We are simple, but no simple impact. Proudly Presents, PBI C 2012. Happy Reading!

Course: Writing and Composition 4

Instructor : Lala Bumela

This website created by : College student from The State Institute of Islamic Studies Syekh Nurjati Cirebon, The Dapartment of English Education 2012.


widgets

Senin, 24 Februari 2014

Toleransi: Jembatan Menuju Keharmonisan

Critical Review



            Tulisan ini adalah critical review dari wacana yang berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”  yang ditulis oleh Prof.Dr.A.Chaedar Alwasilah, yang diterbitkan oleh The Jakarta Post pada tanggal 22 Oktober 2011.  Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa pentingnya toleransi antar umat beragama.  Kaitannya dengan hal tersebut, maka kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah-sekolah dasar sejak dini mungkin dengan saling bertoleransi antar sesama dan membina interaksi yang baik dengan rekan sebayanya. 
    Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995).  Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya.  Maka toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.

Toleransi dalam beragama sangatlah penting dalam kondisi negara kita, Indonesia.  Terlebih lagi negara kita dikenal sebagai negara yang sangat multikultural.  Kita hidup di negara yang penuh dengan keragaman, baik itu dari suku, budaya, maupun agama.  Untuk hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain.  Seperti dalam semboyan negara kita ini “Bhinneka Tunggal Ika”.  Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.  Diterjemahkan per kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda.  Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia.  Kata tunggal berarti “satu”.  Kata ika berarti “itu”.  Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.  Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.  Dari semboyan negara kita tersebut jelas bahwa meskipun kita memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik itu dari suku, budaya, maupun agama, namun kita tetap harus menjunjung tinggi toleransi agar terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks.  Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural.  Terdapat beberapa definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya:
  • Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
  • Multikulturalisme mencakup suatu  pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
  • Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Dari berbagai definisi diatas mengenai multikulturalisme, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain.  Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat.  Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.  Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.  Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat.  Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.  Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Berhubungan dengan kehidupan bangsa Indonesia yang dikarunia tanah air yang indah dengan aneka ragam kekayaan alam yang berlimpah, ditambah lagi dengan beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama.  Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti masalah agama, masalah sosial yang berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu semata-mata karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda. 
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.  Oleh karena itu, kita sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan Negara.  Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia.  Demikian juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan.  Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, kerukunan hidup antar umat beragama harus selalu dijaga dan dibina.  Kita tidak ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling bermusuhan satu sama lain karena masalah agama.  Toleransi antar umat beragama bila kita bina dengan baik akan dapat menumbuhkan sikap hormat menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang, damai dan tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya.  Melalui toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.  Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu akan terbina kehidupan yang rukun, tertib, dan damai.
Contoh pelaksanaan toleransi antara umat beragama dapat kita lihat seperti: membangun  jembatan, memperbaiki tempat-tempat umum, membantu orang yang tertimpa musibah banjir, membantu korban kecelakaan lalu-lintas, dan sebagainya.  Jadi, bentuk kerjasama ini harus kita wujudkan dalam kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan dan tidak menyinggung keyakinan agama masing-masing.  Kita sebagai umat beragama berkewajiban menahan diri untuk tidak menyinggung perasaan umat beragama yang lain. Hidup rukun dan bertoleransi tidak berarti bahwa agama yang satu dan agama yang lainnya dicampuradukkan. Dalam hal ini diharapkan melalui toleransi terwujud ketenangan, ketertiban, serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing.  Dengan sikap saling menghargai dan saling menghormati itu, maka akan terbina kehidupan yang rukun, tertib, damai, dan harmonis.
Dalam wacana Classroom Discourse to Foster Religious Harmony, sikap toleransi antar umat beragama tentunya harus dikembangkan di sekolah-sekolah dasar sedini mungkin.  Hal itu dimaksudkan agar tertanamnya sikap toleransi antara satu dengan yang lainnya sejak dini, sehingga konflik sosial seperti tawuran pelajar yang diakibatkan karena kurangnya kepekaan dan rasa saling menghormati terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda dapat dikendalikan.  Maka dari itu, untuk mengatasi konflik sosial dan ketidakharmonisan yang terjadi karena kurangnya toleransi tersebut, para pendidik di sekolah-sekolah harus melakukan tindakan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter yang baik sebagaimana diatur dalam undang-undang.  Selain itu, para pendidik ditantang untuk mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil yang positif di kalangan siswa. 
            Kualitas suatu bangsa bisa dilihat dari sistem pendidikan yang ada dalam negara tersebut.  Hampir semua negara maju menyadari betapa pentingnya sistem pendidikan yang baik.  Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa.  Oleh karena itu, pendidikan Sekolah Dasar (SD) seharusnya memberikan siswanya dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara.  Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih lanjut. 
            Pada jenjang sekolah dasar, selain keterampilan dasar, penanaman karakter siswa juga  harus diterapkan.  Hal ini dikarenakan pada masa ini siswa diajarkan untuk saling menghormati antar umat beragama, berinteraksi dengan sesama, membagi, memberi, tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya.  Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat.  Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindak lanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif.  Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang.  Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved” (karakter tidak bisa berkembang dengan mudah dan cukup.  Hanya melalui pengalaman sebagai percobaan dan penderitaan dapat memperkuat jiwa, daya lihat jelas, ambisi yang bersemangat, dan sukses tercapai).
Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang diidentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya.  Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat.  Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah.  Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan.  Hal itu bisa dimulai dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan menegakkan itu secara disiplin.  Namun, dalam praktek penerapan pendidikan berkarakter tidak semudah yang dibayangkan.  Selain guru, tentunya terdapat komponen penting lainnya yang ikut andil dalam penanaman pendidikan karakter tersebut, diantaranya yaitu keluarga dan masyarakat.  Kedua komponen tersebut merupakan aspek penting yang membantu dalam penerapan pendidikan karakter tersebut.  Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga komponen tersebut tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.  Sehingga antara ketiga komponen tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya.  Dengan demikian, keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut.  Di samping itu, tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang.  Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan.  Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Sebuah pepatah yang dikemukakan oleh Thomas Lickona “Walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan”. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang.  Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya.  Selain itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis.
Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, dapat disimpulkan bahwa terbentunya karakter manusia adalah dari dua faktor, yaitu nature (faktor alami atau fitrah), dimana semua manusia mempunyai kecenderungan untuk mencintai kebaikan dan nurture (sosialisasi dan pendidikan) yaitu faktor lingkungan, dimana usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi adalah sangat berperan didalam menentukan apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak. 
Pendidikan moral pada usia dini harus dilakukan sejak anak dilahirkan, apabila masa usia 2 tahun pertama anak sudah mendapatkan cinta, maka sangat mudah anak tersebut dibentuk menjadi manusia yang berakhlak mulia. Menurut hasil penelitian, anak-anak usia 2 tahun sudah dapat diajarkan nilai-nilai moral, bahkan mereka sudah dapat mempunyai perasaan empati terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain.
Pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah dapat memberikan arahan mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan umur anak. Mengingat pentingnya pembentukan karakter sedini mungkin, maka hendaknya setiap sekolah, terutama sekolah taman kanak-kanak dapat menerapkan pendidikan karakter di sekolahnya.


Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural ini, anak-anak usia dini harus diajarkan mengenai menghargai lingkungannya.  Dalam hal ini terutama dengan rekan sebayanya atau peer interaction.  Peer interaction atau interaksi antar rekan sebaya sangat penting dalam aspek bahasa, kognitif, dan sosial.  Ada aspek pembelajaran terbaik yang terjadi selama peer interaction, daripada interaksi dengan orang dewasa.  Anak-anak memperoleh bahasa dan kosa kata selama interaksi dengan orang lain.  Mereka belajar bagaimana untuk berdebat, bernegosiasi, dan membujuk.  Mereka harus belajar untuk mengatakan hal-hal tanpa menyakiti perasaan.  Mereka harus menyelesaikan konflik, meminta maaf, dan dukungan.  Interaksi dengan rekan sebaya berfungsi sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari perkembangan emosional seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan identitas.  Anak-anak belajar tentang diri mereka sendiri selama interaksi satu sama lain dan menggunakan informasi ini untuk membentuk rasa diri mereka sendiri dan siapa mereka.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka.  Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu sama lain.   Konsep interaksi dengan rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin, 2009).  Sudah nampak jelas bahwa interaksi antar rekan sebaya merupakan aspek penting yang harus diperhatikan terhadap anak-anak sejak dini mungkin.  Sehingga hal itu dapat membentuk generasi Indonesia agar yang mampu bersikap toleran terhadap sesamanya.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk oleh latar belakang mereka.   Program sekolah harus sengaja memfasilitasi interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif.  Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara yang hormat.  Dalam arti praktis, ini akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah. 
Sebuah laporan penelitian oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa interaksi teman sebaya di dalam kelas mendukung kelas wacana sipil yang positif di kalangan siswa.  Oleh karena itu, disarankan agar mempromosikan interaksi rekan sebaya harus dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan rutin kelas.  Siswa harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis. 
Sebagai siswa Sekolah Dasar (SD), anak-anak yang belum mampu memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tetapi bisa mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan.  Studi penelitian Aprilliaswati mengajarkan kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah, tetapi juga wacana sipil positif.  Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara yang beradab.  Jadi, dalam hal ini siswa sekolah dasar sejak dini mungkin ditanamkan dan diajarkan sikap saling toleransi dan berinteraksi dengan sesamanya agar mampu menjadi warga negara yang beradab. 
Secara keseluruhan, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pentingnya toleransi antar umat beragama.  Berhubungan dengan kehidupan bangsa Indonesia yang sangat multikultural dengan beraneka ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama.  Tentunya untuk hidup damai dan berdampingan, dibutuhkan toleransi satu sama lain.  Kaitannya dengan hal tersebut, maka kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah-sekolah dasar sejak dini mungkin.  Hal itu bisa diterapkan dengan penanaman pendidikan yang berkarakter yang mengajarkan nilai-nilai moral kepada siswanya agar saling bertoleransi antar sesama dan membina interaksi yang baik dengan rekan sebayanya.

Referensi
http://indonesiaindonesia.com/f/51596-toleransi-beragama/  diakses pada tanggal 23 Februari 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika diakses pada tanggal 23 Februari 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses pada tanggal 23 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

a space for comment and critic