Literacy Engineering In Our Country
Detik demi detik terasa cepat sekali waktu berputar. Tatkala sejenak ingin menikmati mentari,
namun terasa itu hanya hal yang membuat waktu terbuang dengan percuma. karena ada sesuatu hal yang lebih penting
daripada hal tersebut yaitu menorehkan tinta diatas putihnya kertas nan
bersih. Tumpukan tugas yang semakin
banyak, beban yang semakin berat bagaikan seekor kepompong yang ingin
cepat-cepat tumbuh besar dan menjadi seekor ulat dan titik sempurnanya yaitu
manjadi kupu-kupu. Begitupun dengan perjuangan yang menginginkan semuanya
tercapai. Memang bear semua ini
membutuhkan sebuah energi yang kuat dan membutuhkan stamina yang banyak. Seakan kita akan berperang kita harus
mempersiapkan terutama yaitu peralatan dan stamina yang full agar kita dapat
mencapai kata menang.
Dari
sanubari yang paling dalam tersirat suatu mimpi besar menjadi seorang penulis
besar, agar karya ilmiah yang dibuat dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh orang
banyak. Namun, sulit rasanya
mengungkapkan walaupun satu kata.
Rasanya hati, dan pikiran ini tidak dapat bekerja sama dengan baik dan
sempurna. Namun sekarang adalah tiba
dimana saatnya aku diwajibkan menulis tentang arti literasi.
Literasi
diartikan melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau kecakapan
dalam membaca dan menulis (Teale dan sulzby, 1986, Cooper, 1993: 6 Alwasilah,
2001). Pengertian literasi berdasarkan
konteks penggunaanya dinyatakan Baynham (1995: 9) bahwa literasi merupakan
integrasi keterampilan menyimak, membaca, menulis, berbicara dan berpikir
kritis. James gee (1990) mengartikan
literasi dari sudut pandang adeologis kewacanaan yang menyatakan bahwa literacy
adalah “mastery of, or fluent control over, a secondary discorse.” Dalam pemikiran demikian Gee menggunakan
dasar pemikiran bahwa literasimeruapakan suatu keterampilan yang diambil
seseorang dari kegiatan berfikir, berbicara, membaca, dan menulis.
Stripling
(1992) menyatakan bahwa “literacy means being able to understand new ideas well
enough to use them when needed. Literacy
means knowing how to learn”. Pengertian
ini didasarkan pada konsep dasar literasi sebagai kemelek wacanan sehingga
ruang lingkup leiterasi itu berfikir pada segala upaya yang dilakukan dalam
memahami dan menguasai informasi.
Robinson (1983 : 6) menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca
dan menulis baik unutk berkompeteni ekonomis secara lengkap. Dengan kesimpulan bahwa literasi merupakan
kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan keberhasilan seseorang
dalam lingkungan masyarakat akademis sehingga literasi merupakan piranti yang
dimiliki untuk dapat meraup kesuksesan dalam lingkungan sosial. National assesment of Educational Progress
mengartikan literasi sebagai kemampuan performans membaca dan menulis yang di
perlukan sepanjang hayat (Winterowd: 1989 : 5) seorang ahli hukum memandang
bahwa literasi merupakan kompeten dalam memahami wacana, baik sebagai pembaca
maupun sebagai penulis sehingga menampakkan pribadi sebagai profesional
berpendidikan yang tidak hanya menerapkan untuk selama kegiatan belajar
melainka menerapkannya secara baik untuk selamanya (White: 1985: 46).
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan para ahli literasi diatas, maka dapat dinyatakan literasi
adalah:
1.
Kemampuan baca
tulis atau kemelek wacanan
2.
Kemampuan
mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, berfikir, dan menulis
3.
Kemampuan untuk
siap digunakan dalam menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya
4.
Piranti kemampuan
sebagai penunjang keberhasilan dalam lingkungan akademik dan sosial
5.
Kemampuan
berformasi membaca dan menulis yang selalu diperlukan, dan
6.
Kompetensi
seseorang akademisi dalam memahami wacana secara profesional.
Sebagai mata
pelajaran atau program studi, bahasa asing tidak ada bedanya dengan matematika
atau geografi, kekhasanya barabgkali karena bahasa asing termasuk kelompok
liberalis studies yang sangat erat kaitanya dengan pembentukan karakter
mahasiswa secara keseluruhan pendidikan Indonesia dan SD sampai perguruan
tinggi belum menggembirakan karena itu tidak mengherankan jika penguasaan
bahasa asing pun tidak menggembrakan.
Fondasi literasi sebaiknya pertama dibangun dalam bahasa ibu atau bahasa
Indonesia sebagai dasar bagi pengembangan literasi dalam bahasa lainya. Pada umumnya dari SD sampai dengan perguruan
tinggi plajaran sastra kurang diminati daripada pelajaran tata bahasa daripada
satra. Demikian halnya dengan perguruan
tinggi, mahasiswa jurusan sastra asing lebih menguasai linguistik daripada
sastra. Secara umum mata kuliah
kesastraan kurang menumbuhkan apresiasi sastra.
Karena lemahnya apresiasi terhadap budaya sendiri ada kecenderungan
mahasiswa lebih meghargai bahasa dan sastra asing daripada sastra Indonesia dan
sastra daerah. Prodi-prodi bahasa asing
berpotensi menjadi agen-agen imperialisme budaya asing. Dengan demikian =, perlu ada “tobat
kultiral”, yaitu upaya penyadaran secara kritis terhadap fenomena ini.
Ada anggapan
bahwa prodi sastra asing harus berfokus hanya pada yang serba asing, sehingga
ada fandesi mengharamkan kajian atau pembahasan kearifan lokal. Bahasa asing seyogiayanya dilihat sebagai
media untuk memperkaya khazanah kesastraan dan kebudayaan Indonesian. Perlu ada gerakan “dehegemoni” budaya asing
melalui penyadaran kolektif terhadap pentingnya pencendekian bahasa Indonesia
dan bahasa daerah melalui pendekatan karakter silang kurikulum, pembelajaran
bahasa asing pun harus ikut menanamkan nilai-nilai kultural pada para
mahasiswa, misalnya dengan menggunakan bahan ajar berbasis budaya lokal, studi
perbandingan lokal/nasional dan asing, dan dengan menerjemahkan karya sastra
lokal/nasional kedalam bahasa asing dan sebaliknya. Ini
dapat diwujudkan dalam kurikulum untuk menumbuhkan pengetahuan.
Namun, jenis
ini saja tidak cukup, karena harus ada jurus efektif, yakni menumbuhkan rasa
cinta. Yang terpenting adalah tahapan
mengalmalkan nilai-nilai itu. Tahap
terakhir ini semula dikondisikan lewat kurikulum, dilembagakan lewat
laboratorium sosial atau komunitas moral, dan akhirnya secar kolektif merupakan
karakter sebuah bangsa (A. Chaedar Alwasilah, pikiran rakyat, 26 Oktober 2001).
Menurut Mikko Lehtonen dalam bukunya “The Cultural Of
Texts” texts yaitu sebagai bahan fisik
dan semiotik. Selain itu, fakta bahwa
kualitas fisik dan semiotik saling terkait dalam teks. Teks yaitu bahan fisik tetapi teks ada dalam
bentuk tersebut menjadi semiotik.
Sebaliknya teks dapat menjadi semiotik ketika mereka memiliki beberapa
bentuk fisik. Berkenaan dengan sisi
fisik mereka dapat berfikir bahwa teks adalah artefak komunikatif, dengan kata
lain, instrumen manusia yang dihasilkan melalui bantuan dari berbagai
tekhnologi. Bentuk-bentuk materi teks
yang mencerminkan sifat tersebut.
tekhnologi awal yang bertujuan untuk memproduksi teks yang yang ditulis
dan terhubung kekapak dan pisau, dengan tanda-tanda yang terukir dikayu atau
batu. Alat seperti itu tidak baik untuk
menghasilkan teks pada skala besar, baik dalam segi panjang atau jumlah
penggunaan buku dan peekamen dalam waktu menciptakan jenis batu dari artefak
(gulungan panjang), serta gaya penulsan yang berbeda.
Tekhnik
melahirkan generasi baru yang berbeda.
Ini kemusian menjadi mungkin untuk menghasilkan volume tak terhitung
dari suatu panjang teks. Teks yang
diciptakan oleh tekhnologi juga telah meninggalkan jejak mereka pada konsepsi
teks yang berlaku dalam budaya kita.
Tekhnologi yang lebih baru meskipun telah diberikan mungkin untuk
memiliki jenis lain daripada mereka yang terdiridari tanda cetak diatas kertas.
Teks sebagai semiotik yaitu teks dapat berupa tulisan,
pidato, gambar, musik atau simbol lainya.
Titik pentingnya adalah bahwa mereka terorganisir dan ada kombinasi
simbolik relatif yang tampaknya agak jelas untuk didefinisikan. Dalam segala bentuknya teks ditandai dengan
tiga ciri: materialitas, hubungan
formal, dan kebermaknaan. Pertama, tanda
teks adalah fisik dan material.
Keberadaan fisik dan sensual pengartian selalu memiliki basis material
baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang
dipancarkan dalam setiap tindak dalam berbicara. Kedua, Ada beberapa hubungan formal antara
tanda-tanda yang terkandung dalam teks.
Tanda-tandayang diposisikan dalam bentuk temporal dan lokal dengan
tanda-tanda lain. Ketiga, tanda-tanda
memiliki makna semantik. Mereka mengacu
pada sesuatu diluar dirinya.
Pandangan Barthes pada konotasi mengacu pada
produktifitas signifier of
language. Dalam pandangan
tradisional tentang makna, setiap signifier adalah dipahami untuk
mendefinisikan tentang dirinya dalam hubungan yang agak rumit untuk apa itu
ditandai/signifier. Jadi, penanda
signifier misalnya “hujan” misalnya diangga bisa untuk signify/mendakan yang
“kelembaban atmosfer jatuh yang terlhat ditetes yang terpisah” dalam
kelipatan. Namun, definisi ini
menyiratkan bahwa ketika kata rain digunakan dalam konteks yang berbeda,
konteks hubung yang spesifik memperhatikan beberapa aspek kata.
Di setiap kasus, konteks menghasilkan arti yang
berbeda. Asalkan gagasan sifat konteks
terikat makna adalah berlaku dengan sehubungan kata-kata, itu setidaknya sama
masuk akal untuk mengklaim bahwa ini juga berlaku dalam teks. Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotik
tidak memiliki arti alam, mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada
konteksnya. Yang dimaksud
dengan teks adalah
mencakup teks tulis
dan teks lisan. Adapun
pengetahuan tentang genre adalah
pengetahuan tentang jenis-jenis
teks yang berlaku/digunakan dalam
komunitas wacana misalnya,
teks naratif, eksposisi,
deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh
unsur yang membentuk definisi tersebut,
yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan
kultural, pemecahan masalah,
refleksi, dan penggunaan
bahasa. Terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi yang diambil dari
definisi Kern (2000), yaitu:
1. Literasi
melibatkan interpretasi
Penulis/pembicara
dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam
tindak interpretasi, yakni: penulis/pembicara menginterpretasikan dunia
(peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan
pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan
interpretasi penulis/pembicara dalam
bentuk konsepsinya sendiri
tentang dunia.
2. Literasi
melibatkan kolaborasi
Terdapat
kerjasama antara dua
pihak yakni penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Kerjasama yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu
pemahaman bersama. Penulis/pembicara memutuskan
apa yang harus ditulis/dikatakan
atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman mereka terhadap
pembaca/pendengarnya.
Sementara pembaca/pendengar
mencurahkan motivasi, pengetahuan,
dan pengalaman mereka
agar dapat membuat teks penulis
bermakna.
3. Literasi
melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan
berbicara itu ditentukan oleh
konvensi/kesepakatan
kultural (tidak universal)
yang berkembang melalui penggunaan dan
dimodifikasi untuk tujuan-tujuan
individual. Konvensi disini mencakup aturan-aturan bahasa baik
lisan maupun tertulis.
4. Literasi
melibatkan pengetahuan kultural.
Membaca dan menulis
atau menyimak dan
berbicara berfungsi dalam
sistemsistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu. Sehingga orangorang yang
berada di luar
suatu sistem budaya
itu rentan/beresiko salah/keliru dipahami oleh orang-orang yang
berada dalam sistem budaya tersebut.
5. Literasi
melibatkan pemecahan masalah.
Karena
kata-kata selalu melekat
pada konteks linguistik
dan situasi yang melingkupinya, maka
tindak menyimak, berbicara,
membaca, dan menulis
itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di antara kata-kata, frasefrase, kalimat-kalimat, unit-unit
makna, teks-teks, dan dunia-dunia.
Upaya membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan ini
merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.
6. Literasi
melibatkan refleksi dan refleksi diri.
Pembaca/pendengar
dan penulis/pembicara memikirkan
bahasa dan hubungan-hubungannya
dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi
mereka memikirkan apa
yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa
mengatakan hal tersebut.
Menurut Hoey
(2001) yang dikutip dalam Hyland (2004) pembaca dan penulis diibaratkan sebagai
penari yang mengikuti setiap langah lain.
Rasa setiap merangkai sebuah teks dengan mengantisipasi apa yang akan
kemungkinan lain untuk dilakukan dengan membuat suatu koneksi pada teks sebelum
sebelum dengn kata lain pembaca dan penulis membuat seuatu koneksi yang disebut
dengan seni. Hylan (2004; 4) mengatakan
menulis adalah praktek yang disadarkan pada harapan peluang membaca menafsirkan
maksud penulis meningkat jika penulis mengambil kesulitan untuk mengantisipasi
apa yang pembaca harapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya yang telah
membaca jenis teks yang sama.
Analisis
sebuah teks dapat dianggap sebagai menenun, atau mencari konstruksi teks
simbolis. Makna tua dari analisis
sebagai kembali dan menarik sangat cocok, analisis kembali pada akar konstruksi
teks simbolik. Untuk membedakan
unsur-unsur tanda, paradigma dan stagma menghasilkan ketegangan yang berbeda
dari penekanan sebuah teks. Rolan
Barthes mengambil tekstualitas yang mempertimbangkan transisi dari suatu
pekerjaan pada sebuah teks, sebuah karya baginya adalah selesai, objek yang
dapat dihitung, sedangkan bukan objek tetapi bidang metodologis yang hanya
mengalami ketika sedang bekerja di atasnya dalam sebuah produksi.
Jadi,
teks adalah sebuah proses dimana ada hasil pada akhirnya. Sebagai sebuah karya yang menutup sekitar
satu signified, teks bersifat pluralistik.
Namun, itu tidak memiliki beberapa arti, tetapi sangat memenuhi
pluralitas pada sebuah makna, sebuah karya yang dapat dilihat sebagai semacam
wadah untuk sebuah makna. Jika sebuah teks
dipelajari sebagai suatu karya itu dianggap mengandung makna ketika sedang
dibaca. Dari sudut pandang, makna teks
yang immanen yaitu mereka berada dalam teks dan masih tetap disana juga. Tugas pembaca yaitu hanya untuk melihat
sebuah makna/arti yang sudah ada dalam teks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic