We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

BETAPA INDAHNYA BERTOLERANSI



EDISI CRITICAL REVIEW



Toleransi dijadikan salah satu faktor yang sangat menunjang akan keharmonisan suatu bangsa. Toleransi adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, di mana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Sikap toleransi sangat perlu dikembangkan karena manusia adalah makhluk sosial dan akan menciptakan adanya kerukunan hidup. Dalam kamus besar bahasa Indonesia toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sesesungguhnya toleransi merupakan salah satu diantara sekian ajaran inti dari Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih sayang (rahmah) kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (al-Maslahah al-ammah), dan keadilan. Toleransi merupakan salah satu kebajikan fundamental demokrasi, namun ia memiliki kekuatan ambivalen yang termanivestasi dalam dua bentuk, yaitu bentuk solid dan bentuk demokratis. Menjadi toleran adalah membiarkan atau membolehkan orang lain menjadi diri mereka sendiri, menghargai orang lain, dengan menghargai asal-usul dan latar belakang mereka. Toleransi mengundang dialog untuk mengkomunikasikan adanya saling pengakuan. Hakikat toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan, khususnya pada kemajemukan agama yang memiliki tujuan luhur yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar agama. Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui kebenaran ajaran agama tersebut. Kaisar Heraklius dari Bizantium dan al-Mukaukis penguasa Kristen Koptik dari Mesir mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw, namun pengakuan itu tidak lantas menjadikan mereka muslim. Seorang ahli tafsir klasik terkemuka mengatakan, “Din atau agama hanyalah satu, sementara syariat berbeda-beda”. Al-Syahrastani teolog Islam dan ahli terkemuka dalam perbandingan agama dalam Husein Muhammad menyampaikan pendapatnya, bahwa agama adalah ketaatan (al-Jaza), dan penghitungan pada hari akhir. Menurutnya, al-Mutadayyin (orang yang beragama) adalah orang Islam yang taat, yang mengakui adanya balasan dan perhitungan amal pada hari akhirat.
Sikap toleransi sangatlah diperlukan bagi warga negara Indonesia. Dimana kita mengetahui bahwa negara Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan keanekaragaman budaya, adat istiadat, ras, suku bangsa, dan agama. Adanya berbagai keanekaragaman itu di dukung oleh faktor geografis negara Indonesia itu sendiri. Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004), sekitar 6.000 diantaranya tidak berpenghuni tetap yang menyebar sekitar khatulistiwa. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, dimana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian pulau-pulau ini disebut sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia. Disamping itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyampaikan bahwa tahun ini penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 250 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk 1,49% pertahun. Angka yang cukup luar biasa. Tidak aneh jika negara Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara yang mempunyai penduduk terbesar, setelah China dan India. Untuk mempersatu keanekaragaman tersebut, Indonesia mempunyai semboyan yaitu “BhinnekaTunggal Ika”. Frasa ini berasal dari istilah Jawa kuno yang mempunyai arti “Brebeda-beda tetapi tetap satu”. Bhinneka berarti “beraneka ragam atau berbeda-beda”. Kata neka dalam bahasa sansekerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti "itu". Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Semua umat beragama wajib menyadari bahwa lahirnya berbagai agama di Indonesia ini karena sejarah yang berbeda-beda. Sehingga kekayaan religius ini menumbuhkan rasa tenggang rasa yang tinggi, sosial interaksi yang bervariasi, dan pemikiran-pemikiran yang sangat dinamis. Tetapi, faktanya akhir-akhir ini sudah terjadi konflik-konflik antar golongan, antar ras, dan juga antar agama. Bahkan konflik-konflik yang terjadi pada saat ini adalah konflik para remaja yang masih mengecap bangku sekolah dan ini sudah dikatakan sebagai hal yang wajar. Jika kita melihat persepsi bangsa lain terhadap negara kita yaitu negara Indonesia mempunyai sikap yang ramah tamah. Bukankah dengan adanya konflik-konflik yang terjadi di negara tercinta ini akan merubah persepsi tersebut? Bisa jadi. Hal ini pun sudah menjadi aib negara Indonesia sendiri.
  Dalam UUD 1945 Pasal 29 sangat tegas disebutkan bahwa, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Pasal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia. Pasal tersebut juga merupakan bentuk peneguhan dan penegasan bahwa Negara Indonesia didirikan bukan atas dasar satu agama saja, tetapi memberikan kedudukan yang sama bagi semua agama yang berkembang di Indonesia. Konsepsi satu untuk semua merupakan kesepakatan bersama para pendiri bangsa dengan melihat realitas kemajemukan bangsa. Sebagai bangsa yang majemuk pluralistis, tentunya Indonesia mempunyai potensi konflik yang sangat tinggi, terutama konflik antar agama. Karena itu dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama, pemerintah mengeluarkan Peraturan Bersama (Perber) dua menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.  Perber tersebut merupakan hasil kompromi dari berbagai pihak unsur agama yang ada di Indonesia. Namun demikian, masalah pembangunan rumah ibadah menjadi batu sandungan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sayangnya, Perber tersebut kurang tersosialisasi di tengah masyarakat, sehingga tidak banyak dijadikan pijakan dalam menjalin kerukunan beragama dan pendirian rumah ibadah. Terjadinya kasus penusukan terhadap Asian Lumbantoruan Sihombing, penatua Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur Indah (PTI), Mustika Jaya, Bekasi, yang dipicu oleh rencana pendirian gereja di kompleks yang warganya mayoritas beragama Islam, telah menjadi salah satu bukti bahwa peraturan tersebut memang belum tersosialisasi dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, ada pihak-pihak yang memilih menggunakan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah, meskipun hakikatnya justru semakin memperbesar masalah. Kasus HKBP tersebut, dan kasus-kasus lain yang serupa, merupakan ancaman bagi persatuan bangsa, karena bisa membangkitkan konflik antar agama lebih luas. Karena itu, semua pihak hendaknya mau melakukan introspeksi diri dan mau menahan diri agar kasus seperti ini tidak merembet ke daerah-daerah lain. Menyikapi berbagai kasus kerukunan umat beragama yang terjadi, mengakibatkan Perber dua menteri tersebut banyak mendapat sorotan. Ada pihak- pihak yang mengusulkan agar peraturan tersebut dipertahankan, direvisi, bahkan dicabut, karena dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus-kasus yang memecah kerukunan umat beragama.  Ada juga yang menginginkan agar dibuat UU tentang Kerukunan Umat Beragama untuk mengatur kehidupan beragama, dan sekaligus untuk meredam konflik horisontal yang selama ini dipicu oleh ketentuan yang termaktub di dalam beberapa pasal Perber tersebut. Di samping itu, kalau menjadi UU diharapkan akan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ibadah.
Namun lebih mirisnya konflik yang terjadi antar warga sekolah (bisa disebut: tawuran) hampir setiap tahun terjadi di tingkat SMA maupun Perguruan Tinggi sekalipun. Sebuah sumber menyatakan bahwa konflik antar warga sekolah (tawuran) yang bertubi-tubi, khususnya di daerah Ibu Kota (Jakarta) sudah sangat memprihatinkan. Dimana selalu ada korban disetiap terjadinya tawuran tersebut. Serempak, masyarakat dan pemerintah mengecap para pelajar ini sebagai pelaku kriminal, penjahat yang perlu dihukum seberat-beratnya. Anggota Komisi X DPR RI, Zulfadhli, menilai bahwa terjadinya tawuran antar pelajar yang seakan tak ada henti-hentinya di Jakarta dikarenakan sistem pendidikan yang tidak tepat yang diterapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. “Ini akibat kesalahan sistem pendidikan yang hanya menekankan aspek kognitif dengan mengejar nilai ujian saja, tanpa memperhatikan pembentukan karakter siswa,” kata Zulfadhli usai rapat dengar pendapat dengan Direkrotat Pendidikan Menengah Kemdikbud dan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kepala SMA 6 dan 70 Jakarta di Gedung DPR RI, Jakarta. Oleh karena itu, ia mendesak agar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh untuk segera mengubah sistem pendidikan. “Melalui perubahan kurikulum yang menguatkan aspek pembentukan karakter siswa yang cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual. Bukan hanya bertujuan mengejar nilai semata. Ini yang perlu ditinjau ulang oleh Kemendikbud,” kata politisi Golkar itu. Hal ini jelas sangatlah mencoreng citra seorang pelajar Indonesia yang semestinya berpegang teguh pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman negara Indonesia sebagai negara hukum. Adapun faktor lain penyebab terjadinya tawuran antar pelajar ialah ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam melindungi anak. Padahal, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Pasal 26 Ayat 1 telah ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab dalam melindungi anak, baik dalam hal mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi, maupun mengembangkan bakat anak. Karena agar tidak tepat sasaran kalau kita menyalahkan pihak sekolah atas terjadinya tawuran. Karena mungkin pihak sekolah bukannya seperti menutup mata atas apa yang terjadi pada anak didiknya tapi itu semua karena terbatasnya kewajiban mereka sebagai pendidik, yang secara tidak langsung dapat dikatakan pihak sekolah tidak dapat selalu memantau apa yang terjadi diluar sekolah karena banyaknya anak-anak yang harus mereka pantau.
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang atau pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dan sebagainya) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Sesuai dengan program pemerintah untuk menjadikan para siswa menjadi warga negara yang baik, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan mulai dari Sekolah Dasar (SD) atau Madhrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madhrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madhrasah Aliyah (MA), bahkan di Perguruan Tinggi (PT). Hal ini bertujuan untuk mendidik para generasi muda menjadi warga negara yang baik dan bertoleran terhadap sesama. Tidakkah kita sadari berapa lama kita mempelajari Pendidikan Kewarganegaraan? Jika dijumlahkan dari mulai kita duduk di bangku kelas I SD sampai kelas XII SMA maka selama 12 tahun kita mempelajari tentang Pendidikan Kewarganegaraan, belum ditambah dengan pemahaman lebih jauh tentang Pendidikan Kewarganegaran di Perguruan Tinggi. Dapat dibayangkan betapa menguasainya kita terhadap Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, hal ini belum sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu menjadikan para siswa menjadi warga negara yang bertanggung jawab, menjadi manusia yang lebih bertoleransi, dan juga menjadikan manusia yang lebih menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan. Mungkin hal ini menjadi Pekerjaan Rumah kita bersama sebagai warga negara Indonesia.
Berbicara ihwal Classroom Discourse atau merujuk pada bahasa yang digunakan oleh guru dan siswa di dalam kelas. Proses belajar mengajar tentunya akan ada interaksi timbal balik antara guru dengan siswa, untuk tercapainya tujuan pendidikan yang berlangsung dalam lingkungan tertentu. Interaksi terdiri dari kata inter (antar), dan aksi (kegiatan). Jadi interaksi adalah kegiatan timbal balik. Dari segi terminologi “interaksi” mempunyai arti hal saling melakukan aksi; berhubungan; mempengaruhi; antar hubungan. Interaksi akan selalu berkait dengan istilah komunikasi atau hubungan. Sedang “komunikasi” berpangkal pada perkataan “communicare” yang berpartisipasi, memberitahukan, menjadi milik bersama. Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, Interaksi adalah suatu jenis tindakan atau aksi yang terjadi sewaktu dua atau lebih objek mempengaruhi atau memiliki efek satu sama lain.  Jadi, interaksi belajar mengajar adalah kegiatan timbal balik antara guru dengan anak didik, atau dengan kata lain bahwa interaksi belajar mengajar adalah suatu kegiatan sosial, karena antara anak didik dengan temannya, antara si anak didik dengan gurunya ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan. Roestilah (1994: 35) mengemukakan bahwa “interaksi yaitu proses dua arah yang mengandung tindakan atau perbuatan komunikator maupun komunikan”. Berarti interaksi dapat terjadi antar pihak jika pihak yang terlibat saling memberikan aksi dan reaksi. Suhubungan dengan itu interaksi adalah proses saling mengambil peran. Zahra (1996: 91) mengemukan bahwa “Interaksi merupakan kegiatan timbal balik. Interaksi belajar mengajar berarti suatu kegiatan social karena antara peserta didik dan gurunya ada suatu komunikasi sosial atau pergaulan”. Menurut Homans (Ali, 2004: 87) mendefisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi pasangannya. Menurut Sardiman (1986:8) ”interaksi yang dikatakan dengan iteraksi pendidikan apabila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaan”.  Sedangkan menurut Soetomo, bahwa interaksi belajar mengajar ialah hubungan timbal balik antara guru (pengajar) dan anak (murid) yang harus menunjukkan adanya hubungan yang bersifat edukatif (mendidik). Di mana interaksi itu harus diarahkan pada suatu tujuan tertentu yang bersifat mendidik, yaitu adanya perubahan tingkah laku anak didik ke arah kedewasaan. Disamping itu, interaksi antar teman sebaya pun sangatlah penting. Kita tahu bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial tentu tidak mungkin bisa memisahkan hidupnya dengan manusia lain. Sudah bukan rahasia lagi bahwa segala bentuk kebudayaan, tatanan hidup, dan sistem kemasyarakatan terbentuk karena interaksi dan benturan kepentingan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Sejak zaman prasejarah hingga sejarah, manusia telah disibukkan dengan keterciptaan berbagai aturan dan norma dalam kehidupan berkelompok mereka. Jadi, interaksi teman sebaya sangatlah berpengaruh untuk pengembangan diri dan menumbuhkan sikap sosialisme antar sesama.
Sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa. Hal ini menunjukan adanya keseriusan suatu bangsa untuk menjadikan warga negara yang berpendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa kualitas suatu bangsa dilihat dari kualitas pendidikan terhadap bangsa tersebut. Hampir semua negara maju menyadari hal seperti itu. Namun praktek dilapangan tidak seperti apa yang menjadi tujuan utama. Tidak sedikit sekolah yang menggunakan buku paket (LKS) sebagai bahan acuan pembelajaran. Tanpa kita sadari hal ini merupakan penyakit yang akan membodohkan siswa. Hal seperti ini dinilai tidaklah efektif untuk menunjang kualitas pendidikan siswa. Karena siswa hanya dituntut untuk mengetahui materi yang sudah ada saja dan hal ini menyebabkan para siswa malas untuk membacanya. Akan lebih baiknya, para siswa dituntut untuk mencari materi dari sumber-sumber lain untuk bahan acuan pembelajaran. Dengan demikian, akan adanya dorongan atau motivasi para siswa untuk lebih ingin tahu tentang suatu materi dan juga memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengungkapkan pendapat masing-masing. Disinilah akan terjadinya interaksi yang signifikan terhadap suatu materi dan tentunya akan ada perbedaan pendapat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga akan terlatihnya sikap kritis terhadap mereka.
Pendidikan usia sedini mungkin sangatlah dibutuhkan. Untuk menunjang kualitas pendidikan di masa yang akan datang. Tidak hanya menekankan pada aspek kognitif yang hanya mengejar nilai tinggi saja, tetapi juga harus memperhatikan pembentukan karakteristik siswa yang cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Hal ini diharapkan agar tidak terulangnya konflik-konflik yang dapat merusak moral bangsa. Yang paling penting adalah berpegang teguh pada pedoman negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai acuan terbentuknya manusia yang bertoleransi terhadap sesama. Mulailah membenahi diri sendiri dan mulailah belajar bertoleransi, karena dengan sifat bertoleransi hidup yang kita jalani lebih mudah dan lebih indah. Diharapkan pula para generasi muda menyadari betapa indahnya saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA
·         Wikipedia
·         Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005). Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: Erlangga 2005).
·         Compas.com
·         Liputan6.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic