We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Critical review

Ada Apa dengan Bangsa Ini?
  
“Jika ingin mengetahui kualitas suatu bangsa, maka lihatlah kualitas dan praktek sistem pendidikannya.” Sebagaimana dilansir oleh harian The Jakarta Post (22 Oktober 2011), Dr. A. Chaedar Alwasilah mengungkap bagaimana sebenarnya kualitas bangsa Indonesia saat ini. Pembentukan sistem pendidikan yang baik merupakan cerminan dari hampir semua negara maju. Akan tetapi, realitanya yang terjadi saat ini adalah sistem pendidikan di Indonesia yang belum memiliki sistem pendidikan yang baik. Jika demikian, bagaimana dengan kualitas bangsa ini?, Ada apa dengan bangsa ini?
Masalah sosial yang tak penah selesai seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan lain-lain merupakan dampak dari penyakit sosial yang disebabkan oleh kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan? Lagi lagi, pendidik yang menjadi sasaran empuk.
Dr. A. Chaedar Alwasilah megatakan bahwa Pendidikan dasar merupakan modal utama dan sekaligus menjadi keterampilan dasar yang harus diberikan kepada siswa untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Kerampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan yang lebih lanjut. Bagi pendidik jelas ini merupakan tantangan dalam membentuk dan mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik yang diatur dalam UU Sisdiknas. Tujuan ini akan terwujud apabila nilai-nilai antar umat beragama dikembangkan pada usia sedini mungkin di sekolah.
Dalam konteks sekolah, anak-anak memilih untuk berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka. Dalam konteks ini mereka belajar menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain. Konsep interaksi dengan teman sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial (Rubin, 2009).
Dalam pengaturan multikultural, siswa-siswa dari latar belakang yang berbeda baik etnis, agama dan sosial. Sehingga, pola pikir mereka dibentuk oleh latar belakang mereka. Dalam hal ini sekolah harus memfasilitasi interaksi antar siswa untuk mengembangkan wacana sipil positif mereka. Indikator wacana sipil mencakup mendengarkan dengan penuh perhatian, menyumbangkan ide atau gagasan, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan tidak kesepakatan dan mencapai persetujuan dengan cara yang hormat. Siswa harus dilatih untuk mendengarkan secara aktif dengan cara kontak langsung dengan teman mereka. Mereka juga harus diajarkan bagaimana mengemukakan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi dengan cara melatih mereka berbicara secara sesara bergiliran.
Pada tingkat sekolah dasar, siswa harus diajarkan bagaimana berinteraksi dengan teman sebaya mereka dengan cara menumbuhkan rasa saling menghormati dan menghargai terhadap orang lain. Jika pendidikan dasar ini berhasil, jelas ini akan berpengaruh positif pada tingkat pendidikan selanjutnya. Tawuran dikalangan pelajar yang terjadi hampir seluruh melosok negeri merupakan dampak gagalnya penanaman pendidikan dasar ini. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi dikalangan pelajar lantaran hal-hal sepele.

Di media masa seperti koran, televisi dan radio banyak sekali memuat berita tentang hal ini. Misalnya saja seorang siswa SMK di kabupaten semarang terkena bacokan pada leher belakang saat terlibat tawuran antar pelajar di Lingkungan Tambakboyo, Ambarawa, Jawa Tengah (Jum’at, 27 September 2013) Korban sempat dibawa oleh warga yang saat itu berada di sekitar lokasi ke RSUD Ambarawa untuk menjalani perawatan. Namun karena terluka parah dan mengalami pendarahan akhirnya meninggal dalam perawatan tim medis. Contoh lainya, seorang siswa SMPN 06 Jakarta Timur, tewas tertabrak kereta di sekitar Stasiun Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur. Remaja ini kehilangan nyawanya karena tertabrak kereta api saat dirinya dikejar oleh kelompok pelajar lain. Dalam keadaan panik korban bahkan sempat beberapa kali berlari dari satu jalur kereta api ke jalur kereta lainnya hingga tiba-tiba sebuah kereta api dari arah Stasiun Kota menuju Stasiun Bekasi menabrak dan menyeret tubuhnya. Masih gara-gara tawuran, seorang pria paruh baya warga Dusun Gempol Jaya RT 5 RW 2, Karawang tewas tertabrak kereta karena menghindari tawuran antar pelajar di Jalan I Gusti Ngurah Rai, Klender, Jakarta Timur. Korban panik dan menyeberang rel kereta tanpa melihat adanya kereta. Masih di hari yang sama, seorang siswa kelas 1 SMK 39, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, akhirnya meregang nyawa di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), Rumah Sakit Islam, Pondok Kopi, Jakarta Timur. Korban tewas kehabisan banyak darah setelah dibacok di bagian punggung oleh kelompok pelajar lainnya saat terlibat tawuran di Fly Over Pondok Kopi sekitar pukul 17.00 WIB.
Ini yang tak kalah miris, sembilan pelajar di Kota Padang diamankan Kepolisian Resor setempat karena diduga terlibat tawuran dan membawa senjata tajam, saat pengumuman hari kelulusan Ujian Nasional 2013. Kabag Ops Polresta Padang Kompol Yudi Sulistyo mengatakan, sembilan pelajar diamankan saat akan melakukan tawuran di kawasan RTH Imam Bonjol Padang, dan untuk mencegahnya mereka semua digiring ke Makopolresta.
Yang terbaru, siswa kelas 3 SMP Telaga Kausar, Desa Gunung Menyan, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, tewas karena menderita luka bacok akibat sabetan senjata tajam. Korban yang terluka pada bagian leher sebelah kanan sempat mendapat perawatan medis di klinik dekat rumahnya. Tawuran bermula ketika korban bersama tujuh temannya tiba-tiba diserang oleh pelajar SMP sekolah lain di depan Kantor Desa Cibatok, Jalan Raya Cibatok, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Berdasarkan informasi dan keterangan dari teman korban, penyerang terdiri dari tiga orang yang mengendarai sepeda motor. Si penumpang menggunakan celurit, langsung menyabet secara membabi-buta. (Rabu, 20 November 2013).
Belum lagi konflik saat siswa menyelesaikan pendidikan formal mereka. Siswa memasuki dunia dimana kemampuan untuk menjaga hubungan baik sangat penting untuk keberhasilan individu. Ketidakmampuan untuk menjaga hubungan baik ini akan merugikan individu dan dapat menyebabkan konflik sosial dalam suatu masyarakat tertentu.

Misalnya konflik Sampit, Kalimantan Tengah. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Di lampung juga demikian, Konflik yang terjadi di Lampung Selatan baru-baru ini melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda yaitu kelompok masyarakat setempat yang beretnis Lampung dan kelompok masyarakat pendatang beretnis Bali. Sebenarnya, etnis Lampung sebagai “suku asli” ternyata bukanlah mayoritas dari segi jumlah. Kelompok etnis Jawa yang pendatang justru menjadi mayoritas. Etnis Bali termasuk minoritas di kalangan masyarakat Lampung Selatan sebagaimana yang ditulis dalam berbagi laporan media mengenai peristiwa tersebut. Selain dua kelompok yang berkonflik, dapat diidentifikasi aktor-aktor lain yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa konflik tersebut. Yang pertama adalah pemerintah daerah setempat. Dalam beberapa kasus yang mencuat, kebijakan bupati dan gubernur Lampung Selatan yang agak sensitif menjadi faktor pendorong dan pemicu konflik. Sangat disayangkan, dalam beberapa kasus, aparat pemerintahan seperti bupati dan gubernur, justru menjadi bagian dari konflik alih-alih menjadi mediator. Yang kedua adalah aparat kepolisian dan militer yang berada di daerah konflik tersebut bukan saja menjadi mediator tetapi juga untuk menurunkan eskalasi konflik. Ketiga, LSM-LSM yang telah ada dan baru datang kemudian dalam rangka penyembuhan trauma konflik di kalangan anak-anak dan remaja. Dapat dikatakan, dalam konflik Lampung Selatan, masyarakat setempatlah yang menjadi aktor perdamaian utama melalui serangkaian upaya rekonsiliasi. Faktor pemicu dalam konteks konflik Lampung Selatan adalah beragam insiden-insiden kecil yang menyulut bara kecemburuan sosial-ekonomi.
Belum lagi yang terjadi di kota Kainantu, kawasan dataran tinggi timur Papua Nugini. Antara suku Agarabi dan Kamano.  Setidaknya 15 orang tewas dalam pertikaian itu. Polisi menyatakan pertikaian melibatkan senjata api dan pisau, dan sebuah pemukiman kesukuan dibakar hingga rata dengan tanah.
Sebagaimana beberapa masalah yang telah disebutkan di atas baik itu malasah tawuran antar pelajar ataupun konflik etnis merupakan cerminan dari gagalnya sistem pendidikan di negara ini. Lalu apa yang salah dengan sistem pendidikan kita?
Interaksi teman sebaya merupakan dukungan kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa (Apriliaswati, 2011).

Istilah teman sebaya merujuk pada kesamaan status (Musser & Graziano,1991). Ivor Morrish (dalam Ahmadi, 2004: 191) mengungkap teman sebaya dengan kalimat “a peer is an equal, and a peer is a group composes of individuals who are equals.” Dari pendapat Morrish setidaknya dapat dimaknai bahwa istilah teman sebaya (peer) memiliki makna sekelompok individu yang memiliki kesamaan. Tentunya kesamaan yang dimaksud oleh Morrish dapat dimaknai secara berbeda. Kelompok teman sebaya bukan sekadar sekumpulan anak dengan keanggotaan terbatas, namun juga mengharuskan adanya interaksi satu dengan yang lain (Craig,1980). Ditambahkannya bahwa kelompok teman sebaya ini relatif stabil untuk waktu tertentu, dengan saling membagi dan mempengaruhi nilai, norma kebiasaan di antara mereka. Dalam kelompok tersebut mereka melakukan interaksi sosial, yaitu hubungan antara individu satu dengan individu yang lain. Iindividu satu dapat mempengaruhi individu yang lain (Walgito, 1978).
Berdasar pada penelitian yang dilakukan Dunphy (dalam Atwater, 1992) membagi dua model interaksi teman sebaya kedalam (1) kelompok kecil (clique); dan (2) kelompok besar (crowd). Mussen, (1984) menambah satu model interaksi yang disebutnya sebagai persahabatan individual. Model interaksi tersebut bukan hanya berbeda dari sisi ukuran, namun juga fungsi masing-masing.
Kelompok kecil merupakan fungsi instrumental yang penting sebagai pusat persiapan bagi aktivitas kumpulan yang lebih besar, penyebaran informasi dan untuk evaluasi atas aktivitas yang mereka lakukan (Mussen, 1984). Dalam kelompok kecil ini, menurut Mussen memungkinkan remaja untuk tetap bertahan dengan mode pakaian, penampilan diri, musik, bahasa, topik pembicaraan populer yang sama. Selain itu ditegaskan Mussen bahwa kelompok ini juga sebagai latar uji bagi pengembangan nilai-nilai dan keyakinan pribadi serta keyakinan sosial remaja.
Adapun yang dimaksud dengan crowd (kelompok besar) merupakan pusat terbesar aktivitas sosial yang lebih terorganisir, yang menyediakan bagi interaksi antar jenis kelamin (Mussen, 1984). Dalam hal yang sama Dunphy (dalam Atwater, 1992) mengungkap bahwa kelompok besar dilihat dari jumlahnya lebih dari sepuluh orang yang melakukan kegiatannya pada akhir pekan. Dari hasil penelitian Dunphy ditemukan bahwa crowd secara esensial terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Selain itu hasil penelitian Dunphy juga menyebutkan bahwa sekitar 30% anak laki-laki, dan 20% anak perempuan dari subjek yang diteliti Dunphy ternyata tidak masuk menjadi salah satu kelompok di atas, dan mereka biasanya disebut sebagai orang luar atau penyendiri.
Model ketiga yang disebut Mussen adalah persahabatan individual. Menurut Mussen, teman sebaya yang dekat (teman dekat) biasanya menyumbang terhadap perkembangan remaja, sedangkan yang jauh tidak dapat melakukannya. Hal ini mungkin dikarenakan teman dekat dapat saling mengkritik secara bebas, dan masing-masing remaja juga dapat saling belajar memodifikasi perilaku, perasaan, ide-ide. Secara ringkas Mussen menyatakan bahwa pada suasana yang mendukung, persahabatan dapat membantu remaja untuk secara lebih baik menjelaskan identitasnya, meyakini dan bangga atas identitas yang dimilikinya.

Interaksi teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku sosial, mempraktekkan kemampuan sosial (social skill), dan mempertahankan struktur sosial (Durkin, 1995). Welsh dan Bierman (2006) mengungkap bahwa dalam banyak situasi, relasi teman sebaya sebagai “ladang latihan” (training grounds) bagi hubungan interpersonal, menyiapkan individu mempelajari tentang hubungan timbal balik dan kedekatan (intimacy). Secara lebih tegas Kuh & Terenzini et al., (dalam Foubert & Grainger, 2006) menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya juga memiliki kontribusi terhadap kompetensi interpesonal. Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Kramer dan Gottman (1992) yang menyatakan bahwa individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal.
Adanya teman sebaya menjadikan anak memodifikasi cara berpikir, perasaan, dan aspirasi sebagaimana mereka pelajari, dan untuk selanjutnya mereka terima atau mereka sebarkan pada sesamanya. Secara lebih sederhana dalam interaksi dengan teman sebayanya, seorang anak akan saling mempengaruhi antar sesamanya. Hal ini sebagaimana ditegaskan Mussen, (1984) yang menyatakan bahwa interaksi dengan teman sebaya akan menyediakan peluang untuk belajar cara berinteraksi dengan teman seusianya, untuk mengontrol perilaku sosial, untuk mengembangkan ketrampilan dan minat yang sesuai dengan usia dan untuk saling membagi persoalan atau perasaan yang sama. Piaget (dalam Oden, 1987) menegaskan bahwa interaksi antar teman sebaya merupakan sumber utama bagi perkembangan kognitif dan sosial anak, terutama bagi perkembangan pengambilan peran dan empati.
Dengan teman sebayanya anak akan lebih dapat menembangkan fantasi yang dimilikinya, mencoba berbagai peran di antara mereka, mempelajari dan menerima cara pandang orang lain, mengembangkan kompetensi sosial, memahami berbagai aturan sosial, budaya dan norma yang ada pada lingkungannya. Lebih dari itu, hubungan di antara teman sebaya bukanlah hubungan satu arah semata, namun lebih merupakan hubungan interaksi dua arah yang saling memberi dan menerima, hal inilah yang menyebabkan anak dapat secara lebih baik mengembangkan nilai-nilai yang dimiliki serta kompetensi interpersonal.
Oleh karena itu, interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus dilatih untuk beriteraksi satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan, berdebat dengan hormat untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Dikutip dari dari Studi Aprilliaswati, Dr. A. Chaedar Alwasilah mengatakan “pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah saja, tetapi juga wacana sipil positif.” Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kopetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab. Realitanya, pendidikan kita saat ini hanya mengembangkan penalaran ilmiah saja, sedangkan wacana sipil positif tidak. Kita lihat saja tingkah laku anggota DPR yang memalukan. Dalam sidang paripurna kasus Bank Century menuai kekecewaan banyak pihak. Pakar Politik Universitas Indonesia (UI), Iberamsjah menyebut tindakan tersebut sebagai pertunjukan paling memalukan. Sikap para wakil rakyat yang tidak dapat mengendalikan emosi tidak menunjukan sikap sebagai negarawan. Padahal, mereka adalah elit nasional (MediaIndonesia.com, 2 Maret 2010).
       Bukankah politisi dan birokrat mendapatkan kekuasaan karena pendidikan yang mereka peroleh?, Ada apa dengan bangsa ini?
         Pendidikan kita saat ini telah gagal untuk memberikan para siswa kompetensi wacana sipil. Jangan salahkan para pelajar yang terlibat tawuran atau para pemuda yang terlibat konfkik etnis. Politisinya saja memberikan contoh yang sangat miskin dalam berperilaku. Ketika politisi dan birokrat gagal untuk mendidik masyarakat, sekolah harus dikembalikan dan diberdayakan sebagaimana fungsinya. Pada tingkat sekolah dasar, pendidik harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan siswa lain dari agama yang berbeda, etnis dan kelompok-kelompok sosial yang berbeda. Di lingkungan sekolah multikultural, penyediaan tempat ibadah bagi siswa semua agama merupakan bentuk efektif pendidikan agama kerena siswa akan belajar secara langsung melakukan ritual keagamaan. Selain itu juga, siswa akan belajar bagaimana bertoleransi antar umat beragama.
          Kualitas dan praktek sistem pendidikan kita merupakan kualitas bangsa kita. Konflik sosial dan ketidakharmonisan agama yang memicu penyakit sosial seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia merupakan cerminan dari kualitas pendidikan kita. tawuran pelajar, bentrokan pemuda menandai betapa rendahya kualitas pendidikan di negara kita. Kita mungkin bertanya, ada apa dengan bangsa ini? 
      Kita harus merubah persepektif pendidikan yang hanya mengembangkan panalaran ilmiah saja, tetapi pendidikan juga mencakup wacana sipil positif. Dalam konteks ini siswa belajar untuk saling menghormati, membantu, berbagi, dan sopan terhadap satu sama lain perlu ditanamkan sedini mungkin terutama pada tingkat sekolah dasar. Di sekolah dasar, wali kelas berfungsi untuk mengawasi para siswa. Wali kelas harus memahami bagaimana merancang dan memfasilitasi siswa untuk saling berinteraksi satu sama lain agar mereka mengembangkan wacana sipil positif sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan.
Interaksi teman sebaya memiliki banyak fungsi termasuk dalam proses pengembangan identitas sosial, saling membagi norma perilaku sosial, mempraktekkan kemampuan sosial (social skill), dan mempertahankan struktur sosial (Durkin, 1995). Individu yang memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan perkembangan sosial, perkembangan emosi, dan lebih mudah membina hubungan interpersonal (Kramer dan Gottman,1992). Oleh karena itu, interaksi sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa harus diberikan untuk beriteraksi satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan, berdebat dengan hormat untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Dengan demikian, jika pendidikan dasar semacam ini benar-banar ditanamkan pada usia dini, maka bangsa ini akan terbebas dari penyakit sosial seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan politisi yang miskin dalam berperilaku serta bentuk radikalisme lainnya.






References




Name  : Siti Andini
Reg.     : 14121310354
Class   : PBI-C/4


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic