Waspada Aliran
Sesat PAI: Pendidikan Anarkis Indonesia
Critical Review1
There can never be peace, between nations until it is
first known that true peace is within the souls of men (Oglala Sioux)
Peace is not the absence of war; it is a virtue, a
state of mind, a disposition for a benevolence, confidence, justice (Baruch
Spinoza)
Indonesia
bak alunan nada, mulai nada “DO” hingga nada “SI”, mulai nada “C” hingga nada “B”.
Apabila nada-nada ini dimainkan dan sesuai dengan petunjuk seorang dirijen,
maka akan dihasilkan nada-nada yang eksotis, lembut dan indah. Sungguh sangat
indah dan mempesona apabila nada-nada yang berbeda ini dimainkan sesuai dengan
aturan nada yang berlaku. Ini akan menciptakan harmonisasi nada dalam sebuah
lagu. Hal ini mengibaratkan keberagaman yang ada di Indonesia mulai dari keberagaman
suku bangsa, budaya, bahasa dan agama. Setiap daerah di Indonesia memiliki
keberagaman budaya. Misalnya Indonesai memiliki perbedaan suku bangsa, bahasa, dan
budaya seperti Asmat, Badui, Bali, Batak, Bugis, Dayak, Jawa, Melayu, Sunda,
dan lain-lain. Indonesia juga memiliki keanekaragaman agama yakni Islam,
Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan agama-agama lain. Ini merupakan aset yang
sangat penting yang dimiliki Indonesia. Sungguh sangat indah apabila masyarakat Indonesia hidup rukun, tentram, saling menghormati dan saling menghargai atas perbedaan
ini. Namun pada kenyataannya, apa yang yang diharapkan sang “dirijen” yakni
pemerintah Indonesia sangat bertolak belakang bahkan sudah sampai pada titik
kritis “perpecahan” masyarakatnya.
Sampai
saat ini marak sekali terjadinya konflik dan pertikaian antar masyarakat, baik
berupa konflik besar maupun konflik kecil. Konflik besar yang sangat terkenal
yakni konflik Ambon-Poso. Konflik ini terjadi selama hampir 2 tahun sejak Desember
1998 sampai dengan Agustus 1999. Menurut laporan KONTRAS, sejak pecahnya
pertikaian tanggal 15 Juli 1999 hingga 5 Agustus 1999, tercatat 1.349 orang
korban meninggal, ratusan lainnya luka-luka, dan 4 orang hilang. Sekitar 800
rumah dibakar habis, juga kira-kira 200 ruko habis dibakar. Kurang lebih
100.000 warga mengungsi. Konflik Ambon-Poso ditenggarai merupakan konflik antar
umat Kristen dengan umat Muslim. Namun konflik ini bukanlah konflik yang
disebabkan oleh agama. Justru agama yang dijadikan alat untuk berkonflik. Disinyalir
bahwa daerah ini yang dulu pernah menjadi negara Boneka buatan Belanda yakni
Republik Maluku Selatan (RMS) ingin memproklamirkan berdirinya kembali negara
tersebut. Namun adakah yang salah dengan bangsa ini sehingga memunculkan
konflik yang begitu besar sehingga sampai menimbulkan ribuan korban jiwa? Pembantaian
yang dilakukan oleh oknum Kristen terhadap Muslim ini perlu dijadikan sebuah
pelajaran bagi pemerintah Indonesia.
Nampaknya
pemerintah Indonesia tidak mampu belajar dari masa lalu. Kondisi serupa tengah
terjadi di Papua. Konfllik Papua yang sudah terjadi sejak tahun 1965 masih saja
terjadi bahkan kian memanas akhir-akhir ini. Organisasi Papua Merdeka (OPM)
dengan bendera Bintang Kejoranya dan atas bantuan pemerintah Libya pimpinan Muammar
Gaddafi ingin memproklamirkan pemisahan diri dari NKRI. Ini terjadi
karena diduga kuat bahwa mereka merasa tidak mendapatkan keadilan dan merasa tidak
puas dengan kinerja pemerintah Indonesia yang mengedepankan kepentingan pribadi
di atas kepentingan umum seperti tindakan KORUPSI yang tengah berakar kuat pada
bangsa ini. Mengapa oknum pemerintah ini melakukan tindakan KORUPSI? Apakah
ketika sekolah mereka tidak diajarkan untuk mengedepankan nilai-nilai moral
atau diajarkan akhlak yang baik? Jawabannya tentu kembali pada pendidikan di
Indonesia.
Hal serupa yang
menandakan buramnya pendidikan di Indonesia yakni kasus tawuran antar pelajar. Abu
alias Dedi Triyuda (17) siswa Sekolah Menengah Kejuruan Baskara tewas setelah ditikam pada tawuran
melawan SMK Pancoran Mas, Kota Depok. Abu mengalami luka di bagian selangkangan
kaki dan kepala karena benda tajam dan benturan benda tumpul. Abu bersama
temannya terlibat tawuran di Jalan Raya Sawangan. Truk yang mereka tumpangi
macet ketika melewati jalan menanjak. Saat itulah tawuran pecah, hingga membuat
Abu terluka parah. Seorang temannya membawa Abu ke Klinik Depok Dua di Jalan
Keadilan Nomor 41, Rangkapan Jaya Baru, Pancoran Mas, Depok. Warga kemudian
melaporkan peristiwa ini ke kepolisian. Pihak kepolisian melacak dan akhirnya
ditemukan teman-teman Abu. Saat ini beberapa rekan Abu menjalani pemeriksaan di
Markas Polsek Pancoran Mas.
Atau dalam
kasus lain, Rahman Saputra Pelajar warga Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, ia
menerita luka sabetan senjata tajam di tangan kanan, kepala, dan punggungnya.
Ia kini dirawat di RS Islam Cempaka Putih bersama Hengki (18), teman sekolah
Rahman, ia menuturkan kepada aparat Polsek Cempaka Putih, ia dan korban bersama
teman-temannya terlibat tawuran dengan kelompok pelajar SMK lain. Mereka
tawuran di Jalan Percetakan Negara XI, depan SD Negeri 05/07, Rawasari, Jakarta
Pusat. Menurut Hengki, kelompoknya yang berjumlah sekitar 20 orang, dicegat
kelompok pelajar lain yang berjumlah sekitar 50 orang. Terjadilah tawuran. Rahman dan Hengki terkepung pelajar lawannya. Hengki
berhasil melarikan diri, namun Rahman tidak. Mereka pun mengeroyoknya.
Kasus tawuran pelajar di Pancoran (12/10/2012)
yang melibatkan siswa SMK Negeri 29, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan SMK
Bakti Cawang, Jakarta Timur. Lima pelajar yang diduga terlibat tawuran digiring
ke Markas Polres Metro Jakarta Selatan. Kelima pelajar tersebut semuanya siswa
SMK 29 atau STM Penerbangan. Tiga di antaranya ditangkap saat hendak meloloskan
diri dari kejaran patroli kepolisian seusai tawuran. Mereka adalah F (16), MR
(17), dan AS (15). Ketiganya sempat diamankan di Markas Polsek Metro Tebet
sebelum dibawa oleh Kepala Satreskrim Ajun Komisaris Besar Hermawan ke Markas
Polres Metro Jakarta Selatan (Mapolrestro Jaksel). Sementara itu, dua pelajar
lainnya berhasil diamankan. Keduanya adalah pelajar kelas 1 SMK 29. Inisialnya
AG (perempuan) dan RN. Bersama keduanya, petugas juga mengamankan barang bukti
berupa satu celurit dan satu gergaji
balok es. Kedua jenis senjata tajam tersebut ditemukan dalam tas kedua
pelaku. Selain mereka, satu korban luka Jalal Muhammad Akbar (15) ikut dibawa
ke Mapolrestro Jaksel. Ia datang ditemani ibunya, Yoyoh (41). Ia mengalami luka
bacok di punggung dan kepalanya. Sebelumnya, ia sempat menjalani perawatan di
RS Tria Dipa, Pancoran. Rekannya, Rizki Alfian alias Pepen (16), masih
menjalani perawatan intensif. Setelah mendapat pertolongan awal di ruang IGD,
Kamis petang, ia dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo. Ia diduga mengalami cedera
yang lebih parah dibandingkan Jalal. Pepen mengalami luka di lengan kiri dan
punggung belakang tembus ke paru-paru.
Pelajar adalah manusia yang hidup
dalam situasi transisi antara dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana
seorang manusia remaja mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk
diterima sekaligus diakui oleh komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru
yang mereka huni tersebut terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang
dalam beberapa kasus, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme.
Inilah mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran
kelompok-kelompok vandalistik (gank) yang biasanya mengundang perasaan-perasaan
fanatisme berlebih dari setiap anggotanya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab
maraknya tawuran di kalangan pelajar.
Sungguh
sangat banyak kasus-kasus tawuran lain yang terjadi di Indoneia. Sangat
disayangkan bahwa pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa sudah terlibat
pada tindakan anarkis bahkan tidakan
kriminal yakni hingga melukai orang lain bahkan sampai membunuhnya. Inikah yang dinamakan pendidikan? Murid
yang berangkat ke sekolah yang seharusnya membawa buku pelajaran tapi mengapa
malah membawa celurit dan geregaji seperti AG (wanita) dan RN (pria) pada kasus
di atas. Apakah mereka akan pergi ke sawah untuk mencari rumput
kambing-kambingnya? Ataukah ingin mencari uang tambahan dengan berjualan es
balok di sekolahnya? Ini terdapat mindset dan paradigma yang salah tentang
pendidikan bagi pelajar. Sebelum berangkat ke sekolah pun mereka sudah “niat”
untuk tawuran bukannya untuk belajar. Lalu siapa yang seharusnya bertanggung
jawab atas kasus ini? Lantas apa yang dilakukan guru tersebut dalam mendidik
muridnya?Apakah sistem pendidikannya yang salah? Konflik, KORUPSI dan tawuran
pelajar merupakan hanya sebagian kecil masalah yang timbul karena aliran sesat pendidikan. Kenapa dikatakan
sesat? Karena kebayakan guru hanya
mentransfer pengetahuan tanpa diimbangi pentransferan nilai-nilai akhlak, budaya,
dan agama. Ini yang seharusnya dilakukan oleh semua guru. Lalu bagaimanakah
solusinya? Tentunya dibutuhkan seorang guru yang mampu mendidik siswanya
menjadi pribadi yang cerdas dan berakhlak.
Dalam
wacana yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”
yang ditulis oleh Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah, yang
diterbitkan oleh The Jakarta Post pada tanggal 22 Oktober 2011 bahwasanya
konflik sosial dan ketidakharmonisan agama yang terjadi merupakan tantangan
bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi
Indonesia yang berkarakter. Siswa harus dilatih mendengarkan secara aktif dan
diajarkan bagaimana menyumbangkan ide-ide yang relevan dengan topik diskusi. Dalam
prakteknya, siswa diberi kesempatan berinteraksi dengan teman satu kelasnya
melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengar aktif, berdebat secara
hormat dan sopan tanpa membuat temannya merasa tersakiti, sehingga diharapkan ketika
siswa memasuki dunia yang sesungguhnya, ia mampu menjaga hubungan baik dengan masyarakat. Pendidikan
liberal ini harus mencangkup pengetahuan etnis, agama, dan minoritas bahasa-budaya yang ada di masyarakat. Dalam
kata lain pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun dan
pengkotak-kotakan terhadap orang lain. Ini yang sangat dibutuhkan dalam menjalin
keharmonisan hubungan antar umat beragama.
Indonesia
adalah negara multikultural. Kita hidup dan berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa. Pada kenyataannya, kita tidak mampu untuk hidup terisolasi ataupun
hidup sendiri. Ketika kita melihat sebuah bahasa, bahasa tidak direalisasikan
sebagai bunyi, kata ataupun kalimat yang asing. Akan tetapi bahasa
direalisasikan ke dalam bentuk text. Sungguh ternyata saat ini kita benar-benar
terkepung oleh text. Misalnya di rumah, kita mendengarkan text radio, televisi,
koran, majalah, buku, novel, ataupun teks message pada handphone kita. Pada
kenyataanya, kita tidak mampu menghindar dari semua contoh text-text tersebut
dalam kehidupan sehari-hari karena ini merupakan suatu kebutuhan bagi kita. Ini
yang secara sadar ataupun tidak kita sadari bahwa kita telah menerima dan
memproduksi sangat banyak text, mungkin puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan
text dalam satu hari saja. Sebagai contoh, coba bayangkan berapa total inbox
maupun outbox yang telah anda kirimkan ke handphone rekan-rekan anda ataupun
kerabat anda dalam satu hari? Hasil penelitian di Indonesia rata-rata setiap
orang memproduksi 3000 text pesan perhari, termasuk di dalamnya pesan,
panggilan keluar, dan percakapan. Proses memproduksi inilah yang kita namakan
sebagai discourse. Ini merupakan definisi sederhana bahwa discourse adalah
bahasa, baik itu dalam bentuk tulisan maupun pembicaraan yang dimana digunakan
oleh manusia untuk tujuan berkomunikasi dalam kehidupan nyata (Scott Thornbury,
2005). Perbedaan antara discourse dengan
text yakni dimana discourse merupakan proses sedangkan text merupakan hasil
atau produk.
Sebagai
guru atau calon guru bahasa, kita harus mampu menggunakan pembelajaran dengan beranekaragam
text seperti musik, koran, majalah, film, internet, dan lain-lain. Apabila hal
ini sudah dilakukan, maka pelajar akan dilibatkan dalam keanekaragaman
discourse dan ia juga termotivasi untuk belajar dalam berbahasa, baik bahasa
asli nya (L1) yakni Bahasa Indonesia ataupun bahasa asing (L2) misalnya Bahasa
Inggris. Classroom discourse secara luas dapat diartikan sebagai dialog, sapaan
dan meta-languages antara murid dengan gurunya ataupun mahasiswa dengan
dosennya. Stubbs 1976, “Ultimately, the
classroom dialouge between teacher and pupils is educational procces, or at
least, the mayor part of it”. Pada dasarnya seorang guru harus terampil
dalam mengambil suatu keputusan. Misalnyanya pada suatu hari saat siswa datang
terlambat masuk kelas, maka terjadilah dialog antar siswa tersebut dengan
gurunya. Akan tetapi pada akhirnya guru pun tidak mengijinkan siswa tersebut
untuk dapat mengikuti pelajaran. Ini yang harus secara cermat dipikirakan oleh
guru, apakah keputusannya tepat atau tidak? Dalam classroom discourse,
pengambilan keputusan ini harus dipikirkan secara matang oleh guru agar nanti
jangan sampai muridnya mengalami hal-hal negatif atas keputusannya tersebut.
Misalnya murid tersebut malah menjadi malas untuk belajar ataupun ia merasa
dianggap “diasingkan” dari teman-temannya yang lain. Ada baiknya apabila
terjadi hal seperti ini, murid dikenakan sangsi berupa hukuman “membaca” di perspustakaan. Pada prakteknya, ia diwajibkan
membaca buku denagn menulis ulang apa yang ia pahami mengenai buku tersebut,
kemudian ia mempresentasikannya kepada teman-temannya. Dengan adanya hukuman
seperti ini, diharapkan nanti akan terciptanya literate muda yang akan mendobrak
masa depan Indonesia. Jangan sampai ada lagi kejadian klasik murid “distrap”
berdiri satu kaki di depan kelas, atau murid dijemur di lapangan sekolah, atau
bahkan guru sampai tega menampar dan memukul muridnya. Hukuman membaca dapat
menjadi solusi yang “mendidik” bagi siswa.
Lalu
setelah kita paham mengenai classroom discourse, maka sistem pendidikan yang
bagaimana yang tepat untuk Indonesia yang memiliki keberagaman latar belakang
budaya, bahasa, agama serta tingkat kondisi sosial-ekonomi yang berbeda? UNICEF
menawarkan suatu sistem pendidikan yang dinamakan pendidikan perdamaian (Peace
Education). Pendidikan perdamaian mengedepankan aspek kolaborasi antara Academic,
Social, dan Emotional Learning (CASEL). Benar menurut yang disampaikan Chaedar
bahwa” Penalaran ilmiah (academic) sangat diperlukan dalam mengembangkan masyarakat
agar berintelektual, namun kompetensi wacana sipil (social emotional) juga
sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang beradab. Dalam prakteknya
CASEL mengedepankan pembelajaran pada aspek-aspek yakni Professional
Development (Pengembangan Profesional), Relationship Skills (Keterampilan
Menjalin Hubungan), Responsible Decision Making (Pengambilan Keputusan yang
Bertanggung jawab), Self-Management (Manajemen pribadi), Schoolwide
Coordination, dan Family Partnerships (Kerjasama Keluarga). Selain itu CASEL
berperan aktif dalam Social Awareness (Kesadaran
Sosial), Self-Awareness
(Kesadaran diri), dan Community Partnerships (Hubungan masyarakat).
Pendidikan
perdamaian di sekolah yang menekankan pada proses mengharuskan adanya prinsip
atau pendekatan yang menjadi landasan dari setiap kegiatan atau interaksi antar
individu di lingkungan sekolah. Sebagaimana dalam kegiatan belajar mengajar
pada umumnya, prinsip atau pendekatan ini menempatkan guru sebagai pemegang
peran utama. Tentu karena kegiatan atau suasana yang dirancang dalam pendidikan
perdamaian ini bertujuan untuk menciptakan suasana atau budaya damai, maka
seorang guru dalam hal ini juga harus menjadi orang pertama yang menciptakan
suasana dan budaya damai tersebut. Seorang guru yang betul-betul peduli pada perkembangan karakter anak didik
melalui pendidikan perdamaian harus terlebih dulu memiliki kesadaran dan
menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dalam dirinya. Hal ini karena pendidik
tidak hanya mengajarkan suatu pengetahuan, tetapi juga bertanggungjawab
terhadap perkembangan karakter dan kepribadian anak didik sehingga jika ia
memulai dari dirinya sendiri maka ia akan menjadi panutan bagi anak didiknya.
Pendidikan
perdamaian ini berorientasi pada interaksi antar teman sebaya di kelasnya. Kelompok teman sebaya merupakan interaksi awal bagi anak-anak
dan remaja pada lingkungan sosial. Mereka mulai belajar bergaul dan
berinteraksi dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan
agar mereka mendapat pengakuan dan penerimaan dari kelompok teman sebayanya
sehingga akan tercipta rasa aman dan nyaman bagi mereka. Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan
sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan
pribadi. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah
menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar
keluarga. Anak-anak atau remaja menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan
mereka dari kelompok temam sebaya. Mengevaluasi apakah yang mereka lakukan
lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh teman-temannya yang
lain.
Pada prakteknya akan ada suatu kelompok
teman sebaya yang berlatar belakang banyak perbedaan. Kelompok ini memenuhi
kebutuhan pribadi mereka, menghargai mereka, menyediakan informasi, menaikan
harga diri, dan memberi mereka suatu identitas. Anak-anak atau remaja bergabung
dengan suatu kelompok dikarenakan mereka beranggapan keanggotaan suatu kelompok
akan sangat menyenangkan dan menarik serta memenuhi kebutuhan mereka atas
hubungan dekat dan kebersamaan. Mereka bergabung dengan kelompok karena mereka
akan memiliki kesempatan untuk menerima penghargaan, baik yang berupa materi
maupun psikologis. Dimulai dari kelompok inilah seorang
guru membangun pondasi yang kuat untuk pembentukan harmonisasi suatu kelompok
pelajar yang berperilaku positif. Ini mampu mencegah mereka berperilaku negatif
seperti tindakan tawuran antar pelajar yang saat ini marak terjadi.
Dengan demikian, melalui penerapan
Pendidikan Perdamaian maka nantinya akan muncul Indonesia dengan senyum baru yang
aman, tertib, saling menghargai antar masyarakatnya atas perbedaan yang ada. Biarlah
konflik-konflik yang telah terjadi merupakan pembelajaran yang berharga bagi
bangsa ini, agar nanti kedepannya tidak terulangnya kembali konflik yang
menimbulkan perpecahan. Perbedaan sangatlah indah. Perbedaan
membuat kita berfikir bahwa kita memerlukan beberapa sudut pandang berbeda
untuk menemukan sebuah solusi yang lebih baik. Jika kita hanya fokus pada
perbedaan, maka kita akan bertengkar. Jika kita fokus pada hal baik dari sebuah
perbedaan, maka kita akan menjadi semakin kuat. Tidak ada yang salah dengan
perbedaan. Yang bermasalah adalah keegoisan kita dalam memandang perbedaan. Pebedaan
diciptakan agar kita berusaha lebih dalam belajar mencintai sesama. Kita memang
berbeda, tapi kita sama-sama bodoh jika bertengkar karena perbedaan. Perbedaan
adalah rambu-rambu lalu lintas menuju sebuah kemuliaan. Tugas kita adalah
mencari keuntungan dari setiap perbedaan. Jika kita melakukannya, kita akan
menjadi manusia yang sejati.
References:
Dr. H. Muhsin An. Syadilie, M.Si, dkk. Konsep Pendidikan Perspektif Alquran. 2012. Yogyakarta : Spirit for Education and Development.
http://id.wikipedia.org/wiki diakses pada tanggal 21 februari 2014 18.00
http://peaceeducation.org/ diakses pada tanggal 22 februari 2014 20.00
http://www.beritakaget.com/berita/2648/pelajar-smk-di-depok-tewas-ketika-tawuran.html diakses pada tanggal 23 februari 2014 21.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic