EDISI CRITICAL REVIEW
Toleransi
dijadikan salah satu faktor yang sangat menunjang akan keharmonisan suatu
bangsa. Toleransi adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak
menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap
tindakan yang orang lain lakukan. Sikap toleransi sangat perlu dikembangkan
karena manusia adalah makhluk sosial dan akan menciptakan adanya kerukunan
hidup. Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau
bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sesesungguhnya
toleransi merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dari Islam.
Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih sayang (rahmah)
kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (al-Maslahah al-ammah),
dan keadilan. Toleransi merupakan salah satu kebajikan fundamental demokrasi,
namun ia memiliki kekuatan ambivalen yang termanivestasi dalam dua bentuk,
yaitu bentuk solid dan bentuk demokratis. Menjadi toleran adalah
membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri mereka sendiri, menghargai
orang lain, dengan menghargai asal-usul dan latar belakang mereka. Toleransi
mengundang dialog untuk mengkomunikasikan adanya saling pengakuan. Hakikat
toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama
yang memiliki tujuan luhur yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama
maupun antar agama. Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui
kebenaran ajaran agama tersebut. Kaisar Heraklius dari Bizantium dan
al-Mukaukis penguasa Kristen Koptik dari Mesir mengakui kerasulan Nabi Muhammad
saw, namun pengakuan itu tidak lantas menjadikan mereka muslim. Seorang ahli
tafsir klasik terkemuka mengatakan, “Din atau agama hanyalah satu, sementara
syariat berbeda-beda”. Al-Syahrastani teolog Islam dan ahli terkemuka dalam
perbandingan agama dalam Husein Muhammad menyampaikan pendapatnya, bahwa agama
adalah ketaatan (al-Jaza), dan penghitungan pada hari akhir. Menurutnya, al-Mutadayyin
(orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui adanya
balasan dan perhitungan amal pada hari akhirat.
Sikap
toleransi sangatlah diperlukan bagi warga negara Indonesia. Dimana kita
mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan
keanekaragaman budaya, adat istiadat, ras, suku bangsa, dan agama. Adanya
berbagai keanekaragaman itu di dukung oleh faktor geografis negara Indonesia
itu sendiri. Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004),
sekitar 6.000 diantaranya tidak berpenghuni tetap yang menyebar sekitar
khatulistiwa. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, dimana lebih dari
setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu:
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian pulau-pulau
ini disebut sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia. Disamping
itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan
bahwa tahun ini penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 250 juta jiwa
dengan pertumbuhan penduduk 1,49% pertahun. Angka yang cukup luar biasa. Tidak aneh
jika negara Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang mempunyai
penduduk terbesar, setelah China dan India. Untuk mempersatu keanekaragaman
tersebut, Indonesia mempunyai semboyan yaitu “BhinnekaTunggal Ika”. Frasa ini
berasal dari istilah Jawa kuno yang mempunyai arti “Brebeda-beda tetapi tetap
satu”. Bhinneka berarti “beraneka ragam atau berbeda-beda”. Kata neka
dalam bahasa sansekerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka”
dalam bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal
Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan
Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam
budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Semua umat
beragama wajib menyadari bahwa lahirnya berbagai agama di Indonesia ini karena
sejarah yang berbeda-beda. Sehingga kekayaan religius ini menumbuhkan rasa
tenggang rasa yang tinggi, sosial interaksi yang bervariasi, dan pemikiran-pemikiran
yang sangat dinamis. Tetapi, faktanya akhir-akhir ini sudah terjadi
konflik-konflik antar golongan, antar ras, dan juga antar agama. Bahkan
konflik-konflik yang terjadi pada saat ini adalah konflik para remaja yang
masih mengecap bangku sekolah dan ini sudah dikatakan sebagai hal yang wajar. Jika
kita melihat persepsi bangsa lain terhadap negara kita yaitu negara Indonesia
mempunyai sikap yang ramah tamah. Bukankah dengan adanya konflik-konflik yang
terjadi di negara tercinta ini akan merubah persepsi tersebut? Bisa jadi. Hal
ini pun sudah menjadi aib negara Indonesia sendiri.
Dalam
UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu”. Pasal ini merupakan bentuk perlindungan
negara terhadap semua umat beragama di Indonesia. Pasal tersebut juga merupakan
bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas
dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama
yang berkembang di Indonesia. Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan
bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa. Sebagai
bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik
yang sangat tinggi, terutama konflik antar agama. Karena itu dalam rangka
menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama
(Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan
9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Daerah
Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Perber
tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur agama yang ada di
Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah menjadi batu
sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sayangnya,
Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga tidak
banyak dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian rumah
ibadah. Terjadinya kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing,
penatua Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI),
Mustika Jaya, Bekasi, yang dipicu oleh rencana pendirian gereja di kompleks
yang warganya mayoritas beragama Islam, telah menjadi salah satu bukti bahwa
peraturan tersebut memang belum tersosialisasi dengan baik di tengah-tengah
masyarakat. Akibatnya, ada pihak-pihak yang memilih menggunakan cara kekerasan
untuk menyelesaikan masalah, meskipun hakikatnya justru semakin memperbesar
masalah. Kasus HKBP tersebut, dan kasus-kasus lain yang serupa, merupakan
ancaman bagi persatuan bangsa, karena bisa membangkitkan konflik antar agama
lebih luas. Karena itu, semua pihak hendaknya mau melakukan introspeksi diri
dan mau menahan diri agar kasus seperti ini tidak merembet ke daerah-daerah
lain. Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi,
mengakibatkan Perber dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan. Ada pihak-
pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan, direvisi, bahkan
dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus yang memecah
kerukunan umat beragama. Ada juga yang
menginginkan agar dibuat UU tentang Kerukunan Umat Beragama untuk mengatur
kehidupan beragama, dan sekaligus untuk meredam konflik horisontal yang selama ini
dipicu oleh ketentuan yang termaktub di dalam beberapa pasal Perber tersebut.
Di samping itu, kalau menjadi UU diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama
dalam menjalankan ibadah.
Namun lebih
mirisnya konflik yang terjadi antar warga sekolah (bisa disebut: tawuran) hampir
setiap tahun terjadi di tingkat SMA maupun Perguruan Tinggi sekalipun. Sebuah
sumber menyatakan bahwa konflik antar warga sekolah (tawuran) yang
bertubi-tubi, khususnya di daerah Ibu Kota (Jakarta) sudah sangat
memprihatinkan. Dimana selalu ada korban disetiap terjadinya tawuran tersebut.
Serempak, masyarakat dan pemerintah mengecap para pelajar ini sebagai pelaku
kriminal, penjahat yang perlu dihukum seberat-beratnya. Anggota Komisi X DPR
RI, Zulfadhli, menilai bahwa terjadinya tawuran antar pelajar yang seakan tak
ada henti-hentinya di Jakarta dikarenakan sistem pendidikan yang tidak tepat
yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Ini akibat
kesalahan sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif dengan
mengejar nilai ujian saja, tanpa memperhatikan pembentukan karakter siswa,”
kata Zulfadhli usai rapat dengar pendapat dengan Direkrotat Pendidikan Menengah
Kemdikbud dan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kepala SMA 6 dan 70 Jakarta
di Gedung DPR RI, Jakarta. Oleh karena itu, ia mendesak agar Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan M. Nuh untuk segera mengubah sistem pendidikan. “Melalui
perubahan kurikulum yang menguatkan aspek pembentukan karakter siswa yang
cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual. Bukan hanya
bertujuan mengejar nilai semata. Ini yang perlu ditinjau ulang oleh
Kemendikbud,” kata politisi Golkar itu. Hal ini jelas sangatlah mencoreng citra
seorang pelajar Indonesia yang semestinya berpegang teguh pada pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman negara Indonesia sebagai negara
hukum. Adapun faktor lain penyebab terjadinya tawuran antar pelajar ialah
ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam
melindungi anak. Padahal, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 26
Ayat 1 telah ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab dalam
melindungi anak, baik dalam hal mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi,
maupun mengembangkan bakat anak. Karena agar tidak tepat sasaran kalau kita
menyalahkan pihak sekolah atas terjadinya tawuran. Karena mungkin pihak sekolah
bukannya seperti menutup mata atas apa yang terjadi pada anak didiknya tapi itu
semua karena terbatasnya kewajiban mereka sebagai pendidik, yang secara tidak
langsung dapat dikatakan pihak sekolah tidak dapat selalu memantau apa yang
terjadi diluar sekolah karena banyaknya anak-anak yang harus mereka pantau.
Dalam
pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan
di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat)
dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila
dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja
terlibat perkelahian pelajar.
1.
Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang
mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini
berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua
rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini
biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat
perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi
itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat
melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap
masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah.
Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik
batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan
orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2.
Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar
orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat
remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal
yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang
terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang
tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu
bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total
terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.
Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga
yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu
harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang
tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton,
peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dan sebagainya) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan
kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah
pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru
lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh
otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk
berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4.
Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang
sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian.
Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang
berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang
sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari
lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk
munculnya perilaku berkelahi.
Sesuai dengan
program pemerintah untuk menjadikan para siswa menjadi warga negara yang baik,
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan mulai dari Sekolah Dasar
(SD) atau Madhrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau
Madhrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) atau Madhrasah Aliyah (MA), bahkan di Perguruan Tinggi (PT). Hal
ini bertujuan untuk mendidik para generasi muda menjadi warga negara yang baik
dan bertoleran terhadap sesama. Tidakkah kita sadari berapa lama kita
mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan? Jika dijumlahkan dari mulai kita duduk
di bangku kelas I SD sampai kelas XII SMA maka selama 12 tahun kita mempelajari
tentang Pendidikan Kewarganegaraan, belum ditambah dengan pemahaman lebih jauh
tentang Pendidikan Kewarganegaran di Perguruan Tinggi. Dapat dibayangkan betapa
menguasainya kita terhadap Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, hal ini belum
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu menjadikan para siswa menjadi
warga negara yang bertanggung jawab, menjadi manusia yang lebih bertoleransi,
dan juga menjadikan manusia yang lebih menjunjung tinggi nilai moral dan
kemanusiaan. Mungkin hal ini menjadi Pekerjaan Rumah kita bersama sebagai warga
negara Indonesia.
Berbicara
ihwal Classroom Discourse atau merujuk pada bahasa yang digunakan oleh guru dan
siswa di dalam kelas. Proses belajar mengajar tentunya akan ada interaksi
timbal balik antara guru dengan siswa, untuk tercapainya tujuan pendidikan yang
berlangsung dalam lingkungan tertentu. Interaksi terdiri dari kata inter
(antar), dan aksi (kegiatan). Jadi interaksi adalah kegiatan
timbal balik. Dari segi terminologi “interaksi” mempunyai arti hal saling
melakukan aksi; berhubungan; mempengaruhi; antar hubungan. Interaksi akan
selalu berkait dengan istilah komunikasi atau hubungan. Sedang “komunikasi”
berpangkal pada perkataan “communicare” yang berpartisipasi, memberitahukan,
menjadi milik bersama. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Interaksi
adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek
mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain. Jadi, interaksi belajar
mengajar adalah kegiatan timbal balik antara guru dengan anak didik, atau
dengan kata lain bahwa interaksi belajar mengajar adalah suatu kegiatan sosial,
karena antara anak didik dengan temannya, antara si anak didik dengan gurunya
ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan. Roestilah (1994: 35) mengemukakan
bahwa “interaksi yaitu proses dua arah yang mengandung tindakan atau perbuatan
komunikator maupun komunikan”. Berarti interaksi dapat terjadi antar pihak jika
pihak yang terlibat saling memberikan aksi dan reaksi. Suhubungan dengan itu
interaksi adalah proses saling mengambil peran. Zahra (1996: 91) mengemukan
bahwa “Interaksi merupakan kegiatan timbal balik. Interaksi belajar mengajar
berarti suatu kegiatan social karena antara peserta didik dan gurunya
ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan”. Menurut Homans (Ali, 2004: 87)
mendefisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau
hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi
pasangannya. Menurut Sardiman (1986:8) ”interaksi yang dikatakan dengan
iteraksi pendidikan apabila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk
mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan”. Sedangkan menurut Soetomo,
bahwa interaksi belajar mengajar ialah hubungan timbal balik antara guru
(pengajar) dan anak (murid) yang harus menunjukkan adanya hubungan yang
bersifat edukatif (mendidik). Di mana interaksi itu harus diarahkan pada
suatu tujuan tertentu yang bersifat mendidik, yaitu adanya perubahan tingkah
laku anak didik ke arah kedewasaan. Disamping itu, interaksi antar teman sebaya
pun sangatlah penting. Kita tahu bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial
tentu tidak mungkin bisa memisahkan hidupnya dengan manusia lain. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa segala bentuk kebudayaan, tatanan hidup, dan sistem
kemasyarakatan terbentuk karena interaksi dan benturan kepentingan antara satu
manusia dengan manusia lainnya. Sejak zaman prasejarah hingga sejarah, manusia
telah disibukkan dengan keterciptaan berbagai aturan dan norma dalam kehidupan
berkelompok mereka. Jadi, interaksi teman sebaya sangatlah berpengaruh untuk
pengembangan diri dan menumbuhkan sikap sosialisme antar sesama.
Sesuai dengan
tujuan negara Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945
pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa. Hal ini menunjukan adanya
keseriusan suatu bangsa untuk menjadikan warga negara yang berpendidikan.
Seperti yang kita ketahui bahwa kualitas suatu bangsa dilihat dari kualitas
pendidikan terhadap bangsa tersebut. Hampir semua negara maju menyadari hal
seperti itu. Namun praktek dilapangan tidak seperti apa yang menjadi tujuan
utama. Tidak sedikit sekolah yang menggunakan buku paket (LKS) sebagai bahan
acuan pembelajaran. Tanpa kita sadari hal ini merupakan penyakit yang akan
membodohkan siswa. Hal seperti ini dinilai tidaklah efektif untuk menunjang
kualitas pendidikan siswa. Karena siswa hanya dituntut untuk mengetahui materi
yang sudah ada saja dan hal ini menyebabkan para siswa malas untuk membacanya. Akan
lebih baiknya, para siswa dituntut untuk mencari materi dari sumber-sumber lain
untuk bahan acuan pembelajaran. Dengan demikian, akan adanya dorongan atau
motivasi para siswa untuk lebih ingin tahu tentang suatu materi dan juga
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengungkapkan pendapat
masing-masing. Disinilah akan terjadinya interaksi yang signifikan terhadap
suatu materi dan tentunya akan ada perbedaan pendapat antara satu dengan yang
lainnya. Sehingga akan terlatihnya sikap kritis terhadap mereka.
Pendidikan
usia sedini mungkin sangatlah dibutuhkan. Untuk menunjang kualitas pendidikan di
masa yang akan datang. Tidak hanya menekankan pada aspek kognitif yang hanya
mengejar nilai tinggi saja, tetapi juga harus memperhatikan pembentukan
karakteristik siswa yang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Hal ini
diharapkan agar tidak terulangnya konflik-konflik yang dapat merusak moral bangsa.
Yang paling penting adalah berpegang teguh pada pedoman negara kita yaitu
Pancasila dan UUD 1945 sebagai acuan terbentuknya manusia yang bertoleransi
terhadap sesama. Mulailah membenahi diri sendiri dan mulailah belajar
bertoleransi, karena dengan sifat bertoleransi hidup yang kita jalani lebih
mudah dan lebih indah. Diharapkan pula para generasi muda menyadari betapa
indahnya saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
·
Wikipedia
·
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005). Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga 2005).
·
Compas.com
·
Liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic