Critical
Review
Tulisan ini adalah critical review dari wacana yang
berjudul “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” yang
ditulis oleh Prof.Dr.A.Chaedar Alwasilah, yang diterbitkan oleh The Jakarta Post pada tanggal 22 Oktober
2011. Pada wacana tersebut dijelaskan
bahwa pentingnya toleransi antar umat beragama.
Kaitannya dengan hal tersebut, maka kerukunan umat beragama harus dikembangkan
di sekolah-sekolah dasar sejak dini mungkin dengan saling bertoleransi antar
sesama dan membina interaksi yang baik dengan rekan sebayanya.
Toleransi secara bahasa bermakna sifat atau sikap menenggang
(menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan,
kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri (Kamus Besar B.Indonesia Edisi. 2 Cetakan 4 Th.1995). Sedangkan pengertian toleransi sebagai
istilah budaya, sosial dan politik, ia adalah simbol kompromi beberapa kekuatan
yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian
bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Maka
toleransi itu adalah kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang
berbagai perbedaan yang ada diantara mereka.
Toleransi dalam beragama sangatlah penting dalam kondisi negara kita, Indonesia. Terlebih lagi negara kita dikenal sebagai
negara yang sangat multikultural. Kita hidup
di negara yang penuh dengan keragaman, baik itu dari suku, budaya, maupun
agama. Untuk hidup damai dan
berdampingan, tentu dibutuhkan toleransi satu sama lain. Seperti dalam semboyan negara kita ini
“Bhinneka Tunggal Ika”. Frasa ini
berasal dari bahasa Jawa Kuno dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat
“Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per kata, kata bhinneka
berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda.
Kata neka dalam bahasa
Sanskerta berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa
Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata
ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan
persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan
kepercayaan. Dari semboyan negara kita tersebut jelas bahwa meskipun kita
memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik itu dari suku, budaya, maupun
agama, namun kita tetap harus menjunjung tinggi toleransi agar terciptanya
kehidupan yang damai dan harmonis.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman yang sangat kompleks.
Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan
istilah mayarakat multikultural. Terdapat
beberapa definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya:
- Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).
- Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174).
- Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Dari berbagai definisi diatas mengenai multikulturalisme,
maka dapat disimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai
penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri
maupun kebudayaan orang lain. Setiap
orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang
ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu
kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang
akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia
merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu
beragam dan luas. Menurut kondisi
geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni
oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah
kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.
Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak
dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat
bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta
mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa
Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang
menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Berhubungan
dengan kehidupan bangsa Indonesia yang dikarunia tanah air yang indah dengan
aneka ragam kekayaan alam yang berlimpah, ditambah lagi dengan beraneka ragam
suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Kondisi bangsa Indonesia yang pluralistis
menimbulkan permasalahan tersendiri, seperti masalah agama, masalah sosial yang
berulang seperti tawuran pelajar, bentrokan pemuda dan bentuk lain dari
radikalisme di seluruh Indonesia adalah indikasi dari penyakit sosial, yaitu
semata-mata karena kurangnya kepekaan dan rasa hormat terhadap orang lain dari
kelompok yang berbeda.
Dalam
pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Oleh karena itu, kita sebagai warga Negara
sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama
dan saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi
keutuhan Negara. Kebebasan beragama pada
hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa
kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan
beragama adalah hak setiap manusia. Demikian
juga sebaliknya, toleransi antarumat beragama adalah cara agar kebebasan
beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat
diabaikan. Untuk dapat mempersandingkan
keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar
umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat.
Dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, kerukunan hidup antar umat beragama harus
selalu dijaga dan dibina. Kita tidak
ingin bangsa Indonesia terpecah belah saling bermusuhan satu sama lain karena
masalah agama. Toleransi antar umat
beragama bila kita bina dengan baik akan dapat menumbuhkan sikap hormat
menghormati antar pemeluk agama sehingga tercipta suasana yang tenang, damai
dan tenteram dalam kehidupan beragama termasuk dalam melaksanakan ibadah sesuai
dengan agama dan keyakinannya. Melalui
toleransi diharapkan terwujud ketenangan, ketertiban serta keaktifan
menjalankan ibadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Dengan sikap saling menghargai dan saling
menghormati itu akan terbina kehidupan yang rukun, tertib, dan damai.
Contoh
pelaksanaan toleransi antara umat beragama dapat kita lihat seperti: membangun jembatan, memperbaiki tempat-tempat umum, membantu
orang yang tertimpa musibah banjir, membantu korban kecelakaan lalu-lintas, dan
sebagainya. Jadi, bentuk kerjasama ini
harus kita wujudkan dalam kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan dan
tidak menyinggung keyakinan agama masing-masing. Kita sebagai umat beragama berkewajiban
menahan diri untuk tidak menyinggung perasaan umat beragama yang lain. Hidup
rukun dan bertoleransi tidak berarti bahwa agama yang satu dan agama yang
lainnya dicampuradukkan. Dalam hal ini diharapkan melalui toleransi terwujud
ketenangan, ketertiban, serta keaktifan menjalankan ibadah menurut agama dan
keyakinan masing-masing. Dengan sikap
saling menghargai dan saling menghormati itu, maka akan terbina kehidupan yang
rukun, tertib, damai, dan harmonis.
Dalam wacana Classroom Discourse to Foster Religious
Harmony, sikap toleransi antar umat beragama tentunya harus
dikembangkan di sekolah-sekolah dasar sedini mungkin. Hal itu dimaksudkan agar tertanamnya sikap
toleransi antara satu dengan yang lainnya sejak dini, sehingga konflik sosial
seperti tawuran pelajar yang diakibatkan karena kurangnya kepekaan dan rasa
saling menghormati terhadap orang lain dari kelompok yang berbeda dapat
dikendalikan. Maka dari itu, untuk
mengatasi konflik sosial dan ketidakharmonisan yang terjadi karena kurangnya
toleransi tersebut, para pendidik di sekolah-sekolah harus melakukan tindakan
yang terbaik untuk mempersiapkan generasi berikutnya sebagai warga negara yang demokratis dengan karakter
yang baik sebagaimana diatur dalam undang-undang. Selain itu, para pendidik ditantang untuk
mempromosikan program-program kreatif dan inovatif untuk mendukung wacana sipil
yang positif di kalangan siswa.
Kualitas
suatu bangsa bisa dilihat dari sistem pendidikan yang ada dalam negara
tersebut. Hampir semua negara maju
menyadari betapa pentingnya sistem pendidikan yang baik. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan aset
penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan Sekolah Dasar (SD) seharusnya memberikan siswanya dengan
keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan mereka sebagai
individu, anggota masyarakat dan warga negara.
Keterampilan dasar ini juga merupakan dasar untuk pendidikan lebih
lanjut.
Pada jenjang sekolah dasar, selain
keterampilan dasar, penanaman karakter siswa juga harus diterapkan. Hal ini dikarenakan pada masa ini siswa
diajarkan untuk saling menghormati antar umat beragama, berinteraksi dengan
sesama, membagi, memberi, tolong-menolong antara satu dengan yang lainnya. Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu
upaya mudah dan cepat. Hal tersebut
memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan
Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindak lanjuti dengan aksi nyata,
sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua
itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli
pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character
cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and
suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and
success achieved” (karakter tidak bisa berkembang dengan mudah dan cukup. Hanya melalui pengalaman sebagai percobaan
dan penderitaan dapat memperkuat jiwa, daya lihat jelas, ambisi yang
bersemangat, dan sukses tercapai).
Selain
itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah
satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat,
didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang diidentifikasi
bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral
terhadap peserta didiknya. Hal ini
tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan
yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King,
yakni “intelligence plus character that is the goal of true education”
(kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan
karakter di sekolah. Konsep karakter
tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan
dipraktekan. Hal itu bisa dimulai dengan
belajar taat dengan peraturan sekolah, dan menegakkan itu secara disiplin. Namun, dalam praktek penerapan pendidikan
berkarakter tidak semudah yang dibayangkan.
Selain guru, tentunya terdapat komponen penting lainnya yang ikut andil
dalam penanaman pendidikan karakter tersebut, diantaranya yaitu keluarga dan
masyarakat. Kedua komponen tersebut
merupakan aspek penting yang membantu dalam penerapan pendidikan karakter
tersebut. Pembentukan dan pendidikan
karakter tidak akan berhasil selama antara ketiga komponen tersebut tidak ada
kesinambungan dan keharmonisan. Sehingga
antara ketiga komponen tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang
lainnya. Dengan demikian, keluarga
sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus
lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi
pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu, tidak kalah pentingnya
pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi
terhadap karakter dan watak seseorang.
Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut
Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang
dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara
keseluruhan. Jika sistem nilai dan
pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya
terbatas pada hal yang sama.
Sebuah pepatah yang dikemukakan oleh Thomas Lickona “Walaupun jumlah
anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa
depan”. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini
mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini.
Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukkan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan
penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang
bermasalah di masa dewasanya. Selain
itu, menanamkan moral kepada generasi muda adalah usaha yang strategis.
Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, dapat
disimpulkan bahwa terbentunya karakter manusia adalah dari dua faktor, yaitu
nature (faktor alami atau fitrah), dimana semua manusia mempunyai kecenderungan
untuk mencintai kebaikan dan nurture (sosialisasi dan pendidikan) yaitu faktor
lingkungan, dimana usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi adalah sangat
berperan didalam menentukan apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang
anak.
Pendidikan moral pada usia dini harus dilakukan sejak anak
dilahirkan, apabila masa usia 2 tahun pertama anak sudah mendapatkan cinta,
maka sangat mudah anak tersebut dibentuk menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Menurut hasil penelitian, anak-anak usia 2 tahun sudah dapat diajarkan
nilai-nilai moral, bahkan mereka sudah dapat mempunyai perasaan empati terhadap
kesulitan atau penderitaan orang lain.
Pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah dapat memberikan arahan
mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan umur anak.
Mengingat pentingnya pembentukan karakter sedini mungkin, maka hendaknya setiap
sekolah, terutama sekolah taman kanak-kanak dapat menerapkan pendidikan
karakter di sekolahnya.
Dalam kehidupan bangsa Indonesia yang multikultural ini, anak-anak
usia dini harus diajarkan mengenai menghargai lingkungannya. Dalam hal ini terutama dengan rekan sebayanya
atau peer interaction. Peer interaction atau interaksi antar
rekan sebaya sangat penting dalam aspek bahasa, kognitif, dan sosial. Ada aspek pembelajaran terbaik yang terjadi
selama peer interaction, daripada
interaksi dengan orang dewasa. Anak-anak
memperoleh bahasa dan kosa kata selama interaksi dengan orang lain. Mereka belajar bagaimana untuk berdebat,
bernegosiasi, dan membujuk. Mereka harus
belajar untuk mengatakan hal-hal tanpa menyakiti perasaan. Mereka harus menyelesaikan konflik, meminta
maaf, dan dukungan. Interaksi dengan
rekan sebaya berfungsi sebagai landasan untuk banyak aspek penting dari
perkembangan emosional seperti pengembangan konsep diri, harga diri dan
identitas. Anak-anak belajar tentang
diri mereka sendiri selama interaksi satu sama lain dan menggunakan informasi
ini untuk membentuk rasa diri mereka sendiri dan siapa mereka.
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah
lebih memilih untuk berinteraksi dengan rekan-rekan mereka. Dalam konteks sekolah, itu adalah hubungan dimana
rekan-rekan menghormati, membantu, berbagi, dan umumnya sopan terhadap satu
sama lain. Konsep interaksi dengan
rekan sebaya adalah komponen penting dalam teori pembangunan sosial ( Rubin, 2009). Sudah nampak jelas bahwa interaksi antar
rekan sebaya merupakan aspek penting yang harus diperhatikan terhadap anak-anak
sejak dini mungkin. Sehingga hal itu
dapat membentuk generasi Indonesia agar yang mampu bersikap toleran terhadap
sesamanya.
Dalam pengaturan multikultural, siswa berasal dari latar belakang
etnis, agama dan sosial yang berbeda dan pola pikir mereka dominan dibentuk
oleh latar belakang mereka. Program sekolah harus sengaja memfasilitasi
interaksi rekan untuk mengembangkan wacana sipil positif. Indikator wacana sipil termasuk mendengarkan
penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan,
menyatakan kesepakatan dan ketidaksepakatan, dan mencapai kompromi dengan cara
yang hormat. Dalam arti praktis, ini
akan berlaku untuk setiap mata pelajaran sekolah.
Sebuah laporan penelitian oleh Apriliaswati (2011) menyimpulkan bahwa
interaksi teman sebaya di dalam kelas mendukung kelas wacana sipil yang positif
di kalangan siswa. Oleh karena itu,
disarankan agar mempromosikan interaksi rekan sebaya harus dilaksanakan sebagai
salah satu kegiatan rutin kelas. Siswa
harus diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lain melalui
tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan penuh perhatian, berdebat
hormat dan suara mengorbankan untuk mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai
anggota fungsional dari suatu masyarakat yang demokratis.
Sebagai siswa Sekolah Dasar (SD), anak-anak yang belum mampu
memberikan alasan informasi dan bukti dari argumen mereka tetapi bisa
mengekspresikan kesepakatan dan ketidaksepakatan dengan cara yang sopan. Studi penelitian Aprilliaswati mengajarkan
kepada kita bahwa pendidikan harus mengembangkan tidak hanya penalaran ilmiah,
tetapi juga wacana sipil positif.
Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga
intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan
warga negara yang beradab. Jadi, dalam
hal ini siswa sekolah dasar sejak dini mungkin ditanamkan dan diajarkan sikap
saling toleransi dan berinteraksi dengan sesamanya agar mampu menjadi warga
negara yang beradab.
Secara keseluruhan, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pentingnya
toleransi antar umat beragama. Berhubungan
dengan kehidupan bangsa Indonesia yang sangat multikultural dengan beraneka
ragam suku, ras, adat istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Tentunya untuk
hidup damai dan berdampingan, dibutuhkan toleransi satu sama lain. Kaitannya dengan hal tersebut, maka
kerukunan umat beragama harus dikembangkan di sekolah-sekolah dasar sejak dini
mungkin. Hal itu bisa diterapkan dengan penanaman
pendidikan yang berkarakter yang mengajarkan nilai-nilai moral kepada siswanya
agar saling bertoleransi antar sesama dan membina interaksi yang baik dengan
rekan sebayanya.
Referensi
http://indonesiaindonesia.com/f/51596-toleransi-beragama/ diakses pada
tanggal 23 Februari 2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika diakses pada tanggal 23 Februari
2014
http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme diakses pada tanggal 23 Februari
2014
http://www.classroominterpreting.org/Interpreters/children/Fostering/peerinteraction.asp diakses pada tanggal 23
Februari 2014
http://www.pendidikankarakter.com/mewujudkan-pendidikan-karakter-yang-berkualitas/ diakses pada tanggal 23
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
a space for comment and critic