We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Class Review 3



            

Literacy Engineering In Our Country



             Detik demi detik terasa cepat sekali waktu berputar.  Tatkala sejenak ingin menikmati mentari, namun terasa itu hanya hal yang membuat waktu terbuang dengan percuma.  karena  ada sesuatu hal yang lebih penting daripada hal tersebut yaitu menorehkan tinta diatas putihnya kertas nan bersih.  Tumpukan tugas yang semakin banyak, beban yang semakin berat bagaikan seekor kepompong yang ingin cepat-cepat tumbuh besar dan menjadi seekor ulat dan titik sempurnanya yaitu manjadi kupu-kupu. Begitupun dengan perjuangan yang menginginkan semuanya tercapai.  Memang bear semua ini membutuhkan sebuah energi yang kuat dan membutuhkan stamina yang banyak.  Seakan kita akan berperang kita harus mempersiapkan terutama yaitu peralatan dan stamina yang full agar kita dapat mencapai kata menang.
            Dari sanubari yang paling dalam tersirat suatu mimpi besar menjadi seorang penulis besar, agar karya ilmiah yang dibuat dapat dibaca dan dimanfaatkan oleh orang banyak.  Namun, sulit rasanya mengungkapkan walaupun satu kata.  Rasanya hati, dan pikiran ini tidak dapat bekerja sama dengan baik dan sempurna.  Namun sekarang adalah tiba dimana saatnya aku diwajibkan menulis tentang arti literasi.
            Literasi diartikan melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale dan sulzby, 1986, Cooper, 1993: 6 Alwasilah, 2001).  Pengertian literasi berdasarkan konteks penggunaanya dinyatakan Baynham (1995: 9) bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, membaca, menulis, berbicara dan berpikir kritis.  James gee (1990) mengartikan literasi dari sudut pandang adeologis kewacanaan yang menyatakan bahwa literacy adalah “mastery of, or fluent control over, a secondary discorse.”   Dalam pemikiran demikian Gee menggunakan dasar pemikiran bahwa literasimeruapakan suatu keterampilan yang diambil seseorang dari kegiatan berfikir, berbicara, membaca, dan menulis.
            Stripling (1992) menyatakan bahwa “literacy means being able to understand new ideas well enough to use them when needed.  Literacy means knowing how to learn”.  Pengertian ini didasarkan pada konsep dasar literasi sebagai kemelek wacanan sehingga ruang lingkup leiterasi itu berfikir pada segala upaya yang dilakukan dalam memahami dan menguasai informasi.   Robinson (1983 : 6) menyatakan bahwa literasi adalah kemampuan membaca dan menulis baik unutk berkompeteni ekonomis secara lengkap.  Dengan kesimpulan bahwa literasi merupakan kemampuan membaca dan menulis yang berhubungan dengan keberhasilan seseorang dalam lingkungan masyarakat akademis sehingga literasi merupakan piranti yang dimiliki untuk dapat meraup kesuksesan dalam lingkungan sosial.  National assesment of Educational Progress mengartikan literasi sebagai kemampuan performans membaca dan menulis yang di perlukan sepanjang hayat (Winterowd: 1989 : 5) seorang ahli hukum memandang bahwa literasi merupakan kompeten dalam memahami wacana, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis sehingga menampakkan pribadi sebagai profesional berpendidikan yang tidak hanya menerapkan untuk selama kegiatan belajar melainka menerapkannya secara baik untuk selamanya (White: 1985: 46).
            Berdasarkan penjelasan-penjelasan para ahli literasi diatas, maka dapat dinyatakan literasi adalah:
1.      Kemampuan baca tulis atau kemelek wacanan
2.      Kemampuan mengintegrasikan antara menyimak, berbicara, membaca, berfikir, dan menulis
3.      Kemampuan untuk siap digunakan dalam menguasai gagasan baru atau cara mempelajarinya
4.      Piranti kemampuan sebagai penunjang keberhasilan dalam lingkungan akademik dan sosial
5.      Kemampuan berformasi membaca dan menulis yang selalu diperlukan, dan
6.      Kompetensi seseorang akademisi dalam memahami wacana secara profesional.
Sebagai mata pelajaran atau program studi, bahasa asing tidak ada bedanya dengan matematika atau geografi, kekhasanya barabgkali karena bahasa asing termasuk kelompok liberalis studies yang sangat erat kaitanya dengan pembentukan karakter mahasiswa secara keseluruhan pendidikan Indonesia dan SD sampai perguruan tinggi belum menggembirakan karena itu tidak mengherankan jika penguasaan bahasa asing pun tidak menggembrakan.  Fondasi literasi sebaiknya pertama dibangun dalam bahasa ibu atau bahasa Indonesia sebagai dasar bagi pengembangan literasi dalam bahasa lainya.  Pada umumnya dari SD sampai dengan perguruan tinggi plajaran sastra kurang diminati daripada pelajaran tata bahasa daripada satra.  Demikian halnya dengan perguruan tinggi, mahasiswa jurusan sastra asing lebih menguasai linguistik daripada sastra.  Secara umum mata kuliah kesastraan kurang menumbuhkan apresiasi sastra.  Karena lemahnya apresiasi terhadap budaya sendiri ada kecenderungan mahasiswa lebih meghargai bahasa dan sastra asing daripada sastra Indonesia dan sastra daerah.  Prodi-prodi bahasa asing berpotensi menjadi agen-agen imperialisme budaya asing.  Dengan demikian =, perlu ada “tobat kultiral”, yaitu upaya penyadaran secara kritis terhadap fenomena ini.
      Ada anggapan bahwa prodi sastra asing harus berfokus hanya pada yang serba asing, sehingga ada fandesi mengharamkan kajian atau pembahasan kearifan lokal.  Bahasa asing seyogiayanya dilihat sebagai media untuk memperkaya khazanah kesastraan dan kebudayaan Indonesian.  Perlu ada gerakan “dehegemoni” budaya asing melalui penyadaran kolektif terhadap pentingnya pencendekian bahasa Indonesia dan bahasa daerah melalui pendekatan karakter silang kurikulum, pembelajaran bahasa asing pun harus ikut menanamkan nilai-nilai kultural pada para mahasiswa, misalnya dengan menggunakan bahan ajar berbasis budaya lokal, studi perbandingan lokal/nasional dan asing, dan dengan menerjemahkan karya sastra lokal/nasional kedalam bahasa asing dan sebaliknya.  Ini  dapat diwujudkan dalam kurikulum untuk menumbuhkan pengetahuan.
      Namun, jenis ini saja tidak cukup, karena harus ada jurus efektif, yakni menumbuhkan rasa cinta.  Yang terpenting adalah tahapan mengalmalkan nilai-nilai itu.  Tahap terakhir ini semula dikondisikan lewat kurikulum, dilembagakan lewat laboratorium sosial atau komunitas moral, dan akhirnya secar kolektif merupakan karakter sebuah bangsa (A. Chaedar Alwasilah, pikiran rakyat, 26 Oktober 2001).
      Menurut  Mikko Lehtonen dalam bukunya “The Cultural Of Texts” texts yaitu  sebagai bahan fisik dan semiotik.  Selain itu, fakta bahwa kualitas fisik dan semiotik saling terkait dalam teks.  Teks yaitu bahan fisik tetapi teks ada dalam bentuk tersebut menjadi semiotik.  Sebaliknya teks dapat menjadi semiotik ketika mereka memiliki beberapa bentuk fisik.  Berkenaan dengan sisi fisik mereka dapat berfikir bahwa teks adalah artefak komunikatif, dengan kata lain, instrumen manusia yang dihasilkan melalui bantuan dari berbagai tekhnologi.  Bentuk-bentuk materi teks yang mencerminkan sifat tersebut.  tekhnologi awal yang bertujuan untuk memproduksi teks yang yang ditulis dan terhubung kekapak dan pisau, dengan tanda-tanda yang terukir dikayu atau batu.  Alat seperti itu tidak baik untuk menghasilkan teks pada skala besar, baik dalam segi panjang atau jumlah penggunaan buku dan peekamen dalam waktu menciptakan jenis batu dari artefak (gulungan panjang), serta gaya penulsan yang berbeda.
      Tekhnik melahirkan generasi baru yang berbeda.  Ini kemusian menjadi mungkin untuk menghasilkan volume tak terhitung dari suatu panjang teks.  Teks yang diciptakan oleh tekhnologi juga telah meninggalkan jejak mereka pada konsepsi teks yang berlaku dalam budaya kita.  Tekhnologi yang lebih baru meskipun telah diberikan mungkin untuk memiliki jenis lain daripada mereka yang terdiridari tanda cetak diatas kertas.
Teks sebagai semiotik yaitu teks dapat berupa tulisan, pidato, gambar, musik atau simbol lainya.  Titik pentingnya adalah bahwa mereka terorganisir dan ada kombinasi simbolik relatif yang tampaknya agak jelas untuk didefinisikan.  Dalam segala bentuknya teks ditandai dengan tiga ciri:  materialitas, hubungan formal, dan kebermaknaan.  Pertama, tanda teks adalah fisik dan material.  Keberadaan fisik dan sensual pengartian selalu memiliki basis material baik itu granit yang digunakan dalam patung atau gelombang udara yang dipancarkan dalam setiap tindak dalam berbicara. Kedua,  Ada beberapa hubungan formal antara tanda-tanda yang terkandung dalam teks.  Tanda-tandayang diposisikan dalam bentuk temporal dan lokal dengan tanda-tanda lain.  Ketiga, tanda-tanda memiliki makna semantik.  Mereka mengacu pada sesuatu diluar dirinya.


Pandangan Barthes pada konotasi mengacu pada produktifitas signifier of language.  Dalam pandangan tradisional tentang makna, setiap signifier adalah dipahami untuk mendefinisikan tentang dirinya dalam hubungan yang agak rumit untuk apa itu ditandai/signifier.  Jadi, penanda signifier misalnya “hujan” misalnya diangga bisa untuk signify/mendakan yang “kelembaban atmosfer jatuh yang terlhat ditetes yang terpisah” dalam kelipatan.  Namun, definisi ini menyiratkan bahwa ketika kata rain digunakan dalam konteks yang berbeda, konteks hubung yang spesifik memperhatikan beberapa aspek kata.
Di setiap kasus, konteks menghasilkan arti yang berbeda.  Asalkan gagasan sifat konteks terikat makna adalah berlaku dengan sehubungan kata-kata, itu setidaknya sama masuk akal untuk mengklaim bahwa ini juga berlaku dalam teks.  Menurut gagasan ini, teks sebagai semiotik tidak memiliki arti alam, mereka juga mendapatkan maknanya tergantung pada konteksnya.  Yang  dimaksud  dengan  teks  adalah  mencakup  teks  tulis  dan  teks  lisan.  Adapun  pengetahuan  tentang  genre adalah  pengetahuan  tentang  jenis-jenis  teks yang  berlaku/digunakan  dalam  komunitas  wacana  misalnya,  teks  naratif, eksposisi, deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh  unsur yang membentuk definisi tersebut,  yaitu berkenaan dengan interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural,  pemecahan  masalah,  refleksi,  dan  penggunaan  bahasa. Terdapat tujuh prinsip pendidikan literasi yang diambil dari definisi Kern (2000), yaitu:
1.  Literasi melibatkan interpretasi
Penulis/pembicara  dan  pembaca/pendengar  berpartisipasi  dalam  tindak interpretasi,  yakni:  penulis/pembicara  menginterpretasikan  dunia  (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian mengiterpretasikan  interpretasi  penulis/pembicara  dalam  bentuk  konsepsinya sendiri tentang dunia.
2.  Literasi melibatkan kolaborasi
Terdapat  kerjasama  antara  dua  pihak  yakni  penulis/pembicara  dan pembaca/pendengar. Kerjasama  yang dimaksud itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman  bersama.  Penulis/pembicara  memutuskan  apa yang  harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman mereka  terhadap  pembaca/pendengarnya.  Sementara  pembaca/pendengar mencurahkan  motivasi,  pengetahuan,  dan  pengalaman  mereka  agar  dapat membuat teks penulis bermakna.
3.  Literasi melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh  konvensi/kesepakatan  kultural  (tidak  universal)  yang  berkembang  melalui penggunaan  dan  dimodifikasi  untuk  tujuan-tujuan  individual.  Konvensi  disini mencakup aturan-aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.
4.  Literasi melibatkan pengetahuan kultural.
Membaca  dan  menulis  atau  menyimak  dan  berbicara  berfungsi  dalam  sistemsistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan  nilai tertentu. Sehingga orangorang  yang  berada  di  luar  suatu  sistem  budaya  itu  rentan/beresiko  salah/keliru dipahami oleh orang-orang yang berada dalam sistem budaya tersebut.
5.  Literasi melibatkan pemecahan masalah.
Karena  kata-kata  selalu  melekat  pada  konteks  linguistik  dan  situasi  yang melingkupinya,  maka  tindak  menyimak,  berbicara,  membaca,  dan  menulis  itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-hubungan di  antara kata-kata, frasefrase,  kalimat-kalimat,  unit-unit  makna,  teks-teks, dan  dunia-dunia.  Upaya membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan  ini  merupakan  suatu  bentuk pemecahan masalah.
6.  Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri.
Pembaca/pendengar  dan  penulis/pembicara  memikirkan  bahasa  dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi  komunikasi  mereka  memikirkan  apa  yang  telah mereka  katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa mengatakan hal tersebut.  
            Menurut Hoey (2001) yang dikutip dalam Hyland (2004) pembaca dan penulis diibaratkan sebagai penari yang mengikuti setiap langah lain.  Rasa setiap merangkai sebuah teks dengan mengantisipasi apa yang akan kemungkinan lain untuk dilakukan dengan membuat suatu koneksi pada teks sebelum sebelum dengn kata lain pembaca dan penulis membuat seuatu koneksi yang disebut dengan seni.  Hylan (2004; 4) mengatakan menulis adalah praktek yang disadarkan pada harapan peluang membaca menafsirkan maksud penulis meningkat jika penulis mengambil kesulitan untuk mengantisipasi apa yang pembaca harapkan didasarkan pada teks-teks sebelumnya yang telah membaca jenis teks yang sama. 
            Analisis sebuah teks dapat dianggap sebagai menenun, atau mencari konstruksi teks simbolis.  Makna tua dari analisis sebagai kembali dan menarik sangat cocok, analisis kembali pada akar konstruksi teks simbolik.  Untuk membedakan unsur-unsur tanda, paradigma dan stagma menghasilkan ketegangan yang berbeda dari penekanan sebuah teks.  Rolan Barthes mengambil tekstualitas yang mempertimbangkan transisi dari suatu pekerjaan pada sebuah teks, sebuah karya baginya adalah selesai, objek yang dapat dihitung, sedangkan bukan objek tetapi bidang metodologis yang hanya mengalami ketika sedang bekerja di atasnya dalam sebuah produksi.
            Jadi, teks adalah sebuah proses dimana ada hasil pada akhirnya.  Sebagai sebuah karya yang menutup sekitar satu signified, teks bersifat pluralistik.  Namun, itu tidak memiliki beberapa arti, tetapi sangat memenuhi pluralitas pada sebuah makna, sebuah karya yang dapat dilihat sebagai semacam wadah untuk sebuah makna.  Jika sebuah teks dipelajari sebagai suatu karya itu dianggap mengandung makna ketika sedang dibaca.  Dari sudut pandang, makna teks yang immanen yaitu mereka berada dalam teks dan masih tetap disana juga.  Tugas pembaca yaitu hanya untuk melihat sebuah makna/arti yang sudah ada dalam teks.







































Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic