We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014


Waspada Aliran Sesat PAI: Pendidikan Anarkis Indonesia



Critical Review1
There can never be peace, between nations until it is first known that true peace is within the souls of men (Oglala Sioux)
Peace is not the absence of war; it is a virtue, a state of mind, a disposition for a benevolence, confidence, justice (Baruch Spinoza)

Indonesia bak alunan nada, mulai nada “DO” hingga nada “SI”, mulai nada “C” hingga nada “B”. Apabila nada-nada ini dimainkan dan sesuai dengan petunjuk seorang dirijen, maka akan dihasilkan nada-nada yang eksotis, lembut dan indah. Sungguh sangat indah dan mempesona apabila nada-nada yang berbeda ini dimainkan sesuai dengan aturan nada yang berlaku. Ini akan menciptakan harmonisasi nada dalam sebuah lagu. Hal ini mengibaratkan keberagaman yang ada di Indonesia mulai dari keberagaman suku bangsa, budaya, bahasa dan agama. Setiap daerah di Indonesia memiliki keberagaman budaya. Misalnya Indonesai memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, dan budaya seperti Asmat, Badui, Bali, Batak, Bugis, Dayak, Jawa, Melayu, Sunda, dan lain-lain. Indonesia juga memiliki keanekaragaman agama yakni Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan agama-agama lain. Ini merupakan aset yang sangat penting yang dimiliki Indonesia. Sungguh sangat indah apabila masyarakat Indonesia hidup rukun, tentram, saling menghormati dan saling menghargai atas perbedaan ini. Namun pada kenyataannya, apa yang yang diharapkan sang “dirijen” yakni pemerintah Indonesia sangat bertolak belakang bahkan sudah sampai pada titik kritis “perpecahan” masyarakatnya.
Sampai saat ini marak sekali terjadinya konflik dan pertikaian antar masyarakat, baik berupa konflik besar maupun konflik kecil. Konflik besar yang sangat terkenal yakni konflik Ambon-Poso. Konflik ini terjadi selama hampir 2 tahun sejak Desember 1998 sampai dengan Agustus 1999. Menurut laporan KONTRAS, sejak pecahnya pertikaian tanggal 15 Juli 1999 hingga 5 Agustus 1999, tercatat 1.349 orang korban meninggal, ratusan lainnya luka-luka, dan 4 orang hilang. Sekitar 800 rumah dibakar habis, juga kira-kira 200 ruko habis dibakar. Kurang lebih 100.000 warga mengungsi. Konflik Ambon-Poso ditenggarai merupakan konflik antar umat Kristen dengan umat Muslim. Namun konflik ini bukanlah konflik yang disebabkan oleh agama. Justru agama yang dijadikan alat untuk berkonflik. Disinyalir bahwa daerah ini yang dulu pernah menjadi negara Boneka buatan Belanda yakni Republik Maluku Selatan (RMS) ingin memproklamirkan berdirinya kembali negara tersebut. Namun adakah yang salah dengan bangsa ini sehingga memunculkan konflik yang begitu besar sehingga sampai menimbulkan ribuan korban jiwa? Pembantaian yang dilakukan oleh oknum Kristen terhadap Muslim ini perlu dijadikan sebuah pelajaran bagi pemerintah Indonesia.
Nampaknya pemerintah Indonesia tidak mampu belajar dari masa lalu. Kondisi serupa tengah terjadi di Papua. Konfllik Papua yang sudah terjadi sejak tahun 1965 masih saja terjadi bahkan kian memanas akhir-akhir ini. Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan bendera Bintang Kejoranya dan atas bantuan pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi ingin memproklamirkan pemisahan diri dari NKRI. Ini terjadi karena diduga kuat bahwa mereka merasa tidak mendapatkan keadilan dan merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah Indonesia yang mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum seperti tindakan KORUPSI yang tengah berakar kuat pada bangsa ini. Mengapa oknum pemerintah ini melakukan tindakan KORUPSI? Apakah ketika sekolah mereka tidak diajarkan untuk mengedepankan nilai-nilai moral atau diajarkan akhlak yang baik? Jawabannya tentu kembali pada pendidikan di Indonesia.
Hal serupa yang menandakan buramnya pendidikan di Indonesia yakni kasus tawuran antar pelajar. Abu alias Dedi Triyuda (17) siswa Sekolah Menengah Kejuruan Baskara tewas setelah ditikam pada tawuran melawan SMK Pancoran Mas, Kota Depok. Abu mengalami luka di bagian selangkangan kaki dan kepala karena benda tajam dan benturan benda tumpul. Abu bersama temannya terlibat tawuran di Jalan Raya Sawangan. Truk yang mereka tumpangi macet ketika melewati jalan menanjak. Saat itulah tawuran pecah, hingga membuat Abu terluka parah. Seorang temannya membawa Abu ke Klinik Depok Dua di Jalan Keadilan Nomor 41, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok. Warga kemudian melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Pihak kepolisian melacak dan akhirnya ditemukan teman-teman Abu. Saat ini beberapa rekan Abu menjalani pemeriksaan di Markas Polsek Pancoran Mas.
Atau dalam kasus lain, Rahman Saputra Pelajar warga Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, ia menerita luka sabetan senjata tajam di tangan kanan, kepala, dan punggungnya. Ia kini dirawat di RS Islam Cempaka Putih bersama Hengki (18), teman sekolah Rahman, ia menuturkan kepada aparat Polsek Cempaka Putih, ia dan korban bersama teman-temannya terlibat tawuran dengan kelompok pelajar SMK lain. Mereka tawuran di Jalan Percetakan Negara XI, depan SD Negeri 05/07, Rawasari, Jakarta Pusat. Menurut Hengki, kelompoknya yang berjumlah sekitar 20 orang, dicegat kelompok pelajar lain yang berjumlah sekitar 50 orang. Terjadilah tawuran. Rahman dan Hengki terkepung pelajar lawannya. Hengki berhasil melarikan diri, namun Rahman tidak. Mereka pun mengeroyoknya.
Kasus tawuran pelajar di Pancoran (12/10/2012) yang melibatkan siswa SMK Negeri 29, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan SMK Bakti Cawang, Jakarta Timur. Lima pelajar yang diduga terlibat tawuran digiring ke Markas Polres Metro Jakarta Selatan. Kelima pelajar tersebut semuanya siswa SMK 29 atau STM Penerbangan. Tiga di antaranya ditangkap saat hendak meloloskan diri dari kejaran patroli kepolisian seusai tawuran. Mereka adalah F (16), MR (17), dan AS (15). Ketiganya sempat diamankan di Markas Polsek Metro Tebet sebelum dibawa oleh Kepala Satreskrim Ajun Komisaris Besar Hermawan ke Markas Polres Metro Jakarta Selatan (Mapolrestro Jaksel). Sementara itu, dua pelajar lainnya berhasil diamankan. Keduanya adalah pelajar kelas 1 SMK 29. Inisialnya AG (perempuan) dan RN. Bersama keduanya, petugas juga mengamankan barang bukti berupa satu celurit dan satu gergaji balok es. Kedua jenis senjata tajam tersebut ditemukan dalam tas kedua pelaku. Selain mereka, satu korban luka Jalal Muhammad Akbar (15) ikut dibawa ke Mapolrestro Jaksel. Ia datang ditemani ibunya, Yoyoh (41). Ia mengalami luka bacok di punggung dan kepalanya. Sebelumnya, ia sempat menjalani perawatan di RS Tria Dipa, Pancoran. Rekannya, Rizki Alfian alias Pepen (16), masih menjalani perawatan intensif. Setelah mendapat pertolongan awal di ruang IGD, Kamis petang, ia dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo. Ia diduga mengalami cedera yang lebih parah dibandingkan Jalal. Pepen mengalami luka di lengan kiri dan punggung belakang tembus ke paru-paru.
Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran kelompok-kelompok vandalistik (gank) yang biasanya mengundang perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab maraknya tawuran di kalangan pelajar.
Sungguh sangat banyak kasus-kasus tawuran lain yang terjadi di Indoneia. Sangat disayangkan bahwa pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa sudah terlibat pada tindakan anarkis bahkan tidakan kriminal yakni hingga melukai orang lain bahkan sampai membunuhnya. Inikah yang dinamakan pendidikan? Murid yang berangkat ke sekolah yang seharusnya membawa buku pelajaran tapi mengapa malah membawa celurit dan geregaji seperti AG (wanita) dan RN (pria) pada kasus di atas. Apakah mereka akan pergi ke sawah untuk mencari rumput kambing-kambingnya? Ataukah ingin mencari uang tambahan dengan berjualan es balok di sekolahnya? Ini terdapat mindset dan paradigma yang salah tentang pendidikan bagi pelajar. Sebelum berangkat ke sekolah pun mereka sudah “niat” untuk tawuran bukannya untuk belajar. Lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini? Lantas apa yang dilakukan guru tersebut dalam mendidik muridnya?Apakah sistem pendidikannya yang salah? Konflik, KORUPSI dan tawuran pelajar merupakan hanya sebagian kecil masalah yang timbul karena aliran sesat pendidikan. Kenapa dikatakan sesat? Karena kebayakan guru hanya mentransfer pengetahuan tanpa diimbangi pentransferan nilai-nilai akhlak, budaya, dan agama. Ini yang seharusnya dilakukan oleh semua guru. Lalu bagaimanakah solusinya? Tentunya dibutuhkan seorang guru yang mampu mendidik siswanya menjadi pribadi yang cerdas dan berakhlak.
Dalam wacana yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”  yang ditulis oleh Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, yang diterbitkan oleh The Jakarta Post pada tanggal 22 Oktober 2011 bahwasanya konflik sosial dan ketidakharmonisan agama yang terjadi merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi Indonesia yang berkarakter. Siswa harus dilatih mendengarkan secara aktif dan diajarkan bagaimana menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Dalam prakteknya, siswa diberi kesempatan berinteraksi dengan teman satu kelasnya melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengar aktif, berdebat secara hormat dan sopan tanpa membuat temannya merasa tersakiti, sehingga diharapkan ketika siswa memasuki dunia yang sesungguhnya, ia mampu  menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Pendidikan liberal ini harus mencangkup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas  bahasa-budaya yang ada di masyarakat. Dalam kata lain pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan pengkotak-kotakan terhadap orang lain. Ini yang sangat dibutuhkan dalam menjalin keharmonisan hubungan antar umat beragama.   
Indonesia adalah negara multikultural. Kita hidup dan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa. Pada kenyataannya, kita tidak mampu untuk hidup terisolasi ataupun hidup sendiri. Ketika kita melihat sebuah bahasa, bahasa tidak direalisasikan sebagai bunyi, kata ataupun kalimat yang asing. Akan tetapi bahasa direalisasikan ke dalam bentuk text. Sungguh ternyata saat ini kita benar-benar terkepung oleh text. Misalnya di rumah, kita mendengarkan text radio, televisi, koran, majalah, buku, novel, ataupun teks message pada handphone kita. Pada kenyataanya, kita tidak mampu menghindar dari semua contoh text-text tersebut dalam kehidupan sehari-hari karena ini merupakan suatu kebutuhan bagi kita. Ini yang secara sadar ataupun tidak kita sadari bahwa kita telah menerima dan memproduksi sangat banyak text, mungkin puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan text dalam satu hari saja. Sebagai contoh, coba bayangkan berapa total inbox maupun outbox yang telah anda kirimkan ke handphone rekan-rekan anda ataupun kerabat anda dalam satu hari? Hasil penelitian di Indonesia rata-rata setiap orang memproduksi 3000 text pesan perhari, termasuk di dalamnya pesan, panggilan keluar, dan percakapan. Proses memproduksi inilah yang kita namakan sebagai discourse. Ini merupakan definisi sederhana bahwa discourse adalah bahasa, baik itu dalam bentuk tulisan maupun pembicaraan yang dimana digunakan oleh manusia untuk tujuan berkomunikasi dalam kehidupan nyata (Scott Thornbury, 2005). Perbedaan antara discourse dengan text yakni dimana discourse merupakan proses sedangkan text merupakan hasil atau produk.
Sebagai guru atau calon guru bahasa, kita harus mampu menggunakan pembelajaran dengan beranekaragam text seperti musik, koran, majalah, film, internet, dan lain-lain. Apabila hal ini sudah dilakukan, maka pelajar akan dilibatkan dalam keanekaragaman discourse dan ia juga termotivasi untuk belajar dalam berbahasa, baik bahasa asli nya (L1) yakni Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing (L2) misalnya Bahasa Inggris. Classroom discourse secara luas dapat diartikan sebagai dialog, sapaan dan meta-languages antara murid dengan gurunya ataupun mahasiswa dengan dosennya. Stubbs 1976, “Ultimately, the classroom dialouge between teacher and pupils is educational procces, or at least, the mayor part of it”. Pada dasarnya seorang guru harus terampil dalam mengambil suatu keputusan. Misalnyanya pada suatu hari saat siswa datang terlambat masuk kelas, maka terjadilah dialog antar siswa tersebut dengan gurunya. Akan tetapi pada akhirnya guru pun tidak mengijinkan siswa tersebut untuk dapat mengikuti pelajaran. Ini yang harus secara cermat dipikirakan oleh guru, apakah keputusannya tepat atau tidak? Dalam classroom discourse, pengambilan keputusan ini harus dipikirkan secara matang oleh guru agar nanti jangan sampai muridnya mengalami hal-hal negatif atas keputusannya tersebut. Misalnya murid tersebut malah menjadi malas untuk belajar ataupun ia merasa dianggap “diasingkan” dari teman-temannya yang lain. Ada baiknya apabila terjadi hal seperti ini, murid dikenakan sangsi berupa hukuman “membaca” di perspustakaan. Pada prakteknya, ia diwajibkan membaca buku denagn menulis ulang apa yang ia pahami mengenai buku tersebut, kemudian ia mempresentasikannya kepada teman-temannya. Dengan adanya hukuman seperti ini, diharapkan nanti akan terciptanya literate muda yang akan mendobrak masa depan Indonesia. Jangan sampai ada lagi kejadian klasik murid “distrap” berdiri satu kaki di depan kelas, atau murid dijemur di lapangan sekolah, atau bahkan guru sampai tega menampar dan memukul muridnya. Hukuman membaca dapat menjadi solusi yang “mendidik” bagi siswa.
Lalu setelah kita paham mengenai classroom discourse, maka sistem pendidikan yang bagaimana yang tepat untuk Indonesia yang memiliki keberagaman latar belakang budaya, bahasa, agama serta tingkat kondisi sosial-ekonomi yang berbeda? UNICEF menawarkan suatu sistem pendidikan yang dinamakan pendidikan perdamaian (Peace Education). Pendidikan perdamaian mengedepankan aspek kolaborasi antara Academic, Social, dan Emotional Learning (CASEL). Benar menurut yang disampaikan Chaedar bahwa” Penalaran ilmiah (academic) sangat diperlukan dalam mengembangkan masyarakat agar berintelektual, namun kompetensi wacana sipil (social emotional) juga sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang beradab. Dalam prakteknya CASEL mengedepankan pembelajaran pada aspek-aspek yakni Professional Development (Pengembangan Profesional), Relationship Skills (Keterampilan Menjalin Hubungan), Responsible Decision Making (Pengambilan Keputusan yang Bertanggung jawab), Self-Management (Manajemen pribadi), Schoolwide Coordination, dan Family Partnerships (Kerjasama Keluarga). Selain itu CASEL berperan aktif dalam Social Awareness (Kesadaran Sosial),  Self-Awareness (Kesadaran diri), dan Community Partnerships (Hubungan masyarakat).
Pendidikan perdamaian di sekolah yang menekankan pada proses mengharuskan adanya prinsip atau pendekatan yang menjadi landasan dari setiap kegiatan atau interaksi antar individu di lingkungan sekolah. Sebagaimana dalam kegiatan belajar mengajar pada umumnya, prinsip atau pendekatan ini menempatkan guru sebagai pemegang peran utama. Tentu karena kegiatan atau suasana yang dirancang dalam pendidikan perdamaian ini bertujuan untuk menciptakan suasana atau budaya damai, maka seorang guru dalam hal ini juga harus menjadi orang pertama yang menciptakan suasana dan budaya damai tersebut. Seorang guru yang betul-betul peduli pada perkembangan karakter anak didik melalui pendidikan perdamaian harus terlebih dulu memiliki kesadaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dalam dirinya. Hal ini karena pendidik tidak hanya mengajarkan suatu pengetahuan, tetapi juga bertanggungjawab terhadap perkembangan karakter dan kepribadian anak didik sehingga jika ia memulai dari dirinya sendiri maka ia akan menjadi panutan bagi anak didiknya.
Pendidikan perdamaian ini berorientasi pada interaksi antar teman sebaya di kelasnya. Kelompok teman sebaya merupakan interaksi awal bagi anak-anak dan remaja pada lingkungan sosial. Mereka mulai belajar bergaul dan berinteraksi dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan agar mereka mendapat pengakuan dan penerimaan dari kelompok teman sebayanya sehingga akan tercipta rasa aman dan nyaman bagi mereka. Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan pribadi. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak atau remaja menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok temam sebaya. Mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh teman-temannya yang lain.
Pada prakteknya akan ada suatu kelompok teman sebaya yang berlatar belakang banyak perbedaan. Kelompok ini memenuhi kebutuhan pribadi mereka, menghargai mereka, menyediakan informasi, menaikan harga diri, dan memberi mereka suatu identitas. Anak-anak atau remaja bergabung dengan suatu kelompok dikarenakan mereka beranggapan keanggotaan suatu kelompok akan sangat menyenangkan dan menarik serta memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan dekat dan kebersamaan. Mereka bergabung dengan kelompok karena mereka akan memiliki kesempatan untuk menerima penghargaan, baik yang berupa materi maupun psikologis. Dimulai dari kelompok inilah seorang guru membangun pondasi yang kuat untuk pembentukan harmonisasi suatu kelompok pelajar yang berperilaku positif. Ini mampu mencegah mereka berperilaku negatif seperti tindakan tawuran antar pelajar yang saat ini marak terjadi.
            Dengan demikian, melalui penerapan Pendidikan Perdamaian maka nantinya akan muncul Indonesia dengan senyum baru yang aman, tertib, saling menghargai antar masyarakatnya atas perbedaan yang ada. Biarlah konflik-konflik yang telah terjadi merupakan pembelajaran yang berharga bagi bangsa ini, agar nanti kedepannya tidak terulangnya kembali konflik yang menimbulkan perpecahan. Perbedaan sangatlah indah. Perbedaan membuat kita berfikir bahwa kita memerlukan beberapa sudut pandang berbeda untuk menemukan sebuah solusi yang lebih baik. Jika kita hanya fokus pada perbedaan, maka kita akan bertengkar. Jika kita fokus pada hal baik dari sebuah perbedaan, maka kita akan menjadi semakin kuat. Tidak ada yang salah dengan perbedaan. Yang bermasalah adalah keegoisan kita dalam memandang perbedaan. Pebedaan diciptakan agar kita berusaha lebih dalam belajar mencintai sesama. Kita memang berbeda, tapi kita sama-sama bodoh jika bertengkar karena perbedaan. Perbedaan adalah rambu-rambu lalu lintas menuju sebuah kemuliaan. Tugas kita adalah mencari keuntungan dari setiap perbedaan. Jika kita melakukannya, kita akan menjadi manusia yang sejati.
    
References:
Dr. H. Muhsin An. Syadilie, M.Si, dkk. Konsep Pendidikan Perspektif Alquran. 2012. Yogyakarta : Spirit for Education and Development.
http://id.wikipedia.org/wiki diakses pada tanggal 21 februari 2014 18.00 
http://peaceeducation.org/ diakses pada tanggal 22 februari 2014 20.00                     
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic