah teman sebaya (peer) memiliki makna sekelompok
individu yang memiliki kesamaan. Tentunya kesamaan yang dimaksud oleh Morrish
dapat dimaknai secara berbeda. Kelompok teman sebaya bukan sekadar sekumpulan
anak dengan keanggotaan terbatas, namun juga mengharuskan adanya interaksi satu
dengan yang lain (Craig,1980). Ditambahkannya bahwa kelompok teman sebaya ini
relatif stabil untuk waktu tertentu, dengan saling membagi dan mempengaruhi
nilai, norma kebiasaan di antara mereka. Dalam kelompok tersebut mereka
melakukan interaksi sosial, yaitu hubungan antara individu satu dengan individu
yang lain. Iindividu satu dapat mempengaruhi individu yang lain (Walgito,
1978).
Berdasar pada penelitian yang dilakukan Dunphy (dalam
Atwater, 1992) membagi dua model interaksi teman sebaya kedalam (1) kelompok
kecil (clique); dan (2) kelompok besar (crowd). Mussen, (1984)
menambah satu model interaksi yang disebutnya sebagai persahabatan individual.
Model interaksi tersebut bukan hanya berbeda dari sisi ukuran, namun juga
fungsi masing-masing.
Kelompok kecil merupakan fungsi instrumental yang penting
sebagai pusat persiapan bagi aktivitas kumpulan yang lebih besar, penyebaran
informasi dan untuk evaluasi atas aktivitas yang mereka lakukan (Mussen, 1984).
Dalam kelompok kecil ini, menurut Mussen memungkinkan remaja untuk tetap
bertahan dengan mode pakaian, penampilan diri, musik, bahasa, topik pembicaraan
populer yang sama. Selain itu ditegaskan Mussen bahwa kelompok ini juga sebagai
latar uji bagi pengembangan nilai-nilai dan keyakinan pribadi serta keyakinan
sosial remaja.
Adapun yang dimaksud dengan crowd (kelompok besar)
merupakan pusat terbesar aktivitas sosial yang lebih terorganisir, yang
menyediakan bagi interaksi antar jenis kelamin (Mussen, 1984). Dalam hal yang
sama Dunphy (dalam Atwater, 1992) mengungkap bahwa kelompok besar dilihat dari
jumlahnya lebih dari sepuluh orang yang melakukan kegiatannya pada akhir pekan.
Dari hasil penelitian Dunphy ditemukan bahwa crowd secara esensial
terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Selain itu hasil penelitian Dunphy juga
menyebutkan bahwa sekitar 30% anak laki-laki, dan 20% anak perempuan dari
subjek yang diteliti Dunphy ternyata tidak masuk menjadi salah satu kelompok di
atas, dan mereka biasanya disebut sebagai orang luar atau penyendiri.
Model ketiga yang disebut Mussen adalah persahabatan
individual. Menurut Mussen, teman sebaya yang dekat (teman dekat) biasanya
menyumbang terhadap perkembangan remaja, sedangkan yang jauh tidak dapat
melakukannya. Hal ini mungkin dikarenakan teman dekat dapat saling mengkritik
secara bebas, dan masing-masing remaja juga dapat saling belajar memodifikasi
perilaku, perasaan, ide-ide. Secara ringkas Mussen menyatakan bahwa pada
suasana yang mendukung, persahabatan dapat membantu remaja untuk secara lebih
baik menjelaskan identitasnya, meyakini dan bangga atas identitas yang
dimilikinya.
Interaksi teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk
dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku
sosial, mempraktekkan kemampuan sosial (social skill), dan
mempertahankan struktur sosial (Durkin, 1995). Welsh dan Bierman (2006)
mengungkap bahwa dalam banyak situasi, relasi teman sebaya sebagai “ladang
latihan” (training grounds) bagi hubungan interpersonal, menyiapkan
individu mempelajari tentang hubungan timbal balik dan kedekatan (intimacy).
Secara lebih tegas Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger,
2006) menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya juga memiliki kontribusi
terhadap kompetensi interpesonal. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh
Kramer dan Gottman (1992) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki
kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan
lebih mudah membina hubungan interpersonal.
Adanya teman sebaya menjadikan anak memodifikasi cara
berpikir, perasaan, dan aspirasi sebagaimana mereka pelajari, dan untuk
selanjutnya mereka terima atau mereka sebarkan pada sesamanya. Secara lebih
sederhana dalam interaksi dengan teman sebayanya, seorang anak akan saling
mempengaruhi antar sesamanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Mussen, (1984)
yang menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya akan menyediakan peluang
untuk belajar cara berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol
perilaku sosial, untuk mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan
usia dan untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama. Piaget (dalam
Oden, 1987) menegaskan bahwa interaksi antar teman sebaya merupakan sumber
utama bagi perkembangan kognitif dan sosial anak, terutama bagi perkembangan
pengambilan peran dan empati.
Dengan teman sebayanya anak akan lebih dapat menembangkan
fantasi yang dimilikinya, mencoba berbagai peran di antara mereka, mempelajari
dan menerima cara pandang orang lain, mengembangkan kompetensi sosial, memahami
berbagai aturan sosial, budaya dan norma yang ada pada lingkungannya. Lebih
dari itu, hubungan di antara teman sebaya bukanlah hubungan satu arah semata,
namun lebih merupakan hubungan interaksi dua arah yang saling memberi dan
menerima, hal inilah yang menyebabkan anak dapat secara lebih baik
mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki serta kompetensi interpersonal.
Oleh karena itu, interaksi sebaya harus dilaksanakan
sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus dilatih untuk beriteraksi
satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan,
berdebat dengan hormat untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota
fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Dikutip dari dari Studi Aprilliaswati, Dr. A. Chaedar
Alwasilah mengatakan “pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran
ilmiah saja, tetapi juga wacana sipil positif.” Penalaran ilmiah sangat
diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kopetensi wacana
sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Realitanya,
pendidikan kita saat ini hanya mengembangkan penalaran ilmiah saja, sedangkan
wacana sipil positif tidak. Kita lihat saja tingkah laku anggota DPR yang
memalukan. Dalam sidang paripurna kasus Bank
Century menuai kekecewaan banyak pihak. Pakar Politik Universitas Indonesia (UI),
Iberamsjah menyebut tindakan tersebut sebagai pertunjukan paling memalukan. Sikap
para wakil rakyat yang tidak dapat mengendalikan emosi tidak menunjukan sikap
sebagai negarawan. Padahal, mereka adalah elit nasional (MediaIndonesia.com, 2
Maret 2010).
Bukankah politisi dan birokrat
mendapatkan kekuasaan karena pendidikan yang mereka peroleh?, Ada apa
dengan bangsa ini?
Pendidikan kita saat ini telah
gagal untuk memberikan para siswa kompetensi wacana sipil. Jangan salahkan para
pelajar yang terlibat tawuran atau para pemuda yang terlibat konfkik etnis.
Politisinya saja memberikan contoh yang sangat miskin dalam berperilaku. Ketika
politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus
dikembalikan dan diberdayakan sebagaimana fungsinya. Pada tingkat sekolah
dasar, pendidik harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi
dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan kelompok-kelompok sosial
yang berbeda. Di lingkungan sekolah multikultural, penyediaan tempat ibadah
bagi siswa semua agama merupakan bentuk efektif pendidikan agama kerena siswa
akan belajar secara langsung melakukan ritual keagamaan. Selain itu juga, siswa
akan belajar bagaimana bertoleransi antar umat beragama.
Kualitas dan
praktek sistem pendidikan kita merupakan kualitas bangsa kita. Konflik sosial
dan ketidakharmonisan agama yang memicu penyakit sosial seperti tawuran
pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia
merupakan cerminan dari kualitas pendidikan kita. tawuran pelajar, bentrokan
pemuda menandai betapa rendahya kualitas pendidikan di negara kita. Kita
mungkin bertanya, ada apa dengan bangsa ini?
Kita harus merubah persepektif pendidikan yang hanya mengembangkan panalaran ilmiah saja, tetapi pendidikan juga mencakup wacana sipil positif. Dalam konteks ini siswa belajar untuk saling menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain perlu ditanamkan sedini mungkin terutama pada tingkat sekolah dasar. Di sekolah dasar, wali kelas berfungsi untuk mengawasi para siswa. Wali kelas harus memahami bagaimana merancang dan memfasilitasi siswa untuk saling berinteraksi satu sama lain agar mereka mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Kita harus merubah persepektif pendidikan yang hanya mengembangkan panalaran ilmiah saja, tetapi pendidikan juga mencakup wacana sipil positif. Dalam konteks ini siswa belajar untuk saling menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain perlu ditanamkan sedini mungkin terutama pada tingkat sekolah dasar. Di sekolah dasar, wali kelas berfungsi untuk mengawasi para siswa. Wali kelas harus memahami bagaimana merancang dan memfasilitasi siswa untuk saling berinteraksi satu sama lain agar mereka mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Interaksi teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk
dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku
sosial, mempraktekkan kemampuan sosial (social skill), dan
mempertahankan struktur sosial (Durkin, 1995). Individu yang memiliki
kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang
lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan
lebih mudah membina hubungan interpersonal (Kramer dan Gottman,1992). Oleh
karena itu, interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan
rutin kelas. Siswa harus diberikan untuk beriteraksi satu sama lain melalui
tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan, berdebat dengan hormat untuk
mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat
yang demokratis.
Dengan demikian, jika pendidikan dasar semacam ini
benar-banar ditanamkan pada usia dini, maka bangsa ini akan terbebas dari
penyakit sosial seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan politisi yang
miskin dalam berperilaku serta bentuk radikalisme lainnya.
References
Name : Siti Andini
Reg. :
14121310354
Class : PBI-C/4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic